Dinner [Part 2]

1782 Kata
Suara kicauan burung menyapa Miya, yang baru saja selesai bersiap-siap. Setelah memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya, Miya segera turun ke bawah. Disambut dengan keluarganya yang sudah berkumpul di ruang makan. Ruang makan Miya tidak begitu besar, hanya terdapat meja makan, kulkas dan dapur. Bersebelahan dengan ruang tamu yang dibatasi oleh lemari besar, untuk ruang bersantai keluarga. "Selamat pagi, Ganteng," sapa Miya pada anak laki-laki yang sedang sibuk bermain sendiri. "Harusnya kamu bantuin Ibu nyapin sarapan," ucap Vani yang sedang menyuapi Jayden, anaknya. "Loh, Ibu bilang tadi nggak usah," jawab Miya sambil duduk di kursi. Lalu mengambil roti bakar yang tersedia "Soalnya kamu ngerepotin doang. Motong ini nggak bisa, motong itu nggak bisa," sinis Ibu Miya. Membuat Miya yang tengah lahap makan, langsung berhenti. "Biasain bangun pagi, jangan ngerepotin yang lain," sambung Vani menimpali ucapan sang Ibu. "Aku bangun pagi, kok. Tapi Ibu bilang aku ngga perlu bantu, jadi aku naik lagi buat belajar," elak Miya tidak terima. Memang benar Miya bangun pagi. Tapi setiap kali Miya ingin membantu, Ibunya hanya marah dan menyuruh Miya pergi saja dari pada menganggu. Padahal, Miya juga ingin belajar apa yang belum dia tahu. "Anak gadis kok kayak itu," cetus Ibu Miya. Membuat Miya semakin jengkel, lalu memutuskan untung berangkat kuliah saja. Dari pada memperburuk suasana, pikir Miya Gadis berambut hitam panjang itu selalu kesal. Kenapa, apapun hal yang dia lakukan selalu salah di mata orang tuanya. Mereka bilang Miya pemalas. Padahal, Miya yang selalu membersihkan rumah jika semua orang tengah berpegian. Alasannya karena Miya tidak suka jika pekerjaanya dikomentari terus. Bahkan, kadang Miya juga yang menyetrika pakaian dari keluarga Vani. Vani sendiri, kadang menitipkan Jayden jika sedang sibuk. Parahnya, Vani tidak mau mengerti keadaan Miya sedang sibuk atau tidak, sedang lelah atau tidak. Yang hanya mereka tahu adalah, Miya si manja. Sesampainya di kampus, Miya segera meletakkan tas abu-abu miliknya. Lalu membaringkan wajah di meja, saking jengkelnya. "Wah, ada yang tidak beres ini." Sekelompok teman Miya datang dengan tas dan beberapa batang milik mereka. "Ssh, diem ih. Aku lagi nggak pengen bercanda," cetus Miya menanggapi gurauan dari temannya. "Eh, aku bawain cemilan enak, loh." Seketika, Miya langsung berdiri dari tempat duduknya. Menghampiri sekelompok anak yang terus menjahili Miya tadi. "Sini," Miya merebut kotak makan tersebut, lalu memakan sosis goreng dengan lahapnya. "Kamu kelaperan, 'hah?" tanya salah satu dari mereka. Di sahuti dengan anggukan pelan dari Miya. Miya terhitung anak yang mudah bergaul. Buktinya, dia punya banyak teman sekarang. Banyak yang menganggap Miya ini sebagai malaikat tanpa sayap. Karena apa, karena Miya adalah orang yang sangat baik tanpa dirinya sendiri sadar. Miya bisa menjadi pendengar yang baik. Dia juga bisa menjadi pembicara yang baik. Seolah, semua hal bisa Miya lakukan. Walau ada satu yang paling ditakuti dari Miya, yaitu kejujurannya. Kadang kejujuran Miya walaupun menyakitkan, tapi selalu benar. Miya juga terkenal di kalangan para Pria. Banyak yang mengajak Miya untuk berkencan, ataupun menjalin hubungan. Miya selalu mengiyakan permintaan mereka. Tapi sebenarnya, Miya hanya menganggap semua itu sebagai candaan. Sedangkan kelompok yang selalu bersama Miya, terdiri dari 5 anak. 3 laki-laki dan 2 perempuan. Kadang Miya berfikir. Beruntung sekali dia memiliki teman-teman sedekat ini. Merekalah yang paling tahu apa saja masalah Miya. Walaupun Miya, termasuk orang yang tidak suka membicarakan masalah pribadinya. "Ada apa? kok mukanya kusut gitu?" tanya Bonny. Gadis berambut pendek pirang, sambil meminum s**u kotak dengan santainya. "Sampe nyuruh kita dateng pagi-lagi," sahut Varel. Pria dengan tubuh atletis itu. "Haaahh, aku cuma lagi ngga betah dirumah," jawab Miya seadanya. "Bertengkar lagi, ya?" Miya mengangguk. "Kamu boleh nyeritain masalah kamu loh ke kita." "Iya, dari dulu kamu harus dipaksa dulu baru mau cerita. Ngga baik apa-apa dipendem sendiri gitu, kita ini temen kamu, 'kan?" sambung Varel menimpali ucapan Bonny. "Kita emang temen, temen dekeet banget malah. Aku bahkan nganggep kalian sahabat yang mirip badak, soalnya langka. Tapi....." Miya menghela nafasnya gusar. "Masalah aku tuh nggak sebanding sama masakah kalian. Gio, kamu aja ngga pernah besar-besarin masalah keluarga kamu. Jeremy, kamu juga nggak ngeluh banyak soal Ayah kamu yang nuntut banyak hal. Jadi..." "Aku ngerasa nggak pantes ngeluhin masalah aku yang nggak seberapa," lanujutnya. Membuat semua teman-teman di depan Miya saling menatap. "Kalau aku ngga punya kalian, pasti aku udah stress dari dulu," Seketika, semua orang menatap Gio. "Ya, aku juga," timpal Jeremy. "Kenapa ikut-ikutan?!" cetus Gio tidak terima. Mereka berdua memang jadi perusuh di kelompok Miya. "Lah, terserah aku lah, Botak!" ejek Jeremy, membuat Gio semakin geram lalu berniat meremas-remas wajah tampan Jeremy. "Aku botak juga karena kalian!" seketika itu semua orang tertawa terbahak-bahak. Bahkan, Bonny sampai tersedak minuman. Mereka ingat kejadian, saat ulang tahun Jeremy. Mereka berniat membuat rambut Gio keriting seperti badut, tapi ternyata catokan rambut yang mereka pakai sudah rusak. Membuat rambut Gio rusak dan berantakan. Antara marah dan tertawa, akhirnya Gio memutuskan untuk mencukur habis rambutnya. Namun, canda tawa mereka perlahan padam ketika kelas mereka akan di mulai. Walaupun Miya masih menahan tawanya di sana, karena mengingat banyak kejadian lucu yang mereka alami. Yang paling Miya ingat adalah, ketika mereka membantu Jeremy untuk mengutarakan perasaanya pada gadis yang Jeremy sukai. Bukannya terharu, gadis itu justru menertawakan konsep yang Miya dan teman-temannya buat. Awalnya, mereka bersembunyi di balik tembok. Dan setelah Jeremy mengungkapkan perasaanya, mereka akan menaburkan bunga yang mereka kumpulkan. Tapi bodohnya, musik yang Gio nyalakan bukanlah musik romantis. Melainkan, lagu ulang tahun anak. Beruntungnya, gadis yang Jeremy sukai mau menerima kekonyolan Jeremy dan teman-teman. Sampai sekarangpun mereka masih berpacaran. Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat. Miya hanya ada satu kelas hari ini, jadi dia memutuskan untuk segera pergi ke tempat kerjanya. Dan inilah kenapa, Miya selalu tidak suka dianggap sebagai anak manja. Karena apa? Miya juga bekerja sebagai barista di sebuah Caffe, untuk membeli keperluan pribadinya. Sebenarnya, Miya ini tidak se–manja yang dia pikirkan. Miya hanya penakut, dan tidak bisa masak. Tapi, keluarga Miya selalu menjadikan kekurangan itu sebagai titik pandang. Karena itu, Miya jadi beranggapan bahwa dia tidak bisa apa-apa. "Miya," panggil seorang wanita, yang duduk dibagian kasir. Dia adalah Pretty, Manager dari Caffe tempat Miya bekerja. "Tau ngga kenapa Caffe hari ini lebih rame?" tanya Pretty, membuat alis Miya mengkerut bingung. Lalu menggeleng pelan. "Karena aku upload foto kamu yang kemarin buat promosi di sosial media," jelas Pretty sambil menunjukkan foto yang dia maksud. Di foto tersebut, ada Miya yang tengah memegang nampan dengan minum top mereka. Miya tersenyum, kemudian melihat sekitar. Memang benar, banyak di antara mereka yang memperhatikan Miya sendari tadi. Tapi, Miya tidak menyadarinya. "Tapi kamu harus hati-hati. Banyak cowok mata keranjang yang tergiur sama kamu, okay?" Miya mengangguk, "Oke." "Oh iya, gaji kamu bakal aku naikkan sebagai bonus," lanjut Pretty. Membuat mata Miya melotot kaget. "Makasih banyak, Kak," ucap Miya sambil sedikit membungkuk. Kemudian, Miya bergegas melanjutkan pekerjaanya. Hari sudah sore dan sebentar lagi bagian kerja Miya selesai. Memiliki boss yang baik dan pengertian, seperti Pretty. Miya merasa sangat beruntung. Kadang pula, Pretty membelikan makanan banyak untuk Miya. Pretty bilang, Miya adalah penarik keberuntungan untuk Caffe miliknya. Tapi karena hal itulah, Miya menjadi di kucilkan oleh teman-teman kerjanya. Mereka iri karena Pretty, memperlakukan Miya dengan Special. Tin Tin! "Miya!" panggil Pria di dalam mobil hitam metalic itu. Membuat perhatian Miya yang tengah menunggu bis, teralihkan. Rean, ternyata pria yang memanggil Miya adalah Rean. Padahal niatnya, dia ingin pulang dan mandi terlebih dahulu. "Ayo masuk," ajak Rean sambil mengisyaratkan Miya agar datang. Miya yang paham bahwa dia harus pergi bersama Rean, segera masuk ke dalam mobil Rean. "Kok kamu tau aku kerja disini?" heran Miya. "Foto promosi kamu muncul di beranda sosmed aku," sahut Rean lalu menyetir mobilnya kembali. "Aku ngga nyangka kamu udah kerja. Orang tua kamu bilang kamu manja banget," ucap Rean. "Mereka nggak tau banyak soal aku. Lagian, emang kalau manja nggak boleh kerja?" papar Miya sambil memasangkan sabuk pengaman. "Aku lapar, ayo makan." Rean tersenyum, "Baru kali ini ada cewek yang nggak malu-malu bilang laper." "Buat apa malu, laper kan kebutuhan perut dan juga normal," ucap Miya dengan yakin. Membuat Rean gemas, dan langsung membungkam wajah tirus Miya. "Kalau kamu selucu ini, aku nggak yakin bakal bisa nahan diri buat nikahin kamu sekarang," bisik Rean sembari menatap Miya dalam. "Rean, apa ada alasan khusus kenapa kamu mau nikah sama aku? atau... kamu dipaksa keluarga kamu, 'ya?" tanya Miya yang penasaran. "Nggak ada. Aku cuma liat foto kamu dan langsung suka," jelas Rean. Membuat Miya menghela nafas pelan. Lalu berfikir, memang ya, poin utama seseorang adalah penampilan. Kalau saja Miya tidak cantik, mana mau Rean yang tampan dan mapan, mau berkenalan dengannya. "Tapi... aku lebih tertarik sama sifat kamu yang galak ini," ujar Rean. "Aku nggak galak," cetus Miya tidak terima. "Tuh, lihat. Kamu mulai marah," timpal Rean sambil mencubit pipi Miya gemas. Membuat Miya yang salah tingkah, langsung memalingkan wajahnya menghadap jendela. Sedangkan Rean yang merasa puas sudah menjahili Miya, langsung melajukan mobilnya. Rean sudah menentukan tempat untuk mereka makan, dari kemarin malam. Dia ingin mengajak Miya, ke tampat yang harus Miya suka. Dan ini dia. Restoran dengan gaya classic, yang membuat mata Miya termanjakan. "Mau makan apa?" tanya Rean. "Terserah," jawab Miya seadanya. "Kenapa, cewek-cewek selalu menjawab 'terserah' kalau ditanya mau makan apa? padahal kan banyak pilihan di menu," heran Rean sambil memanggil pelayan yang ada. "Karena kita merasa nggak enak makan sesuka hati. Gimana kalau aku udah pesen tapi kamu ngga mampu bayar?" desis Miya. Tapi kemudian Miya berdiam sejenak. "Ya aku bayar sendiri sih, apa susahnya," lanjutnya menanggapi ucapan sendiri. "Ya sudah, aku mau Steak." "Nah, gitu dong," gumam Rean bersenandung ria. Padahal yang ada dihadapan Miya ini adalah Pria kaya 7 turunan, tapi Miya malah memggunakan mode juteknya karena dia sudah benar-benar lapar. Selagi mereka makan, Rean juga kadang menanyai Miya beberapa hal. Seperti, makanan apa yang paling Miya sukai. Warna favorit Miya apa. Dan yang paling penting, "Berapa ukuran jari manis kamu?" Miya mengerutkan alisnya bingung, "Entah, mana ada orang yang ngukur jari. Emangnya buat apa?" "Tentu aja buat cincin," jawab Rean dengan sangat yakin. "Dengar, Rean. Aku nggak mau buru-buru buat—" "Miya, tenang dulu. Aku cuma pengen masangin cincin, biar orang-orang tau kalau kamu udah ada pasangan. Dan soal pacar kamu... kamu bohong, 'kan? kamu bohong biar keluarga aku ngga jadi jodohin kita. Tapi Miya, aku ngga akan menyerah segampang itu," jelas Rean untuk menenangkan kepanikan Miya. "Aku tau kamu kamu. Mereka pasti suka sama kamu yang... cantik dan manis," lanjut Rean dengan suara kecil. Namun, Miya tetap saja mendengarnya. Kemudian, pandangan Miya menangkap telinga Rean yang memerah malu. "Okay," jawab Miya yang sudah terlalu fokus pada makanannya. Membuat Rean langsung tersenyum lebar. Kemudian memeluk erat, sambil puncak kepala Miya lembut. Dinner berlangsung lancar, karena merasa tidak enak langsung pulang, Miya dan Rean duduk sebentar menikmati musisi yang menemani isi ruangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN