Dinginnya angin malam, menerpa wajah cantik dari gadis berambut panjang itu. Miya masih terdiam di tempat, setelah mendengar perkataan Varel yang menurutnya tidak cukup mengejutkan, namun tetap membuat Miya menahan nafasnya.
Beberapa menit lalu, pesta ulang tahun Bonny selesai. Semua sahaba-sahabat Miya yang lain sudah pulang, tinggal Varel dan Miya di taman belakang dekat kampus, tempat para remaja berkencan.
"Maksud kamu gimana, Varel?" tanya Miya dengan nada intensif, ingin lebih memastikan apa yang Varel katakan.
"Ah udahlah, lupain aja—"
"Nggak, aku mau mastiin lagi. Kamu bilang apa tadi?" tanya Miya lagi. Membuat Varel yang awalnya menatap Miya dalam, langsung menundukkan kepala sambil menghela nafas gusar.
"Aku.... suka sama kamu, bukan cuma sebatas teman," lirih Varel. Namun tetap saja, gadis berambut hitam panjang itu bisa mendengar ucapan Varel.
"Varel, bukannya dari pertama kaki kita kenal, kamu udah tau kalau aku belum mau berhubungan spesial sama laki-laki manapun?" tanya Miya pelan.
"Apalagi kamu sahabat aku," lanjut Miya. Mendengar perkataan dari gadis pujaanya itu, Varel segera mendekati Miya karena takut Miya marah.
Padahal Varel sudah tau, bahwa Miya pasti akan bereaksi sedemikian rupa ketika Varel mengungkapkan perasaanya.Tapi Varel merasa takut dan geram, setelah melihat Miya bersama Pria lain, yaitu Rean. Varel takut Miya diambil begitu saja oleh pria lain.
"Kamu nggak perlu jawab apapun, kok. Aku cuma ngungkapin perasaan aku aja biar lega," ujar Varel sambil menggenggam tangan Miya sebentar.
"Terus, siapa cowok yang tadi pagi narik kamu?" tanya Varel mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Cowok yang tadi itu namanya Rean, dia dijodohin sama aku. Kita Belum memiliki hubungan pasti sih, tapi orang tua Rean berharap banyak sama jawaban aku," jelas Miya pelan. Tidak ingin membuat Varel sakit hati.
"Aku juga berharap banyak," gumam Varel pelan, membuat Miya mendongakkan kepalanya menatap wajah sayu Varel.
"Kamu tau sendiri orang tua aku gimana, Rel. Dari dulu aku udah banyak nolak lamaran dan sebagainya. Jadi kali ini aku nggak bisa nolak, mereka bilang bisa pamali kalau cewek terlalu milih. Maaf, aku aja nggak tau hal ini bener apa nggak," jelas Miya.
"Nggak masalah kok, Miya. Aku tau kamu nggak mungkin nolak aku kalau belum dijodohin," ucap Varel sambil terkekeh pelan menyembunyikan secuil rasa sakit di hatinya.
Sepertinya, Varel kalah cepat dengan pria bernama Rean itu. Padahal, Varel ingin sekali meminang Miya, setelah dia merasa siap ekonomi dan segalanya. Bahkan, Varel sudah bekerja keras dan menabung untuk masa depan yang dia rencanakan. Tapi sepertinya takdir berkata lain.
"Apa tunangan kamu tampan dan kaya raya? apa dia udah masuk type cowok idaman kamu?" tanya Varel. Membuat Miya tersenyum tipis kemudian memukul Pira bertubuh atletis itu pelan.
Benar apa yang dikatakan Varel. Miya pernah mengatakan, bahwa cowok idamannya adalah cowok tampan dan kaya raya. Padahal Miya hanya bercanda, namun perkataan itu di buat jadi bahan candaan okeh sahabat-sahabat Miya.
"Jangan lupa undang aku, ya?" senyuman lebar Miya hilang, ketika mendengar suara parau dari Varel.
Miya paham betul, bahwa Varel sedang menahan tangis. Tapi... Miya juga tidak boleh mempermainkan perasaan seseorang. Miya tidak boleh memberikan harapan pada Varel, karena dia sudah terhubung dengan Rean. Miya akan tegas, agar Varel tidak berharap banyak padanya.
"Jangan menangis, bodoh. Jelek banget kamu sekarang," ejek Varel sambil mengusap air mata Miya lembut.
"Kamu juga jangan nangis. Nanti kalau kamu nangis diem-diem aku pukul, ya? kamu kan lumayan ganteng dan pinter, cari aja cewek lain yang cantik dan Sexy," gurau Miya.
"Lumayan? emangnya aku kurang ganteng?" tanya Varel menggoda Miya. Namun, Miya justru semakin merasa bersalah dengan senyum palsu yang Varel tunjukkan.
"Ayo pulang," ajak Miya yang tidak ingin melihat wajah sedih dari Varel.
Sebenarnya, Varel ingin mengantar Miya menggunakan motornya, tapi tidak jadi. Sebab Varel tidak ingin terlalu ikut campur dengan kehidupan Miya, apalagi setelah tau bahwa Miya sudah dijodohkan. Jadi Varel memesankan Taxi saja untuk Miya.
"Bye, nikmati liburan kamu besok," ucap Varel sambil memasang helm hitamnya. Kemudian menunggu Miya agar masuk ke dalam taxi.
"Besok aku kerja, hari ini aku ambil cuti soalnya capek banget. Kamu juga kan?" tanya Miya.
"Loh, besok kamu kerja? aku kira libur. Kalau besok, aku ada jadwal anak yang ngambil les privat. Besok kalo nggak terlalu sibuk, kita ajak yang lain makan malem bareng aja," ujar Varel. Disambut dengan anggukan paham dari Miya, yang merasa sedikit lega mengetahui bahwa besok ada kegiatan untuk Varel mengisi waktu, yaitu mengajar les Privat. Miya tidak ingin Varel terlalu memikirkan kejadian hari ini.
Varel, adalah laki-laki lumayan terkenal dikalangan perempuan. Namun Varel tidak pernah menyadari hal itu. Selain pintar, Varel juga ramah. Dan Varel memanfaatkan kepintarannya itu untuk mencari tambahan uang, yaitu mengajar les privat.
Namun, Varel terlalu menutup pandangannya. Dia hanya fokus pada sahabat-sahabat terdekatnya dan tertutup untuk publik. Bahkan Varel rela melepaskan kesempatannya untuk masuk kelas unggulan, agar bisa lebih sering bersama sahabat-sahabatnya, yaitu Miya, Bonny, Gio dan juga Jeremy.
Miya, Bonny, Jeremy, dan Gio, mereka lah yang paling Varel perhatikan. Padahal, Varel bisa saja langsung menemukan circle pertemanan baru yang tentunya lebih Fancy dan Famous. Tapi tidak. Varel selalu menganggap, bahwa Miya dan yang lain adalah anugrah. Varel tau, mereka tidak berteman dengannya hanya untuk numpang populer. Karena soal populer, Varel masih kalah dengan Miya.
Sedangkan sepanjang perjalanan, Miya memainkan ponselnya. Membalas semua pesan yang masuk. Kemudian Miya mengingat suatu hal, beberapa keperluannya habis. Jadi dia harus mampir ke toko dulu sebelum pulang.
"Aduh, aku lupa membeli parfum dan yang lain. Permisi, Pak, nanti boleh berhenti sebentar di toko ngga?" tanya Miya dengan sopan. Takut menganggu konsentrasi menyetir pria baruh baya didepannya itu.
"Boleh boleh, nanti kasih tau saya aja mau berhenti di mana," sahutnya. Membuat Miya menghela nafas lega. Hingga beberapa menit saja, Miya sudah melihat toko parfum yang biasa dia kunjungi.
"Haahh...." Miya menghela nafasnya panjang, menikmati harum ruangan yang selalu Miya suka. Namun karena tidak ingin lama-lama, Miya segera mencari parfum kesukaanya.
Braakk!
"Sorry," refleks Miya, sambil membantu membereskan belanjaan orang yang dia tabrak. Tapi ketika baru setengah membereskan, tangannya ditahan oleh pria yang dia tabrak.
"Kamu pakai parfum apa?" tanya Pria yang memakai masker hitam itu dengan suara rendah.
"Ah, kamu suka?" tanya Miya sambil melanjutkan memunguti barang yang jatuh. Disambut dengan anggukan pelan dari pria itu. "Ayo, aku tunjukkin parfumnya."
Pria itu mengangguk lagi, kemudian mengikuti Miya. "Ini," ujarnya.
Parfum dengan botol warna putih, dengan tutup gambar mahkota. Miya selalu menggunakan parfum itu karena wanginya tidak terlalu menusuk, juga sangat fresh. Kalau tidak yang putih, Miya memilih yang merah jika cuaca sedang panas-panasnya, karena yang warna merah lebih pekat wanginya.
"Maaf tadi nabrak, aku buru-buru, bye...." ucap Miya sambil melambaikan tangannya untuk pergi ke kasir. Sedangkan pria dengan pakaian serba hitam itu, hanya memandang diam kepergian Miya.
"Ayo, Pak," titah Miya setelah memasuki taxi kembali. Tanpa lama-lama, taxi tersebut segera menuju dikeheningan malam. Hanya ada beberapa mobil yang lewat. Sampai akhirnya, Miya sampai dirumah.
"Dari mana aja kamu," sudah Miya duga. Pertanyaan itulah yang akan dia dengar ketika masuk rumah. Karena kesal, Miya sengaja menjawab dengan nada tidak mengenakkan.
"Berpesta. Aku sangat suka menghambur-hamburkan uang," cibir Miya sambil menaiki tangga untuk pergi ke kamarnya. Miya adalah seseorang yang semakin sengaja, jika dia merasa di rendahkan. Maka dari itu, Miya menjawab sedemikian. Yaitu agar Ibunya semakin kesal saja.
"Sesekali, bantulan keuangan keluarga kamu, Miya," ucap Vani. Kamudian duduk disamping Elen yang tengah menggendong cucunya.
"Sesekali? bukannya Ibu udah berkali-kali minjem uang aku, ya?" heran Miya sambil berbalik badan.
"Itu untuk kebutuhan kamu juga, Miya. Kamu pengen makan enak, kebutuhan terpenuhi, rumah nyaman. Tapi kamu terlalu perhitungan sama uang yang Ibu pinjem," papar Elen.
"Aku nggak perhitungan, Ibu... apa selama Ibu minjem uang aku, aku pernah ngungkit-ungkit? apa aku pernah ngomongin sebelum ini? nggak, 'kan?"
"Miya! Ibu pake uang kamu buat kebutuhan rumah! bukan Ibu egois pake sendiri, bukan Ibu pake buat hal sia-sia kayak kamu!" bentak Elen yang sudah diambang kesabaran, begitu juga Miya.
"Ya udah pakai aja uang aku. Jangan malah ngatain kalo aku perhitungan, padahal itu hal wajar karena perhasilan aku pun ngga segede yang Ibu harapin. Aku punya kebutuhan sendiri, kalau aku udah sukses dan punya uang banyak, barulah aku bakal kasih Ibu sebanyak apapun yang Ibu mau. Tapi buat sekarang.... aku belum kuat buat kasih uang kayak yang Ibu mau." Air mata menetes negitu saja dari pelupuk mata Miya, yang menghela nafasnya gusar. Kemudian berusaha tenang, karena tidak ingin berlebihan. Miya hanya ingin memberitahu apa yang ada di isi kepalanya. Namun Miya tetaplah Miya pemarah, yang mudah terpancing emosi.
"Membiayai anak, adalah tanggung jawab orang tua. Ibu tau nggak sih, Ibu termasuk beruntung banget soalnya aku udah mulai kerja dari dulu. Kalo ngga, apa Ibu bisa kasih uang layaknya remaja yang lagi seneng-senengnya kumpul dan Hang Out? Ibu bilang aku perhitungan, tapi kayaknya justru Ibu yang perhitungan sama aku," ucap Miya.
"Abis ngatain aku kerja ngga bener, ibu bilang aku perhitungan? jahat," lanjutnya.
"Gimana Ibu nggak ngira kamu kerja yang nggak bener, Miya. Di rumah kamu nggak bisa masak, jarang berberes, adanya di kamar dan makan, persis kayak Ayah kamu. Dia cuma duduk dan ngerokok sepanjang hari. Ibu nyesel nikah sama dia," kata Elen. Saat itu juga Miya tersenyum kecut, kemudian menatap Ibunya dalam.
"Ya udah, sana ajak cerai," titah Miya.
Vani yang mendengar, langsung berlari mendekati Miya dan menampar wajah tirus itu kencang. "Jangan keterlaluan, Miya!" bentak Vani.
"Ibu yang keterlaluan, Kak! bisa-bisanya dia ngomong kalau dia nyesel nikah, setelah bertahun-tahun lamanya? apa sekali aja Ibu nggak ngerasa bangga, kalau dia bisa ngerawat anak-anaknya sampe dewasa?" nafas Miya menggebu-gebu.
"Ahahaha, mana bisa Ibu bangga sama aku yang malesan ini. Aku aja cuma kerja bolak-balik dari satu tempat ke tempat lain, males banget ya aku?" cibir Miya lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Vani dan Elen, yang saling menatap diam.
Sedangkan di kamarnya, Miya langsung terduduk malas. "Capek banget aku sama drama ini," gusarnya.
Walaupun sangat kesal, Miya tidak pernah melewatkan mandi dan bersih-bersih sebelum tidur. Selama mandi, Miya masih memikirkan apa yang Ibunya katakan sambil berendam. Menikmati harum sabun-sabunan yang membuat pikirannya lebih tenang.
"Untung aku cantik, jadi mereka mau jadiin aku model mereka. Lumayan banget, 5 juta sekali foto," lanjut Miya. Hahaha, Miya memang anaknya sangat percaya diri.
Selepas mandi, Miya segera mengeringkan rambut, memakai skincare malam, lalu rebahan sambil bermain ponsel. "Apa aku pindah rumah aja, ya? toh, mereka selalu ngerasa aku cuma beban. Tapi anak durhaka macam apa aku pergi cuma gara-gara uang."
"Eh, tapi kan.... aku udah dijodohin sama Rean. Kalau kami jadi nikah, aku bakal tinggal dirumah Rean. Ah! ngomongin apasih aku," lanjut Miya menanggapi perkataannya sendiri.
"Haahh, ya udah. Aku akan mengikuti alur hidup sampai uangku banyak, huahahahaha!" Miya menghibur dirinya sendiri. Berusaha tidak terlalu bawa ke perasaan. Namun, rasa kantuk terus menggerayanginya. Hari ini, Miya sangat banyak aktivitas. Namun ketika kesadaran Miya hampir hilang, dering telfon masuk ke ponselnya dan merusak mimpi yang baru dia bangun.
"Halo," sapa Miya dengan nada malas.
"Udah pulang kerja?" tanya orang di sebrang telfon sana, yaitu Rean.
"Udah, kamu?"
"Ini masih di jalan pulang. Aku kira kamu belum pulang, jadi aku pengen jemput kamu tadinya," jelas Rean.
"Aku udah pulang kok. Yaudah kamu nyetir hati-hati. Aku ngantuk banget, besok aja ngomongnya," ujar Miya. Membuat Rean yang sedang fokus menyetir, tersenyum tipis mendengar suara lemas dari Miya. Tapi tiba-tiba, terbesit pikiran Rean untuk menjahili Miya.
"Miya, aku lagi pengen banget ngobrol sekarang," lirih Rean dengan suara lembut memohon.
"Kamu nggak denger? aku bilang aku ngantuk," cetus Miya yang kesal. Matanya sudah tertutup rapat, kesadarannya hanya tinggal 10%.
"Miya, kamu suka sama aku nggak?" tanya Rean berniat jahil.
"Aa..... nggak sih, aku lebih suka uang," mendengar jawaban Miya, Rean langsung tertawa terbahak-bahak. Membuat Miya yang terkejut kembali membuka matanya.
"Jujur banget sih kamu," gumam Rean gemas.
"Emang aku ngomong apa?" tamya Miya yang melantur.
"Kamu suka sama aku," jawab Rean kembali jahil.
"Hah? perasaan aku nggak pernah ngomong kayak gitu," elak Miya tidak terima.
"Kayak apa?" tanya Rean
"Aku suka sama kamu," jawab Miya seadanya.
"Aku juga suka kamu," mendengar ucapan Rean, Miya langsung terduduk dan meletakkan ponselnya, tepat didepan bibir agar omongannya terdengar jelas oleh Rean.
"Heh, Rean. Aku ini orangnya emosian, jadi jangan bikin aku emosi sama gombalan-gombalan kamu itu," papar Miya menahan marah.
"Maaf maaf.... ya udah, tidur sana. Besok aku mau ke rumah kamu. Bilang sama keluarga kamu besok malam kita mau makan bersama," jelas Rean.
"Makan bersama? buat acara apa?" heran Miya.
"Rahasia," ucap Rean dengan nada jahil. Miya menghela nafasnya gusar. Sudah tidak ingin meladeni betapa jahilnya Rean.
"Besok kamu bakal tau, kok. Selamat malam, cantik. Semoga mimpi indah," ucap Rean lembut. Membuat Miya tersenyum tipis, kemudian mengucapkan selamat malam juga. Lalu beberapa menit kemudian, Miya sudah terlelap masuk kedalam mimpinya.