Pertemuan Pertama [Part 1]
"Dulu, aku pernah mengenal seseorang. Dia adalah orang pertama, yang aku kira bisa menjadi tempatku untuk berteduh. Dia mengatakan, bahwa dia akan selalu berada di sisiku. Tapi... dia bohong, dia tidak menepati janjinya."
***
5 tahun yang lalu.
Miya Louren, baru saja menjejakkan kaki di teras depan rumah. Pandangannya menangkap siluet laki-laki yang memakai jas hitam. Dia duduk dengan menawan, sambil berbincang dengan orang tua Miya. Laki-laki itu terlihat maskulin, dengan rambut sedikit gondrong dan kacamata hitam dan senada dengan setelah jas yang dia pakai.
Di sebelah pria berkaca mata itu, juga ada sepasang lelaki dan wanita paruh baya. Mereka langsung mengalihkan perhatian mereka, pada Miya yang baru saja pulang sehabis bekerja. Merasa tidak enak, Miya segera masuk sambil sedikit membungkuk sopan.
"Miya, sini, Nak." perhatian Miya teralihkan, saat suara dari Ibunya yang langsung menyuruh Miya duduk. Dengan kikuk, Miya tersenyum balik pada Pria itu dan juga keluarganya, mungkin. Lalu duduk di sebelah sang Ayah.
"Ya ampun... Miya, kamu tumbuh semakin cantik aja. Dulu kami sering dateng kesini pas kamu kecil, inget nggak?" tanya pria di depan Miya. Di sambut dengan gelengan pelan dari Miya tersenyum kikuk.
"Dia nggak bakal inget. Kalian aja dateng kesini pas dia masih belajar ngomong. Makannya sering-sering dateng kesini," gurau Ayah Miya.
"Pengennya sih gitu, tapi kamu tau sendiri kerjaan kami gimana. Bahkan Rean baru pulang sekolah dari luar negri beberapa tahun lalu. Jadi kami baru sempet ketemuin mereka," papar pria paruh baya itu, sambil melirik Miya.
"Ahahah, betul juga ya. Miya, berapa umur kamu sekarang?" tanya pria itu lagi.
"20 tahun," jawab Miya singkat. Jujur saja, Miya sedikit takut pada pria berkaca mata itu. Pria yang selalu menatapnya dengan pandangan aneh dan tersenyum tipis sesekali.
"Kenalin, saya Theo Zake, temen lama orang tua kamu. Ini istri saya, Seira. Dia dulu suka banget gendong kamu, katanya kamu cantik dari lahie," jelas Theo sambil menggenggam erat tangan Seira yang tersenyum lebar.
"Kamu pasti bingung, kenapa kami tiba-tiba berkunjung. Apalagi kamu belum pernah ketemu kita sekalipun," ucap Seira.
"Hehe, iya," kekeh Miya sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal.
"Miya, kenalin ini Putra kami, Reanold Zake. Dia 3 tahun lebih tua dari kamu. Tapi jangan terlalu formal, dia lebih suka wanita yang santai." Sontak, pandangan Miya tertuju pada Rean, yang tersenyum tipis sambil mengulurkan tangannya. Sedangkan Miya yang paham, langsung menjabat tangan Rean tanda perkenalan.
"Miya Louren," ucap Miya.
"Aku tau. Orang tua aku hampir setiap hari ngomongin kamu. Aku pikir mereka bohong, tamu ternyata kamu beneran cantik, cantik banget," gurau Rean tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Miya. Sedangkan Miya yang risih, segera melepaskan dengan sedikit paksaan.
"Makasih," lirih Miya.
"Apa sekarang ini kamu punya pacar, Miya?" pertanyaan Ayah Rean, membuat Miya terdiam sebentar. Perasaan Miya langsung tidak enak, dia paham betul apa tujuan mereka datang kemari.
"Punya, Om," jawab Miya dengan sangat cepat, lalu tersenyum manis dengan yakin. Miya tau, pasti mereka berniat menjodohkan Miya dengan putra mereka, yaiti Rean. Tapi karena kepekaan Miya, mungkin perjodohan ini tidak akan berjalan lancar. Mana bisa mereka tiba-tiba menjodohkan tanpa mengabari apapun dulu. Apalagi Miya termasuk seseorang yang tidak terlalu fantatik dengan percintaan. Miya lebih fokus kuliah dan bekerja sekarang.
"Ah sayang sekali. Putra kami ini masih lajang sebegitu lamanya, dia hampir 25 tahun. Jadi kami berniat mendekatkan kalian berdua, karena dia pun susah menjalih hubungan sama wanita manapun," Theo menghela nafasnya panjang.
"Tapi, Rean langsung setuju pas liat foto kamu. Padahal sebelumnya dia nolak banyak cewek yang Om kenalin. Tapi kalau kamu punya pacar, ya... apa yang bisa saya lauin," jelas Theo sambil menghela nafas kecewa.
"Nggak masalah, Pa. Aku bisa nunggu, aku yakin nanti dia bisa berubah pikiran. Aku yakin hatinya bisa luluh," sahut Rean sembari melirik Miya sekejap.
"Nggak usah nunggu, aku nggak punya waktu buat ngurusin hal ini," cetus Miya. Membuat Orangtua Miya meremas tangan Anaknya itu pelan. Mengisyaratkan Miya untuk tidak bicara sembarangan.
"Maksud aku, aku masih kuliah," lirih Miya selanjutnya. Membuat Orang tua Rean tersenyum lega. Kalau masalah kuliah, mereka bisa mengatasi masalah itu.
"Kamu bisa melanjutkan kuliah, tentu aja. Sambil kuliah, kamu bisa membiasakan diri dengan Rean biar nggak terlalu kaku. Rean lumayan pandai bergaul, kok," ujar Seira dengan semangat.
Saat itu juga, detak jantung Miya berpacu lebih cepat. Berbohong punya kekasih, ternyata tidak bisa menghentikan perjodohan ini. Padahal, Miya kira dia akan tinggal lebih lama dengan kedua orang tuanya. Miya terhitung sangat manja, dan bergantung pada Orang tua. Maka dari itu, Miya takut menerima perjodohan ini.
Miya takut tidak bisa menjadi pasangan yang baik. Takut tidak bisa menyesuaikan diri dengan Rean. Dan yang paling penting, Miya takut di rumah sendirian. Apalagi setelah dilihat-lihat, sepertinya Rean adalah pembisnis yang sibuk. Pasti dia jarang di rumah.
"Miya... jangan terlalu kaget, kami nggak akan maksa. Tapi kami bener-bener butuh jawaban 'Iya' dari kamu," ucap Pak Theo.
Miya hanya mengangguk pasrah, menanggapi ucapan dari Pak Theo.
"Baiklah, ini udah malem. Kita lanjutin lagi perbincangan ini lain kali. Kasihan, Miya pasti lelah abis kuliah," sahut Seira sambil berdiri dari duduk. Begitu juga Miya dan yang orangtua-nya. Berniat mengantarkan keluarga Theo pulang. Namun, langkah Miya terhenti ketika Rean menahan pergelangan tangannya. Miya yang tidak suka di sentuh sembarangan, langsung menepis tangan Rean.
"Besok, kamu ada waktu?" tanya Rean.
"Ada... sepertinya," jawab Miya ragu. Dia masih mengingat-ingat, kegiatan apa saja yang akan dia lakukan besok. Miya juga memikirkan, jam berapa kira-kira dia pulang kerja. Ah kebetulan lumayan cepat, jam 8 malam dia sudah selesai.
"Aku bakal jemput kamu jam 8 malem, okay?" baru saja Miya ingin mengangguk, dia di kejutkan dengan kecupan manis dari Rean, di keningnya. Tangan Miya mengepal kesal, ingin sekali menonjok wajah Rean yang jaraknya cukup dekat dengannya. Namun, Ayah Rean sudah membatasi jarak antara dia dan Rean dengan senyum lebar mengembang di wajah yang mulai di penuhi keriput itu.
"Rean! kalian belum sah!" cetus Theo sambil menarik tangan Rean agar berjalan cepat meninggalkan rumah Miya.
"Maaf, Miya. Dia orangnya emang nggak sabaran." Miya mengangguk, kemudian melambaikan tangangannya pada kepergian keluarga Rean.
"Haaahhh..." Miya menghela nafasnya gusar.
"Kenapa kalian ngizinin mereka jodoh-jodohin aku, sih? kalian tau aku nggak mau berhubungan sama cowok manapun," desis Miya yang jengkel dengan kedua orangtua-nya.
"Lalu? kami harus ngusir mereka, gitu? mereka dateng aja kami udah seneng. Mereka itu yang bantu Ibu sama Ayah pas lagi susah-sudahnya kerja," cetus Ibu Miya sambil membereskan gelas minum di meja ruang tamu.
"Tapi..... aku ini belum pengen nikah. Kalian nggak bisa seenak hati jodohin aku," gusar Miya sambil membolak-balik badannya seperti anak kecil.
"Sudah Om Theo katakan, kalau kamu bisa santai nyiapin diri. Ayah perhatikan, Rean itu cowok yang baik dan sopan, kok." Mendengar penjelasan dari sang Ayah, justru membuat Miya semakin jengkel. Bagaimana bisa, mereka menyimpulkan seseorang hanya dengan kesan pertama.
"Terserah lah," cetus Miya pasrah. Kemudian, gadis berambut panjang itu melenggang pergi menuju kamarnya, untuk menghilangkan penat.
Karena cuaca yang gerah, Miya memutuskan segera mandi. Gadis berambut panjang itu terus memikirkan, bagaimana kalau dia harus menikah sebentar lagi? bagaimana kalau keluarga Rean terus memepetnya. Bagaimana kalau Miya harus menjadi Ibu rumah tangga dan meninggalkan kehidupan mudanya?
Orang tua Miya, pernah memperingati Miya, kalau Wanita itu tidak boleh terlalu memilih. Sebab, Miya sudah beberapa kali kedatangan laki-laki. Tapi Miya terus menolak mereka. Miya selalu bilang, bahwa dia belum siap dan masih terlalu muda. Miya pikir, di usia muda seperti ini sifatnya masih sangat labil. Takut saja tidak bisa menghadapi permasalahan serius. Saat melihat orang tuanya berkelahi saja sudah membuat Miya takut.
Tapi, semua hubungan pasti ada saja masalah, kata orang tuanya.
Setelah selesai mandi, Miya duduk di tepi ranjang sambil memainkan ponsel. Senyuman tipis, terukir di wajah cantik itu. Sahabat-sahabat dekatnya, sedang berbincang tentang pesta ulang tahun salah satu dari mereka. Namun, kedatangan seseorang membuat perhatian Miya teralihkan.
"Masuk," sahut Miya pada ketukan pintu tersebut. Kemudian, muncullah wanita dengan rambut panjang seperti Miya, namun lebih coklat dan terikat rapi. Bedanya, dia lebih tinggi dan terlihat lebih dewasa.
"Aduh, Kak. Jangan ganggu aku dulu kenapa sih, aku lagi pusing," cetus Miya sambil melirik kesal wanita yang berdiri di ambang pintu itu.
"Ini rumahku, jadi terserah aku," sahutnya. Vani Louren, Kakak dari Miya. Vani 5 tahun lebih tua dari Miya, dan sudah berumah tangga.
Anak laki-lakinya, kini berumur 2 tahun, bernama Axelion Haward. Namun Vani masih tinggal serumah dengan keluarganya, karena belum bisa mengurus anak sendiri. Dikarenakan juga oleh suami Vani yang sering bekerja ke kota, dan tidak bisa setiap hari pulang jika Vani tidak ikut ke kota. Kebetulan juga rumah keluarga Miya cukup luas. Jadi Vani pun punya dapur dan bagian rumah sendiri untuk keluarganya.
Miya menghela nafas gusar, lalu kembali fokus pada ponselnya. "Kak, gimana rasanya nikah?"
"Pertanyaan konyol macam apa itu," kekeh Vani sambil menjitak kepala Miya pelan.
"Yaaa, Kakak tahu sendiri. Tadi keluarga dari teman lama Ayah, dateng jodohin anak mereka sama aku. Padahal aku nggak kenal mereka sedikitpun," beo Miya.
"Kalau mau cowok yang kamu kenal, ya cari pacar aja sana. Namanya juga di jodohin, kalau kalian saling kenal malah tambah kaget." Mendengar ucapan dari sang Kakak, Miya langsung duduk dan menatap Vani dalam.
"Soal pacar, aku banyak! tinggal milih aja. Tapi.... ini masalah menikah, Kakaaaakk. Nggak mungkin aku nikah sama orang yang baru aku kenal. Apalagi yang nggak aku sukai," rengek Miya kembali berbaring.
"Dulu, aku juga nggak terlalu kenal suami aku pas dia ngelamar. Dia itu kalau nggak salah Kakak kelas waktu aku masih SMA. Jujur aja aku nggak nyangka dia yang dulu bukan siapa-siapa, sekarang udah jadi suami aku," kata Vani.
"Heh, Kakak udah nyeritain itu berkali-kali sampai aku hafal jalan ceritanya," cetus Miya yang jengkel.
Miua paling tidak sudah di sama-samakan dengan siapapun. Miya, ya Miya. Mungkin sikapnya tidak jauh berbeda dari Vani, yaitu masih sama-sama manja. Tapi Miya tidak seperti Vani yang sangat suka cinta-cintaan. Sedangkan Miya justru anti-Romantic.
"Kak, aku cuma takut nggak bisa jadi Istri yang baik. Aku takut Rean sebenernua nggak sayang sama aku, san nerima aku apa adanya. Nggak mungkin aku nikah cuma buat coba-coba, aku nikah juga karena pengen punya dedek gemoy. Tapi aku nggak pengen, anak aku nanti ngalamin hal yang nggak wajar karena kelalaian aku sekarang." Miya menghela nafasnya pelan.
"Makanya, aku pengen kerja dulu sambil nyiapin mental," Lanjutnya.
"Aku tahu kenapa aku dijodohin sama Rean. Karena dia dari keluarga terpandang, 'kan? aku tau... Ibu sama Ayah pasti pengen punya cucu dari aku, atau ngga mereka pasti ngerasa lega karena aku udah berkeluarga. Tapi gimana kalau aku nggak bisa melampui ekspetasi mereka?"
"Ekspetasi apa?" heran Vani terhadap ucapan Adiknya.
"Aku ngga kayak Kakak, yang bisa berdiam diri dirumah dan menunggu suami pulang kerja. Aku khawatir suami aku nanti bosen, karena aku nggak ngasih perhatian banyak. Aku pengen kerjaaa, aku pengen punya uang sendiri."
"Udah aku bilang, Miya. Semua hubungan pasti ada aja masalahnya. Mulai dari ekonomi, romantisme, dan yang lain. Miya.. Rean itu cowok mapan, dia udah punya usaha sendiri di umurnya sekarang, hebat kan? kayaknya kamu ngga akan punya masalah keuangan nanti. Tinggal kamu menyesuaikan diri sama sikap Rean aja," jelas Vani.
"Itu dia masalahnya, Kak. Aku ini type cewek yang nggak mau ketergantungan sama penghasilan suami. Walau ya, emang tugas suami ngasih nafkah keluarga. Tapi seenggaknya kalau butuh duit mendadak, aku ngga perlu repot minta kesana kemari. Walau aku kerja dan gajiku nggak segede punya Rean," Miya menghela nafasnya panjang.
"Tapi aku cuma pengen berusaha aja, biar nggak termenung di rumah. Tapi kalo aku kerja, aku takut nggak bisa bagi waktu, biar kerjaan rumah dan ngurusin suami beres gitu," jelas Miya.
"Aku aja nggak bisa masak, huuwaaaaaa," rengek Miya sambil berguling-guling di tempat tidurnya.
"Miyaa, denger. Kamu udah berkali-kali nolak lamaran, pamali kalau wanita nolak terus kayak gitu. Kalo soal Rean mau nerima kamu apa adanya atau ngga.... pasti nerima. Apa lagi yang Rean pilih, kamu cantik, body kamu bagus," papar Vani. Disambut dengan Miya yang langsung menghela nafas pasrah, sambil mengangguk.
"Aku pikirin dulu," Miya memijat batang hidungnya, guna mengurangi rasa pusing.
"Ah, kamu mah terlalu banyak mikir."
Miya melirik Vani tajam. "Ya, emang! aku ngga pengen nikah buat sia-sia."
Vani yang kesal, langsung melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan Miya dengan nafas terengah-engah karena emosi.
"Terlalu banyak mikir, katanya."
Ting!
Ponsel Miya berbunyi, tanda pesan masuk. Namun, Miya terheran-heran dengan nomor tidak dikenal tertera di layar ponselnya. Karena merasa tidak penting, Miya hanya mengacuhkan pesan tersebut. Memilih untuk mengobrol bersama sahabat-sahabatnya, di grup chat yang mereka buat. Namun, panggilan masuk lagi dari nomor yang sama.
"Halo," sapa Miya sedikit jutek. Dia sangat tidak suka, seseorang mengganggu obrolan dengan sahabat-sahabatnya. Apalagi dari nomor tidak di kenal.
"Kenapa ngga bales chat dari aku?" tanya Pria di sebrang telfon sana.
"Emangnya kamu siapa?" cetusnya. Namun setelah mendengar jawaban dari lawan bicara, Miya langsung terdiam.
"Aku Rean."
Deg.
Bagaimana bisa Rean memiliki nomor ponsel Miya. Padahal, Miya sangat ingin menghindar dari Pria tersebut saat ini.
"Ah, iya... kenapa?" tanya Miya basa-basi.
"Ngga apa-apa, aku cuma pengen ngobrol sama kamu. Tadi aku nggak enak ngomong kalau ada banyak orang," jelas Rean. Membuat Miya mengangguk paham. Pantas saja Rean hanya diam dan malah menatap Miya diam-diam. Rean orangnya tidak enakan ternyata, pikir Miya.
"Miya," panggil Rean lagi. Membuat perhatian Miya teralihkan.
"Besok jangan lupa, ya." Miya tersenyum. Sebegitu inginkah Rean bertemu dengannya?
"Nggak akan," bohong Miya. Padahal, baru masuk kamar saja dia sudah lupa. Dan lagi, Miya sebenarnya tidak ingin pergi bersama Rean karena terasa canggung. Tapi mau bagaimana lagi. Rean bahkan sampai tidak bisa tidur, kata Rean di telfon.
"Ya sudah, sampai jumpa besok. Good night...."
"Good night," sahut Miya. Kemudian mematikan telefon secara sepihak.
"Aduuhh, dia ini nggak bisa ngebiarin aku tenang dikit apa. Besok jangan lupa.... besok jangan lupa," ejek Miya mengikuti gaya bicara Rean.
Lalu, Miya mematikan lampu. Bersiap untuk tidur karena ini memang sudah malam. Besok Miya ada kelas jam 8 pagi, jadi dia harus bangun setidaknya jam 5 agar bisa membantu membuat sarapan terlebih dahulu
Berbeda dengan Miya yang tidur dengan tenang. Seorang Pria di dalam ruangan minim cahaya sedang menyeringai.
"Aku jadi penasaran," gumamnya.