BAB 13

2619 Kata
Suasana siang itu begitu teduh di area pendopo timur, tempat Sekar sering duduk untuk menikmati udara segar. Angin lembut membawa aroma bunga kenanga dan melati dari taman belakang, berbaur dengan wangi kayu jati tua yang hangat. Di pendopo kecil dekat kamar Sekar, terlihat dua sosok perempuan tengah duduk bersisian di atas tikar pandan, berbincang santai sambil sesekali tertawa kecil, Sekar dan Aria. Tidak jauh dari sana, ketiga adik Sekar duduk di pendopo satunya lagi. Masing-masing sibuk membatik di atas kain putih panjang yang terbentang di meja. Kadang Ayu mencibir karena jarinya terkena malam panas, sementara Kirana dan Nayla tertawa melihat ekspresinya yang kekanakkan. Suara mereka berpadu lembut dengan gemericik air pancuran dan denting halus gamelan yang dimainkan di kejauhan. “Lucu juga ya, Ri,” ujar Sekar sambil memutar cawan teh jahe di tangannya. “Biasanya di jam segini, kamu tuh lagi di depan laptop, rekap laporan keuangan publik. Aku? Biasanya lagi bolak-balik lokasi proyek, mantau progres konservasi bangunan tua. Tapi sekarang…” Dia menatap langit-langit pendopo yang dipenuhi ukiran halus berbentuk sulur dan bunga. “Sekarang kita malah di masa lalu, dan aku bahkan nggak tahu cara nyalain lampu minyak tanpa tumpah.” Aria tertawa pendek, kemudian mengembuskan napas. “Iya… agak aneh memang. Aku ini adipati, Sekar. *Adipati!* Harusnya tugas kayak gini kan buat laki-laki, tapi entah kenapa di masa ini aku malah dikasih tanggung jawab militer dan pemerintahan. Kadang mereka ragu, tapi nggak bisa membantah karena titah Sultan langsung.” Sekar menatapnya dengan senyum lembut. “Mungkin karena mereka tahu kamu mampu, Ri. Dari dulu kamu memang tipe orang yang kalau dikasih tanggung jawab, bakal lo lakuin sampai tuntas. Jadi ya... mungkin memang udah jalannya begitu.” Aria mengangkat alis, “Tuh kan, kamu mulai ngomong kayak motivator lagi.” Sekar terkekeh. “Biarin. Aku kan sekarang putri keraton, harus bisa kasih nasihat yang bijak, ya nggak?” “Bijak sih, tapi nyebelin,” balas Aria sambil mendorong bahunya pelan. Mereka berdua tertawa ringan. Sekar kemudian menoleh ke arah pintu pendopo dan berseru, “Ratna!” Dayang muda itu segera datang sambil menunduk sopan. “Iya, Ndoro Putri?” “Bisa tolong buatin aku rujak, Ratna? Yang seger, ya. Pake mangga muda kalau ada.” Ratna tersenyum kecil, “Baik, Diajeng. Akan saya siapkan.” Ia lalu berlalu cepat menuju dapur. Sambil menunggu, Sekar menyandarkan punggungnya ke tiang kayu jati dan menatap ke arah taman di mana ketiga adiknya masih membatik dengan tekun. Ia tersenyum bangga melihat mereka yang mulai terbiasa dengan kehidupan masa ini. “Tau nggak, Ri,” katanya pelan, “mungkin aku mulai bisa nikmatin hidup di masa ini. Aku punya dayang yang perhatian, makanan enak tiap hari, dan… suasananya damai banget.” Aria meliriknya, “Jadi kamu nggak mau balik ke masa depan nih?” Sekar menghela napas sambil menatap jauh. “Bukan nggak mau. Tapi kalaupun harus lama di sini… aku rasa aku bisa beradaptasi. Lagipula, di sini aku punya kamu dan adik-adikku. Itu udah cukup.” Ucapan Sekar membuat Aria tersenyum kecil. Ia jarang mendengar nada sehangat itu dari sahabatnya yang biasanya keras kepala dan perfeksionis. Tak lama kemudian, suara gamelan dari kejauhan terdengar semakin jelas—ritmenya lembut, berpadu indah dengan suara burung-burung di taman. Sekar terdiam sejenak, matanya menerawang, lalu bibirnya tersenyum samar. “Indah sekali musiknya…” gumamnya. “Aku jadi pengen nyanyi.” Aria menatapnya dengan dahi berkerut. “Nyanyi? Di sini? Lagu apa?” Sekar tertawa kecil. “Masa iya aku mau nyanyi lagu barat? Atau lagu Korea?” katanya menggoda. “Aku nembang aja deh, tembang Jawa.” Ia menutup mata sejenak, lalu dengan suara lembut dan penuh perasaan, mulai melantunkan bait pertama dari tembang yang bahkan di masa modern pun masih dikenal. "Lingsir wengi... sepi durung biso nendro... kagodho mring wewayang... hang rerindhu ati..." Suara Sekar begitu lembut, mengalun menyatu dengan irama gamelan. Nada-nadanya bergetar pelan, membawa nuansa sendu yang anehnya justru menenangkan. Aria yang awalnya hanya menatap, kini ikut terdiam, hanyut dalam lantunan sahabatnya. Para dayang yang sedang lewat berhenti dan menunduk hormat, lalu berdiri di pinggir pendopo sambil mendengarkan. Mereka saling berbisik lirih, kagum pada suara merdu ndoro putri mereka. “Ndoro Putri nembang?” bisik salah satu dayang tua. “Luar biasa lembut suaranya… seperti bukan Ndoro Sekarjati yang dulu,” sahut yang lain sambil tersenyum. Ketiga adik Sekar yang awalnya membatik, kini berhenti total. Kuas malam diletakkan, tangan mereka terlipat di pangkuan. Mereka menatap kakaknya dengan mata berbinar, terpukau oleh perubahan yang kini begitu jelas. Suara itu menyelinap lembut ke setiap sudut pendopo, menembus hati setiap orang yang mendengarnya. Ada rindu yang tak terucap dalam nada-nadanya, rindu yang bahkan Sekar sendiri tak tahu kepada siapa ditujukan. Apa itu kepada masa depan, atau seseorang di masa lalu? Ketika bait terakhir selesai, suasana sunyi sejenak. Angin berhembus lembut, menggoyangkan tirai putih di sisi pendopo. Ratna yang baru datang membawa nampan berisi rujak berhenti di ambang pintu, terpana mendengarkan suara ndoro putrinya. Sekar membuka matanya perlahan, menatap semua orang yang kini diam memperhatikannya. Ia tersipu kecil. “Hehe... maaf, aku kebawa suasana.” Aria tertawa pelan, menepuk bahunya. “Kalau nyanyi kamu sebagus itu, mungkin kamu memang cocok jadi putri kerajaan, Sekar.” Sekar ikut tertawa, “Atau mungkin aku memang sedang jadi putri kerajaan sekarang.” Mereka berdua saling berpandangan, lalu tertawa bersama sementara langit siang di atas keraton semakin cerah, dan tembang Lingsir Wengi itu terus bergema lembut di hati semua yang mendengarnya. Langit mulai merona jingga ketika Sekar dan Aria dipanggil oleh utusan kerajaan untuk segera menghadap Ratu. Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan tirai halus di pendopo tempat mereka duduk sebelumnya. Sekar dan Aria saling pandang sejenak sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju pendopo utama keraton, di mana sang Ratu dan Raja telah menunggu. Langkah keduanya teratur, anggun, dan penuh sopan santun khas putri bangsawan. Suara gending lembut mengiringi perjalanan mereka melewati halaman luas yang dipenuhi para abdi dalem yang sedang sibuk menyiapkan upacara sore. Saat tiba di pendopo utama, aroma dupa yang harum menyambut mereka. Di atas singgasana, Ratu duduk bersebelahan dengan Raja, keduanya memancarkan wibawa yang lembut namun tegas. Begitu Sekar dan Aria masuk, Ratu tersenyum hangat. “Sekar, Aria… mari, duduklah,” ucapnya lembut namun penuh kuasa. Keduanya segera bersimpuh anggun di hadapan Raja dan Ratu. Sekar menundukkan kepala, sementara Aria mengikuti dengan sikap penuh hormat. “Ada hal yang hendak Ibunda dan Ayahanda bicarakan kepada kalian berdua,” ujar sang Ratu, suaranya berwibawa namun lembut seperti alunan suling. Sekar menatap ibunya penuh perhatian. “Apa yang bisa hamba bantu, Ibunda?” tanyanya hati-hati. Ratu tersenyum, lalu memandang Sekar dan Aria bergantian. “Besok malam akan diadakan festival di alun-alun kerajaan untuk merayakan hasil panen yang melimpah tahun ini. Kerajaan mendapatkan keuntungan besar, dan rakyat bersukacita. Namun, Ibu ingin kalian berdua yang mengatur jalannya acara,” ujarnya tenang. Sekar spontan menegakkan tubuhnya sedikit, mata bulatnya berbinar. “Baik, Ibunda. Hamba bersedia mengurusnya,” katanya bersemangat. Tapi kemudian dia tampak kebingungan dan mengerutkan kening. “Namun… eh, mohon maaf, festival seperti apakah itu, Ibunda?” Sontak, sang Ratu tertawa kecil, disusul senyum lembut sang Raja yang mengelus janggutnya. “Anakku satu ini memang masih polos,” ujar sang Ratu sambil menatap Sekar penuh kasih. “Festivalnya akan berupa pesta rakyat. Akan ada tarian, tembang, serta pertunjukan seni dari para rakyat untuk keluarga kerajaan. Kau dan Aria akan mengatur jalannya semua itu — dari susunan acara hingga para penampilnya.” Aria menunduk hormat. “Baik, Paduka. Hamba akan memastikan semua berjalan lancar.” Sekar tersenyum lega, namun tetap merasa sedikit gugup. “Hamba akan berusaha sebaik mungkin, Ibunda.” Ratu mengangguk puas, lalu memberi isyarat kepada salah satu penjaga. “Panggilkan Mahesa,” ujarnya. Beberapa saat kemudian, langkah tegap seorang prajurit memasuki pendopo. Mahesa datang mengenakan pakaian prajurit berwarna biru tua dengan sabuk emas di pinggangnya. Ia menunduk hormat di hadapan raja dan ratu. “Hamba Mahesa menghadap, Paduka.” Ratu menatapnya dengan penuh keyakinan. “Mahesa, mulai malam ini kau bertugas mengawal Putri Dyah Sekarjati dan Adipati Aria. Mereka akan meninjau persiapan festival dan membutuhkan perlindungan serta bantuan pasukan.” Mahesa menunduk dalam. “Perintah Paduka akan hamba laksanakan.” Sekar sempat menatap Mahesa sejenak — dan ada sesuatu di dadanya yang bergetar. Tatapan mata Mahesa yang tegas, sorot hormatnya, dan suaranya yang berat seolah membawa kehangatan yang aneh namun menenangkan. Ia segera menunduk lagi agar tak ketahuan melamun. Ratu kembali bicara, “Mahesa, bawalah sepuluh prajurit pilihan untuk membantu mereka. Pastikan keamanan dan ketertiban tetap terjaga. Besok pagi, kalian sudah harus mulai mempersiapkan area alun-alun.” “Siap, Paduka,” jawab Mahesa mantap. Setelah itu, Ratu melirik putri sulungnya dengan senyum lembut. “Sekar, Ibu tahu kau akan melakukan dengan baik. Rakyat mencintai sosok yang lembut dan bijaksana, bukan yang keras hati. Jadilah Putri yang mampu memimpin dengan hati.” Kata-kata itu membuat d**a Sekar hangat. Ia menunduk, menjawab dengan suara lembut, “Hamba mengerti, Ibunda. Hamba akan berusaha agar rakyat melihat Dyah Sekarjati yang baru… yang pantas dicintai.” Sang Ratu tersenyum bangga, lalu menatap Aria. “Dan kau, Aria. Peranmu sebagai adipati sangat penting. Ibu percaya, meski tugasmu berat, hatimu akan menuntunmu dengan benar.” Aria membalas dengan senyum mantap. “Terima kasih atas kepercayaan Paduka.” Suasana di pendopo itu terasa hangat dan penuh wibawa. Setelah menerima perintah, Sekar dan Aria bersimpuh sekali lagi, lalu berpamitan dengan penuh hormat. Mahesa berjalan sedikit di belakang mereka, memastikan langkah kedua gadis itu aman. Saat mereka keluar dari pendopo utama, cahaya matahari sore mulai meredup di langit barat, memantulkan warna keemasan di dinding-dinding keraton. Sekar menatapnya sebentar sambil tersenyum kecil. “Sepertinya hari-hariku di masa ini akan lebih sibuk dari yang kukira,” katanya pelan. Mahesa menunduk sedikit, suaranya tenang. “Hamba yakin, Diajeng akan mampu menjalaninya.” Sekar menoleh, menatap Mahesa sebentar, lalu tersenyum lembut. “Terima kasih, Mahesa.” Sementara itu, Aria terkekeh pelan. “Kalau begini, sepertinya kita akan kerja lembur di masa lalu juga, Sekar.” Sekar tertawa kecil. “Bedanya, sekarang kita ditemani pasukan berseragam dan bukan laptop.” Suara tawa mereka bertiga terdengar lembut di antara semilir angin senja, menandai awal dari tugas baru yang akan membawa mereka pada kisah dan perasaan yang semakin dalam di dalam tembok keraton tua itu. Langit menjelang senja memantulkan warna keemasan di antara pepohonan ketika Sekar melangkah keluar dari kamarnya. Ia kini mengenakan kebaya sederhana berwarna krem lembut dengan kain lilit batik bermotif parang, jauh lebih sederhana dari biasanya, namun justru membuat pesonanya terasa anggun dan bersahaja. Kalung emas yang biasanya melingkar di lehernya kini dilepaskan, hanya sepasang anting tipis yang menghiasi telinganya. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi satu kuntum melati di sisi kanan. Mahesa yang berdiri di dekat kereta kencana menunduk dalam begitu melihat sang ndoro putri keluar. Sesaat, matanya terpaku — bukan karena hiasan atau kemegahan, melainkan karena kesederhanaan Sekar yang justru memancarkan keanggunan alami seorang pemimpin sejati. Namun ia segera menundukkan kepala, menahan senyum yang nyaris terbit di bibirnya. Ketika Sekar mendekat, Mahesa melangkah cepat dan bersikap sopan. “Hati-hati, Diajeng,” ucapnya lembut sambil menunduk, lalu menaruh tangannya di sisi tangga kereta kencana untuk membantu Sekar naik. Sekar menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, Mahesa.” Suaranya lembut namun cukup untuk membuat d**a sang kesatria bergetar kecil. Ia membantu Sekar naik perlahan hingga sang ndoro putri duduk dengan anggun di dalam kereta. Tak lama kemudian, dari arah halaman terlihat Aria datang menunggang kuda putihnya. Ia tampak gagah mengenakan pakaian adipati berwarna hijau tua dengan selempang cokelat muda di bahunya. Ia menghentikan kudanya tepat di sisi kereta dan menyapa, “Ndoro putri! Aku siap mengawal dari depan.” Namun Sekar menggeleng kecil, tersenyum. “Tidak usah di depan, Aria. Duduklah bersamaku di kereta. Akan lebih mudah kita membicarakan persiapan festival sepanjang jalan.” Aria sempat terkejut, tapi kemudian mengangguk sambil tersenyum. “Baiklah, kalau begitu.” Ia segera turun dari kudanya dan naik ke kereta kencana. Mahesa memperhatikan mereka dari luar, lalu naik ke atas kudanya sendiri. Ia menatap sekilas ke arah kusir dan memberi isyarat halus. “Kita berangkat.” Kereta kencana pun mulai bergerak perlahan meninggalkan halaman keraton. Rodanya berderit lembut di jalan tanah yang padat, sementara para prajurit berjalan beriringan di sisi kanan dan kiri, menjaga keamanan. Mahesa mengendarai kudanya di sisi kanan kereta, selalu menjaga jarak yang tidak terlalu jauh. Sekar memandang keluar jendela kecil kereta, matanya menatap ke arah jalanan yang dilewati. Wajah-wajah rakyat menunduk hormat setiap kali kereta kencana lewat. Anak-anak kecil berlari di tepi jalan, beberapa melambaikan tangan dengan polos. Sekar membalas dengan senyum tulus, membuat rakyat tampak terkejut namun gembira. Namun senyum itu perlahan memudar ketika ia melihat beberapa rakyat yang tampak lemah dan kurus, sebagian mengenakan pakaian lusuh, sebagian lainnya sedang memikul hasil panen yang tampak sedikit. Ada rasa sesak yang muncul di d**a Sekar. “Mahesa,” panggil Sekar dari jendela kereta. Mahesa menoleh sambil menahan kudanya agar tetap sejajar. “Ya, Diajeng?” “Apakah aku bisa meminta izin pada Ibunda dan Ayahanda nanti? Aku ingin membantu rakyat yang hidupnya kesulitan seperti mereka.” Mahesa sempat terdiam sejenak sebelum menjawab dengan hati-hati, “Sebenarnya, Diajeng… sebagian besar kesulitan rakyat itu berasal dari kebijakan lama. Dulu pihak kolonial Belanda sempat memberlakukan sistem tanam paksa. Banyak rakyat yang dipaksa menanam tanaman tertentu dan menyerahkan hasilnya dengan harga murah. Sejak saat itu, mereka sulit bangkit.” Sekar menarik napas panjang, menatap hamparan sawah di kejauhan. “Jadi… semua ini akibat itu, ya.” Mahesa mengangguk. “Benar, Diajeng. Meskipun kerajaan sudah mencoba membantu, kekuatan Belanda terlalu besar. Tapi sekarang… perjanjian antara kerajaan dan pihak Belanda hampir berakhir.” Sekar menoleh cepat. “Hampir berakhir?” “Ya, Diajeng. Menurut catatan istana, perjanjian itu akan berakhir dalam waktu tiga bulan lagi,” jawab Mahesa pelan. Sekar mengangguk dengan mata berbinar. “Kalau begitu… ada harapan.” Aria yang sejak tadi mendengarkan ikut bersuara. “Harapan? Maksudmu apa, Sekar?” Sekar menatapnya, lalu perlahan menjelaskan, “Aku ingat sesuatu. Jika kerajaan tetap bergantung pada Belanda dengan harga rempah yang mereka tentukan, kita akan rugi besar. Mereka membeli dengan harga rendah tapi menjual ke luar negeri dengan harga tinggi. Jika itu terus terjadi, rakyat akan terus menderita.” Aria mengernyit. “Lalu apa yang kamu pikirkan?” Sekar menatap ke arah hamparan ladang dan sawah yang mereka lewati. “Kita buat organisasi. Sebuah lembaga yang mengelola dan menampung hasil panen rakyat. Kerajaan yang mengatur semua dari pembelian hingga penjualan ke pihak Belanda.” Mahesa menatapnya dengan takjub, namun tetap diam. Sekar melanjutkan, suaranya mantap. “Dengan begitu, rakyat tidak lagi menjual langsung ke Belanda dengan harga murah. Kerajaan membeli hasil panen dari rakyat dengan harga yang pantas, lalu menjual ke Belanda dengan harga pasaran yang adil. Keuntungan dibagi 40% untuk kerajaan, 60% untuk rakyat. Semua tetap seimbang.” Aria menatap Sekar lama, lalu tersenyum kagum. “Itu ide yang brilian, Sekar. Tidak hanya adil, tapi juga bisa memperkuat ekonomi kerajaan.” Sekar mengangguk. “Ya. Kalau rakyat makmur, kerajaan pun kuat.” Mahesa yang mendengarkan dari luar kereta tidak bisa menahan senyum kecilnya. Ia berpaling sedikit agar tidak terlihat oleh pasukan di belakangnya. Dalam hati, ia berkata lirih, "Ndoro putri… Diajeng Sekarjati yang dulu keras dan arogan, kini telah menjadi cahaya bagi banyak orang." Para prajurit yang ikut mendengar percakapan itu juga saling pandang dan tersenyum lega. Mereka tahu, ide ndoro putri mereka bukan hanya akan mengubah ekonomi, tapi juga kehidupan keluarga mereka yang selama ini kesulitan. Sementara itu, matahari perlahan turun ke ufuk barat. Cahayanya memantul di kulit kuda dan roda kereta kencana yang terus melaju. Di dalamnya, Sekar dan Aria masih berbicara dengan semangat tentang rencana besar itu, sementara Mahesa tetap siaga di sisi mereka dalam diam, dengan hati yang penuh kekaguman pada putri yang kini mulai menapaki jalan takdirnya dengan kebijaksanaan sejati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN