Hati pengganti

2184 Kata
Sebenarnya, perbedaan benci dan cinta itu sangatlah tipis. Hanya sebatas selembar kertas putih saja. Hampir tak ada beda. Disaat mencintai terlalu dalam, setitik kesalah pahaman akan menumbuhkan kekecewaan juga kebencian yang begitu dalam. Dan, sebaliknya disaat kebencian mulai memudar, disitulah akan terlihat cinta yang sebenarnya. Jangan membenci, atau mencintai secara berlebihan. Sewajarnya saja. Karena, orang yang berkesempatan melukai hati terlalu dalam. Adalah, orang yang paling dekat dengan hati. Chacha menghela nafas panjang, mengurangi sesak yang menumpuk dalam dadanya. Gadis itu memaksa dirinya untuk terbangun dari posisi berbaringnya. Tak mau hanya berdiam diri di ruangannya. Ia harus bergerak, mencari hiburan juga obat penawar. Berpegangan pada besi penyangga disampinya, gadis itu membawa tubuhnya berada diposisi duduk. Ia mulai menurunkan kedua kakinya untuk menapak diatas ubin. Bbbrrrt. Dingin. Itulah yang pertama kali dirasakan oleh gadis itu, ketika telapak kakinya menyentuh lantai. Gadis itu sedikit meringis, menahan dingin yang terasa menusuk kedalam tulangnya. “KYAAA….” Spontan Chacha mengeluarkan jeritan mautnya, ketika pandangannya menemukan sosok mungil, terlihat duduk meringkuh, sambil memeluk kedua lututnya, disudut antara meja dan tempat tidurnya. Kaget, takut, sekaligus bingung. Tiga rasa itu bercampur aduk menjadi satu. Dimalam yang sudah selarut itu, masih ada bocah yang berkeliaran. Mungkinkah dia? “Kamu hantu?” Tanya Chacha langsung pada intinya. Pun bocah itu seketika membulatkan kedua matanya. Sungguh terkejut dengan tuduhan gadis tersebut. Bocah itu seketika berdiri, mendekati Chacha, membuat gadis itu sedikit menarik dirinya, mundur. Mata bulat, serta bening milik bocah tersebut, seketika membuat tubuh Chacha bergetar hebat. Tepat ketika bocah itu menengadahkan kepalanya menatap Chacha, dan pandangan mereka bertemu. Gadis itu berpegangan pada tepian tempat tidurnya erat. “Aku bukan hantu. Aku ini masih manusia?” jawab bocah itu santai, wajahnya terlihat murung sekali, dan itu semakin membuat Chacha ketakutan. “Masak? Aku tidak percaya. Mana ada bocah keluyuran ditengah malam, dirumah sakit, kalau bukan setan.” Tuduh Chacha. Bocah mungil yang ternyata berjenis kelamin laki-laki itu tampak memutar kedua bola matanya malas. Dan, berjalan semakin mendekati Chacha. “Jangan mendekat!!” seru Chacha, tangan gadis itu maju kedepan, memberi isyarat pada bocah itu untuk tetap berdiri ditempatnya, memintanya untuk tetap menjaga jarak dengannnya. Bocah itu terlihat menghela nafas panjang. Sambil bibirnya bergumam. “Kakak, mana ada setan yang wajahnya tampan seperti wajahku ini.” Terang bocah itu mengingatkan, sambil melebarkan senyum, menampilkan barisan gigi susunya. Aah… Seketika Chacha melebarkan kedua matanya. Dalam kepalanya, melintas berbagai pertanyaan. Apa sungguh bocah ini manusia? Pikirnya. Gadis itu kembali menatap bocah itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Kakinya masih menapak diatas lantai. Kalau diperhatikan, wajahnya lucu, dan imut juga. Gumamnya dalam hati membenarkan, pernyataan bocah itu, jika ia masih manusia utuh. “Kamu bukan tuyul ‘kan?” Tanya Chacha lagi meyakinkan. Gadis itu terlihat menganggukkan kepalanya, dan mulai mengerti sesuatu, tatapannya terlihat menyelidik. “Emb… Tuyul jaman now memang pada pintar dan canggih ya? Tau aja kalau di rumah sakit itu banyak uangnya.” Katanya lagi, mengulang tuduhannya. “Kakak aku ini bukan tuyul.” Kata bocah itu menjelaskan. Kemudian menyentuh punggung tangan gadis itu, membuatnya seketika kembali teriak. “KYAAA……APT.” Bocah mungil itu mendekap mulut Chacha dengan tangan mungilnya, menghentikan teriakan wanita itu, agar tidak menjadi pusat perhatian penghuni di kamar sebelah Chacha. “Sstt…” desis bocah itu, telunjuknya terlihat menempel didepan bibirnya, mengisyaratkan pada gadis itu untuk tak menjerit lagi. “Kalau kamu bukan setan? Apa yang membuatmu keluyuran ditengah malam seperti ini?” Tanya Chacha. Gadis itu sudah lebih tenang. Raut wajah bocah itu seketika berubah murung. Kesedihan terlihat begitu jelas, menggambarkan beban yang begitu berat tengah dirasakannya. “Apa yang terjadi?” Tanya Chacha dengan suara lembut, sambil mengusap punggung bocah tersebut, membuat air mata seketika berlinang dari kedua sudut mata bocah tersebut. gadis itu seketika terkejut, juga bingung dengan tangis bocah itu yang begitu tiba-tiba. “Kakak…” panggil bocah itu lirih, dan setelah itu menghamburkan diri, memeluk Chacha. “Kata orang-orang, ayah kandung Leo sudah meninggal ketika Leo masih bayi. Mama sudah menikah lagi.” terangnya, dan mulai dimengerti sedikit demi sedikit masalah yang tengah menimpa bocah mungil yang ternyata bernama Leo. “Dan sekarang, mama mau melahirkan,” tambahnya. Kelopak mata Chacha berkedip-kedip. “Lalu?” Tanya Chacha, mulai penasaran. “Kata orang-orang, kalau anak mama sudah lahir. Mereka akan mengirim Leo ke panti asuhan. Whaaa…” Tangis Leo seketika pecah, menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan tersebut. Gadis manis itu meraih tubuh mungil Leo dan mendekapnya erat. Pun mengusap lembut kepala Leo sambil berkata. “Leo..” lirihnya. “Semua yang Leo dengar itu tidak benar, mama Leo tidak mungkin setega itu mengirim Leo ke panti asuhan. Apalagi kalau adik Leo sudah lahir. Mama, pasti akan menyayangi Leo sama seperti mama menyayangi adiknya Leo.” Ucap Chacha menasehati. “Apa pernah mama Leo berlaku kasar sebelum menikah lagi dengan orang lain.” Tanya Chacha memastikan. Dan, bocah itu hanya menggelengkan kepalanya sebagai bentuk jawaban. “Apa pernah, mama bersikap kasar setelah menikah. Dan apa suami mama juga kasar sama Leo.” Tanya gadis manis itu lagi. Pun, bocah itu kembali menggelengkan kepalanya. Chacha menghela nafas panjang, kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah garis lengkungan. Setelah itu kembali berkata. “Itu… Tandanya, mama sama papa baru Leo sangat menyanyangi Leo.” Tutur Chacha perlahan. “Tapi,” bantah Leo menyangkal ucapan Chacha, dan seketika membuat kerutan di dahi gadis itu. “Mama suka marah-marah sama Leo.” Ungkapnya. Gadis manis itu mendekap erat tubuh Leo, pandangannya menerawang jauh, sebuah angan tanpa batas yang ada di kepalanya. “Memang, Mama marah karena apa?” pertanyaan gadis itu seketika membuat Leo tertunduk, malu, sekaligus merasa bersalah, mengingat kelakuan nakal terhadap ibu kandungnya, karena tak mau menerima kenyataan, bahwa sebentar lagi bocah itu akan memiliki adik dari ayah sambungnya. “Mama suka marah, karena Leo nakal. Dan, tidak mau mendengar nasehat mama.” Sesalnya. Meski wajahnya masih terlihat murung. Namun, Leo seperti menemukan kembali sinar yang sempat meredup dalam hati, terhadap keluarga barunya. “Mama bersikap seperti itu, bukan karena marah. Tapi, mama tidak mau Leo menjadi anak bandel, yang tidak mau mendengarkan nasehat orangtua.” Kata Chacha lembut. Gadis itu tampak menjeda ucapannya beberapa saat setelah itu kembali berkata. “Selain itu, Leo tau tidak alasan Mama melakukan itu semua apa?” tanyanya lagi. “Karena…” lirih bocah itu, terlihat ragu untuk mengatakannya. Leo terlihat menarik nafas panjang, setelah itu menghembuskannya secara perlahan. “Mama, sayang sama Leo.” Ungkapnya, dan seketika dibalas anggukan kepala mantap oleh Chacha. “Yap, betul sekali.” Katanya, sambil mengacungkan kedua jempolnya didepan wajah Leo. Sinar itu terlihat semakin terang, menerangi hati Leo. Terlihat jelas dari perubahan wajah bocah itu, yang semakin cerah, semangatnya jelas telah kembali padanya, terbukti dari sorot kedua mata bocah itu yang terlihat semakin berbinar. Berbeda jauh saat pertama kali Chacha melihatnya. Senyum gadis ayu nun manis itu seketika mengembang sempurna, bahkan sampai memperlihatkan barisan putih giginya. Rasanya begitu sangat melegakan. Melihat semangat hidup bocah itu telah kembali. Dan, harusnya, itu juga yang harus dilakukan oleh Chacha. Melepaskan semua beban, dan menjalani kehidupan barunya dengan semangat. Gadis itu merasa tersentil. Ternyata, perkara seperti itu, ia dikalahkan dengan mudah oleh bocah yang kira-kira berusia enam tahun. Kembali menghela nafas panjang, dan berusaha melupakan. Biarlah. Bocah itu tidak mengerti seperti apa beratnya kehidupan yang dialami oleh Chacha. Akibat patah hati. Mengingat nasibnya, membuat gadis itu ingin sekali menjerit. “Kak, bisa tolong antar Leo ketempat mama?” pinta bocah itu, dan segera dibalas anggukan kepala oleh Chacha. Dibantu oleh Leo membawa tiang penyangga infus yang tertancap dipunggung tangan Chacha, kedua anak manusia itu, berjalan dalam keheningan malam menuruni tiap anak tangga dari lantai tiga, menuju lantai dasar, dimana terakhir kali Leo berpisah dari kedua orangtuanya. Leo sangat menyesal, telah bersikap kasar pada sosok yang telah melahirkannya. Setelah bertemu dengan Chacha, bocah itu sangat bersyukur. Beban yang dipikulnya terasa hilang. Terganti oleh kerinduan yang begitu dalam. Tak sabar, ingin segera menemui ibu kandung tersayang. “Mama….” Teriak Leo tiba-tiba, ketika melihat seorang wanita dengan perut yang begitu besar terlihat berjalan mondar-mandir didepan pintu masuk. Bocah itu seketika melepas genggaman tangannya pada tangan besar Chacha, berlari, dan segera menghamburkan diri pada sosok wanita yang dipanggilnya ‘Mama’ “Mama, maafin Leo.” Ungkap bocah itu. Penyesalan, terdengar begitu dalam kalimat yang ucapannya. “Kamu kemana saja Leo?” Tanya wanita itu, dengan derai air mata yang terus berjatuhan membasahi pipinya. Pun juga ciuman bertubi-tubi, mendarat dikedua pipi Leo. “Maaf Ma, Leo kabur dari mama. Dan untung saja Leo bertemu dengan kakak itu.” tunjuk Leo pada Chacha yang terlihat masih berdiri dibelakang ibu dan anak itu. Wanita itu segera menghampiri Chacha. “Terima kasih mbak, sudah mau menjaga anak saya.” Ungkap wanita itu. “Eeh..” lirih Chacha sambil menggaruk belakang kepalanya, merasa begitu tersanjung. “Hanya kebetulan saja, saya menemukan Leo.” Jawabnya asal. Wanita itu terlihat tersenyum begitu ramah. “Kamu sakit?” Tanya wanita itu, menyadari setelan yang dikenakan oleh Chacha, adalah setelan yang disediakan oleh rumah sakit. Gadis itu pun mengangguk. “Iya.” Jawabnya. “Kakak sakit apa?” tanya Leo. Dan seketika membuat Chacha kebingungan harus menjawab apa. Rasanya akan sangat memalukan jika ia menjawab nasib yang menimpa dirinya apa adanya. “Sakit hati.” Jawab Chacha. dua kata itu saja yang melintas di kepalanya. “Kamu yang sabar ya.” kata ibu kandung Leo, sambil mengusap lembut lengan Chacha. dan, gadis itu pun kembali menganggukkan kepalanya. “Kakaknya teman Leo juga ada yang punya penyakit hati seperti kakak.” Celetuk Leo, bocah itu menatap polos pada kedua perempuan dewasa itu bergantian. Setelah itu kembali berkata. “Kata temanku, kakaknya itu bisa sembuh, setelah mendapatkan hati pengganti. Dan, sekarang kakaknya teman Leo sembuh, dan sehat seperti dulu lagi.” tutur Leo menjelaskan apa yang pernah didengar dari temannya. Penjelasan bocah itu sedikit banyak membuka hati Chacha. Hati pengganti? Satu hal yang baru disadari oleh gadis itu. Kenapa tidak terpikir olehku? Lirih Chacha dalam hati. Pernyataan itu adalah solusi untuk masalah yang tengah dihadapi Chacha. Untuk menyembuhkan hati yang terluka, bukankah cara yang paling ampuh adalah menemukan penggantinya. Chacha menghela nafas lega. “Terima kasih Leo.” Ungkapnya. “Kenapa harus berterima kasih sama Leo?” tanya bocah itu penasaran, harusnya dia yang berterima kasih karena Chacha sudah mengantarnya pada sang mama. “Karena, Leo anak yang baik.” Jawab Chacha, sambil melebarkan senyum diwajahnya. Pertemuan singkat itu akhirnya berakhir sampai disitu. Mengingat malam yang semakin larut, Chacha harus segera kembali kedalam kamarnya, untuk beristirahat. Gadis itu berjalan perlahan. Namun, tiba-tiba kepalanya terasa berputar. Jadi yang dilakukan gadis itu adalah mengistirahatkan diri. Disebuah bangku panjang yang berada ditepi kolam ikan, ditengah bangunan tersebut. Ditemani keheningan, juga dingin yang terasa menembus sampai kedalam tulang. Suara gemericik air kolam, menambah kental kesunyian yang dirasakan. Menyandarkan punggung pada sandaran kayu yang ada dibelakang. Chacha sedikit menengadah, menatap ribuan bintang yang berada jauh diatas sana. Menikmati kesendirian yang terasa menyiksa. Berada jauh dari keluarga, menciptakan sebongkah kerinduan akan sang bunda. Tidak ada siapapun yang menemani, yang bisa diajaknya untuk berbicara. Mengeluhkan segala kesah. Meresapi setiap kesunyian, yang ternyata menyayat hati. Chacha mengusap butiran bening yang baru saja keluar dari sudut mata. Kenapa sakit hati bisa sesakit itu? Gadis itu kembali teringat akan deritanya. Perlahan ia belajar menepis seluruh sakit yang terus saja menghujam jantung. Melepas perlahan rasa sakit yang datang meracuni pikiran. Menghela nafas panjang. Gadis itu kembali berandai, sang mantan bisa berpikir luas, meredam amarah, untuk meluruskan masalah. Tidak menjadikan perpisahan, sebagai satu-satunya jalan pemecah masalah. Gadis berparas ayu nun manis itu meringis. Meratapi kesakitan yang tertutup rapat, tersembunyi dalam hati. Akibat cinta yang menurutnya mengkhianati. Jika ingin menuruti emosi, yang terus saja bergejolak dalam hati. Gadis itu ingin segera pergi dan tak kembali. “Tidak!” sanggahnya dengan cepat. Pemikiran seperti itu, hanya diperuntukkan orang yang putus asa. Hal, yang akan sangat memalukan. “Aku tidak selemah itu.” lirihnya, menyemangati diri sendiri. Diusapnya dengan kasar air mata terakhir yang jatuh membasahi pipi. Tak rela, air matanya terbuang sia-sia untuk hal yang sungguh menyia-nyiakan waktunya. Gadis itu kembali berdiri tegak. Mengumpulkan seluruh kekuatan, untuk kembali melanjutkan harinya. Melangkah dengan berbagai keinginan terpendam yang yang hanya bisa diucap dalam hatinya. Tuhan… Jika dia bukan ditakdirkan untukku, bersihkan dia beserta kenangannya dari dalam hatiku. Akan terlalu egois, jika aku meminta hatinya untuk kembali. Rasanya sungguh berat untuk kujalani, atau aku yang memang terlalu lemah menghadapi. Hingga sampai aku berpikiran, bahwa hidup ini seperti tak berarti. Tuhan… Jika dia memang Kau cipta bukan untukku. Datangkanlah padaku, hati pengganti, sebagai obat penawar luka hati ini. Dipenghujung anak tangga yang dilalui oleh Chacha. Rasa pusing semakin tak tertahankan lagi. Semua yang dilihatnya, seolah berputar dengan begitu cepat. Tak kuat lagi. Dipegangnya dengan erat kepala dengan kedua tangan. Tiang penyangga yang sempat dipegang, jatuh bergelimpungan, sampai terlepas jarum yang tertancap pada punggung tangannya. Cairan berwarna pekat terlihat mengucur, menetes, meninggalkan bercak merah diatas lantai berwarna putih. Bayangan wajah ibu, ayah, seluruh keluarga, juga teman-teman Chacha tergambar jelas dalam isi kepalanya. Sampai wajah terakhir yang terlihat, membuat senyum gadis itu kembali tercetak. “Mas Haikal.” Lirihnya. Sebelum pada akhirnya, kegelapan merenggut seluruh kesadarannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN