Dr. Rayyan

1319 Kata
“Ini dimana?” lirih Chacha. Gadis itu berlari kesana kemari mencari jalan keluar. Entah dimana ia berada saat itu. Semuanya begitu gelap, tak ada apapun. Pun juga tak ada ujung. Chacha semakin bingung dengan gema yang memantul, memenuhi gendang telinganya. Rasa takut hadir menyelimuti hati dan juga pikirannya. Air matanya kembali berderai membasahi pipi. Mengguncang tubuhnya hingga bergetar hebat. Digigitnya dengan kuat bibir bawah, menahan isakan agar tidak berubah menjadi jeritan. Chacha tak tau, kemana lagi harus pergi. Kedua kakinya begitu lelah untuk melangkah lagi. Gadis itu terduduk, meringkuh, dan memeluk tubuhnya erat. Menenggelamkan wajahnya, mengusir prasangka buruk yang menghantui pikiran. “Aku belum mau mati.” Lirihnya disela-sela isakannya. Cha.. Chacha… Gadis itu segera mengangkat wajahnya. Mendengar suara seseorang memanggil namanya. Tersenyum senang, merasa tak sendirian. Ia segera berdiri, dan mencoba berlari. Mengejar suara, yang entah dari mana asalnya. “Siapapun itu, tolong...” teriaknya. Chacha. Suara itu kembali terdengar, semakin dekat. Senang yang tiada terkira. Chacha mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari kencang, mengejar suara tersebut. Didepan sana, terlihat cahaya yang begitu temaram. Chacha tersenyum senang. “Itu pasti jalan keluarnya.” Ucapnya. Entah salah penglihatannya atau apa, cahaya itu, terlihat bergerak dan semakin mendekat. Seketika Chacha menghentikan langkah kakinya. Kedua matanya menyipit, menatap cahaya yang semakin terlihat terang dan menyilaukan mata. Hingga cahaya itu melewati tubuhnya, sehingga ia lenyap didalamnya. *** Kali pertama yang dilihat oleh penglihatan Chacha adalah, cahaya yang amat menyilaukan mata. Gadis itu sampai harus menyipitkan kedua matanya, untuk menghindari cahaya tersebut. “Baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Suara berat seseorang, yang kemudian meyapa indera pendengarannya. Selanjutnya bau menyengat khas rumah sakit tercium oleh indera penciumannya. Melewati sel-sel syaraf, hingga kemudian sampai di pusat kepala. Membuat otaknya seketika kembali bekerja. Aku ada dimana? Ucapnya dalam hati. Tubuhnya masih terasa begitu lemah, dan tak bertenaga. Untuk menggerakkan jemarinya pun terasa begitu susah. Kelopak matanya terasa begitu berat untuk dibuka. Tak berdaya. Apa aku benar-benar sudah berada di akhirat? Setetes cairan bening terlihat keluar dari sudut matanya. Dan, kemudian terasa tangan seseorang yang begitu lembut, mengusap jejak basah dikulit wajahnya. Chacha kembali mencoba membuka kelopak matanya. Tak menyerah begitu saja. Mengenyahkan seluruh prasangka buruk dari benaknya. Berharap, nyawa masih bersama raga. Setelah berusaha keras, akhirnya Chacha berhasil membuka kelopak matanya. Dan sesuatu berwarna putih, yang terlihat pertama oleh indera penglihatannya. Disusul kemudian suara berat itu kembali menyapa indera pendengarannya. “Apa yang anda rasakan saat ini nona?” Tanya seseorang padanya. Chacha masih bingung dengan keadaan asing disekitarnya. Sesuatu berwarna biru langit terasa berputar-putar di kepalanya. Membuatnya kembali menutup kelopak matanya. Cukup lama. Sesuatu yang dingin kemudian terasa menyentuh kulitnya. Berpindah-pindah dari sisi yang satu kesisi yang lainnya. Setelah kesadaran kembali pulih sepenuhnya. Chacha kembali membuka matanya. Kali ini wajah tampan, dengan kaca mata bulat terlihat memperhatikan dirinya. Setelah itu, netra hitamnya mengedar mengamati sekitar. ‘Dr. Rayyan.’ Kali kedua, yang ditangkap oleh netra hitam Chacha, tanda pengenal yang tertempel dijas putih cowok berkaca mata itu. Setelah itu wajah cantik seorang perempuan tersenyum kepadanya yang berdiri dibelakang seorang cowok dengan tanda pengenal Dr. Rayyan di dadanya. “Apa yang anda rasakan?” Tanya pria berwajah tampan itu lagi. “A..I..R.” ucap Chacha lirih, hampir tak terdengar. Namun, bisa dimengerti dengan jelas oleh cowok dengan tanda pengenal Dr. Rayyan yang tertempel di dadanya, dari pergerakan bibir Chacha. Cowok itu meminta bantuan pada gadis yang berdiri di belakangnya. “Suster Desi, bisa tolong ambilkan air putih.” Pintanya. “Bisa Dokter.” Jawab gadis yang dipanggil dengan sebutan Suster Desi. Gadis itu mengenakan pakaian serba putih. Dan, topi kecil khas, yang biasa dipakai oleh perawat diatas kepalanya. Chacha mengedipkan lagi kelopak matanya yang masih terasa pedih. Netra hitamnya menatap kosong tirai berwarna biru, yang sempat membuat kepalanya pusing. “Ada yang kamu butuhkan lagi nona.” Tanya pria itu. Dan dijawab gelengan kepala oleh Chacha. Beberapa menit kemudian. Suster Desi kembali dengan sebotol air mineral ditangannya. “Ini Dokter.” Katanya sambil menyerahkan botol tersebut pada Cowok bernama Dr. Rayyan. Karena tubuh Chacha masih begitu lemah. Dr. Rayyan, membantu Chacha bangkit dari posisi berbaringnya. Membantu gadis tersebut untuk bisa meneguk air yang dimintanya. Glek glek glek. Untuk pertama kalinya Chacha sungguh merasa air putih adalah sesuatu yang paling nikmat didunia ini. Cairan itu seperti aliran sungai yang mengalir disepanjang sel-sel syaraf tubuhnya. Memberi kesegaran pada otot-otot yang sempat layu. Menghidupkan kembali raga yang seperti hampir mati. Gadis itu menghirup dalam udara disekitarnya. Setelah itu melepasnya perlahan bersama beban yang tertanam dalam jiwanya. Selesai membantu Chacha meneguk habis air minuman tersebut. Dr. Rayyan terlihat melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya. “Baiklah, saya tinggal dulu. Karena masih ada pasien lain yang menunggu. Semoga lekas sembuh.” Ucapnya berpamitan, dan dijawab anggukan kepala juga isyarat kedipan mata oleh Chacha. Setelah itu cowok berkaca mata bulat tersebut, berjalan keluar dan menghilang dari balik tirai. “Untuk sementara waktu, kamu harus dirawat di rumah sakit ini dulu, sampai kondisi kamu benar-benar dinyatakan pulih kembali oleh Dokter.” Kata Suster Desi ramah, sambil mempersiapkan perpindahan Chacha keruang perawatan. Dimenit selanjutnya, tampak terlihat seorang perawat pria menghampiri, dengan mendorong sebuah kursi roda mendekati Chacha. Dibantu oleh kedua perawat tersebut, akhirnya Chacha bisa mendaratkan b****g dengan aman diatas kursi roda tersebut. Dua perawat itu membawa Chaca keluar dari ruang Unit Gawat Darurat, dan berjalan melewati sebuah lorong, kemudian masuk kedalam lift yang berada diujung lorong tersebut. Berjalan dua angka, hingga pada akhirnya berhenti diangka tiga. Tiing… Bunyi suara itu terdengar menggema memenuhi lorong, bersamaan dengan terbukanya pintu lift tersebut.Perawat pria itu kemudian, kembali mendorong kursi roda yang ditempati oleh Chacha kembali melewati lorong yang tampak sama dari sebelumnya, setelah itu berhenti didepan sebuah ruangan bertuliskan ‘TERATAI’ pada bagian atas pintunya. Dua perawat tersebut membawa Chacha masuk kedalam ruangan tersebut. Selesai membantu Chacha berbaring diatas sebuah tempat tidur. Perawat pria itu pun keluar terlebih dahulu dengan membawa kursi roda itu kembali, meninggalkan dua orang perempuan didalam sana. Suster Desi terlihat sibuk menganntungkan cairan infus pada tiang penyangga dan kemudian mengatur ulang alat pengatur aliran infus tersebut. Ditengah keheningan, Chacha kembali teringat sesuatu yang membuatnya harus menanyakan hal tersebut pada suster Desi. “Oh iya suster, kalau boleh tau, saya kenapa ya? Dan siapa yang membawa saya kesini?” Tanya gadis tersebut. Suster Desi itu pun tersenyum ramah pada Chacha. “Kamu tidak apa-apa, hanya kekurangan nutrisi, dan ditemukan oleh warga pingsan dipinggir jalan.” Jawab Suster Desi. Yang mana jawaban tersebut membuat kening gadis tersebut tampak berkerut. Jadi aku jatuh pingsan bukan Mas Haikal yang membawaku kemari? Pikirnya dalam hati. Mengingat sebuah suara yang terdengar begitu familiar ditelinga Chacha, sebelum pada akhirnya kegelapan merenggut sepenuhnya kesadarannya. Biar saya saja yang membawanya kerumah sakit. Gadis itu tampak berpikir keras. Mengingat suara tak asing yang terus saja menggema memenuhi gendang telinganya. “Ada yang ingin kamu butuhkan lagi?” Tanya Suster Desi, sontak membuyarkan Chacha dari lamunannya. Chacha menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak ada sus.” Jawab Chacha singkat. “Ya sudah, kalau begitu saya permisi. Silahkan beristirahat. Dan semoga lekas sembuh.” Ucap Suster Desi. Chacha membalas keramahan Suster Desi dengan senyum termanisnya. “Terima kasih Suster.” Ungkapnya tulus. “Sama-sama.” Jawab Suster Desi ramah. Kalimat itu mengakhiri obrolan kedua gadis tersebut. Setelah Suster Desi keluar, tinggallah Chacha seorang diri dengan berbagai penggalan ingatan yang membuat kepala gadis itu terasa pusing. Gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mencoba mengingat potongan ingatan yang seperti terhapus begitu saja dari memory-nya. Semakin keras gadis itu memikirkannya, semakin pening pula kepala yang dirasakannya. Akhirnya, gadis itu membiarkan begitu saja, ingatan yang terlupakan. Kesehatan lebih penting dari sesuatu yang masih temaram kenyataannya. Chacha kembali mengatur pernafasannya, menarik udara sedalam-dalamnya dari lubang hidungnya, setelah itu melepaskannya perlahan melalui bibirnya. Membawa tubunya pada mode setenang mungkin. Sampai tanpa disadari oleh gadis itu sendiri, kesadarannya kian menipis, membelai lembut kedua kelopak matanya, hingga terasa begitu berat. Menyisakan bunyi halus nafas yang keluar dari bibir pucatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN