4

2230 Kata
Ini sudah hari ketiga Kiera menginap di rumahku. Entah bagaimana caranya Kevin menjelaskan ke Ayah dan Bunda mengenai Kiera tapi yang aku tau anak kecil nan lucu ini sudah ada di kamarku beserta dengan bapaknya ketika hari pertama kedatangan mereka. Aku yang tadinya ingin tidur siang lantas mengurungkan niatku untuk tidur padahal semalaman aku mengerjakan tugas.             “Mama kok Papa belum telepon-telepon ya ? Kiera udah ngantuk banget”. Aku memperhatikan jam dan betul kata Kiera, kenapa Papanya belum telpon juga sampai sekarang ?             “Ya udah Mama telepon Papa kamu ya”. Panggilan yang pertama Kevin tidak mengangkat teleponnya. Apa mungkin dia ada kerjaan ya ? Coba sekali lagi kalau belum diangkat juga tinggal di w******p aja.             “Hal…”             “Lo siapa sih ? Daritadi gangguin orang aja”. Suara perempuan ?             “Ini bener dengan no hpnya Kevin ?”             “Iya ini bener no hpnya Kevin. Situ siapa ya ? Kok menelpon pacar gue ?”             “Seharusnya saya yang bertanya situ yang siapa. Dan tolong berikan hpnya Kevin ke dia dan bilang anaknya ingin bicara” ucapku kesal             “Oh jadi lo nanny nya Kiera ya. Bilang dong dari awal daripada gue nethink ama pacar gue… Sayaaangg nannynya Kiera menelpon nih katanya calon anak aku mau bica— aduh kamu kenapa sih yang pakai merampas hp kamu” Klik. Sambungan telepon mati. Dan satu hal yang harus aku lakukan sekarang adalah jangan menelpon Kevin terlabih dahulu, biarkan dia yang menelpon anaknya sendiri.             “Mama kenapa Papa nggak nelpon ?” tanya Kiera sambil mengucek-ucek matanya yang tampak memerah menahan kantuk. Aku pun segera memeluk Kiera dan menepuk punggungnya supaya dia bisa tertidur.             “Besok aja telpon Papa, dia lagi sibuk”. Sibuk sama pacarnya sampai anaknya tidak di telepon. Aku terus menepuk punggung Kiera sampai terdengar dengkuran halus lalu melepaskan tanganku. Aku sangat jengkel sekali dengan Kevin. Bisa-bisanya dia tidak menelpon anaknya yang notabene sudah menjadi kegiatannya selama dua hari ini dan malah sibuk berpacaran ? Dia pasti sudah tahu jadwal tidur anaknya tapi kenapa dia tidak menelpon ? Drrt..drrtt.drrtt             Aku mengambil hpku dan melihat panggilan dari Kevin. Cih, malas angkat. Aku meletakkan kembali hpku dan tidak mengindahkan panggilan tersebut. Lebih baik aku ikut bersama dengan Kiera menuju ke pulau mimpi.             Karena tamu bulanan datang aku bisa memperpanjang waktu tidurku dan menyiapkan pakaian yang akan aku dan Kiera kenakan untuk hari ini. Aku senang dengan rutinitas baruku ini. Mulai dari menyiapkan baju, menyisir rambut bahkan sampai menyiapkan bekal untuk Kiera. Aku merasa sudah seperti Mamanya Kiera. Tunggu barusan aku berpikir apa ??             “Ma aku haus”. Kebiasaan Kiera setelah bangun tidur adalah minum air jadi setiap malam aku akan menyiapkan segelas air minum. Setelah menunggu Kiera mengumpulkan semuanya nyawanya, aku memaksa Kiera untuk melakukan sholat subuh. Supaya nanti jadi kebiasaan untuk Kiera menjalankan sholat lima waktu sedari kecil. Ya ini juga sih yang diajarkan Ayah dan Bunda sewaktu aku dan kak Nia kecil jadi harus dilanjutkan ke anak-anak kami.             “Mama Kiera kangen Papa”. Oh iya kan tadi malam si Kevin menelpon balik. Aku mengambil hpku dan ternyata ada  sepuluh facetime calls, dua puluh missed calls dan lima belas pesan w******p yang masuk dari Kevin. Telepon yang terakhir tiga puluh menit yang lalu. Sebaiknya aku telepon balik orang itu dan langsung menekan speaker             “Kenapa kamu baru angkat teleponnya ?”. Whoopsies sepertinya ada yang marah. Cih bodoh amat.             “Papaaa !!”             “Halo anak Papa. Apa kabar nak ?”             “Papa kenapa tadi malam tidak telepon Kiera ?”. Emang enak nggak dijawab pertanyaan sama anak sendiri ? Hahaha             “Tadi malam Papa ada urusan jadi nggak sempat telepon Kiera. Maaf ya sayang”. Urusan apaan kalau sama cewek ? Ya pacaran lah.              “Mama mana sayang ? Papa mau bicara”. Eh ngapain mau bicara ? Malas banget. Aku lalu membisik Kiera agar menyampaikan kata-kataku ke Papanya.             Kiera melihat kearahku dan aku menganggukan kepala. “Mama bilang lagi ke kamar mandi jadi nggak bisa bicara sama Papa”.             “Jadi Mama lagi di kamar mandi sekarang ?”             “Nggak Pa, Mama lagi dandan”.              Astaghfirullah. Aku berbalik menghadap ke Kiera dan mendapati anak itu sedang tersenyum padanya. Kenapa kamu begitu polos nak ? Apakah aku terkena kualat karena mengajari anak kecil berbohong ?             “Oke nak. Bilang sama Mama kalau Papa akan telepon Mama kembali. Kiera belajar yang baik di sekolah ya. I love you”. Dia kenapa mau bicara sama aku ? Bukankah dia tahu kalau aku harus kuliah dan anaknya harus sekolah ? Bodo amatlah.  Aku menggamit tangan Kiera dan berjalan menuju ruang makan untuk sarapan. Dimeja sudah siap nasi goreng, telur dan nugget kesukaan Kiera. Aku mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng dan nugget, begitu pula dengan bekalnya untuk hari ini. Untungnya Kiera bukan anak yang suka memilih-milih makanan jadi semua makanan dia akan makan. Bahkan segala macam sayur pun dia akan makan. “Cucu Oma udah bangun ya” Bunda duduk disamping Kiera dan mencium pipinya. Kiera lalu memeluk Bunda dan duduk dipangkuannya sambil memakan sarapannya. Aku duduk dihadapan Bunda pun dengan lahap memakan sarapanku. Jadwalku hari ini tidak terlalu padat, hanya kuliah tiga mata kuliah lalu menjemput Kiera dan Fania di sekolahnya dan pulang. Semenjak Kiera tinggal di rumah, aku tidak ikut jalan-jalan atau nongki-nongki cantik dengan sahabatku.  “Bekalnya Kiera udah kamu siapin ?” tanya Bunda. Aku menganggukkan kepalaku dan tetap malanjutkan sarapan. “May tau nggak, Bunda tuh sempat berpikir kamu sudah cocok untuk jadi seorang ibu”. Aku mengernyit heran mendengarkan kata Bunda. “Kamu udah telaten banget ngurus Kiera. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Ya, Bunda sih tidak apa-apa kalau kamu nikahnya sama duda. Buy one get one free loh. Mana freenya yang lucu dan ngegemesin kayak gini” lanjut Bunda sambil mengelus puncak kepala Kiera “Maksud Bunda apaan sih ? Maya nggak ngerti” ucapku acuh “Tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti Maya ?” Bunda tersenyum sambil menaik-turunkan alisnya. Pleasedeh, umur aku baru 21 tahun belum mau berpikir kearah nikah dan lain-lain. Skripsi aja belum. Pokoknya harus selesai kuliah dulu, cafi kerja baru deh pikir tentang nikah. “Pokoknya nggak ada pembahasan tentang nikah ya Bun. Aku masih mau selesaiin kuliahku, cari kerja dan cari uang yang banyak biar aku bisa keliling dunia pakai uang aku sendiri. Urusan nikah nanti aja, aku masih kecil” sungutku “Maya jodoh itu Allah yang ngatur. Kalau tiba-tiba ada orang yang ngelamar kamu sebelum kamu selesai kuliah atau sebelum mendapatkan kerja ya itu rezekimu nak. Kita memang hanya bisa berencana tetapi Allah yang mengatur semuanya” ujar Ayah yang sudah duduk ditempat “kekuasaannya” “Iya Yah. Tapi…” “Ayah dan Bunda mendoakan yang terbaik untukmu nak. Kalau misalnya memang ada orang yang datang ke Ayah untuk meminangmu dan memang yang terbaik untukmu, Ayah pasti dengan ikhlas merelakan anak bungsu Ayah keorang tersebut. Ataupun kalau kamu mau keliling dunia dengan menggunakan uang yang kamu dapatkan dari hasil kerja keras kamu sendiri juga Ayah pasti akan mengizinkan” tambah Ayah. Aku hanya mengangguk dan melanjutkan sarapan dalam diam.  Setelah mengantar Kiera ke sekolahnya, aku singgah sebentar kesalah satu kafe untuk memesan kopi. Aku masih kepikiran tentang ucapan Ayah dan Bunda. Demi apapun umurku masih sangat belia untuk menjalin sebuah hubungan yang serius. Memang sih Ayah dan Bunda bahkan kak Nia dan kak Fahmi itu menganut prinsip nikah muda. Dan itu sangat bertentangan dengan prinsipku, atau bukan bertentangan sih. Maksudnya kalau sudah nikahkan bukan cuman diri sendiri yang bakalan diurus. Istri juga harus ngurus suami, rumah dan apalagi kalau ditambah duda seperti Kevin. Ada Kiera sebagai tambahan yang akan diurus. Masalahnya urus diri sendiri aja susah apalagi ngurus orang lain…   ·                       “Jadi lo nggak ikut nih ?” tanya Linda entah untuk keberapa kalinya              “Aku mesti harus jawab berapa kali lagi sih ? Kan harus jemput bocil-bocil di sekolahnya” jawabku yang juga entah keberapa kalinya sambil mengemasi semua barang-barangku.             “Lo semenjak jadi emak jadi nggak bisa diajak kemana-mana deh” gerutu Linda             “Sejak kapan aku jadi emak-emak ?”             “Ya sejak tuh bocil panggil lo mama. Mana udah nginep lagi di rumah lo” sahut Rara. Aku terdiam dan memikirkan perkataan mereka. Sudah empat hari jika terhitung dengan hari ini aku tidak menghabiskan waktu dengan kedua sahabatku ini. Biasanya kami akan jalan-jalan atau ngobrol di perpustakaan kampus. Tapi sekarang berbeda, ini hanya beberapa hari saja aku menghabiskan waktuku bersama dengan Kiera dan aku sudah tidak menghabiskan waktuku bersama sahabatku. Apalagi mengingat perkataan bunda tadi pagi ? Oh noo…             “Heh lo ngapain bengong ? Sono jemput anak lo kasian”. Aku menghela napas dan berpamitan kekedua temanku. Aku bergegas menuju ke parkiran dan tidak sengaja menyenggol seseorang.             “Aduh maaf gue ng— Maya..”             “Aku yang minta maaf kak soalnya lagi buru-buru malah nggak sengaja nyenggol kakak”. Kak Tristan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Mau kemana emang ? Kelas lo udah selesai ?”             “Mau jemput ponakan kak dan iya kelasnya baru aja selesai” kataku             “Mau jalan ke parkiran bareng ?”. Aku mengiyakan ajakan kak Tristan sepanjang perjalanan kami hanya diam sambil sesekali kak Tristan menjawab sapaan orang. Kak Tristan dikenal dengan sebutan “Social Butterfly”, itu loh yang punya temen banyak. Semua orang kenal dengan kak Tristan, mungkin penjual bakso yang sering jualan dekat pos satpam tau kak Tristan.             “Ponakan lo udah sekolah ya ?” tanya kak Tristan             “Iya kak tapi masih TK” jawabku singkat             “Wah sama dong kayak ponakan gue. Lagi aktif-aktifnya tuh mana suka minta dibeliin sesuatu lagi” kekehnya. Aku setuju dengan kak Tristan, Fania semenjak sudah sekolah suka banget minta dibeliin ini itu. Kalau nggak minta di orangtuanya, minta di aku dan kalau kami bertiga tidak membelikan apa yang dia mau pasti langsung minta ke ayah dan bunda. Kan aku juga pengen apa yang diminta dibeliin.             “Btw, lo ada acara nggak hari Sabtu ini ? Anak-anak ngadain bazar nonton buat acara BEM. Katanya lebih banyak pemasukannya hahaha”. Kebetulan banget aku bisa mengajak Linda dan Rara sambil menghabis waktu bersama mereka.             “Boleh dek kak… Eh tunggu sebentar kak”. Aku mengambil hpku yang berbunyi dan tertera nama Kevin. Ini orang kenapa menelpon sih ? Ku hiraukan panggilannya dan memasukkan hpku kembali kedalam tas.             “Nggak diangkat ?”. Aku menggeleng dan melanjutkan pembicaraan kami. Mobilku dan mobil kak Tristan ternyata terparkir bersampingan.              “See you around, May” ucapnya sambil melambaikan tangan. Aku melambaikan tanganku dan mengaduk-aduk isi tasku untuk mencari kunci mobil.             “Kenapa kamu nggak angkat panggilanku ?”             “Aaaaaaaaa….” Teriakku kaget. Aku berbalik dan mendapati Kevin berdiri dihadapanku. Aku masih terdiam ditempat sambil berusaha menetralkan degupan jantungku.             “Lo nggak pa pa May ?” tanya kak Tristan. Aku menggelengkan kepala dan duduk di kap mobilku. Aku lalu memandang Kevin dengan tatapan marah.             “Kamu kenapa bikin kaget sih ?” ucapku jengkel             “Kamu kenapa tidak angkat telepon aku ?” tanyanya lagi             “Kamu kenapa harus menelponku dijam-jam sekarang ? Kamu kan tau aku lagi kuliah jadi Kiera nggak sama aku” ujarku bete             “Aku maunya bicara sama kamu. Bukan sama Kiera”. Ngapain mau bicara sama aku ?             “Mmm, May lo udah nggak pa pa ?” tanya kak Tristan lagi Aku lupa kalau kak Tristan masih disini. Aku berdeham dan menggelengkan kepalaku. “Nggak kok kak. Cuman kaget aja tadi hahaha”. “Beneran ?”. Aku mengangguk sekali lagi. “Ya udah gue balik ya. Mari om” kata kak Tristan. Aku sontak saja tertawa karena kak Tristan memanggil Kevin om. Tampak rasa marah diwajah Kevin sambil memandang kearah mobil kak Tristan. Aku melambaikan tanganku saat dia menurunkan kaca mobilnya. “Siapa ?” “Seniorku” ucapku pendek. Aku mengambil kembali kunci mobilku tapi Kevin dengan segera merebut dari tanganku dan masuk kedalam.  “Kenapa diambil kunci mobilnya ?” “Aku aja yang nyetir. Kamu mau jemput Kiera dan Fania kan ?”. Sambil menghentakan kaki aku masuk kemobil dan duduk dikursi penumpang. Kami berdua diam saja dan aku sama sekali tidak tertarik untuk memulai percakapan dengannya. “Kenapa kamu nggak angkat teleponku tadi malam?” tanyanya tiba-tiba “Aku kan udah tidur jadi nggak bisa angkat telepon” “Aku menelpon hanya beberapa menit setelah kamu menelpon” “Kan aku udah bilang aku tidur” “Terus tadi pagi kenapa kamu nggak mau bicara sama aku ?” “Ngapain juga aku bicara sama kamu ? Kan kamu bicaranya sama Kiera bukan sama aku” “Ya aku kan mau ngejelas-” “You know what ? Kamu nggak perlu ngejelasin, tapi yang harus kamu tau kalau anak kamu nungguin telepon kamu sampai dia melewatkan jam tidurnya” ucapku kesal. Kevin terdiam tidak membalas ucapanku. “Aku tidak akan marah kalau kamu punya urusan pribadi, tapi setidaknya kamu bisa pasang alarm sebagai pengingat untuk menelpon Kiera” sambungku. “Baiklah, aku minta maaf” “Bukan minta maaf sama aku tapi minta maaf sama Kiera” ucapku. Dan selama perjalanan kami kembali diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN