Ekspektasi

1329 Kata
Haikal mengacak rambutnya frustasi. Cowok itu tak tau harus pergi kemana lagi untuk mencari keberadaan sang mantan kekasih hati, yang tak terlihat lagi dalam kamar, dimana harusnya gadis itu dirawat. Cowok itu begitu lelah, berlari kesana kemari, tak jelas, juga tak tentu arah. Setiap nyawa yang ditemuinya selalu ditanya. Pernahkah melihat gadis dengan ciri-ciri, persis yang dimiliki mantan kekasihnya. Nihil. Tak satu pun orang yang ditemuinya menjawab ‘tau’ atau setidaknya pernah melihat dimana mantan kekasihnya berada. Haikal mulai putus asa. Memilih kembali keruangan tersebut, dengan harapan mantan kekasih sudah kembali kesana. Dipenghujung, tangga yang hendak dilaluinya, Haikal melihat ciri-ciri persisi yang dimiliki Chacha. Kedua mata cowok itu seketika melebar sempurna. Ketika empu yang dicarinya terlihat diatas sana. Ingin rasanya cowok itu memaki gadis itu sepuas hati, melampiaskan kekesalan. Karena telah berhasil membuatnya khawatir setengah mati. Haikal berjalan setengah berlari, mendekati gadis yang tampak berdiam diri. Menarik dengan kuat lengan gadis itu hingga, tubuhnya terlihat berputar. “Kamu dari mana saja!” sentak Haikal. Detik selanjutnya, tubuh Chacha limbung. Hampir saja terjatuh membentur lantai, kalau saja Haikal tidak gerak cepat menahan tubuh gadis tersebut. “Cha, kamu kenapa?” ucapnya khawatir. Kedua mata gadis itu tertutup rapat, serta bercak tetesan darah terlihat dibeberapa setelan yang dikenakannya, juga lantai. Haikal semakin khawatir. Tapi, ia tidak boleh panik. Ia harus tetap tenang, menghadapi situasi menegangkan itu. Diangkatnya sendiri tubuh Chacha dalam gendongannya. Dibawa kembali masuk kedalam ruangan harusnya gadis itu berada. “Cha bangun Cha.” Gumam Haikal, sambil menguncang pelan bahu gadis tersebut. Dibaringkan tubuh lemas gadis itu perlahan diatas tempat tidur. Setelah itu menekan tombol darurat beberapa kali. Beberapa menit kemudian, seorang perawat perempuan menghampiri kamar Chacha berada. Gadis itu masih belum terbangun juga. “Ada apa?” Tanya perawat perempuan itu pada Haikal, yang saat itu terlihat duduk ditepian tempat tidur Chacha, sambil mengenggam erat tangannya. “Tidak tau suster. Tadi saya temukan dia sudah tidak sadar. Dan mungkin infunya terlepas, saat terjatuh.” Terang Haikal. Suster perempuan itu tampak mengangguk, mengerti, setelah itu terlihat sibuk memasukkan kembali jarum infus kedalam saluran pembuluh darah gadis tersebut. “Sudah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan” tutur perawat perempuan itu menjelaskan dengan ramah. “Baik, terima kasih suster.” Jawab Haikal. Selepas kepergian suster itu. Tak berhenti Haikal mengenggam erat tangan gadis rapuh tersebut. Mata elangnya, tak lepas menatap wajah pucat didepannya. Miris. Rasanya begitu perih, seperti luka sayatan yang terkena cairan asam. Dikecupnya begitu dalam punggung tangan bebas Chacha. Berharap dengan kecupan itu bisa menyembuhkan luka tak kasat mata yang dirasakan oleh Chacha. Menguatkan diri, menyisihkan seluruh perasaan yang saling bertentangan dalam hati, yang terus saja membisiki. Dalam peperangan, Haikal merasa menjadi lawat terkejam membiarkan musuh menyerah begitu saja tanpa perlawanan. Tak sampai hati, melihat sang pemilik hati terbaring lemas, meredup, tanpa senyum manis yang terpancar dari wajahnya. Berjanji dalam hati, Haikal akan mengembalikan senyum itu lagi. Aku janji akan mengembalikan semua bahagiamu. Lirihnya. Terasa tangan Chacha membalas genggaman tangan besar Haikal. Seolah gadis itu mendengar isi hati Haikal. Cowok itu segera mendekat, memastikan Chacha akan terbangun dari tidur panjangnya. “Eemb…” Chacha melenguh panjang. Sambil memegangi kepalanya yang terasa begitu berat. Kelopak matanya berkedip-kedip, menyesuaikan penglihatan yang masih terasa buram. Tidak menyadari keberadaan seseorang, yang erat menggenggam tangannya. “Haus.” Ucapnya begitu lirih, nyaris tak terdengar. Dan, ketika seseorang terasa membantunya bangun, barulah terkumpul sempurna kesadaran gadis itu. “Kamu.” Gumam Chacha, dengan sorot mata tak percaya, yang dapat dimengerti dengan jelas oleh cowok tersebut. “Iya, kenapa?” balas Haikal, sengaja mengubah nada suaranya agar terdengar sedatar mungkin. “Kenapa kamu ada disini?” Tanya Chacha penasaran. Berharap masih ada rasa peduli dalam hati Haikal. “Aku tidak setega itu membiarkan seorang gadis pingsan. Dan, jangan pernah berpikir aku masih peduli.” Jawabnya tegas. Terasa seperti palu yang menghantam tepat dijantung hati Chacha. Membuat gadis itu menghela nafas panjang, mengurangi rasa penuh yang menumpuk dalam d**a. Menahan sekuat tenaga, rasa bergejolak yang terasa seperti meraung-raung dalam jiwa. “Oh…” lirih Chacha. “Kalau begitu kamu pulang saja. Aku tidak apa-apa. Lagi pula, aku tidak perlu belas kasihan darimu.” Pungkasnya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kerinduan yang menginginkan Haikal untuk tetap berada disampingnya dan menemaninya. “Baiklah aku akan pulang.” Ucapnya, namun terdengar seperti ancaman. Chacha dengan enteng mempersilahkan cowok itu keluar dari ruangannya. “Silahkan.” Katanya. Kenyataan yang tak sesuai dengan ekspektasi yang dipikirkan oleh Haikal, yang masih berharap gadis itu akan menahan untuk tetap berada disisinya. “Baik. Aku akan pulang. Kalau pun ada masalah. Jangan libatkan aku.” Katanya berujar. Terpaksa, karena sedikit pun Chaca tidak menunjukkan sikap manjanya lagi. Jujur saja Haikal sangat merindukan hal itu. Setelah melihat perubahan sikap Chacha yang seperti tidak peduli lagi dengannya. Cowok itu kembali bertitah. “Aku akan pulang sekarang juga.” Katanya, namun, terasa begitu berat kedua kakinya untuk melangkah. Bola mata Chacha terlihat bergerak-gerak gelisah. Kenapa mas Haikal begitu mudah mengabulkan ucapanku. Padahal malam sudah sangat larut. Kenapa dia tidak membantah, dan menginap saja disini. Sungguh kesal sekali. Seperti diabaikan. “Pulang saja.” Ucapnya ketus berbeda jauh dari apa yang dirasakannya. “Baik, aku akan pulang.” Kata Haikal, sengaja menarik ulur ucapannya sendiri, padahal dalam hati, cowok itu masih betah menemani. Kenapa kamu tidak menahanku untuk tetap disini. Apa kamu tidak kasihan, aku keluyuran sendirian ditengah malam seperti ini. Dingin lagi. Gerutu Haikal dalam hati. Cowok itu sudah berdiri, sambil memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. Berjalan sangat pelan menuju pintu. Baiklah, kalau Chacha tidak mengizinkanku bermalam diruangan ini, lebih baik aku tidur diluar saja. Ujarnya. PRAANG!!! Haikal terlonjak kaget, mendengar sekaligus melihat lukisan diruangan itu tiba-tiba jatuh sendiri dan pecah. Cowok itu segera melompat, ketakutan, dan memilih balik, menelusup masuk kedalam selimut yang dipakai oleh Chacha, serta memeluk erat tubuh gadis itu. “Tadi itu apa?” serunya dengan suara yang terdengar sedikit bergetar. “Kamu mau apa?” Pekik Chacha, sambil meronta meminta Haikal untuk melepaskannya. “Lepas.” Pintanya. Sebaliknya, Haikal justru semakin erat memeluk gadis itu, menyembunyikan wajahnya diceruk leher gadis tersebut. “A..ada setan.” Katanya gagap. Tangannya menunjuk entah kemana. Sebenarnya, Chacha ingin sekali tertawa. Hanya saja, gadis itu menyesuaikan diri dalam mode kesal. Jadi ia tahan sekuat tenaga rasa geli yang terus menggelitik perutnya. “Lepas.” Teriak gadis itu lagi. Kedua tangannya mendorong keras tubuh Haikal agar terlepas. Apalah daya, tubuhnya yang masih begitu lemas, tak mampu sedikit pun menggeser posisi Haikal. “Haah…” Terdengar helaan nafas panjang yang keluar dari bibir Chacha. Gadis itu menyerah. Percuma saja. Jadi, gadis itu membiarkan saja Haikal berbaring untuk bersembunyi disampingnya. Dalam keheningan, Chacha menatap langit-langit putih diatasnya. Pikirannya menerawang jauh, merasakan pelukan erat, hangat, juga menenangkan. Disisi lain, gadis itu juga masih merasa kesal atas perlakuan kejam Haikal. Menjadikan dirinya sebagai alasan untuk mengakhiri hubungan. Gadis itu menutup kedua matanya begitu erat. Kepalanya terasa pusing memikirkan perasaannya sendiri yang rumit. Takdir sungguh menghadapkannya pada suatu keadaan yang sangat membingungkan. Sampai tanpa sadar, gadis itu terbuai dalam lelap. Mendengar nafas halus dan teratur yang keluar dari bibir Chacha. Haikal mengintip sedikit dari balik selimutnya. Entahlah, kali ini Haikal sungguh berterima kasih pada apapun itu yang sudah menjatuhkan lukisan. Bertopang dengan sebelah tangannya. Dipandanginya lekat wajah pucat yang terlihat begitu damai, tenang dalam mimpi. Diusapnya dengan lembut puncak kepala gadis itu penuh kasih. Tak rela meninggalkan gadis itu seorang diri. Haikal tersenyum. Menikmati setiap detik waktu paling berharga yang pernah dimiliki. Sungguh berat hati menjadkan perpisahan sebagai jalan keluar. Cowok itu memejamkan kedua matanya erat. Rasa kecewa itu hadir kembali, menghantui setiap sudut isi kepalanya. Mengingat gadis yang benar-benar dicintainya, mengkhianati. Haikal berkeras hati. Tak akan mudah percaya. Terlebih, hatinya sudah terpaut dengan gadis lain, yang sekalipun tak pernah dicintai. Niatnya menjadikan kekasih hati, hanya untuk pelampiasan rasa sakit hati yang tengah dialami. Membalas setiap luka, untuk perbuatan semu, belum jelas benar atau tidak Chacha melakukannya. Cowok itu terlanjur kecewa. Malam pun semakin larut, tanpa sadar Haikal turut serta menyusul Chacha kedalam mimpi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN