Siapa Dia? [Part 3]

2492 Kata
Miya melambaikan tangannya, pada mobil Rean yang melaju cepat. Kemudian, masuk ke dalam rumah dengan sedikit lemas karena lelah. Ini sudah jam 10 malam, pantas saja Miya mengantuk setelah berkativitas seharian. Miya berniat naik ke atas, untuk mandi dan pergi tidur. Tapi, suara seseorang menghentikan langkahnya. "Bisa-bisanya, anak gadis jam segini baru pulang. Mau jadi apa kamu?" desis Elen, Ibu Miya dengan nada tidak mengenakkan. Padahal Miya baru saja menghela nafas lega, dan ingin menenangkan pikiran. Tapi Elen justru membuat Miya menghela nafas kasar, dan ingin segera naik agar tidak semakin memperburuk keadaan dan suasana hatinya. "Inilah kenapa, Ibu pengen cepet-cepet kamu nikah. Soalnya kamu nggak tau waktu, Miya. Gimana kalau kamu hamil sebelum nikah? mau taroh dimana muka Ibu, kamu pulang malem aja tetangga-tetangga udah mulai ngomongij yang nggak-nggak tentang keluarga kita" lanjut Elen. Kali ini, Miya menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap sang Ibu. "Emang Ibu tau apa sih, tentang aku? Yang Ibu pikirin cuma hal buruukk aja. Coba sesekali Ibu mikir, ah mungkin dia lagi menikmati masa muda sama temen-temennya. Lagian, aku nggak mungkin dan aku ngga ada niat buat ngelakuin hal yang kaya gitu kok," cetus Miya yang tidak terima. Pasti, Ibu Miya mengira anaknya itu hanya menghabiskan waktu dengan pacaran dan pergi ke tempat karaoke. Memang, remaja seumuran Miya sangat sering ditemui di tempat karaoke. "Apa yang bisa Ibu percayain dari kamu," cetus Elen. "Nggak ada, Ibu emang nggak pernah percaya sama aku. Nggak kaget," desis Miya. "Berani ngelawan kamu, 'hah!" bentak Ibu Miya, membuat Miya mengernyit kaget. Tapi, Miya kembali memasang wajah angkuh dan tidak mau kalah. "Panggil Rean sekarang, Vani. Biarin dia tau apa yang Miya lakuin tiap hari. Rean harus tau, kalau dia berhadapan sama gadis yang nggak mau di atur," titah Elen pada Vani yang baru saja datang. Sedangkan Vani, langsung saja mengikuti perintah sang Ibu. "Panggil aja, kalo dia batalin perjodohan ini justru bener," kata Miya. Setelah beberapa menit menunggu. Tentunya dengan suasana hening yang tidak mengenakkan, akhirnya Rean datang dengan mobil yang masih sama. "Masuk, Rean," ujar Elen. "Loh, Miya. Aku pikir kamu udah tidur. Tadi kamu keliatan ngantuk banget loh," ucap Rean. Di sambut dengan reaksi terkejut dari Vani dan juga Elen. "Maksudnya?" tanya Vani yang heran. "Aku ngajak Miya makan malem bareng tadi. Dan tempat makannya lumayan jauh, jadi ngabisi waktu lebih lama. Dia pasti capek banget, soalnya aku jemput langsung pas dia selesai kerja," jelas Rean. Membuat Vani dan Elen semakin di buat terkejut. Mereka baru tahu, kalau Miya bekerja. Mereka kira, selama ini Miya pulang malam karena berkumpul dengan teman-temannya. "Apa? mau ngatain aku nggak tau waktu lagi?" cetus Miya sambil melemparkan tas selempang ke sembarang arah. "Kerja apa kamu sampe malem gini?" tanya Elen lagi. "Aku kerja sampe jam 8 aja, Bu. Kan Rean udah bilang, aku abis Dinner bareng dia makannya pulang malem. Ibu mikir apa sih? aku kerja jadi kupu-kupu malam, gitu? beribu pekerjaan yang bisa aku ambil, tapi kenapa Ibu mikirnya langsung kesitu," desis Miya sambil menunduk menahan tangis. "Kan kamu nggak bilang apapun ke Ibu," sahut Elen. "Buat apa aku ngomong, aku sengaja ngga ngomong apapun ke Ibu. Soalnya apa? soalnya Ibu terus-terusan nganggep remeh apapun yang aku omongin," Miya melirik Vani. "Kakak juga, mentang-mentah Kakak udah nikah, jangan sok tau, jangan ngerasa paling bener. Mental setiap orang beda-beda, Kak. Kalo aku lagi cerita tentang masalah aku, Kakak jangan jawab, 'Ah masalah kamu nggak seberapa,'. Aku cuma pengen di dengerin aja kok," Miya meluapkan semua emosi yang telah dia pendam selama ini. Kemudian langsung berlari ke kamarnya. Sedangkan Rean yang tidak paham ada masalah apa, langsung menyusul Miya, tanpa memperdulikan Elen dan Vani. Tok tok tok! "Jangan masuk!" bentak Miya, yang sudah menutup seluruh tubuhnya di balik selimut, tapi lupa mengunci pintu. "Aku bilang jangan masuk..." Mendengar isakan kecil dari Miya, Rean segera duduk di ujung ranjang Miya. "Keluar aja, Rean. Aku lagi nggak mau diganggu." "Aku cuma pengen nemenin kamu, anggu nggak akan ganggu," ucap Rean, yang bertujuan untuk menenangkan tangis Miya. "Aku nggak suka kalo ada yang liat aku nangis," jawab Miya pelan. Rean yang paham, hanya diam sambil menunggu Miya untuk tenang. Sesekali, Rean menyuruh Miya untuk membuka selimut. "Aku nggak suka di anggap remeh karena nangis," isaknya. "Rean, apa kamu juga di tuntut sempurna sama keluarga kamu?" tanya Miya sambil membuka selimut tebal itu perlahan. Menampilkan wajah sembab, dengan rambut panjang yang berantakan. Membuat Rean tersenyum tipis, gemas terhadap wajah polos itu. "Semua orang tua emang kayak gitu. Mereka cuma pengen apa aja yang terbaik buat kita. Dan orang tua aku tau, kalau kamu adalah yang terbaik buat aku. Makannya mereka langsung bahagia pas tau aku dan kamu bisa ketemu," papar Rean sambil mengusap wajah Miya lembut. "Aku nggak akan manjur sama gombalan kayak gitu. Aku lagi sedih, Rean..." isak Miya sambil mendorong tangan Rean. Tapi bukannya menjauh, Rean justru memeluk Miya dalam sekali hentakan. "Aku ngomong jujur, loh," bisik Rean. Miya segera ingin melepaskan pelukan tersebut. Tapi, ini pertama kalinya seseorang memeluk Miya dengan begitu hangat, selain teman-temannya. "Lepasin, berat." "Udah jangan nangis lagi. Besok aku beliin makanan enak, ya? usssh... jangan nangis...." "Diam aja sih! kamu malah bikin aku tambah nangis," cetus Miya sambil mendorong tubuh Rean dan langsung mengelap air matanya. "Sini, aku nggak suka kamu nangis," dengan segera, Rean mengusap air mata di pipi Miya. Lalu mencium kening Miya lembut. Sambil menunggu tangisan Miya selesai, Rean mengamati kamar sederhana itu. Warna pink pastel yang paling Miya suka, mendominan isi ruangan. "Apa aku harus ngecat kamar aku warna pink biar kamu betah?" papar Rean. Membuat Miya yang masih sesegukan, langsung berhenti. "Siapa juga yang mau tinggal sama kamu," cetus Miya salah tingkah. "Aku tau kamu nggak betah tinggal disini. Jadi ayo, tinggal aja sama aku," ujar Rean dengan penuh keyakinan. Sedangkan Miya menatap mata Rean, mencari celah kebohongan di sana. Padahal Miya bukannya tidak betah tinggal di rumahnya. Betah, sangat betah. Tapi Miya kadang merasa isi kepalanya penuh, karena Ibunya sangat mengatur. Miya tau itu tanda sayang, tapi Miya punya jalan sendiri untuk hidupnya. Tapi hasilnya, nihil. Miya tidak melihat adanya kebohongan dari ucapan Rean. Melihat betapa kuatnya tekad Rean untuk meminang Miya, sampai-sampai Miya berfikir, kenapa Rean tidak mencari gadis lain saja yang lebih cantik dan juga mapan? Miya sempat bertukar sosial media dengan Rean. Dan boom! banyak sekali penggemar yang Rean miliki. Pasti, Rean mau meminang Miya hanya karena tuntutan dari keluarga saja. "Aku milih kamu sendiri, kok," ucap Rean membuat perhatian Miya teralihkan. "Kamu pasti mikir, aku mau nikah sama kamu karena perjodohan, 'kan? ya emang, tapi aku... bener-bener ngelihat masa depan aku di diri kamu." Miya tersenyum tipis, kemudian mengangguk pelan. "Aku mau nikah sama kamu, karena rasa cinta aku sendiri. Bukan karena paksaan," lanjut Rean. "Kamu pasti kaget pas aku teriak-teriak tadi. Maaf, aku nggak pernah ngerasa semarah ini," gumam Miya sambil berdiri dari duduknya. "Mulai sekarang, jangan pendam semuanya sendiri. Aku bisa jadi pendengar buat kamu. Aku bisa jadi tempat kamu buat berteduh kapan aja," papar Rean dengan suara rendah. Membuat hati Miya mengernyit sedih. Lalu Miya menghela nafas panjang. Berfikir, untuk apa Miya menangiskan hal tidak berguna. Miya masih punya teman, dan juga.... Rean. "Pulang sana," ujar Miya sambil menarik tangan Rean agar bangkit dari duduknya. Di sambut dengan tawa kecil dari Rean, mengetahui bahwa Miya salah tingkah. "Ayo makan malam bersama lagi besok," ajak Rean sembari menuruni tangga. Di sambut dengan anggukan setuju dari Miya. Jujur, Miya tidak pernah senyaman ini bicara pada laki-laki yang bukan temannya. Padahal Muya punya banyak kenalan laki-laki. Mungkin karena suara Rean yang rendah dan membuat tenang. Tapi, Miya juga masih was-was, karena bagaimanapun dia belum lama mengenal Rean. Begitu juga Rean, yang belum lama mengenal Miya. Selepas kepergian Rean, Miya kembali masuk ke kamarnya. Ingin segera mandi dan tidur. Namun lagi-lagi, Elen menghentikan langkah Miya. "Kamu bener-bener udah kerja?" "Menurut Ibu, selama ini aku dapet koleksi pakaian sama barang-barang lain aku dari mana? emang Ibu sama Ayah pernah gitu, ngasih uang yang bukan uang wajib?" tanya Miya balik dengan wajah datar. Tidak seperti yang Miya kira, dia akan berdebat dengan sang Ibu. Padahal Miya pun tidak masalah selagi kebutuhan utamanya terpenuhi. Mungkin karena Miya lelah, dan sedang sensitif. Miya kira, Ibunya akan meminta maaf. Tapi ternyata, Elen pergi begitu saja tanpa sepatah katapun. Meninggalkan Miya yang masih menahan emosi. Gadis berambut hitam panjang itu, meminjat pangkal hidungnya guna mengurangi pusing. Kemudian bergumam, "Ah, aku harus menenangkan pikiran dengan berendam." "Haduh... banyak banget si drama di hidup aku, Capek," keluh Miya. Tapi karena Miya suka wangi-wangian sabun, pikiran Miya jadi sedikit lebih tenang. Miya berendam lebih lama dari biasanya, sampai ujung jari-jemarinya keriput. "Besok, aku ada acara apa aja, ya?" pikir Miya ketika selesai mandi, dan masih memakai handuk kimono berwarna pink bunga-bunga itu, sembari mengusap-usap rambutnya agar kering. "Ah, kelas di mulai siang. Pagi-pagi aku jadi bisa menyiapkan kue untuk Bonny," papar Miya. Mengingat bahwa besok ulang tahun sahabatnya, Bonny. Miya berencana, membeli kue dengan tema kesukaan Bonny, yaitu Galaxy. Walau waktu sedikit mepet, karena Miya gadis yang pelupa. Seharusnya, Miya sudah memesan kue dari jauh-jauh hari. Tapi karena lupa, Miya harus datang ke toko langsung dan memilih kue seadanya. Beruntung apabila ada kue tema Galaxy nanti. Setelah bekerja sama dengan Varel, Gio dan Jeremy, mereka bersekongkol ingin menyewa penginapan yang lumayan dekat agar menghabiskan waktu lebih lama. Jadi, bisa langsung berangkat ke kampus besokannya. Miya juga ingin menghilangkan Stress, jadi dia oke-oke saja untuk ikut. Apalagi, mereka sebentar lagi akan lulus dan pergi ke kota masing-masing. Tidak tau, kapan lagi mereka akan berkumpul seperti sedia kala. Tanpa Miya sadari, dia sudah tertidur dengan ponsel yang masih berada di tangannya. Hari ini dia benar-benar lelah. Lelah tubuh, dan juga pikiran. Miya bukan mahasiswa yang pintar, tapi bukan juga yang bodoh. Dia hanya si pelupa yang tertolong dengan otak cerdasnya. Jika tidak, mana bisa dia dapat nilai yang lumayan bagus kalau melupakan banyak hal, termasuk pelajarannya. Di tempat lain, seorang Pria tengah melepas setelan Jas tiga potongnya. Kemudian melempar ke sembarang arah, tanpa sadar ada sepasang mata yang mengawasi. "Reanold," panggil Theo. "Apa lagi yang kalian mau?" tanya Rean dengan wajah arogan. "Ayah nggak maksa kamu ngelakuin apapun, Rean. Ayah cuma khawatir sama perusahaan, karena kesehatan Ayah makin buruk," cibir Theo pada Anak terakhirnya itu. "Khawatir sama perusahaan? apa Ayah pernah sekali aja khawatir sama anak Ayah? aku cuma mau ngelakuin ini, buat Kak Cia yang meninggal karena Ayah." Sontak, jantung Theo mengernyit sakit saat Rean mengatakan hal yang sangat sensitif dihatinya. Untung saja, kelika Theo hilang keseimbangan, Siera sebagai Istri sudah berada di samping Theo. "Rean!" bentak Siera yang tidak terima. "Nggak ada yang salah disini. Kakak kamu meninggal karena sakit!" "Aku tau. Tapi kalau Ayah dateng jenguk Kakak sesekali, pasti Kakak bakal ada semangat hidup walau secuil. Ayah tau sendiri, patokan hidup Kak Cia itu Ayah. Tapi apa? Ayah suma khawatir sama perusahaan Ayah," papar Rean. Kemudian melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Siera yang tengah menenangkan sang suami. Pertengkaran ini, di mulai beberapa tahun yang lalu. Dari keluarga yang harmoni, menjadi keluarga penuh kebencian. Kakak perempuan Rean, Cia Halbert Theo, mengidap penyakit yang lumayan parah. Penyakit kanker darah, yang membuat Cia harus di rawat intensif di sebuah rumah sakit selama berbulan-bulan. Awalnya Cia hanya diam, dan lega setelah tau bahwa Rean, Adiknya, mendapat perhatian yang cukup Tapi, Cia juga memerlukan kasih sayang. Apalagi semangat hidup Cia semakin pudar, ketika dia tau bahwa Ayahnya sama sekali tidak perduli padanya. Bahkan, mendenguk Cia di rumah sakit sesekali saja tidak pernah. Yang menemani Cia saat itu, hanyalah Rean kecil setelah pulang sekolah. Rean selalu membawakan bunga segar, untuk menghibur pandangan Cia yang selalu terlihat sayu di hadapan mesin-mesin canggih rumah sakit. Tapi hari itu.... Cia menutup pandangan untuk selama-lamanya. Dan karena kepergian Cia, Rean menjadi orang yang susah di tebak. Bahkan, Rean sampai tidak mau mengelola perusahaan Ayahnya, dan memilih usaha sendiri. Rean menjadi Pria yang sedikit tertutup, dan selalu menganggap kematian di karenakan oleh Ayahnya. *** Pagi menyapa, Miya sudah berada di sebuah pemberhentian bus untuk menunggu teman-temannya datang. Gio bilang, krtika dia menelfon Bonny, gadus berambut pendek itu masih tidur. Mungkin karena Bonny mendapat shift malam ketika bekerja. Jadi ada Jeremy, Varel, Gio, dan Miya yang akan pergi ke toko kue. "Miya!" panggil Varel, suara elegan yang selalu Miya kenal. Namun senyuman Varel langsung hilang, ketika dia sadat kelupaan sesuatu. "Aduh, aku lupa bawa kartu." "Hayolooh, mau pinjem siapa kamu. Kan kalau pake uang cash jadi lebih mahal," cibir Gio dengan tampang sombong, sambil memamerkan kartu khusus transportasi itu pada Varel. "Tenang kawan-kawan, ada sultan Jeremy yang siap membantu," ucap Miya sambil berdiri karena bus telah datang. Memang betul, Jeremy adalah anak kolomerat yang kebetulan mau berteman dengan Miya dan yang lain. Bahkan, Jeremy pernah membelikan gelang emas murni, untuk sekelompok sahabat itu, untuk bukti persahabatan. Bukan main-main. "Aku bisa beli pesawat kalo kalian mau," papar Jeremy dengan melebih-lebihkan. "Mau parkir dimana kalo pesawat, di jidat Miya? ahahaha!" Gio tertawa terbahak-bahak. Lalu mundur ketakutan karena Miya siap menyerang Gio dengan jurus jewerannya. Kemudian, mereka satu-persatu menaiki bus. Tujuan mereka, adalah salah satu kota yang terkenal dengan toko kue unik di sana. "Tema apa yang kira-kira Bonny suka kalo nggak ada Galaxy?" tanya Miya yang ingin mendengar pendapat dari teman-temannya. "Temanya pisang aja, dia kan penggila pisang. Atau nggak yang warna kuning," jawab Varel yang duduk di sebelah Miya. Di sahuti dengan anggukan setuju dari yang lain. Perjalanan berlangsung selama 15 menit. Akhirnya, mereka tiba di toko yang mereka tuju. Toko dengan tema warna hijau tosca, dengan hiasan beberapa stiker lucu di kaca. "Selamat datang..." sapa penjaga toko. "Halo, kami pengen liat kue ulang tahun yang udah siap bawa," ucap Miya sambil mengedarkan pandangannya, menikmati keindahan toko. Lalu, penjaga toko tersebut mengantar Miya dan kawan-kawan, untuk melihat kue yang ada. Awalnya, Miya ingin pesan dengan tema yang di tentukan, yaitu s**u kotak atau pisang. Namun tema tersebut harus di buat terlebih dahulu, dan bisa menghabiskan waktu 45 menit. Jadi rencana tersebut di bataklan. "Wah, ada bentuk babi. Eh Miya, Bonny bukannya suka warna pink ya? belikan ini saja," ujar Gio sambil menunjuk kue dengan bentuk Babi itu. "Hish, dia sukanya warna kuning," cetus Miya sambil menjitak kepala Gio pelan. Lalu, pandangan Miya menangkap kue dengan bunga emas di atasnya. "Ini aja?" "Kata kamu Bonny suka warna kuning," gumam Gio. "Kuning dan emas nggak jauh beda. Lagi kalau pesen yang lain nggak keburu waktunya," jawab Miya singkat. Disambut dengan helaan nafas pasrah dari Gio dan lainnya. Para laki-laki itu selalu mengalah, apabila Miya ataupun Bonny memberi tanda-tanda ingin berdebat. Karena mereka tau, mereka pasti kalah jika berdebat dengan perempuan seperti Miya dan Bonny. Kemudian, Miya meminta kue tersebut, dan langsung membayar dengan uang miliknya. Jeremy sudah mengeluarkan dana untuk tempat pesta nanti. Sedangkan Gio dan Varel, menyiapkan sisanya. Tapi mereka juga tau diri, jadi mereka ikut patungan untuk menyewa penginapan. "Miya," panggil seseorang dengan suara bass yang sedikit Miya kenal. Membuat langkah Miya terhenti, dan langsung mencari asal suara tersebut. "Siapa dia?" heran Varel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN