Siang itu, Haikal tengah berpacu dengan kecepatan diatas aspal. Menyalip beberapa mobil sekaligus di depannya. Setengah jam lagi. Liana, sang keponakan tersayang. Akan keluar dari kelas. Terlambat sedikit, gaji bulanan tak sampai pada kantongnya.
Oh iya, sedikit kisah tentang Haikal. Bernama lengkap Haikal Dirgantara. Berusia dua puluh empat tahun. Anak bungsu dari dua bersaudara. Putra dari keluarga Dirgantara, yang dikenal kaya dan sikap ramah juga kedermawannya. Salah satu pemilik perusahaan properti terkenal disurabaya.
Setelah Lulus kuliah, alih-alih mendapatkan gelar juga pekerjaan yang nyaman di perusahaan ayahnya. Haikal diberikan tugas yang lebih mulia, dari sekedar seorang karyawan. Yaitu, menjadi supir pribadi untuk Liana Dirgatara. Cucu pertama keluarga Dirgantara, anak dari kakak kandung Haikal.
Dengan tujuan yang baik. Yaitu, mengajarkan pada cowok itu, bagaimana seseorang harus bekerja keras untuk menghasilkan rupiah. Agar, jika suatu hari nanti tugas yang sesungguhnya sudah sampai di telapak tangannya. Cowok itu tidak akan bersikap sembrono dalam mengelola tanggung jawab yang sudah dibebankan untuknya.
***
Tepat pada waktunya, motor ninja berwarna merah yang dikendarai oleh Haikal berhenti tepat didepan gerbang Taman Kanak-Kanak Kasih Bunda. Pandangan cowok itu mengedar mencari keberadaan Liana. Seharusnya dijam segitu, bocah itu sudah berdiri dengan senyum lucu dan menggemaskan, menanti kedatangan Haikal menjemputnya. Siang itu, entah kemana perginya Liana. Bocah itu tidak ada didepan pintu gerbang sekolah. Tempat itu semakin sepi. Perasaan khawatir seketika datang menyelimuti hati. Menghela nafas panjang. Haikal turun dari motor besarnya, masuk kedalam bangunan tersebut, untuk mencari Liana tersayang. Sayup-sayup terdengar keributan di sudut sebuah ruangan.
“Pokoknya Liana tidak mau pulang!!” Suara Liana terdengar menggema hingga sampai keluar ruangan. Dan dengan mudah Haikal mengikuti sumber suara tersebut untuk menemukan keberadaan keponakannya.
“Liana!” panggil Haikal. Disana, disudut pojok ruang kelas A2. Liana duduk meringkuh menyembunyikan dirinya. Bocah itu terlihat begitu ketakutan, entah apa yang tengah ditakuti oleh Liana. Tidak ada yang tahu. Tiba-tiba saja bocah itu menjerit, tak ingin pulang. Pandangan Haikal mengedar, menatap satu per satu wajah tegang yang tengah berusaha membujuk Liana. Dahinya berkerut. Tak menemukan wajah manis, yang selalu mengisi harinya.
Haikal berjalan mendekat, berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi badan Liana. “Kamu kenapa sih?” Tanya Haikal. Mengusap lembut pipi mulus nun chuby menggemaskan Liana.
“Liana tidak mau pulang.” Serunya.
Haikal menaikkan sebelah alisnya, kemudian berkata. “Jadi, kamu mau menginap disini?” Tanya Haikal dengan nada sedikit menggoda. Liana semakin merengut, terlihat jelas bibirnya maju hingga beberapa senti. Kedua bola matanya kembali berkaca-kaca. Kedua sudut bibirnya kian menurun. Seiring dengan tetesan air mata yang tak dapat lagi dibendung.
“Whaaa … .” Tangis liana semakin menjadi, meraung-raung memekik telinga.
“Mas Haikal,” sapa Yuni selaku kepala sekolah disana. “Coba deh, Mas Haikal hubungi Chacha, biasanya cuma Chacha yang bisa nenangin Liana.” Ujar Yuni menjelaskan.
Haikal kembali berdiri tegak, menoleh pada Yuni dan berkata. “Memangnya Chacha hari ini tidak masuk bu?”
Dengan wajah penuh kekhawatiran, khas ibu-ibu, sang kepala sekolah itu menjawab. “Masuk.” Katanya lagi. “Cuma, dia ijin pulang cepat. Tidak tau kenapa.” Jelasnya.
Dongkol hati Haikal. Rasa kesal masih mengusiknya. Membuatnya sekalipun enggan untuk menelpon gadis itu. Cowok itu kembali jongkok didepan Liana. Mata elangnya menatap tajam manik mata Liana. “Kalau kamu mau bersikap baik, Om akan antar kamu kerumah Bunda Chacha. Kalau kamu masih nakal, Om biarin saja kamu bermalam sendiri disini.” Tukasnya. Tanpa aba-aba, bocah perempuan itu langsung berdiri. Tangisnya pun berhenti. Ternyata menggunakan nama Chacha sangat ampuh meluluhkan kenakalan Liana. Tak habis pikir, apa yang sebenarnya diberikan oleh Chacha hingga keponakan Haikal begitu lengket, tak mau pisah darinya. Pun semua orang yang ada disana menggeleng heran. Semudah itu ternyata menenangkan Liana. Bisa dicoba, jika suatu waktu bocah itu kembali merajuk. Dan membuat pusing semua kepala.
Dan untuk memenuhi janji Haikal pada Liana. Terpaksa Risa yang harus mengalah. Haikal telah memesan sebuah taksi, untuk mengantar gadis itu pulang. Sedang dirinya harus menuruti keinginan Liana. Menemui sang mantan. Dua kendaraan itu berjalan kesisi yang berbeda. Meninggalkan pelataran sekolah yang sudah sepi tak berpenghuni. Pun pintu gerbangnya sudah terkunci.
Beberapa menit kemudian, motor Haikal kembali berhenti didepan sebuah rumah bergaya minimalis. Rumah itu terkunci rapat dari dalam. Liana kembali merengek, rasa rindu terhadap sang guru, tak dapat dibendung lagi. “Om.. Liana mau masuk.” Celotehnya. Tangan mungilnya bergerak, menggoyang-goyangkan lengan Haikal.
Haikal menoleh, mengharap pengertian Liana. “Sebentar ya Liana.” Bujuknya. Cowok itu menghembuskan nafas panjang. Jemarinya mulai terkumpul untuk mengetuk.
“Tok tok tok!?” Tak ada sahutan dari dalam sana. Haikal kembali mengetuk.
“Tok tok tok.” Masih tak ada hasil. Haikal menaikkan kedua tangannya kepinggang. Kesal. Juga lelah. Terlebih rengekan Liana tak dapat dinegosiasikan lagi.
“Pokoknya, aku mau ketemu Bunda.” Teriaknya.
“Iya, tunggu sebentar Liana.” Terang Haikal. Cowok itu menatap lekat pintu di depannya menerawang jauh, mencari pemilik rumah. Tangannya kembali terangkat. Kali ini dengan menggunakan sedikit tenaga, Haikal kembali mengetuk pintu tersebut. Sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras didalam sana.
“TOK TOK TOK!!!”
***
“Tok tok tok.”
Suara ketukan itu, cukup membuat tidur Chacha sedikit terusik. Gadis itu, sampai menutup telinganya rapat. Kepalanya kembali pusing, setelah merasa tenang untuk sesaat. Tak tahan lagi mendengar ketukan yang semakin keras. Chacha memaksa tubuhnya untuk berdiri dari posisi berbaringnya.
“Bbssrrtt.” Gadis itu bergidik. Merasakan dinginnya lantai. Chacha menguatkan tubuhnya untuk melangkah. Hari itu tubuhnya benar-benar merasa lemah. Entah karena diguyur hujan semalam, atau karena memang dia belum makan seharian. Chacha membuka pintu rumahnya. “Iya siapa?” lirihnya, sambil mengusap ujung hidungnya yang mulai berair.
“Bunda..” teriak Liana berseru riang. Menghamburkan diri memeluk sang Bunda tersayang. “Bunda tadi kemana?” Tanya bocah itu lagi. Bocah itu menengadah menatap wajah Chacha penuh rindu.
Mengusap lembut rambut bergelombang Liana. Memaksa diri untuk tetap terlihat bahagia. Memaksa bibir untuk tersenyum. Menahan pening yang semakin memukul. “Bunda tadi ada urusan. Jadi, Bunda pulang duluan.” Ucap Chacha menjelaskan. Jika Liana, begitu mudah untuk dibohongi. Tidak dengan Haikal. Pria itu menatap wajah Chacha dengan pandangan menyelidik. Dari ujung kaki hingga ujung kepala, cowok itu memperhatikan gerak-gerik mencurigakan Chacha.
“Yakin? Kamu ada urusan?” sindir Haikal.
Chacha mengusap hidungnya yang terasa gatal. Mengangguk pelan. Tanpa menatap mata Haikal, membenarkan. “Iya.”
Kebiasan lama yang sudah dihafal dengan sangat oleh Haikal diluar kepala. “Kamu bohong!?” serunya tak percaya.
Chacha menggelengkan kepala. “Tidak.” Jawabnya singkat.
“Kamu pikir, aku tidak tau. Aku sudah hafal betul dengan sikap yang kamu tunjukkan ketika berbohong. Kamu pasti mengusap hidung, juga tidak berani menatap mata, lawan bicara kamu. Pinokio” Tutur Haikal.
Seketika Chacha menengadahkan kepalanya. Menatap mata elang di depannya. “Urusan sekecil ini saja, kamu melihatnya dengan begitu teliti. Kenapa? Untuk urusan hati, kamu sama sekali enggan untuk peduli.” Protesnya, mengingatkan kembali pada peristiwa dimalam perpisahan.