Malam menurunkan tirainya perlahan di atas langit Demak. Suara jangkrik beradu nyaring di halaman belakang, sementara angin malam mengusap lembut tirai sutra yang menggantung di jendela kamar Putri Dyah Sekarjati. Lentera minyak berkelap-kelip di sudut ruangan, menebarkan bayangan panjang di dinding kayu jati yang halus. Sekar, yang kini menempati tubuh sang putri merebahkan diri di atas dipan ukiran gading. Matanya terasa berat. Mungkin karena lelah berjalan seharian bersama Mahesa.
Namun malam itu, tidur Sekar tidak sekadar tidur. Ia terseret dalam pusaran mimpi, terlalu nyata untuk disebut sekadar bunga tidur.
***
Sekar berdiri di tengah balairung istana. Segalanya terasa berbeda. Dindingnya berlapis emas, para abdi perempuan bersujud dengan kepala menunduk rapat ke lantai. Dan di atas singgasana berlapis kain merah marun, duduk seorang wanita dengan wajah yang... sama persis dengan dirinya. Namun tatapan wanita itu begitu dingin, bibirnya menipis, suaranya menusuk.
“Apakah kalian tidak mengerti perintahku?” bentaknya lantang. “Aku berkata, tidak ada pesta rakyat sebelum aku sendiri yang berkenan hadir!”
Abdi yang berlutut gemetar, menunduk semakin dalam. “Ampun, Gusti Putri... kami hanya melaksanakan titah Raja—”
“Diam!” Sekarjati berteriak keras, matanya berkilat tajam. “Selama Ayahanda mempercayakan kerajaan ini padaku, tidak ada seorang pun yang boleh melangkah tanpa izinku!”
Sekar yang berdiri di sisi ruangan, menatap tak percaya. Itu... dirinya? Wujud masa lalu yang penuh keangkuhan, seperti ratu kecil yang memerintah tanpa hati. Ia merasakan perih yang aneh di dadanya, seolah melihat bayangan buruk yang selama ini tersembunyi di dalam dirinya.
Suara langkah berat terdengar di belakangnya. Dari pintu gerbang, seorang pria masuk dengan langkah tegap. Mahesa. Namun kali ini, wajahnya lebih muda, tatapannya tegas tapi lembut. Ia berlutut dengan hormat di hadapan sang putri.
“Diajeng Sekarjati,” katanya dengan nada rendah, “hamba mohon, jangan bersikap keras pada rakyat. Mereka hanya ingin menunjukkan bakti.”
Sekarjati mendengus. “Mahesa, tugasmulah melindungiku, bukan mengatur bagaimana aku memperlakukan bawahanku.”
“Hamba tidak bermaksud mengatur,” jawab Mahesa hati-hati. “Namun seorang pemimpin dicintai bukan karena ketakutan yang ia tanam, melainkan karena kasih yang ia beri.”
Sekarjati berdiri, melangkah turun dari singgasananya. Suara langkah kakinya bergema di ruangan besar itu. “Kasih?” ujarnya dengan nada getir. “Apakah kasih bisa menegakkan kerajaan, Mahesa? Atau justru menjatuhkannya? Kau tahu betapa rumitnya kehidupan istana ini. Aku tidak bisa menjadi lembut hanya karena hatiku ingin.”
Mahesa menatapnya lama. “Namun kerasmu bisa menghancurkanmu, Diajeng.”
Sekarjati menatapnya balik dengan mata bergetar. Sekilas ada luka di sana, ada cinta yang berusaha disembunyikan di balik keangkuhan. “Kau tidak tahu apa-apa tentang tahta, Mahesa,” katanya perlahan. “Jadi jangan ikut campur dalam keputusanku.”
Mahesa menunduk. “Baik, Diajeng. Namun ingatlah, hamba akan selalu di sini, bahkan jika Diajeng mengusir hamba sekalipun.”
Sekarjati berpaling, tapi air matanya jatuh begitu saja di lantai marmer. Ia menyesali kata-kata tajam yang baru keluar dari bibirnya.
Langkah Mahesa meninggalkan ruangan bergema, sementara Sekarjati menggenggam kain bajunya erat.
“Maafkan aku, Mahesa...” bisiknya nyaris tak terdengar.
***
Sekar terbangun dengan napas terengah. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kayu kamar yang diterangi cahaya rembulan dari jendela. Hatinya masih sesak oleh rasa bersalah yang bukan miliknya, rasa bersalah Putri Dyah Sekarjati yang kini ia pahami dengan jelas.
Ia menutup wajahnya dengan tangan. “Jadi... itu yang sebenarnya terjadi?” bisiknya lirih.
Dalam hati, Sekar menyadari satu hal penting. Sikap arogan Sekarjati bukan tanpa alasan. Ia tumbuh dalam tembok istana, dijaga, dimanjakan, dijadikan simbol kesempurnaan tanpa ruang untuk salah. Dan di balik segala kesombongan itu, ada hati yang terkurung.
Sekar menarik napas panjang. “Kalau aku harus hidup di masa ini sebagai dia...” ujarnya dalam batin, “aku akan memperbaiki semuanya.”
Ia menatap ke luar jendela, di mana rembulan menggantung rendah di langit. Hatinya terasa lebih tenang, meski beban barunya mulai terasa berat. Ia tahu, Mahesa yang kini hidup bersamanya belum mengenal cinta pada Sekarjati. Tapi justru itu yang membuatnya tersenyum pelan.
“Baguslah,” bisiknya sambil menatap langit. “Setidaknya... aku bisa mulai dari awal. Aku bisa membuatnya mengenalku bukan karena tahta, tapi karena aku sendiri.”
Lalu angin malam berhembus lembut dari luar jendela, seolah membisikkan restu dari masa lalu.
Dan di antara bayangan malam itu, Sekar sebagai Dyah Sekarjati tersenyum, penuh tekad untuk menulis ulang sejarah cintanya, satu langkah kecil dalam dunia yang kini bukan lagi miliknya, namun harus ia perjuangkan.
***
Mentari pagi menyusup lembut melalui celah jendela kayu berukir, menebar cahaya hangat ke seluruh ruangan. Udara pagi istana Demak terasa sejuk, disertai aroma embun yang masih menempel di dedaunan halaman dalam. Dari kejauhan, suara burung perkutut bersahut-sahutan, menandakan hari baru telah dimulai.
Sekar membuka matanya perlahan, senyum kecil terlukis di wajahnya. Ia duduk di tepi dipan dengan rambut panjang tergerai, membiarkan sinar matahari pagi menyentuh kulitnya yang lembut. Ada ketenangan yang berbeda di hatinya hari ini—tak ada kemarahan, tak ada ketegangan seperti yang biasa menyelimuti Putri Dyah Sekarjati.
Saat pintu kamar diketuk pelan, tiga dayang masuk dengan membungkuk hormat.
“Selamat pagi, Ndoro Putri,” ucap salah satu dari mereka, Ratna, yang menjadi dayang utama sejak Sekar kecil.
Sekar menoleh dan tersenyum lembut. “Selamat pagi, Ratna. Kalian sudah dari tadi bersiap, ya?”
Ketiganya saling pandang. Biasanya, pagi-pagi seperti ini, sang putri akan langsung memarahi siapa pun yang terlambat datang membawa air atau kain mandi. Tapi hari ini... suaranya lembut sekali.
“Ndoro Putri tampak cerah sekali pagi ini,” ujar Ratna pelan sambil tersenyum lega.
Sekar hanya terkekeh kecil. “Sudah seharusnya begitu, Ratna. Hari yang baru harus disambut dengan senyum.”
Para dayang hampir tidak percaya dengan ucapan itu. Sekar berdiri dan mengenakan kemben sutra berwarna gading, lalu memerintahkan dengan tenang,
“Siapkan air untukku mandi. Dan tambahkan banyak bunga melati di dalamnya, ya. Aku ingin airnya harum.”
Ratna sempat menatapnya bingung. “Bunga melati, Ndoro Putri? Biasanya Ndoro lebih suka bunga kenanga. Dulu Ndoro selalu bilang melati terlalu lembut baunya.”
Sekar tersenyum sambil menatap keluar jendela. “Melati dan kenanga sama-sama wangi, Ratna. Aku rasa... keduanya punya keindahan sendiri. Kadang kita hanya lupa menikmatinya.”
Ratna menunduk, matanya berkaca-kaca. “Ampun, Ndoro Putri... hamba sungguh senang mendengar kata-kata itu dari Diajeng.”
Sekar menoleh dengan lembut. “Jangan menangis, Ratna. Kau tahu aku tidak suka melihat air mata di pagi hari.”
Dayang lain yang bernama Sri dan Wulan segera bergegas keluar untuk menyiapkan air di pemandian belakang kamar. Tak lama kemudian, beberapa pembantu kerajaan datang membawa kendi besar berisi air hangat dan sekeranjang penuh bunga melati segar yang baru dipetik dari taman istana.
Aroma bunga melati segera memenuhi ruangan, lembut, manis, menenangkan. Sekar menghirup dalam-dalam, merasakan ketenangan yang menyusup sampai ke dadanya.
“Letakkan di sana, ya,” ujarnya lembut sambil menunjuk ke bejana mandi batu pualam di sudut ruangan. “Dan jangan lupa, tambahkan sedikit kenanga juga. Aku ingin aromanya berpadu.”
“Sendika, Ndoro Putri,” jawab para pembantu serempak.
Ratna mendekat, membawa minyak pijat dari kelapa muda yang dicampur rempah wangi. “Kalau berkenan, hamba pijit dulu tubuh Ndoro. Badan Diajeng pasti pegal, apalagi kemarin terlalu lama di rumah singgah.”
Sekar tertawa kecil. “Kau benar. Rasanya seluruh tubuhku seperti baru menempuh perjalanan jauh. Silakan, Ratna.”
Ratna pun mulai memijat bahu dan punggung sang putri dengan lembut. Gerakannya terlatih, perlahan tapi mantap. Sekar memejamkan mata, menikmati setiap tekanan di ototnya yang kaku.
“Ratna,” ucap Sekar tanpa membuka mata, “apa kalian semua sering melihatku marah?”
Ratna terdiam sejenak, lalu menjawab hati-hati, “Ndoro Putri... dulu memang sering. Tapi hamba tahu itu karena Ndoro selalu memikirkan tanggung jawab besar di istana.”
Sekar tersenyum samar. “Tanggung jawab bukan alasan untuk menyakiti orang lain dengan kata-kata. Aku baru sadar itu.”
Ratna menunduk dalam, menahan haru. “Semoga Gusti selalu memberkati Diajeng. Sungguh, hamba dan para dayang lain senang melihat perubahan ini. Ndoro Putri kini seperti melati yang baru mekar.”
Sekar membuka mata, menatap Ratna dengan lembut. “Terima kasih, Ratna. Tapi jangan terlalu memujiku. Aku masih belajar menjadi orang yang lebih baik.”
Ratna mengangguk, sementara jemarinya terus bekerja dengan penuh hormat. Udara kamar dipenuhi aroma minyak kelapa dan bunga melati. Sinar matahari pagi menari di permukaan air yang berkilau di bejana.
Beberapa saat kemudian, Sri dan Wulan kembali membawa baki berisi pakaian baru berupa selendang sutra hijau zamrud dan kain batik yang bermotif bunga kenanga.
Sekar menatapnya dan tersenyum. “Bagus sekali. Hari ini aku ingin memakai itu.”
“Sendika, Ndoro Putri,” jawab mereka serentak, suaranya penuh semangat.
Ratna membantu Sekar bangkit, lalu menuntunnya ke bejana air. Sekar menurunkan tubuhnya perlahan ke dalam air yang hangat dan beraroma harum. Bunga melati berputar di permukaannya, sementara sinar matahari menyelinap di antara dedaunan luar jendela, membentuk pantulan cahaya yang indah di kulitnya.
Sekar memejamkan mata, membiarkan air melingkupi tubuhnya. Di dalam keheningan itu, ia berjanji pada dirinya sendiri—bahwa mulai hari ini, Dyah Sekarjati akan dikenal bukan karena ketegasan dan keangkuhannya, tetapi karena kelembutan dan kebijaksanaannya.
Ratna memandang dari jarak dekat, tersenyum lirih.
“Ndoro Putri,” katanya lembut, “air dan bunga ini seolah tahu... bahwa hati Diajeng kini sedang mekar.”
Sekar membuka mata, menatapnya dengan senyum penuh makna.
“Mungkin begitu, Ratna. Mungkin memang hatiku sedang mekar... seperti melati di pagi ini.”
Selesai mandi, Sekar berdiri di depan cermin perunggu besar di kamarnya. Butiran air masih menetes di kulitnya yang lembut, sementara aroma melati dari air mandinya masih menempel samar di tubuhnya. Ratna dengan cekatan membantu mengenakan kain jarik bermotif kenanga dan kebaya tipis berwarna hijau lembut. Rambutnya disanggul sederhana, dihiasi tusuk konde dari emas berukir halus.
“Ndoro Putri... cantik sekali,” ucap Ratna hampir berbisik. Kedua dayang lain, Sri dan Wulan, mengangguk bersamaan dengan mata berbinar.
Sekar tersenyum kecil, “Kalian ini berlebihan. Aku sama saja seperti kemarin.”
“Tidak, Ndoro,” jawab Ratna cepat, “Ndoro Putri hari ini jauh lebih ayu dari biasanya. Entah kenapa... senyuman Diajeng membuat seluruh ruangan jadi lebih terang.”
Sekar hanya terkekeh. “Kalau begitu, semoga hari ini memang hari yang terang untuk semua orang, ya.”
Ia melangkah keluar kamar dengan langkah ringan. Para abdi dalem yang lewat menunduk hormat, namun kali ini ada binar kebingungan di mata mereka. Mereka berbisik pelan, membicarakan perubahan sikap sang putri yang kini tampak lembut dan tenang.
“Ndoro Putri tidak marah-marah hari ini?” bisik salah satu abdi dalem.
“Tidak, malah tersenyum,” jawab yang lain dengan takjub.
“Subhanallah... mungkin Dewi Sri turun memberkati beliau,” tambah yang lain lagi sambil terkikik.
Sekar hanya menahan senyum, pura-pura tak mendengar. Ia berjalan melewati lorong panjang dengan tiang-tiang jati kokoh, lalu menuju taman dalam istana tempat ketiga adiknya sudah menunggunya.
Begitu melihat sosok sang kakak, ketiga gadis itu langsung bangkit.
“Mbakyu!” seru mereka hampir bersamaan.
Ayu atau kini dikenal dengan Dyah Nadindra berlari kecil mendekat dengan wajah cerah. “Akhirnya Mbakyu keluar juga! Kami sudah menunggu lama.”
Sekar tersenyum. “Kalian sudah lama di sini?”
“Lumayan,” sahut Kirana, yang kini bernama Dyah Amaratani, sambil memainkan ujung selendangnya. “Kami penasaran bagaimana rumah singgah yang Mbakyu datangi kemarin. Katanya indah sekali?”
Sekar menatap mereka bertiga sejenak, lalu mengangguk. “Iya, indah... dan anehnya, aku seperti pernah ke sana sebelumnya.”
Ketiganya menatapnya penuh tanya. “Pernah? Maksud Mbakyu?” tanya Nayla atau Dyah Saraswati penasaran.
Sekar menarik napas pelan, duduk di kursi taman batu berlapis anyaman pandan. “Rumah itu... sebenarnya adalah rumah yang di masa depan menjadi villa milik Mas Wiryajaya. Yang dulu pernah kalian temani aku ke sana untuk survei proyek konservasi itu.”
Ketiga adiknya serempak membelalakkan mata.
“Serius, Mbakyu?” seru Ayu.
“Jadi... kita benar-benar ada di masa lampau ini?” lanjut Kirana dengan wajah cemas.
“Berarti kita hidup di masa yang sama dengan leluhur kita sendiri?” Nayla menambahkan dengan nada tak percaya.
Sekar menatap mereka dengan tenang. “Sepertinya begitu. Kita semua tidak tahu bagaimana caranya bisa sampai ke sini, tapi kita harus menerima kenyataan ini dulu. Panik tidak akan mengubah apa pun.”
Ketiganya saling pandang, lalu mengangguk perlahan. “Iya, Mbakyu...”
Belum sempat pembicaraan mereka berlanjut, langkah tegap terdengar dari arah paviliun. Sosok perempuan berbusana adipati dengan kain songket biru tua dan kalung logam berkilau muncul dengan percaya diri.
“Sekar!” panggilnya lantang.
Sekar menoleh dan langsung tersenyum. “Aria.”
Adipati Aria Kusumawardhani melangkah mendekat dengan wajah sedikit tegang namun elegan. “Aku baru dari pendopo. Rupanya tugasku di kerajaan ini lumayan berat. Mulai dari mengatur pasukan, hingga memastikan keamanan wilayah barat.” Ia menghela napas panjang. “Padahal aku bahkan belum benar-benar paham sistem pemerintahan zaman ini.”
Sekar terkekeh pelan, menahan tawa. “Pantas saja di masa modern pun kamu sibuk terus. Rupanya dari dulu memang sudah jadi pekerja keras, ya, Adipati Aria Kusumawardhani.”
Aria memutar bola matanya. “Halah, kamu ini... jangan meledek. Aku ini sedang stres, tahu?”
Sekar menutupi mulutnya sambil tertawa kecil. “Kalau begitu, anggap saja ini pelatihan tambahan dari waktu. Kamu kan suka tantangan, jadi harusnya senang dong.”
Ayu, Kirana, dan Nayla ikut tertawa, membuat suasana taman menjadi hangat.
“Betul juga kata Mbakyu,” ujar Ayu, “kak Aria dari dulu memang ga bisa diam, ya.”
“Cocok banget jadi adipati,” tambah Kirana sambil tertawa geli.
Aria mendengus pura-pura kesal. “Dasar kalian semua...” tapi kemudian ia ikut tertawa juga. “Baiklah, mungkin benar juga. Kalau memang ini dunia baru, ya sudah. Kita jalani dengan kepala tegak.”
Sekar menatap sahabat dan adik-adiknya itu dengan mata lembut. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan di dadanya—perasaan bahwa, di tengah kebingungan mereka terlempar ke masa lalu, mereka tetap punya satu sama lain.
Ia menatap langit biru yang mulai cerah sempurna. “Kalau begitu,” katanya pelan tapi tegas, “kita semua akan menjalani peran kita dengan sebaik mungkin. Aku yakin... ada alasan kenapa kita semua dibawa ke masa ini.”
Keempat perempuan di depannya mengangguk mantap.
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka tiba di dunia yang asing ini, tawa mereka pecah bersama di taman keraton, menyatu dengan semilir angin yang membawa harum melati pagi.