bc

Mereka Masih Ada Di Rumah Ini

book_age16+
98
IKUTI
1K
BACA
others
tragedy
no-couple
mystery
scary
loser
male lead
supernature earth
supernatural
horror
like
intro-logo
Uraian

Based On True Story

Ini adalah kisah Andi yang memiliki segudang pengalaman mistis. Berawal dari rumah peninggalan Sang Bibi, yang akhirnya mengubah pandangannya terhadap sesuatu yang tak kasat mata.

chap-preview
Pratinjau gratis
Rumah Bibi
Cerita ini dimulai, sejak Andi menempati rumah baru itu. Saat tahun 2007. Rumah peninggalan Bibi. Di sebuah kota, provinsi Jawa Timur. Rumahnya sangat minimalis. Memiliki tiga kamar. Ada kolam ikan yang berada di depan rumah. Bibi Andi benar-benar suka memelihara ikan—sehingga ia membuat kolam tersebut. Padahal, sebelum pembangunan kolam, almarhum mbah mengatakan, "Jangan membuat kolam di depan rumah. Kata orang Jawa, itu akan berpengaruh dengan keberuntungan rumah dan penghuninya." Bibi Andi mengabaikannya. Sampai beberapa tahun kemudian, ia meninggal karena sakit yang di deritanya. Dan keluarga Andi, yang harus merawat rumah itu. Pada awalnya Andi sangat bahagia. Sejak kecil, Andi sering berkunjung ke rumah itu. Rumah itu udaranya sejuk. Banyak tanaman dan pohon di samping rumah. Sampai suatu hari, hal mengerikan sering terjadi padanya dan keluarga. *** Andi sedang dalam perjalanan untuk pergi ke sekolah. Karena jarak antara rumah dan sekolah sangat jauh—Andi naik transportasi umum. Andi seorang siswa di sebuah Sekolah Menengah Atas di kotanya. Sedangkan adiknya masih kelas 4 SD. Namanya Putra. "Mas, kamu enggak dengar apa-apa semalam?" tanya Putra. "Dengar apa?" jawab Andi. Sembari celingukan melihat ke arah sopir. "Suara itu! Seperti seseorang yang menepuk-kan tangan ke lantai!" "Itu hanya imajinasi mu! Mas sudah bilang, jangan terlalu sering lihat film horor!" "Tidak! Aku yakin itu bukan imajinasi ku! Ibu juga mendengarnya," elaknya. Andi mendesah kesal dan menatapnya. "Hei! Tidak ada hal seperti itu di dunia ini! Ck, kamu tuh ada-ada aja!" tampik Andi. Kemudian berbalik kembali ke arah depan. "Oh, Bang berhenti di depan!" Andi berteriak pada sopir. "Tapi, Mas, aku-" "Belajar yang rajin! Kalau waktunya pulang, seperti biasa, kamu tunggu ibu datang." " Kamu ngomong itu udah ratusan kali!" sindirnya. Andi hanya tersenyum. "Cepat turun." Putra bergegas turun. Di luar angkutan, beberapa saat dia menatap Andi. Andi melambai. Tapi, Putra menjulurkan lidahnya, mengejek Sang Kakak. Masih kesal karena Andi tak percaya dengan kata-katanya. Sebenarnya, bukan Andi tidak percaya itu, tapi Andi tidak ingin percaya. Andi juga mendengar suara-suara aneh itu. Andi berusaha mengabaikannya. Setiap malam, Andi selalu mendengarkan radio kesayangannya. Dan, ketika mulai mendengar suara-suara aneh itu—Andi mengeraskan suara radio. Ia menghindari hal-hal ini, bukan tanpa alasan. Entah bagaimana awalnya, tapi sejak duduk di bangku SD, ini semua sudah sering terjadi. *** Sebagai anak berumur 12 tahun, Andi sering menunjukkan kekonyolannya. Bergurau. Menjahili teman. Menceritakan hal-hal lucu. Tapi kadang-kadang, Andi berbicara sesuatu yang tidak masuk akal. Teman-teman sekelasnya, tidak ada yang melihat keanehan dari dirinya. Sampai semua itu terjadi. Andi sering bertukar cerita dengan Sahnaz— temannya sebangku. Pada saat itu, kelas sedang ramai, karena guru sedang rapat di kantor. Andi bicara dengan nada seru— menceritakan berbagai hal, dengan Sahnaz saat ini. Lalu, ia menatap pintu yang sedang terbuka. "Langit cerah, ya," kata Sahnaz. Dari tempat duduk mereka, memang langit terlihat biru dan hampir tidak ada awan. "Tidak. Lihat saja, sebentar lagi hujan akan turun," pungkas Andi. Sahnaz berpaling padanya. "Tidak mungkin hujan," tukasnya, menertawakan Andi. Beberapa detik kemudian, turun hujan lebat dan langit berubah gelap. Lalu, Andi tersenyum. Sahnaz terkejut dan menatapnya. "Kamu benar. Hujan!" Pada saat itu, Sahnaz tidak merasakan keanehan dari Andi. Dia hanya menganggap itu suatu kebetulan. Dan, hal yang sama terjadi pada hari berikutnya. Dalam sebuah kelas, tidak akan pernah lepas dari anak nakal. Sebut saja Tomi. Dia sedang membanggakan robot baru di depan teman-teman lain. Sehingga membuat suasana kelas semakin riuh. Di sekolah mereka, dilarang keras untuk membawa mainan. Sahnaz sekilas meliriknya kesal. "Aku benar-benar benci sama Tomi!" "Kenapa?" Andi bertanya. "Kamu ngerti nggak? Sepulang sekolah kemarin, dia memukul kepalaku dari belakang," terangnya, kesal. "Terus kamu balas?" Sahnaz menggeleng. "Dia naik sepeda. Aku jalan kaki. Bagaimana aku bisa mengejarnya," jelas Sahnaz. Lalu, Andi melihat Tomi sesaat. "Aduh, waktunya masuk. Lebih baik, aku simpan dulu di kamar mandi," kata Tomi, berjalan pergi. "Aku benar-benar ingin guru menangkapnya membawa mainan. Agar ia dihukum!" kata Sahnaz, dengan geram. "Tenang saja. Guru akan segera tahu," celetuk Andi. Tak lama kemudian, Tomi kembali ke kelas, Di saat yang sama guru juga masuk. "Tomi maju," perintah Ibu Della. Ragu-ragu, Tomi melangkah lebih dekat ke Ibu Della. "Kamu membawa mainan, bukan?" "T-tidak Bu." ”Jangan bohong! Di mana kamu menyembunyikan mainan itu?" "Tidak Bu. Aku tidak membawanya." Tomi terus menyangkal. Lalu, Andi memandang Ibu Della. "Di kamar mandi. Tumpukan batu bata," kata Andi dalam hati. Ibu Della mengerutkan kening. “Kamu sembunyikan di kamar mandi, kan?" Tomi melebarkan matanya dan menggeleng. "Tidak Bu! Tidak!" Ibu Della bergegas ke kamar mandi, dan kembali membawa robot. Sang pemilik robot menangis "Rasakan!" gumam Sahnaz. Kemudian ia berpaling pada Andi. "Sekali lagi, kata-katamu terbukti. Lama-lama kau seperti dukun, ya?" Andi menyunggingkan senyum. Dan, Sahnaz mulai menatapnya dengan sedikit rasa takut. Selanjutnya, kejadian terakhir adalah— saat Andi mendapatkan piket giliran dari Guru. Setiap siswi kelas Lima, selalu mendapatkan piket pagi. Membuat teh untuk para guru. Dan pada hari itu, giliran Andi tiba bersama dengan Sahnaz dan salah seorang teman—Angel. Mereka mencuci gelas di depan dapur. Dan Andi menunggu air mendidih di dalam. Sebenarnya, ruangan itu bukan dapur. Lebih tepatnya, gudang penyimpanan peralatan olahraga. Karena memang sekolah mereka tidak memiliki dapur. Akhirnya satu ruangan, dijadikan dua tempat. Diberikan sekat yang terbuat dari papan tripleks untuk ruang dapur. Andi bersenandung ringan, dengan mengayunkan kaki. Tap. Tap. Tap. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang. Keningnya berkerut. Langkah kaki tidak lagi terdengar. Dan, Andi kembali bernyanyi. Tap. Tap. Tap. Langkah kaki terdengar sekali lagi. Dan, itu datang dari balik sekat, yang di ada di depannya. Rasa ingin tahu mulai mendekatinya. Perlahan-lahan, ia berdiri. Suara masih terdengar. Andi membungkuk dan memiringkan kepala. Mengintip di antara sekat bawah. Andi mulai menyipitkan mata. Lalu, Andi melihat sepasang kaki yang berjalan ke arah kanan. Sepasang kaki yang mengenakan sepatu fantovel hitam pria dan celana putih. "Siapa itu?" gumamnya. Saat Andi sedang mengamati sepasang kaki itu, ada yang menepuk bahunya. "Andi!” Andi terkejut dan langsung berdiri. "Lagi apa kamu?" tanya Sahnaz. "Kamu enggak lihat seseorang datang?" "Tidak. Kenapa?" "Aku melihat seseorang berjalan di belakang sekat itu." "Ini masih sangat pagi. Belum ada yang datang kecuali kita. Tidak lama, Ibu Della datang menghampiri kami. "Apa kalian sudah selesai membuat teh?" dia bertanya. Mereka bertiga kompak menggeleng. "Andi bilang, ia melihat seseorang berjalan di dalam ruangan," sahut Angel. "Benarkah?" tanya Ibu Della. Lalu, memeriksa ruangan dan kembali pada kami. "Tidak ada siapa-siapa," kata Bu Della. "Bu, Apa tempat ini bekas rumah sakit?" "Lebih tepatnya, sebuah klinik kecil. Tapi di tutup, karena sesuatu terjadi pada salah satu Dokternya." "Aku melihatnya." "Siapa?" "Aku melihat Dokter itu." "Tidak mungkin." "Sungguh, aku melihatnya." "Andi, Dokter itu sudah mati." "Aku tahu.. sepasang kaki yang kulihat sebelumnya, adalah kaki Dokter tersebut. Dan dia sedang berdiri di belakang kalian." Dan sejak hari itu, rumor tentang keanehannya beredar cepat. Seperti kilatan cahaya. Karena itu, hampir semua teman-temannya menjaga jarak dengan Andi. Sampai pada akhirnya, Andi memutuskan untuk berpura-pura tidak melihat kehadiran makhluk lain, di dunia ini. ** Perjalanan dari rumah ke sekolah, memakan waktu hingga 45 menit. Ketika tiba di stasiun kereta—Andi segera turun dan bergegas ke gedung sekolah, yang tidak jauh dari situ. Di lirik jam di tangan kirinya. Lima menit lagi, bel akan berbunyi. Andi tidak ingin membersihkan kamar mandi lagi. Hanya Andi yang sering terlambat. Karena jarak dari rumahnya yang jauh dari sekolah. Setibanya di gerbang depan, Andi berhenti sejenak dan mengatur napas. Beberapa detik kemudian, bel berbunyi. Beriringan dengan teriakan yang melengking, memekakkan telinga. Membuatnya tersentak kaget. Seorang gadis berteriak, dari dalam sekolah. Dari tempatnya berdiri, Andi bisa melihat sebuah Mushola. Pagi itu, Mushola tidak sepi seperti biasanya. Hari itu sangat ramai dengan kerumunan para siswa serta para guru. Andi yang mulai penasaran, berjalan cepat mendekati mereka. Dan bertanya pada salah satu siswa. "Ada apa?" "Ada yang kesurupan!" jawabnya. Sudah beberapa bulan, banyak siswa yang kerasukan. Setelah mereka membongkar gedung di belakang sekolah, banyak hal-hal mistis terjadi di sekolah ini. Adik kelasnya yang kerasukan terus meracau tidak karuan. Intinya, dia ingin mencelakai mereka semua. Karena sudah merusak rumahnya tanpa izin. Kepala sekolah pun menyuruh kami untuk segera masuk kelas. Agar kerasukan ini tidak merembet ke yang lain. Bisa susah urusannya. Sejenak Andi menatap adik kelasnya yang tengah meraung itu. Kondisinya sedikit memprihatinkan. Rambutnya acak-acakan, keringat membasahi tubuhnya. Beberapa bagian dari wajah dan sekitarnya ada butiran garam. Kata orang-orang zaman dulu, garam adalah salah satu hal yang di benci oleh roh-roh. Dengan menaburkan garam di sekitar, dan membasuh nya pada seseorang yang telah kerasukan, akan dapat mengusir roh-roh. Namun pada kenyataannya, Roh itu masih tidak pergi dari tubuh siswi tersebut. Seorang guru laki-laki, di belakang memegangnya. Dia semakin meraung seperti orang gila. "Awakmu!" serunya, melihat Andi. *Awakmu: Kamu. Bola matanya membeku. "Aku ra seneng ndelok kowe! Ngaleh!!" *Aku tidak suka melihatmu! Pergi! Andi terbelalak. Buluk kuduknya berdiri. Merinding tidak karuan. Andi putuskan untuk melangkah pergi. "Lapo kowe seng ngalih, Le?" *Kenapa kamu yang pergi, Nak?" Andi berhenti. Memberanikan diri, menatapnya. Seringainya mampu membuat Andi berkeringat dingin. "Aku ora ngomong karo kowe. Tapi, karo seng nang mburi mu. Lapo, ngetutno arek iku terus? Gara-gara arek iku isok ndelok awak dewe tah?" *Aku nggak ngomong sama kamu. Tapi, sama yang ada di belakangmu. Kenapa kamu ngikutin dia terus? Gara-gara dia bisa lihat kita? Andi hampir menangis. Badannya lemas. Pikirannya sudah tidak karuan. Tengkuknya sudah terasa panas. Perutnya mual. Jika saja, kepala sekolah tidak membawanya pergi, mungkin tubuhnya sudah di ambil oleh mereka. *** Karena kejadian tersebut, pelajaran di jam pertama menjadi kosong. Dan membuat kelas menjadi ramai. Sebagian ada yang belajar sendiri. Beberapa ada yang pergi ke kantin. Sisanya berkumpul di meja belakang. Andi memilih untuk merebahkan kepalanya di atas meja. Paginya di mulai dengan cukup buruk. Ia ingin terpejam sesaat. Para gadis yang berada di belakang— membicarakan kejadian tadi pagi. "Aku semakin enggak nyaman di sekolah ini. Gila banget, ya.. setiap hari selalu ada aja yang kesurupan." "Iya nih.. Aku jadi takut kalau mau kemana-mana. Jadi merasa ada yang mengikuti di belakang. Gara-gara nya gedung belakang di bongkar nih. Harusnya, kan di beri sesajen gitu." "Dengar-dengar, Sinta anak yang minggu lalu kesurupan, sudah enggak bisa masuk sekolah lagi. Dia— jadi gila. Teriak-teriak sendiri. Kadang mau bunuh diri juga." "Yang benar kamu?" "Serius!" "Ya ampun, kasihan sekali." "Terus kalian tahu enggak? Waktu kejadian tadi, siswi yang kerasukan menunjuk ke arah Andi. Dia mengusir Andi." Mendengar namanya disebut, ia berdiri. Dan menghadap mereka. "Kalian ini berisik banget, sih?!" Mereka menatap Andi kompak. "Kamu enggak takut, Ndi?" "Enggak." "Kalau aku jadi kamu.. Aku langsung pingsan deh." "Kalian tahu enggak? Mereka itu peka banget loh. Kalau kalian bicarakan mereka, lama-lama mereka bakal ada di tengah-tengah kalian." "Kamu jangan membuat kami takut, ah!" "Tuh, ada satu di belakang kalian." Andi berjalan keluar setelah itu. Meninggalkan mereka yang berteriak ketakutan. *** Pukul 13.01. Andi sudah tiba di rumah. Melepas sepatu dan kaus kaki. Lalu, membuka pintu depan. "Assalamualaikum." "Wallaikumsalam. Jangan lupa cuci kaki dan tangan. Ibu tadi masak sayur sup kesukaanmu." "Aku masih capek. Nanti saja." "Mas, jangan lupa janjimu, ya!" "Iya.. Bangunin Mas nanti." Tanpa ganti baju, Andi berbaring di kasur. Sebuah kipas kecil, membantunya untuk mengusir rasa gerah yang menyelimutinya. Andi tidak memiliki ranjang, karena ia membencinya. Pada kenyataannya, hantu suka bersembunyi di bawah tempat tidur. Ketika Andi masih kecil, ia suka bermain petak umpet dengan saudaranya. Dan singkat cerita— saat itu, Andi bersembunyi di bawah ranjang dengan Ryan, adik sepupunya. Ia tertawa riang, karena menemukan tempat sembunyi yang sempurna. Tidak lama setelah itu, ranjang bergerak. Seperti ada yang melompat di atasnya. Andi dan Ryan saling memandang. "Siapa itu?" Andi bertanya. Ryan menggidikkan bahu. "Enggak ada siapa-siapa, kan tadi?" Andi mengangguk. "Kalau ada yang naik, pasti kita tahu. Tapi dari tadi, enggak ada yang masuk ke kamar ini." Dari sudut Andi meringkuk, bisa melihat langsung ke arah pintu. Rasa takut mulai menghampirinya. Ranjang menggelayut semakin cepat. Andi pun memberanikan diri untuk melihatnya. Perlahan merangkak keluar dan melongok kan kepala. Ranjang berhenti bergerak. Dan, tidak ada orang di atasnya. Kemudian, Andi kembali merangkak di bawah tempat tidur. "Enggak ada siapa-siapa," katanya, menatap Ryan. "Mas.” Panggil seseorang dari sampingnya. Andi berbalik ke arahnya. Matanya melebar. "Ryan?" "Kamu sembunyi kok enggak ajak-ajak aku, sih?" "Kamu .. Kenapa di situ .. Terus .. itu di sini .." kata Andi gugup, sambil menunjuk ke samping. Andi menelan ludah berat, dan melirik kan mata perlahan ke arah samping. Ada anak kecil, berwajah pucat, mata hitam dan berdarah. Mulutnya sangat lebar dan tersenyum mengerikan. "Mas!" Andi terbangun dengan tersentak mendengar Putra memanggil. Dengan lemas, ia berusaha duduk dan menyilangkan kaki. "Apa?" "Sudah mau magrib. Kata ibu, kamu cepat mandi." Andi mengangguk. Sejak kejadian itu, Andi lebih suka tidur tanpa ranjang. ** Setelah mengambil baju ganti, Andi mengalungkan handuk di leher. Berjalan malas ke kamar mandi yang berhadapan langsung dengan dapur. Ibu sedang menyiapkan makan malam. Andi membuka pintu kamar mandi. Menutupnya kembali. Menggantungkan handuk pada pintu. Lalu memutar keran. Di sini perasaannya mulai tidak enak. Melihat sekeliling sembari menarik gayung. Andi merasakan sesuatu sedang mengawasinya dari belakang. "Ah, enggak mungkin," Andi meyakinkan diri sendiri. Otak dan hati sudah tak sejalan. Andi cukup yakin, seseorang sedang mengawasinya. Tapi, Andi kembali meyakinkan diri, jika tidak ada apapun di belakangnya. Hingga udara tiba-tiba terasa dingin. Menembus pori-pori nya. Merinding. Sudah mulai terasa tak nyaman, aku memberanikan diri untuk memutar tubuh. Di sudut kamar mandi ada sosok nenek. Berambut putih. Mengenakan pakaian wanita Jawa kuno. Dan menundukkan kepalanya. Seketika, kaki dan tangannya menjadi dingin. Andi kembali memutar badan, membelakangi sosok tersebut. Dan dengan cepat, ia membuka pakaian. Mandi dengan super cepat. Kemudian meraih handuk yang tergantung tepat di sebelah sosok yang mengerikan itu. Andi segera membungkus sebagian tubuhnya dengan handuk, sembari sesekali melirik ke arah sosok itu. Sosok tersebut perlahan mengangkat kepalanya dan menatapnya. Andi segera membuka pintu dan menutupnya kencang. Nafasnya tersengal. Lantas, ia berlari ke arah Eva—ibunya. Membuat Eva terkejut. "Ada apa?" “O-oh? Eng-nggak. Mas Rendi, enggak pulang minggu ini?" Pertanyaan itu muncul begitu saja di pikirannya. "Mas mu lagi sibuk mau ujian. Kenapa? Kamu kangen?" "Enggak. Aku cuma merasa aman aja, kalau ada laki-laki di rumah." "Terus adikmu itu? Kamu juga? Bukan laki-laki?" "Oh, iya sih. Hehe." Di rumah ini, Andi hanya tinggal dengan Ibu dan adiknya. Kakaknya edang belajar di luar kota. Dan ayahnya— tentu saja, ada di rumah ibunya. Ayah dan ibu bercerai sejak Andi masih di SMP. Ia jarang bertemu dengan ayah sejak itu. ** Setelah makan malam, Andi dan Putra bermain bulu tangkis di depan rumah. Selepas isak, Andi selalu bermain bulu tangkis dengannya. Di jam tersebut, jalan di depan rumah sangat sepi. Hampir seperti desa tak berpenghuni, meski jalan raya besar hanya beberapa meter dari rumahnya. Ketika gilirannya menangkis, dari kejauhan ia melihat sebuah cahaya putih memiliki bentuk yang bulat. "Apa itu?" gumamnya. Cahaya putih itu semakin besar dan melayang ke arahnya. Andi mulai mengernyit. "Ada apa, mas? Jangan nakutin, ah." "Putra kesini. Cepat!" "Putih-putih itu apa, mas?" tunjuk nya, melihat ke arah cahaya putih itu. "Enggak tahu." Awalnya, Andi mengira itu adalah kunang-kunang. Namun, tahap demi tahap cahaya putih itu semakin besar dan memanjang hingga mencapai tanah. Andi tersentak kaget. "I-tu .. Po-pocong, mas?" seru Putra, gugup. Lalu sosok itu melompat ke arah keduanya. Wajahnya busuk berwarna hitam. Dia tidak memiliki mata. "Lari!" Aku menarik tangannya dan berlari ke dalam rumah. Serta segera mengunci pintu. Mereka berdua terengah-engah. "Mas, itu tadi pocong, kan?" "Sudah jangan di bahas. Kita tidur aja." Putra masuk ke kamar Ibu, sementara Andi pergi ke lemari es yang berada beberapa langkah dari kamar Eva. "Mending ketemu kecoa terbang, meski sama-sama menakutkan." Andi meneguk air dan membalik badan, menghadap kamar Eva yang terbuka. Sosok wanita dengan rambut panjang acak-acakan, merangkak di bawah tempat tidur. Membuatnya tersedak. Dan tepat di atas itu, Eva berbaring. Sosok wanita itu menatapnya tajam. Lebih tepatnya melotot. Andi memejam kesal, berlari ke dalam kamar. Menarik selimut dan tidur. Memang, Andi tidak pernah mengatakannya pada Eva. Baginya, ini semua tak masuk akal. Andi benci menjadi berbeda. Andi benci ketika merasa gugup dan merasa takut sepanjang saat, ketika makhluk itu menampakkan diri. Andi ingin protes. Tapi, itu akan membuatku jadi tidak mensyukuri hidupnya. ** Samar-samar, Andi mendengar ayam berkokok dengan lantang. Matahari menyapanya dengan hangat. Dan, ia berpikir, apa yang terjadi kemarin malam adalah suatu kesialan mereka berdua. Pun, ia 1berharap bahwa hari ini tidak terjadi lagi. Tapi, ternyata tidak. Hal-hal buruk itu,1 kembali terjadi pada malam hari. Seperti biasa, malam itu Andi bersantai di kamar, mendengarkan radio. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri mengikuti irama lagu yang sedang dimainkan saat ini. Srek .. Srek .. Srek .. Terdengar suara berderak. Bola matanya berputar dan mendekatkan telinganya ke radio. Srek .. Srek.. Srek .. Suara itu terdengar lagi. "Bukan dari radio. Dari mana suara ini?" gumamnya. Lalu, ia mengecilkan volume radio, mencoba untuk mendengarkan suara itu. Srek .. Srek.. Srek.. Itu datang dari jendela kamarnya. Jendela kamarnya terbuat dari kayu, sehingga jika ada sesuatu yang menggesek akan menimbulkan kebisingan. "Apa kucing, ya?" Andi menebak. Perlahan-lahan, Andi berdiri dan mendekati jendela. SREK ! SREK ! SREK ! Suara itu semakin cepat dan kencang. Lalu, Andi menjerit dan berlari ke kamar Eva yang berdekatan dengan kamarnya. Andi menangis di samping Eva. Karena Andi menyadari, bahwa suara tersebut bukan dari kucing atau hewan lain. Sebaliknya, dari kuku jari yang digosokkan pada kayu. "Kamu kenapa?" tanya Eva. "Aku benci mereka. Mereka selalu mengganggu." Eva mendesah simpatik. "Bu, kenapa aku bisa lihat mereka? Kenapa mereka mengganggu kita?" Eva sesaat diam dan bangun. Ia duduk dan memandang Andi yang terisak-isak. "Dulu.. kakek buyut mu adalah seorang warga Negara China. Dia pindah ke Indonesia karena tertarik pada budaya di sini. Dia mulai belajar semua budaya di Indonesia. Dan ia belajar pada seseorang di Padepokan yang terkenal pada saat itu. Kakek buyut mu sangat ingin melihat hal-hal semacam itu. Selama bertahun-tahun, dia mendalami ilmu itu. Sampai akhirnya ia menjadi kuat. Para roh menjadi pengikutnya. Tapi satu hari, ia jatuh sakit. Dan menurunkan ilmunya ke mbah mu. Sehingga, Mbah juga bisa berkomunikasi dengan roh dan mengendalikan mereka. Sampai itu, menjadi jimat yang turun-temurun dalam keluarga kita. Ibu juga memilikinya, Ndi. Dan, ingin membuangnya. Tapi tampaknya jimat itu, masih ingin tinggal dengan keluarga kita dan mengikuti mu," jelas Eva. "Jimat itu.. wujudnya bagaimana?" "Wujudnya berubah. Kadang-kadang dia bisa menjadi manusia seperti kita. Tapi, tak kasat mata. Dan hanya kita yang bisa melihatnya. Jika kita tidak bisa mengendalikannya, jimat itu akan melemahkan jiwa kita dan mengambil alih hidup kita." "Ta-tapi, aku enggak mau lihat mereka, bu. Semua teman-temanku mencibirku. Mereka selalu bilang aku orang yang aneh. Terus.. makhluk itu mengerikan." "Andi.. mereka adalah makhluk yang lemah. Mereka akan lebih kuat, kalau kamu semakin takut. Karena mereka akan mengambil rasa takutmu untuk menjadi kuat. Kamu harus menghadapi mereka. Ini takdirmu. Kamu harus bisa." PLAK! PLAK! Muncul suara seperti orang menepuk-kan tangannya ke lantai, ketika Andi sedang berbicara dengan Eva. Kali ini suara itu berasal dari ruang TV. "Bu, suara apa itu?" "Enggak tahu. Tunggu.. Biar ibu lihat." Eva turun dari ranjang, membuka sedikit pintu dan melongok kan kepalanya ke luar. Kemudian, melihat ke arah kiri dan ke kanan. Lalu berbalik, menghadap Andi. "Enggak ada apa-apa." Sementara Andi, melebarkan mata melihat sesuatu di belakang Eva. "B-bu.. Itu," tunjuk nya. Eva berbalik ke arah belakang. Sosok bertubuh tinggi besar, berwarna hitam, bertelanjang d**a dan kaki, rambut panjang, mata merah menyala berdiri di belakangnya. Wuaaaaaaaaa! Raung sosok tersebut, suara itu mengerikan dan lantang. Secara refleks, Eva membanting pintu dan menguncinya. Putra yang sebelumnya tidur, sekarang terbangun karena mendengarkan suara itu. Dia menangis dalam ketakutan. Takut. Gugup. Dan, kebingungan menjadi satu. Andi ingin menangis, tapi itu akan membuat Putra semakin menangis. Lalu, Andi mengepalkan tangan. Menahan tangis agar tidak pecah. Eva mendekati mereka. Memeluk keduanya dengan erat. Sementara itu, di luar kamar—masih terdengar raungan sosok itu. Prang! Prang! Terdengar beberapa barang pecah. Di ikuti bunyi berdebum berulang kali. Dak! Dak! Dak! Ketukan di pintu sangat keras, membuat Andi semakin takut. Andi menangkup telinga, menundukkan kepala dan memejam erat. Berharap hal ini akan segera berakhir. Tapi tidak. Mereka semakin beringas, seakan ingin menghancurkan rumah ini. Dan, tiba-tiba sesosok bayangan putih, menembus pintu dan datang mendekati mereka. Andi menatapnya dan seluruh tubuhnya gemetar. Putra membenamkan kepalanya di bahu Eva. "Pergi! Jangan ganggu keluargaku! Pergi!" pekik Eva. Tapi sosok itu terus melayang ke arah Eva. Rambut panjangnya menutupi wajahnya. Terlihat lebih mengerikan. Lalu, sosok itu mengangkat kepalanya dan melayang sangat cepat ke arah Eva. Dalam sekejap masuk ke dalam tubuh Eva. Membuatnya terdiam. Menundukkan kepala. "Bu??" panggil Andi. "Bu.. Jangan buat kami takut." Tiba-tiba Eva tertawa. Suaranya berbeda. Andi terbelalak. "Putra, kesini!" Andi merangkul putra. Eva tersenyum mengerikan. "Bu, sadar bu.." "Ndang ngalih tekan kene," kata Eva. Suaranya terdengar berat. *Cepat pergi dari sini "Enggak. Kamu yang harus pergi!" pinta Andi. "Lek gak ngalih.. Seng nang njobo iku bakale gawe ciloko awakmu karo keluargamu." *Jika kalian tidak pergi. Mereka yang berada di luar sana akan membunuh kalian. "Kabeh iku ra seneng karo awakmu. Jimatmu iku seng marai kabeh ngamuk. Ga isok sesandingan." *Mereka membencimu. Karena jimatmu mengganggu mereka. Mereka tidak bisa hidup di lingkungan yang sama. “Mateni tah di pateni. Mung iku pilihane. Mangkane, kabeh milih gawe mateni kowe." *Dihancurkan atau menghancurkan. Hanya dua pilihan yang ada. Oleh karena itu, mereka memilih untuk membunuhmu. Andi terhenyak dan bahkan menangis. "Bu.. Aku harus bagaimana?" "Ngalih tekan kene! Sesuk isuk, awakmu wes kudu ngalih tekan kene." *Tinggalkan rumah ini. Saat matahari terbit, kalian harus meninggalkan tempat ini. "Aku ra isok mbantu opo-opo. Mung isok ngandani iku. Wes, aku muleh." *Aku tidak bisa bantu apapun. Hanya bisa mengingatkan. Aku pulang dulu. Nafas ibu terlihat cepat. Perlahan Eva sadar. "Syukurlah, bu. Ibu, udah sadar." Malam ini adalah malam terburuk yang dialami oleh ketiganya. Mereka tak pernah membayangkan, terjadi hal-hal buruk yang terjadi pada kita. Sering aku melihatnya di film horor. Tapi Andi tidak pernah berpikir, jika itu terjadi nyata dalam hidupnya. Beberapa jam telah berlalu. Putra kembali tidur. Sementara itu, Andi dan Eva terjaga sepanjang malam. Andi melirik jam yang menempel pada dinding. "Pukul 06.00," gumamnya. Suasana menjadi hening. Suara bising itu sudah tak terdengar lagi. Kemudian Eva berdiri. "Bu, mau kemana?" "Tunggu. Ibu mau periksa dulu." Perlahan-lahan, Eva memutar kunci dan membuka pintu. Melongok kan kepalanya keluar, melihat sekeliling. "Ya Allah," kata Eva. Andi mengernyit penasaran dan berjalan ke arahnya. Eva berjalan keluar dan Andi mengikutinya. Ia terkesiap, melebarkan mata karena melihat kondisi rumahnya yang berantakan. Pecahan piring serta kaca tersebar di mana-mana. Foto, jam dinding, televisi, dan beberapa objek lainnya sudah tidak dalam posisi semula. "Mereka mengamuk semalam," gumamnya. Akhirnya, Eva memutuskan untuk kembali ke rumah Mbah pada hari yang sama. Dan, meninggalkan barang-barang mereka di rumah ini.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Scandal Para Ipar

read
707.8K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
639.9K
bc

Life of An (Completed)

read
1.1M
bc

Patah Hati Terindah

read
80.6K
bc

Marriage Aggreement

read
86.9K
bc

JANUARI

read
48.8K
bc

Life of Mi (Completed)

read
1.0M

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook