Pagi menjelang. Mengantar hari baru bagi setiap insan. Membuka lembaran baru, untuk setiap sesak disepanjang malam. Menyisihkan duka sebagai kenangan, dan membawa kebahagiaan sebagai harapan.
Sembab masih terlihat jelas pada kedua lingkar mata Chacha. Seperti enggan untuk terbangun dari tidurnya, gadis itu kembali masuk menelusup dibalik selimut tebalnya. Merasakan kehangatan yang begitu erat memeluk tubuhnya.
Rasa sesak masih terasa memenuhi d**a. Juga pening, terasa begitu sangat menusuk kepala. Diraihnya benda berbentuk persegi diatas nakas. Diusapnya layar yang masih terlihat gelap, hingga muncul sebuah gambar. Sepasang kekasih dengan, senyum bahagia dipenghujung senja.
Chacha meringis menatap gambar dirinya bersama sang kekasih hati. Tepatnya mantan kekasih hati sejak malam tadi. Ternyata cita-cita bahagia tak menemui masanya. Buktinya, kisah cinta yang selalu ingin dirajutnya, agar menjadi kisah cinta yang sempurna lenyap bersama guyuran hujan semalam.
Setitik kesalahan yang berhasil meracuni semua rasa manis dihati, hingga berbuah sepahit pare. Dipandanginya terus gambar itu hingga layarnya kembali menghitam, dan kemudian berakhir dalam kegelapan.
Memaksakan diri untuk bangkit dari keterpurukan. Chacha terbangun dan bersiap memulai harinya. Bertempur dengan segala luka. Tidak ingin menjadi pribadi yang lemah hanya karena putus cinta. Ada banyak tawa diluar sana yang menanti kehadirannya.
Chacha bergegas mengguyur tubuhnya dibawah pancuran. Air hangat terasa begitu nikmat, merelaksasi tubuh yang sempat kalap. Aroma sabun yang harum menambah segar isi kepala yang terasa hamburadul.
Sepuluh menit berlalu. Chacha keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk yang melilit tubuh juga rambutnya. Memilih dua helai pakaian dari dalam lemari. Tak ada dress indah, atau pakaian mewah. Hanya seragam batik ala guru, model jahitan simple, juga terkesan sopan. Lengan panjang, dan celana kain berwarna hitam.
Selesai dengan seragam kesayangan. Gadis itu berpindah, duduk didepan meja rias. Tak banyak alat make-up atau mahal harganya disana. Hanya pelembab sederhana, bedak, dan lipstik natural andalannya. Jemarinya begitu lihai meratakan pelembab keseluruh wajah. Menepuk tipis-tipis bedak untuk menutupi kilaunya. Jemarinya kembali beralih pada stik berwarna merah muda kesukaan. Bergerak membentuk garis, mewarnai bibir.
Chacha menatap pantulan wajahnya dalam cermin didepan. Nasip cintanya tak semanis wajahnya. Menarik nafas, dan menghembuskannya perlahan. Membawa senyum dikedua sudut bibirnya. Gadis itu bersiap melangkah. Menuju gerbang tawa bocah-bocah kesayangan. Bocah yang selalu menjadi pengobat kegundahan hati. Tangis haru bahagia selalu didapatkannya disana. Di Taman Kanak-Kanak Kasih Bunda. Rumah kedua baginya.
“Bundaaa...” sapa Bocah-bocah itu berseru riang. Menyambut kehadiran sang Bunda kesayangan.
“Iya.. Selamat pagi,” ucapnya, balas menyapa. Menebar senyum bahagia untuk mereka yang peduli dengan keberadaannya.
Dari balik pintu di ruang guru. Bisik-bisik tetangga terdengar begitu menusuk telinga. Yang membuat Chacha seketika menghentikan langkah kakinya.
“Bunda-bunda tau nggak, kabar terbaru hari ini apa?” celoteh Nita. Salah satu guru, juga rekan kerja Chacha.
“Apa?” Tanya Yuni. Kepala sekolah, dan juga Wendi. Rekan kerja Chacha, berseru bersama.
Wanita yang selalu tampil seksi itu sengaja melempar lirikan mencemooh kepada Chacha yang saat itu berdiri di ambang pintu. “Kasihan banget lhoh Bun. Bunda Chacha, harus terima kenyataan. Pacarnya direbut sama sahabatnya sendiri.” Tegasnya.
Deg.
Dahi Chacha seketika mengkerut. Membentuk garis-garis lipatan disana. Dadanya berdetak silih berganti, berburu nafas yang seakan-akan ingin lari.
Apa maksudnya? Tanya Chacha dalam hati. Kedua matanya bergerak-gerak gelisah. Pun juga tubuh yang mulai memanas. Memasang telinga, untuk kejutan selanjutnya.
“Tuh.. Lihat.” Tunjuk Nita pada jendela kaca berukuran besar.
Pandangan Chacha turut mengikuti jari telunjuk Nita. Dari balik jendela terlihat jelas. Dua insan manusia yang saling menebar senyum bahagia. Membelai lembut, pipi mulus sang gadis penuh kasih, begitu mesra.
Segera Chacha membuang pandangannya kelain arah. Asalkan tak sampai melihat pada pasangan tersebut. Dadanya kian bergemuruh, mendobrak jantungnya dari dalam. Gadis itu menarik nafas panjang, meraup gas oksigen yang seakan kian menjauh.
Baru semalam, Chacha bersama cowok itu memutuskan hubungan. Pagi itu, sudah terbit kebahagiaan bersama gadis lain dan tak bukan adalah sahabatnya sendiri. Sebenarnya apa yang tengah terjadi? Apakah tuduhan Haikal hanya sebagai alasan. Untuk menghakimi kesalahan yang sekalipun tak pernah diperbuat oleh Chacha. Kenapa mereka bersama, sedekat itu?
Apa yang tengah mereka lakukan?
Pertanyaan itu yang melintas pertama kali dibenak Chacha. Meski sempat kedua telinganya mendengar kabar burung yang mengatakan, sahabat baiknya telah merebut kekasih, oh bukan tepatnya mantan kekasih. Chacha tidak percaya, sebelum mendengar sendiri langsung dari tokoh yang tengah diperhatikan Bunda-bunda lainnya.
Gadis bernama Risa, yang sudah dianggap seperti saudara perempuan. Ketika jauh dari keluarga, hanya kepada Risa, Chacha mengeluhkan segala nasipnya. Termasuk hubungannya dengan Haikal. Cowok yang saat itu mengusap lembut rambut sebahu Risa.
Tak kuat lagi menyaksikan pemandangan yang membuat batinnya kian menjerit tak karuan, Chacha memilih menghindar. Sebelum naluri liarnya keluar. Mencabik-cabik siapapun yang ada di dekatnya. Dan menjadi pusat perhatian seluruh warga seantero jagat. Seperti dalam video-video yang sering tersebar luas didunia maya.
Masuk kedalam ruang kelas A2. Duduk diam disana, dan menikmati segala lara yang kembali mendera.
Melihat bundanya sudah mengisi ruangan. Secara otomatis, Bocah-bocah lucu, dan mungil itu mengikuti Chacha. Duduk di bangku masing-masing menungu perintah. Yaah.. Meskipun masih ada satu dua Bocah yang terlihat berkeliaran diluar, atau asik bermain didalam kelas. Tak apa. Namanya juga anak-anak. Semuanya butuh proses untuk menjadi mengerti.
Bukankah seperti itu yang namanya kehidupan. Terus berkembang. Jangan hanya karena hal sepele, sampai bisa meruntuhkan harga diri.
Melihat semangat anak-anak yang kini tersenyum menantikan lagu atau perintah mewarna dari Chacha. Gadis itu segera memulai mengajar, tanpa menunggu rekan-rekannya.
“Selamat pagi Anak-anak,” sapa Chacha. Gadis itu sudah berdiri, dengan senyum penuh semangat di wajahnya.
“Selamat pagi Bunda,” teriak bocah-bocah itu tak kalah semangat.
“Apa kabarmu hari ini?” ucap Chacha lagi.
“Baik Bun...” jawab mereka serempak.
Satu, dua, dan tiga. Gadis manis itu mulai bernyanyi bersama bocah-bocah itu. Menyisihkan rasa penuh sesak, dan berusaha mengantinya dengan senyuman penuh nikmat. Bersama anak-anak melupakan seluruh luka yang sempat hinggap. Bersama dengan anak-anak pula, mengganti haluan energi negatif, mengubahnya hanya menjadi positif. Menuruti emosi sesaat bisa menghancurkan segalanya. Dan, itulah yang tengah dirasakan Chacha. Menuruti egonya, dan berhasil menghancurkan hatinya.
Dipaksakan bibirnya untuk tetap menebar senyum. Meski dalam hati tengah menangis meraung-raung. Membiasakan diri berdiri tegak, meski hati merasa tak layak. Berpacu dengan suara, dan tawa bahagia Anak-anak. Meski jiwa tengah menderita. Menyaksikan dengan mata kepala, bagaimana pujaan hati melempar luka. Meski dia bukan lagi miliknya. Namun, hati tetap padanya. Pun rindu tetap untuknya.
Memendam seluruh cinta, yang bukan lagi miliknya. Merajut kembali asa, untuk berjalan melewati masa depannya.
Salam cinta dari seorang gadis bernama Ananda Oktavia. Yang hanya bisa mencintai seorang Haikal Dirgantara dalam keterdiamannya.