“Apa maksudmu aku tidak peduli?” seru Haikal. Cowok itu mulai naik pitam.
Chacha tersenyum sinis. Kedua tangannya terlipat didepan d**a. Sekilas terlihat membuang muka. Kemudian, kembali membalas tatapan elang di depannya. “Sekarang aku tau, alasan kamu mutusin aku.”
“Tentu saja. Dan semua orang juga sudah tau.” Kata Haikal mantap, penuh percaya diri. Kedua matanya tak lepas dari manik mata Chacha. Pun sebaliknya, gadis itu juga melakukan hal yang sama. Melempar tatapan penuh amarah didalamnya.
“Ternyata benar.” Lirihnya. “Kenapa baru mengaku sekarang? Dan, menjadikanku sebagai kambing hitam.” balas Chacha, berapi-api.
Haikal menggeleng. “Apa maksudmu, menjadikanmu kambing hitam?” tanyanya tidak mengerti. Haikal tak menyangka arah pembicaraannya dengan Chacha, ternyata berada dijalur yang berbeda.
“Hubunganmu dengan Mbak Risa.” jawab Chacha telak. “Jadi? Sudah berapa lama, kamu menyembunyikan hubungan kalian?” Tanya Chacha, sengaja membalikkan tuduhan yang sempat diberikan oleh Haikal untuknya.
“Aku tidak menyembunyikan apapun.” Ucapnya berseru. “Jika, kamu ingin tahu. Aku, memulai hubunganku dengan Risa sejak tadi malam. Diwaktu, setelah kita memutuskan hubungan.” Ungkapnya menjelaskan.
Mendengar pengakuan Haikal, d**a Chacha bagai diremas-remas seketika. Rasa perih itu kembali hadir. Menyayat, menggoreskan kembali luka diatas luka yang masih mengganga. Bibirnya terkatup rapat. Pun kedua mata bening yang mulai berkaca-kaca. Membendung semua cairan, sehingga menghalangi pandangan. Wajah tampan itu mulai membaur, tak jelas terlihat bentuk aslinya.
Tes.
Setetes butiran bening berhasil menjatuhkan diri dari kelopak mata Chacha, membuat pandangannya kembali jelas.
Tes.
Butiran kedua kembali luruh, membersihkan genangan air yang menumpuk penuh. Tetesan ketiga, keempat, dan seterusnya. Tak terhitung lagi jumlahnya. Karena, tetesan itu telah berubah menjadi guyuran air mata.
Dari sudut Liana memandang, bocah itu sama sekali tidak mengerti. Ia hanya bergantian memandang penuh ketakutan, pada orang dewasa didepannya. Bunda tersayangnya, kemudian kembali pada Om terbaiknya. Tangan mungilnya terulur meraih tangan Chacha, dan juga Haikal bersama. Mengenggamnya dimasing-masing jemarinya. “Bunda.. Om.. Sudah...” lirinya, bermaksud melerai. Meski tidak mengerti, bocah itu tau, jika air mata berarti ada kesedihan yang dirasa. Tersadar akan adanya seseorang yang tak dipedulikan olehnya, segera Chacha mengusap sisa air yang masih saja berjatuhan membasahi pipinya.
Kembali menatap Liana dengan menunjukkan senyum termanisnya. Dan, menekan dengan sangat rasa yang ingin meledak dari hatinya. Gadis itu duduk berlutut, menyamakan tinggi tubuhnya dengan tinggi badan Liana. “Oh iya, tadi Liana kesini mau nyari Bunda ‘kan? Liana mau bermain sama bunda?” ucapnya, mengubah topik permasalahan yang tengah melanda hatinya. Mencari penghibur untuk hatinya yang tengah lara.
Liana sedikit ragu. Bocah itu melempar lirikan pada Haikal, penuh permohonan. “Om...” lirih bocah itu, kemudian beralih pada Chacha. “Bunda...” gumamnya. Tangan mungilnya berpindah mengusap jejak basah dikedua sudut mata Chacha. Bibir mungilnya berucap. “Maafin Om Ikal ya Bun. Om Ikal pasti udah jahatin Bunda, sampai Bunda nangis.”
Entahlah perasaan apa lagi yang hinggap, dan memukul hingga kedalam tangkai jantung hati Chacha. Permohonan maaf Liana. Bocah yang baru berusia enam tahun itu saja tau bagaimana caranya mengenali kesalahan dan meminta maaf. Kenapa orang sebesar Haikal sedikit pun tidak mengerti bagaimana caranya menghargai perasaan.
Berpacaran dengan sahabat baik Chacha. Diwaktu, setelah memutuskan hubungan dengan Chacha. Apakah Haikal bermaksud balas dendam? Membalas perbuatan yang sungguh tak pernah dilakukan oleh Chacha. Atau mungkin, sengaja menuduh Chacha berselingkuh dengan teman lamanya, agar Haikal bisa segera lepas, dan bisa memulai hubungannya dengan Risa. Oh… sungguh bukankah itu perbuatan yang sangat terencana.
Chacha tak bisa lagi membendung air matanya. Ternyata seperti itu rasanya kecewa. Sakit hati yang hanya bisa dirasakan melalui novel cerita romansa yang pernah dibaca, kini sungguh benar dirasakannya. Begitu menyesakkan d**a. Dan, mungkin itulah alasan kenapa setiap orang lebih memilih sakit gigi saja. Air mata gadis itu tak juga berhenti mengalir. Setidaknya dengan begitu bisa sedikit mengurangi rasa penuh yang menumpuk didalam dadanya.
Chacha mengurai pelukannya bersama Liana. Mencium dalam puncak kepala Liana. Kemudian berbisik di telinga bocah itu. “Terima kasih.” Sedang, Haikal hanya terdiam membeku di tempatnya. Disatu sisi hatinya terasa perih mendengar isakan tangis Chacha. Disisi lain, akal sehatnya masih tidak terima dengan penghianatan yang dilakukan Chacha. Perasaannya seperti terombang ambing di lautan lepas tanpa nahkoda.
Tak ingin larut dalam kesedihan yang diciptakan oleh Chachca. Diraihnya tangan mungil Liana, kemudian berkata. “Bisa kita pulang sekarang Liana. Om bosan nonton ratu drama.” Selepas kepergian Haikal dan juga Liana. Chacha kembali terisak didalam kamarnya. Menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan seluruh rasa yang begitu menyiksa batinnya. Entah berapa lama, hingga pada akhirnya kedua matanya terasa berat, dan kemudian terlelap dalam tidurnya.
***
Keesokan harinya. Chacha bersikap seperti biasa. Menekan seluruh rasa yang datang menyiksa batinnya. Mengesampingkan rasa ego demi menunjukkan sikap profesionalisme dalam bekerja. Kembali mengajar menjadi satu team bersama Risa. Memberi pendidikan, pun juga contoh yang baik untuk anak didiknya kelak. Membedakan urusan hati dengan urusan duniawi. Seolah tak terjadi apa-apa diantara mereka, bekerja sama dengan baik, hingga akhirnya waktu kembali mengakhiri.
Chacha menutup serangkaian mengajarnya hari itu dengan do’a. Do’a yang juga dalam hati ia panjatkan untuknya.
Tuhan… Jadikan aku manusi tegar, yang bisa menghadapi segala rintangan. Jadikan aku wanita yang sabar, yang mampu melalui segala cobaan. Tunjukkan jalan, yang memang terbaik untukku. Dan, berikan aku berkah hidup, juga keikhlasan.
Dan, do’a gadis itu diamini oleh seluruh anak-anak. “Amiin….”
Satu-persatu, bocah-bocah itu mulai keluar meningalkan ruangan. Meninggalkan dua gadis dewasa disana, dalam keheningan. Saling berjauhan. Pun, bibirnya saling terkunci rapat untuk sekedar menyapa.
Krek.. krek..
Suara gesekan antara lantai dan kursi kayu yang mereka rapikan, menjadi pertanda jika diruangan itu masih ada manusia. Rasanya begitu canggung, dan terasa amat mencekam. Seolah ada tangan raksasa besar, dengan kuku tajam, juga taring yang panjang, tengah mengawasi mereka. Siap merobek mulut siapapun yang berani bersuara.
Dari balik jendela terlihat jelas, sang mantan tengah berdiri didepan gerbang. Melambaikan tangan, yang bukan lagi untuknya. Tentu saja, lambaian itu sekarang ditujukan untuk Risa, sahabatnya. Tangan Chacha meremas kuat ganggang sapu yang dipegangnya. Seolah sedang meremas wajah Haikal dengan senyum smirk yang sedang menatapnya. Apa maksudnya? Ingin memanasiku? Jangan harap aku akan cemburu? Gerutunya dalam hati. Menghela nafas panjang. Mengendalikan rasa bergejolak yang ingin sekali melahap Haikal dalam satu kali suapan besar. Mengunyah seluruh tulang belulangnya, hingga hancur tak bersisa, setelah itu membuangnya bersama kotoran.
Kembali pada tugas yang menurutnya lebih penting dari pada meladeni perasaan. Bertahan sekuat hati, menahan air yang mulai menumpuk dipelupuk mata. Terlalu larut dengan perasaannya sendiri, sampai tak menyadari, Risa sudah tak berada di sampinya lagi. Entah sejak kapan gadis itu berpindah didepan sana. Bergelayut manja dilengan kekar Haikal. Chacha semakin geram merasakannya.
“Ck.” Gadis itu berdecak kesal. Sungguh apa yang dilihat membuat perutnya terasa mual. Dan ingin segera mengeluarkan semua yang telah dimakan.
Aarrgghhtt…
Chacha meraung dalam hati. Menumpahkan seluruh emosi yang datang menghampiri. Memburu nafas yang mendadak terasa seperti teracuni. Mengendalikan jiwa yang seakan-akan ingin melukai. “Sebegini amat rasanya patah hati. Hiks.” Ucapnya miris. Mengenang nasip cintanya yang berakhir tragis. Mengenaskan. Sayangnya, tak sampai tersebar dalam Koran, itu saja.
***
Siang itu, Chacha berjalan disepanjang trotoar. Cuaca begitu terik. Panas begitu terasa menusuk kulit. Untuk sekedar menatap jalanan didepannya, Chacha harus menyipitkan kedua matanya. Angkot Pak Udin tak kunjung datang. Ojek pun berada cukup jauh, disisi yang berbeda di ujung jalan sana. Dan untuk bisa sampai kerumah. Gadis itu memilih berjalan kaki. Mengalihkan perasaan, berharap bisa mendapatkan hiburan yang dilaluinya disepanjang jalan.
Tes.
Ditengah teriknya matahari, terasa peluh menetes disekitar pelipisnya. Tenggorokannya mulai terasa kering. Pun dengan kepala yang semakin terasa pusing. Mengingat, belum ada sebutir pun nasi yang masuk kedalam perutnya, sehingga terdengar begitu jelas bunyi gemuruh yang bersumber dari dalam sana.
Kruuuk..
Tubuh Chacha terasa begitu lemas. Kedua kakinya tak sanggup lagi untuk berjalan. Entah sudah berapa jauh ia melangkah, hingga tungkai kakinya mengeluarkan darah. d**a Chacha terasa begitu sesak. Dan apapun yang dilihatnya terasa berputar-putar. Tubuhnya terasa semakin ringan. Seiring dengan pandangan yang semakin menghitam. Gadis itu tak bisa lagi merasakan tubuhnya. Jiwanya seperti terjatuh kedalam jurang gelap tanpa dasar.
“Ya ALLAH. Toloong … Ada orang pingsan!?”
Sayup-sayup, Chacha masih bisa mendengar meskipun dalam kegelapan. Juga, bisa merasakan kepanikan, kebingungan, pun juga kecemasan di sekitarnya. Bau menyengat juga tercium oleh hidungnya, entah siapa yang memberinya. Sampai, terasa seseorang mengangkat tubuhnya, membawanya pergi entah kemana. Kegelapan tak mengijinkannya untuk membuka mata. Kegelapan semakin berkuasa merenggut semua kesadarannya.