Cemburu [Part 4]

2016 Kata
"Awwh... stop, Rean! apa-apaan sih!" teriak Miya sambil menarik tangannya yang di cekram oleh Rean kuat-kuat. Lalu, Miya menampar pria berkaca mata itu sambil menahan amarah. Nafas Miya naik turun, bisa-bisanya Rean sekasar itu padanya. "Kok kamu yang marah? harusnya aku yang marah, karena kamu kumpul sama cowok-cowok sebanyak itu. Buat apa? siapa aja mereka?" tanya Rean, kemudian mengusap pipi yang terasa panas. "Kenapa aku yang marah? kamu nanya kenapa aku yang marah? jelas-jelas kamu narik tangan aku kasar gitu. Malah nanya kenapa aku yang marah," desis Miya yang tidak terima. Beberapa menit yang lalu. "Siapa dia?" tanya Varel, pada Miya setelah kemunculan Rean. Baru saja Miya ingin memperkenalkan Rean pada teman-temannya, pria itu justru mendorong Varel yang memang berada di samping Miya. Lalu menarik Miya menjauh bersamanya, tanpa sepatah katapun. "Mereka temen-temena aku—" "Temen? kenapa cowok semua? kenapa nggak nyari temen cewek aja?" potong Rean, sebelum Miya menyelesaikan kata-katanya. "Ada, kok. Tapi terserah aku lah mau temenan sama siapa. Lagian, emang kamu ngga temenan sama lawan jenis? emang kamu nggak punya temen cewek?" tanya Miya balik, sambil membenarkan tasnya yang berantakan. "Nggak mungkin," lanjut Miya. "Miya, aku cuma pengen ngejaga kamu," ucap Rean sambil menggenggam tangan Miya yang masih dingin karena AC di toko kue. Namun, genggaman tangan Rean segera Miya tepis begitu saja. "Jaga apanya, kamu malah nyakitin aku," gumam Miya sembari mengusap lengannya yang sakit karena cengkraman dari Rean. Merasa bersalah, Rean segera memeluk Miya dengan erat. Walaupun Miya sudah mendorong tubuh kekar Rean, tapi Pria itu tetap tidak mau melepaskan pelukannya. "Salah ya, kalo aku cemburu?" bisik Rean, tepat di telinga Miya. Membuat Miya bergeridik merinding, dengan suara berat itu. Miya menghela nafasnya gusar, lalu memeluk Rean balik. "Nggak salah. Tapi aku paling nggak suka cowok kasar. Kamu bikin aku takut, tau nggak?" "Maaf," lirih Rean. "Lepasin," cetus Miya sambil mendorong Rean. "Jangan ulangi lagi. Temen aku cuma mereka, kalo kamu nyari masalah, awas aja." Rean mengangguk, kemudian menangkup wajah cantik Miya. "Boleh aku ikut sama kalian? tanyanya. "Hah? Nggak boleh! ntar kalian berantem lagi. Mereka juga bisa ngelawan kalo kamu macem-macem sama aku. Liat, mereka udah siap nyerang kalo aku isyaratin" larang Miya. Lalu gadis itu melirik teman-temannya yang masih mengamati Miya dari jauh. Mereka pasti sangat curiga, dengan kedatangan Rean yang tiba-tiba mencari masalah. Miya juga merasa tidak enak, apabila mengajak Rean tiba-tiba. Teman-teman Miya belum tau, kalau dia sudah di jodohkan dengan seseorang, yaitu Rean. Miya berencana memberi tau mereka ketika pesta Bonny nanti sore. Dengan wajah memelas, Rean mencium kening Miya lembut. Lalu berbisik, "Aku ini pacar yang cemburuan. Jadi jangan terlalu deket sama cowok lain, oke?" Miya mengerutkan alisnya bingung, "Sejak kapan kamu jadi pacar aku?" "Sejak.... sejak aku meluk kamu?" jawab Rean yang juga tidak tau. "Kamu udah meluk aku berkali-kali," gumam Miya dengan wajah jengkel. Namun, wajah itu justru membuat Rean tertawa gemas. "Nah, pelukan pertama kamu resmi jadi pacar aku. Kamu juga ngga nolak," tukas Rean mengingat bahwa pelukan pertama mereka saat dirumah Miya. "Ya udah, aku pergi dulu," merasa tidak enak dengan Teman-temannya, Miya segera kembali ke toko tersebut setelah berpamitan pada Rean. Tadinya Miya bingung, kenapa Rean ada disana? padahal setahu Miya, Rean adalah pembisnis yang sibuk di kantor. Dan ternyata, kantor Rean berada di satu kota dengan toko kue yang Miya kunjungi. Rean sebenarnya sedang membeli kopi langganannya di perjalanan menuju kantor. Tapi Rean melihat Miya yang sedang bersama dengan ketiga teman laki-lakinya, jadi Rean segera menghampiri. "Miya, kamu nggak papa?" tanya Varel dengan nada khawatir. Sebenarnya, Varel ingin sekali menolong Miya sewaktu di tarik oleh Rean. Tapi untungnya, Miya mengisyaratkan Varel untuk tidak melakukan niatnya itu. Jika saja Varel menahan Miya, pasti Rean akan tambah marah dan berujung perkelahian. Kalian tau sendiri, perkelahian dua laki-laki dewasa sangat menyeramkan. Miya mengangguk, sambil tersenyum manis untuk menenangkan Varel. "Ayo, kelas kita dimulai satu jam lagi, loh," kata Miya. "Ayo ayo," ajak Gio yang ingin mencairkan suasana. Varel terlihat emosi karena kedatangan Rean tadi. Bisa di bilang, Varel ini memiliki perasaan lebih dari teman kepada Miya. Tapi Varel tidak mau mengungkapkan perasaannya. Dia tidak mau merusak pertemanan mereka yang memang sudah sangat akrab. Dan Varel paham betul, bahwa Miya tidak terlalu tertarik dengan hubungan antar kekasih sekarang ini. Miya lebih cenderung mengejar karir, dan suka berteman. Maka dari itu, Varel memilih diam selagi bisa bersama Miya tiap harinya. Perjalanan memakan waktu lebih lama, karena jam istirahat yang menyebabkan macet. Jam-jam inilah, banyak orang berpergian untuk makan siang. Begitu juga Miya dan kawan-kawan. Mereka memutuskan untuk makan dulu, sebelum masuk kelas mereka di jam 1 nanti. "Makan apa ya?" tanya Miya sambil melihat sekeliling. "Aku udah lama banget nggak makan Spagetti atau Pizza," ucap Jeremy sambil menunjuk sebuah tempat makan, yang memang berkedatan dengan kampus mereka. "Ayo makan itu aja. Dari pada Miya yang milih nanti lebih lama," ajak Gio yang sudah menahan lapar selama di perjalanan. Bahkan Gio sampai mengeluh hampir mati karena kelaparan. Tentunya membuat Miya dan yang lain tertawa geli karena tingkah Gio. *** Waktu berlalu cepat, setelah selesai makan, beberapa menit kemudian kelas mereka di mulai. Di kelas, Miya dan kawan-kawan sengaja tidak bertingkah aneh agar Bonny mengira mereka lupa ulang tahunnya. Pasti, Bonny sangat kesal sekarang, bisa dilihat dari raut wajah masamnya. "Aku pulang dulu, ya... ada sesuatu yang harus aku kerjain. Bye Bon, bye Miya," pamit Jeremy sambil melembaikan tangan dengan semangat. Sedangkan Gio dan Varel, sudah pergi entah kemana tepat setelah kelas selesai. Jadi tinggal Miya dan Bonny saja dikoridor kelas. "Ayo," ajak Bonny, yang berniat pergi menuju halte bus saja untuk pulang. Dia kira, mungkin teman-temannya memang benar-benar sibuk dan lupa kalau dia sedang ulang tahun. "Eh, Bon, anterin aku ke tempat yang baru buka itu yuk. Kamu lagi nggak sibuk, 'kan?" tanya Miya, sambil menahan lengan Bonny yang hendak pergi. Untungnya, Bonny percaya dan mengiyakan permintaan Miya. Miya harap, Varel, Jeremy, dan Gio sudah selesai dengan tugas mereka. Selama diperjalanan, Miya sampai menggigit-gigit jarinya karena gugup. "Kamu pengen ke toilet apa gimana? tegang banget kayaknya," heran Bonny. "Nggak kok, aku cuma... nggak sabar liat tempatnya. Katanya bagus dan nyaman banget," bagus, jawaban yang bagus Miya. Disahuti dengan anggukan paham dari Bonny, yang sibuk memainkan game ponselnya. Bonny, juga memiliki hobi bermain Game, seperti Jeremy. Kata Bonny, bame bisa menghilangkan stress karena terlalu banyak belajar. Miya sudah pernah mencoba, tapi dia justru tambah stress karena kalah terus menerus. Sesampainya ditempat yang Miya maksud, dua gadis itu langsung menikmati pemandangan sekitar. Cuasa sore hari juga sangat mendukung, tidak gerah, dan juga tidak dingin. "Wah, gede banget. Tempat apa si? jadi penasaran aku," gumam Bonny. "Ah iya, ayo liat-liat dulu," ajak Miya sembari menggandeng Bonny dengan erat. Takut Bonny berjalan-jalan sendiri, dan tidak sengaja menemukan kejutannya. "Halo, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pelayan cafee disana. "Nomor 155," mendengar jawaban Miya, Bonny hanya mengerutkan alisnya bingung. Bukannya ini pertama kali Miya datang ya? kenaoa Miya sudah tau nomor ruangannya? heran Bonny. Namun, pemikiran itu teralihkan, oleh Miya yang menarik tangannya sedikit cepat. Baru saja masuk ke dalam ruangan yang Miya arahkan, Bonny langsung menutup telinganya karena ledakan kecil daru kejutan Jeremy, Gio dan juga Varel. Kemudian, kembali dikejutkan dengan suara sorakan yang tidak lagi asing di pendengarannya. "Selamat ulang tahun!" Happy birthday, Bonny... Happy birthday, Bonny... Happy birthday, my Bonny... Happy birthday, Bonny... Mendengar nyanyian tersebut, air mata Bonny menetes tanpa sadar. Apalagi setelah Miya, Varel, Jeremy dan Gio dan serempak memeluk Bonny yang sudah menangis haru dengan erat. "Aku kira kalian lupa," isak Bonny. "Mana mungkin, kita punya Varel sang dewa pengingat segelanya," gurau Miya sambil mengajak Bonny untuk duduk. "Kalaupun kita lupa, pasti kamu bakal ngintein sambil marah-marah, ahahaha!" beltak! Bonny menjitak kepala Gio pelan. Membuat pria itu meringis sambil mengusap-usap kepalanya. Miya dengan inisiatif, memberikan kue yang sudah disiapkan. "Berdo'a," ujar Miya. "Terimakasih, dengan kehidupan yang kadang pahit, kadang juga manis ini. Karena temen-temen aku yang bodoh ini, hidup jadi sedikit tambah manis. Walau kadang kebodohan kalian di luar nalar manusia, tapi aku ngerasa beruntung punya sahabat kayak kalian. Walau Miya bener-bener galak dan pelupa. Gio sama Jeremy kelewat konyol. Kalau Varel... aku nggak tau kekurangan kamu apa, kayaknya nggak ada sih. Tapi aku sayang kalian," gumam Bonny panjang lebar. Sedangkan Miya, menatap jengkel karena Bonny mengejeknya sebagai pemarah. "Selamat ulang tahun, Bonny. Nggak kerasa, ya? kita udah temenan kira-kira selama 5 tahun lebih, ya?" ucap Jeremy sambil memberikan kado untuk Bonny. "Selamat ulang tahun. Aku harap sifat pelit kamu berkurang, Bon." Lagi dan lagi, Gio mendapat jitakan kecil di kepalanya. "Selamat ulang tahun. Semoga kamu selalu dikelilingi kebahagiaan, dan hati kita selalu bersama. Soalnya... kalian ini walaupun bodoh tapi baik, pokoknya nggak mungkin tergantikan." Miya memeluk Bonny lagi. Sungguh, Miya sangat menyayangi teman-temannya itu. "Sampai kapanpun, jangan sampai kita lupa satu sama lain. Kita bakal temenan sampai jadi Nenek-Kakek pikun," timbal Bonny. "Kalau Miya nggak perlu jadi Nenek-nenek juga udah pikun," cetus Gio. Membuat Miya yang awalnya tersenyum manis, langsung menatap tajam pada Gio. "Aku nggak separah itu, kok," cetus Miya. "Iya, 'kah? kok waktu perkenalan mahasiswa, kamu ngga inget semua nama-nama temen jurusan kita?" tanya Gio. "Soalnya kebanyakan, nggak mungkin aku inget semuanya," desis Miya. "Tapi sampai sekarang kamu masih sering lupa nama temen satu jurusan kamu, 'kan? kalo mereka nyapa, pasti kamu cuma bingung karena lupa namanya," papar Gio lagi. Karena merasa ucapan Gio benar semua, Miya hanya memutar bola mata malas. Ingin sekali memukul Gio yang sudah memasang wajah sombong, sebab biasanya dia tidak menang berdebat dengan Miya. "Aku nggak suka suasana sedih kayak gini, mending kita.... perang kue!" teriak Gio sambil mencolek ujung kue, lalu mengelapnya di baju Jeremy. Membuat Jeremy yang terpancing, segera ikut mencolek kue, lalu berlari mengejar Gio yang memutari meja agar bisa menghindar dari Jeremy. Sedangkan Bonny, dengan senyum jahil diam-diam mengambil krim kue. Lalu berniat mencolekannya pada wajah Miya. Namun siapa sangka, Varel dengan sigap menghadang Bonny. Membuat gadis berambut pendek itu kesal, dan langsung mendorong Varel. Miya yang tidak tahu-menahu, langsung terkagetkan dengan tubuh berat Varel yang menimpa dirinya. Untung saja, Varel sempat menahan kepala Miya agar tidak membentur lantai. "Cieeeee, muka Varel merah...." teriak Bonny dengan jahilnya. Membuat Varel langsung sadar dengan apa yang dia lakukan. Padahal, Varel tau kalau Miya sudah punya tunangan. Tapi setiap kali terlalu dekat dengan Miya, wajah Varel pasti memerah malu. "Gimana, kita jadi nginep nggak?" tanya Gio. "Jeremy, kamu udah pesen tempatnya?" Jeremy menggeleng, "Belum. Aku baru nanya-nanya doang. Kalo kalian jadi, ya aku pesenin sekarang. Ada 2 kamar masing-masing kok, walopun satu penginapan. Jadi cewek–cowok bisa pisah." "Gimana tuh maksudnya?" bingung Gio, yang langsung mendapat jitakan pelan dari Bonny. "Kan aku liat ada penginapan bagus, peninapan ini kaya apartement lah bentuknya. Ada dapur, kamar mandi, 2 kamar yang masing-masing kamarnya ada 2 kasur, sama ruang santai. Tapi minimal pesen, harus 3 hari penginapan. Kalian bisa?" papar Jeremy. "Wah, kalo minimal 3 hari harus pikir-pikir dulu. Kerjaan aku gimana coba. Kalo minta izin sih boleh, bulan depan aku bisa ambil cuti. Tapi nggak bisa mendadak, kasian boss aku belum nyari ganti," ucap Miya. "Yaudah, kita nginepnya lain kali aja nunggu semuanya bisa. Lagian emang sayang, kalo udah nginep ke tempat bagus gitu cuma sebentar," sahut Bonny. Kemudian, sekelompok remaja itu menghabiskan makanan dan kue sembari mengobrol ria. Sebenarnya, Bonny sangat ingin membuka kado dari teman-temannya. Tapi karena Miya marah, jadi Bonny mengalah dan akan membukanya di rumah saja agar lebih terkejut, pikir Bonny. "Miya, habis ini kamu ada waktu sebentar?" tanya Varel sambil membantu Miya berdiri dari kursinya. Tidak terasa hari sudah sore. Tinggal Varel, Bonny dan Miya yang masih membereskan barang. Tapi Bonny sudah buru-buru keluar duluan karena ojek online pesanannya sudah datang. Pekerjaan sampingan Miya sebagai writers si Caffe, hanya bisa mengambil libur tiga hari dalam sebulan. Jadi Miya harus segera meluncur ke tempat kerja, agar tidak telat. Sebab Miya berperan penting dalam marketing Caffe. Miya, adalah model Caffe tersebut. Banyak yang datang hanya untuk melihat Miya, ataupun membeli minuman yang Miya iklankan. Dibilang cantik, ya benar, Miya cantik. Terbukti dengan tatapan kagum orang-orang yang melihat Miya. "Ada, kenapa emang tiba-tiba gini?" tanya Miya. "Aku mau ngomong sesuatu," kata Varel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN