Semalam adalah hari yang sungguh melelahkan. Tak heran jika pasangan kekasih, yang kini berubah status menjadi mantan itu tampak masih begitu terlelap dalam tidurnya hingga pagi menjelang. Saling memeluk erat satu sama lain, seolah takut dunia akan memisahkan mereka.
Hangat, nyaman, dan sungguh menenangkan. Chacha semakin menelusup, menempel pada d**a Haikal. Sedang, cowok itu semakin erat balas memeluk tubuh gadis tersebut.
GLODAK!!
Suara benda jatuh, entah dari mana asalnya, membuat kedua anak manusia itu seketika terbangun dari tidurnya. Mata mereka terlihat menyipit. Terlebih ketika seseorang terlihat membuka tirai yang menutupi kaca jendela, sehingga cahaya yang menerpa lantai memantul dan mengenai penglihatan mereka.
“Oh maaf. Apa aku mengagetkan kalian?” sapa seorang wanita, petugas kebersihan.
“Tidak.” Jawab kedua anak manusia itu serempak.
Petugas wanita itu tampak tersenyum. Jenis senyuman yang tak bisa dimengerti oleh kedua anak manusia itu. Seperti malu karena kepergok sesuatu. Atau jenis malu karena melihat …
Meskipun posisi mereka duduk. Tangan besar Haikal tak lepas memeluk tubuh Chacha posesif. Tersadar akan hal tersebut, gadis itu seketika meraba, sesuatu yang terasa erat melingkar diperutnya. Kedua mata gadis itu melebar sempurna, mengikuti tangan itu sampai kepusat empunya. Tepat pada waktu yang sama. Tatapan mata gadis itu bertemu dengan mata Haikal disampingnya. Gadis itu pun menjerit.
“KYAA…”
Jeritan Chacha begitu keras, sampai terasa menusuk kedalam gendang telinga Haikal. Cowok itu harus menutup telinganya rapat. “Cha, kamu ini kenapa?” Tanya cowok itu. Kesal. Tiba-tiba pagi harinya disambut dengan teriakan Chacha. Bukan kecupan lembut yang ada dikepala.
“Kamu yang kenapa!” protes gadis itu. Kembali mengembalikan pertanyaan yang sama.
“Aku?” kata Haikal, sambil menunjuk pada dirinya sendiri, menggunakan jari telunjuk. “Kenapa aku?” ucapnya lagi.
“Kenapa kamu bisa ada disini?” Tanya Chacha menjelaskan maksud dari pertanyaan sebelumnya.
"Aku …” jawab Haikal, setelah itu tak ada suara lagi yang keluar dari bibirnya. Cowok itu terihat berpikir keras, mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya berakhir terlelap disamping Chacha.
“Semalam aku ketakutan, karena tiba-tiba saja ada lukisan yang jatuh. Setelah itu aku tidak tau lagi.” jawabnya berbohong. Padahal, yang dilakukan cowok itu, adalah menatap wajah pucat Chacha, diakhiri kecupan lembut dikening gadis tersebut.
“Oh…” lirih Chacha. Dalam hati gadis itu membenarkan kenyataan yang dijelaskan oleh Haikal. Setelah itu hanya berdiam diri.
“Apa jangan-jangan, kamu memikirkan yang aneh-aneh terhadapku?” kata Haikal menduga-duga, sambil menunjukkan senyum jahilnya. Gadis itu pun mengelak dengan cepat.
“Tidak!” sangkalnya. Seketika saja hal itu menimbulkan suhu panas ditubuh gadis itu meningkat. Menciptakan rona merah dikedua pipi yang masih terlihat pucat itu. Senyum Haikal semakin lebar. Usahanya untuk menggoda sang mantan ternyata berhasil.
“Jangan malu-malu. Katakan saja.” Katanya lagi, dilanjutkan dengan menarik dagu gadis itu, agar pandangannya hanya tertuju pada Haikal.
“Aku tidak berpikir yang aneh-aneh tentangmu.” Balas Chacha ketus. Dan semakin terlihat menggemaskan dimata Haikal. Cowok itu semakin mendekatkan wajahnya. Mengikis jarak diantara mereka, hingga terasa ujung hidung cowok itu menyentuh ujung hidung Gadis tersebut.
Kedua bola mata Chacha seketika melebar sempurna. Pun tubuhnya seketika membeku oleh perlakuan mengejutkan Haikal. Detak jantung gadis itu terasa sekali, memukul seperti drum dari dalam dadanya, sampai terdengar bunyinya hingga ketelinga. Gugup. Gadis itu mulai gelisah. Terlebih sentuhan yang terasa diujung gadis itu terasa bergerak semakin mendekati bibirnya.
Hembusan angin yang berasal dari jendela yang terbuka, terasa begitu lembut membelai keduanya. Menciptakan suasana syahdu. Menimbulkan kerinduan yang sempat tertahan kembali muncul kepermukaan. Tak ada yang bisa dilakukan oleh gadis itu. Kepalanya terasa beku. Sangat sulit untuk berpikir. Hanya dorongan yang berasal dari dalam jiwa terasa meronta-ronta. Menghipnotis, hingga kedua mata gadis itu terpejam sempurna. Menunggu untuk menerima.
Entah apa yang dipikirkan oleh Haikal, mata terpejam itu seolah memanggil jiwanya. Terlebih ketika pandangannya sedikit menurun, dan menemukan bibir ranum tipis itu telah kembali seperti sedia kala. Seketika saja membuat tenggorokan cowok itu kering. Jiwanya meronta-ronta dari dalam raganya. Memukul keras jantung, hingga terdengar begitu jelas bunyinya.
Bukan hanya Chacha yang merasa gugup oleh suasana syahdu yang tercipta begitu saja. Pun Haikal juga merasakan hal yang sama. Bahkan mungkin lebih menderita. Susah payah cowok itu menahan hasrat yang semakin meruntuhkan kesadarannya. Hingga terlihat begitu jelas, tonjolan dilehernya bergerak naik turun, menelan air liurnya sendiri.
Dipandanginya dengan seksama wajah yang terlihat semakin cerah didepan mata. Takut, malu, pun juga mau. Silih berganti membayangi diri. Ragu untuk melanjutkan. Namun, keinginan sudah tak tertahankan lagi. Diremasnya kuat leher belakang Chacha, agar gadis itu tak sekalipun bisa mundur darinya. Tak ada siapapun selain mereka berdua. Wajah Haikal semakin mendekat. Hingga nafas keduanya terasa saling menerpa.
“Permisi.” Sapa seorang perawat wanita. Membuyarkan bibir yang hampir saja saling bersentuhan. Seperti pelaku kejahatan yang kepergok petugas keamanan. Chacha seketika menarik dirinya mundur. Sedang, Haikal melompat dari tempatnya, melipir, memilih berdiri ditepi jendela. Menyegarkan kembali isi kepala yang sempat tercemari oleh berbagai hal yang akan meracuni diri.
Haikal mengusap belakang kepalanya. Ada sedikit sesal. Pun juga syukur. Menyadari satu hal yang selalu diajarkan padanya sejak kecil. ‘Pria sejati selalu berpegang teguh pada ucapannya sendiri. Selain itu, tujuan utama dari seorang pria, adalah sebagai penjaga. Bukan perusak wanita.’ Haikal kembali menghela nafas. Menysukuri perbuatannya tak sampai mengenai Chacha. Bukan sekedar kenangan yang bisa memuaskan hasratnya, gadis itu terlampau istimewa. Hanya saja, status mantan menjadi penghalang yang tak terlihat oleh mata. Dalam hati, cinta masih utuh, hanya untukknya. Terlalu larut dalam suasana.
Kembali pada kesadaran yang sempat terlupa. Menerawang angan yang berada jauh disana. Kenangan manis bersama, hingga berakhir pada perihnya luka yang diderita. Haikal mengepalkan kedua tangannya kuat. Sakit itu kembali mengusik ketenangan hati. Seperti berada ditengah-tengah duri yang saling menusuk hatinya. Mencintai seseorang yang bukan lagi miliknya. Pun menjadikan orang lain yang tak dicintai menjadi kekasihnya. Semua terlanjur terucap.
Chacha menghela nafas panjang. Kedua matanya tak lepas menatap punggung tegap Haikal, yang berdiri membelakanginya. Seolah tak mau peduli. Lebih memilih membuang pandangannya.
“Aaw…” pekiknya kesakitan, ketika suster wanita itu tak sengaja menekan dengan kuat tangan Chacha yang terlihat bengkak. Akibat, kehabisan cairan infus dari semalam, dan tak diketahuinya. Kini gadis itu harus menahan nyeri dipergelangan tangannya.
“Tahan sedikit ya mbak. Biar saya lepas saja. Infusnya, kata dokter hari ini sudah diperbolehkan pulang.” Terang suster itu menjelaskan.
“Saya boleh pulang sekarang?” Tanya ulang gadis itu, masih tak percaya.
“Iya. Tapi, sebelum pulang, mbak harus menunggu Dokter dulu untuk memeriksa kesehatan mbak.” Katanya. Chacha mengangguk mengerti. Gadis itu seketika tersenyum lebar. Berada satu hari satu malam dirumah sakit. Rasanya seperti berada puluhan tahun di perantauan. Gadis itu sangat merindukan rumah. Begitu bahagia dengan kabar yang baru saja didengar. Sampai tak menyadari Haikal sudah berdiri disampingnya.
“Kalau begitu, aku pulang dulu membersihkan badan, setelah itu, aku akan kesini lagi menjemputmu.” Pamit Haikal, dan hanya dibalas anggukan kepala oleh Chacha. Gadis itu terlihat menunduk, tak berani menatap wajah lawan bicaranya. Terasa kaku, terlebih setelah peristiwa itu.
"Iya.” Jawabnya singkat.
Selepas kepergian Haikal, Chacha turut segera membersihkan badan dalam kamar mandi yang tersedia di ruangan tersebut. Setelah itu, mulai menyantap sarapan pagi yang sudah tersedia diatas nakas, disamping tempat tidurnya.
Menu hari itu cukup menggiurkan. Mengingat belum ada sebutir nasi pun yang masuk kedalam perut gadis itu. Lima belas menit berlalu. Makanan itu sudah habis. Menyisakan piring, dan mangkuk kotor. Setelah itu, Chacha meneguk teh hangat hingga tandas.
“Aah… Kenyang sekali rasanya.” Ucapnya dengan riang gembira. Gadis itu mengusap perutnya yang terlihat sedikit buncit oleh makanan tersebut, benar-benar merasa hidup kembali. Setelah beberapa hari tidak bertemu dengan nasi. Rasanya makanan itu sungguh nikmat.
“Selamat pagi.” Sapa seorang cowok berkacamata bulat. Tak lain tak bukan adalah Dokter Rayyan. Bersama Suster Desi yang turut mengekor dibelakang cowok itu.
“Pagi Dokter.” Balas Chacha dengan wajah ceria, juga senyum manis diwajahnya.
“Waah… Semangat sekali.” Sahut suster Desi. Chaha mengangguk, membenarkan, hari itu ia memang sangat bersemangat sekali.
“Iya dong Suster.” Ucap Chacha.
“Siap untuk pulang?” Tanya Dokter Rayyan dengan nada sedikit menggoda. Pun hal itu segera dijawab dengan anggukan kepala Chacha mantap.
“Tentu saja.” Balasnya yakin.
“Baiklah. Kamu diperbolehkan pulang saat ini juga. Selalu jaga kesehatan. Dan, jangan lupa diminum obatnya.” Terang Dokter Rayyan menjelaskan. Dan, lagi-lagi itu dibalas dengan anggukan kepala oleh Chacha.
“Baik Dokter. Terima kasih.” Ungkapnya tulus.
Hari itu, Chacha sungguh girang. Gadis itu berjalan, sambil sesekali bersenandung, dan berputar-putar. Semua terasa lebih ringan. Seolah beban dalam hatinya berkurang banyak. Gadis itu berjanji, akan mengganti semua kesakitan yang pernah dialami dengan kesenangan penuh semangat.
“Iya. Mulai hari ini, aku harus kuat menghadapi segala rintangan. Berdiri sebagai gadis tangguh. Apa yang terjadi dimasa lalu, adalah pembelajaran. Setelah aku belajar, maka aku akan pintar.” Gumamnya sendiri. Sambil memainkan jemarinya.
Sampai Chacha dilantai dua. Gadis itu tanpa sengaja, melihat kebawah, mendapati Haikal tengah berjalan bersama Risa menuju tangga yang hendak dilaluinya. Chacha sedikit bingung, pun juga kesal. Sebab, Risa seperti ajudan yang selalu mengekori Haikal kemana pun pergi. Rasanya sungguh menyebalkan. Gadis itu meremas kedua tangannya.
Chacha segera berbalik arah, melewati jalan lainnya. Tangga yang dibangun secara khusus tanpa anak tangga. Mempermudah perawat dalam membawa pasien dari lantai satu kelantai lainnya, tanpa menggunakan lift. Berjalan sedikit berlari, agar tak sampai diketahui oleh Haikal. Tanpa peduli dengan keadaan didepannya. Ketika berbelok, sebelah kaki gadis itu tersandung oleh kaki lainnya.
“Aaah…”
Chacha tak bisa lagi mengontrol keseimbangan kedua kakinya. Tubuhnya terasa melayang, pun dengan pikiran kosong, tak sanggup lagi untuk berpikir menyelamatkan diri, atau meraih apapun untuk bisa kembali berdiri menjejakkan kedua kaki. Tak menyangka, pada saat yang sama seorang cowok tengah berjalan tergesa-gesa kearahnya. Cowok itu sepertinya juga tak menyadari keadaan Chacha. Hingga akhirnya kedua manusia itu saling bertabrakan.
Bruuk!
Jatuhnya Chacha adalah dengan posisi cantik. Dimana kedua lengan gadis itu melingkar sempurna dileher cowok itu, yang ternyata adalah Dokter Rayyan. Hanya saja, Dokter berparas tampan itu tak mengenakan jas putih dan kaca mata bulat khasnya. Jadi sangat berbeda jauh dari wajah yang pernah dilihat oleh Chacha. Gadis itu tak sadar siapa yang tengah dipeluknya.
Netra hitam Chacha menatap intens wajah tampan itu. Pun hal serupa juga sama dilakukan oleh Dokter Rayyan. Dari jarak yang begitu dekat, memperlihatkan dengan jelas wajah ayu nun manis seorang gadis, yang sangat jauh berbeda dengan wajah pucat gadis yang baru saja diizinkan untuk pulang kerumahnya.
Waktu seolah berhenti untuk sesaat. Melempar mereka jauh kedalam angan. Dimana hanya ada mereka berdua berdiri diatas bunga-bunga bermekaran. Juga daun-daun kering yang saling berjatuhan. Perpaduan musim semi dan musim gugur, dibelahan utara dan selatan bumi yang bercampur menjadi satu. Menciptakan keindahan dalam hati, mendebarkan jantung yang seakan ingin mencoba lari.
Karena terlalu larut dalam euforia, Dokter tampan itu tak menyadari jika kedua kakinya masih menapak diatas lantai. Niat hati ingin menari. Namun, yang ada justru terpleset pula kedua kaki. Hal itu pun mengembalikan kesadaran Dokter Rayyan sepenuhnya. Kedua bola mata cowok itu seketika melebar sempurna. Tak sempat untuk berpikir. Ditambah beban berat badan Chacha yang menempel erat dengan dirinya. Membuat kedua kaki Dokter tampan itu tak sanggup lagi untuk berdiri. Dan akhirnya, kedua manusia itu terlihat berputar-putar layaknya penari diatas es. Menuruni tangga. Sampai akhirnya jatuh bersama diujung tangga.
Jatuh dengan posisi seperti pasangan, saling berpelukan, menjadikan lengan kekar kekasih sebagai bantal. Pun pelukan itu terlihat begitu mesra, melingkar sempurna, diatas tubuh Chacha. Mendekapnya erat. Begitu posesif.
“Aaw...” lirih Rayyan. Tubunya terasa bagai remuk, tertimpa tubuh Chacha. Cowok itu meringis, sambil mengusap pinggulnya yang terasa panas. Akibat membentur lantai dengan keras.
Secepatnya, Chacha segera bangkit dan berdiri dari posisinya. Tak langsung membantu Rayyan, gadis itu terlebih dulu mengedarkan pandangannya kesekitar. Memastikan tak ada satu pun orang yang melihatnya. Atau bahkan sampai merekam, dan menjadikannya video viral. Hal tersebut sedang menjadi tren, dan jujur sangat ditakuti oleh Chacha.
“Maaf, aku tidak sengaja.” Katanya penuh penyesalan. Rayyan masih terlihat mengusap siku yang masih terasa nyeri. “Mari saya bantu.” Tawar gadis itu, sambil mengulurkan tangannya. Hal itu pun disambut dengan baik oleh Rayyan. Cowok itu menerima uluran tangan Chacha. Menariknya. Namun, tubuh kecil Chacha yang masih lemah, ternyata tak sebanding dengan tubuh besar Rayyan, yang memiliki kekuatan besar pula. Tubuh Chcaha tertarik kedepan, dan terjatuh menimpa tubuh Rayyan diatasnya.
“Aah...” pekik gadis itu.
Jika jatuhnya Chacha yang pertama kali adalah dalam pelukan Rayyan. Maka jatuhnya untuk yang kedua kali adalah bersimpuh tepat diatas pangkuan Rayyan. Tak habis pikir, kenapa harus jatuh dengan posisi intim yang seperti itu. Wajah gadis itu seketika memerah. Malu. Bingung harus melakukan apa, karena semua terjadi begitu saja.
Wajah dengan wajah yang begitu dekat. Bahkan sampai tercium dengan jelas, nafas segar yang keluar dari mulut Rayyan.
Bagai tersihir oleh wajah manis itu lagi. Terlebih ketika dilihat bibir ranum merah muda yang begitu menggoda iman. Rayyan pun semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Chacha. Mengikis jarak, ingin menemui bibir yang terus saja memanggil jiwanya.
Chacha menatap netra coklat itu bergantian. Tersadar akan sesuatu, peristiwa dipagi hari itu kembali terbayang. Gadis itu pun mendorong dengan kuat, tubuh Rayyan hingga kembali terdorong kebelakang.
“Maaf saya tidak sengaja. Sekali lagi saya minta maaf. Saya permisi.” Pamit Chacha penuh penyesalan, berkali-kali gadis itu terlihat membungkukkan badannya. Setelah itu berlalu pergi begitu saja, meninggalkan Rayyan seorang diri dengan berbagai rasa yang berkecamuk dalam diri. Untuk pertama kali, cowok itu bertemu dengan seorang gadis yang mampu menggetarkan hati.
Sial. Umpanya. Tangannya terkepal kuat, hingga terlihat putih semua kuku jarinya, setelah itu dipukulkan dengan keras keatas lantai, untuk mengurangi rasa kesalnya. Dasar perempuan.
Hal yang paling dihindari oleh Rayyan. Perempuan. Dalam otaknya, perempuan hanyalah kelemahan yang mampu menjadikan seorang laki-laki lupa diri. Dan itulah yang sedang dialaminya. Hanya membutuhkan sekali pertemuan. Gadis itu telah memberikan kesan mendalam dihati Rayyan. Malu, senang, namun juga sedih. Semua bercampur menjadi satu. Memecah pemikirannya hingga berkeping-keping.
Kembali pada tugas terpenting yang harus segera dilaksanakan sebagai seorang Dokter. Rayyan segera bergegas, dan berlari kesebuah ruangan.
Dalam ruangan itu, terlihat beberapa perawat berpakaian khusus juga masker yang menutupi wajah, menunggu kehadiran Rayyan. “Maaf saya terlambat.” Ucapnya penuh sesal. Cowok itu terlihat menggunakan pakaian yang sama dengan perawat-perawat itu.
Rayyan sedikit ragu untuk memulai prosedur yang sudah dipelajarinya, mengoperasi pasien penderita usus buntu. Cowok itu terlihat gelisah. Pikirannya terurai, menyisakan wajah manis dengan bibir ranum merah muda menggoda di otaknya.
“Apa Dokter baik-baik saja.” Kata seorang perawat yang berdiri di sampingnya. Bukannya menjawab, Rayyan justru kembali bertanya.
“Apa Dokter Beni hari ini tidak hadir?” katanya. Perawat itu tampak mengerutkan dahinya, melihat dengan seksama raut wajah Rayyan, yang terlihat tak seperti biasanya.
“Hadir. Hanya saja, beliau juga tengah menjalankan operasi besar pasien penderita jantung. Jadi beliau menyuruh saya untuk segera menghubungi Dokter.” Katanya lagi. “Apa Dokter gugup?”
Rayyan menghela nafas panjang. “Sedikit, ini pengalaman pertama.” Ucapnya berbohong. Karena hal lain yang lebih membuatnya gugup. Gadis pertama yang berhasil meruntuhkan pertahanan Rayyan. Menabuh jantungnya hingga terdengar bertalu-talu. Menciptakan berbagai perasaan aneh, yang belum pernah sekali pun dirasakannya. Rasa yang tidak bisa dimengerti oleh Rayyan. Pun juga tak dapat dijelaskan alasannya. Hanya karena seorang gadis yang baru saja ditemuinya.
Kembali menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Dengan sisa-sisa konsentrasi yang ada di kepalanya. Dokter berwajah tampan itu mulai menjalankan operasi tersebut. Tangannya terlihat mahir, menorehkan beberapa sayatan diatas perut pasien menggunakan pisau kecil. Setelah itu, beralih pada sebuah selang kecil dan memasukkannya kedalam perut, melalui salah satu sayatan tersebut untuk menyalurkan gas karbon dioksida. Kemudian Dokter Rayyan kembali memasukkan sebuah benda berbentuk tabung kecil, yang disebut laparoskop melalui sayatan yang lainnya, dan memeriksa kondisi organ dalam perut pasien. Setelah menemukan titik permasalahan didalam perut tersebut, tepatnya pada usus buntu, Dokter Rayyan mulai mengikat usus tersebut, dan kemudian memotongnya. Setelah selesai Dokter Rayyan mengeluarkan usus tersebut kemudian alat-alat lain yang digunakannya. Selanjutnya menjahit sayatan tersebut dan menutupnya dengan perban.
Selama satu jam lamanya, akhirnya operasi yang dilakukan berhasil, dan berjalan lancar. Rayyan akhirnya bisa bernafas dengan lega.