“Maddalene…” Maddalene terkejut ketika tiba-tiba pria tersebut memanggilnya, Maddalene melangkah mundur ketika ia sadar bahwa pria itu bukan orang biasa karena pria itu dapat mengetahui keberadaannya yang seharusnya tidak di ketahui oleh pribadi manapun yang ada di dalam pengelihatan kilas balik Maddalene tersebut.
“Akhirnya kita bertemu!” Sapa pria itu pada maddalene yang kemudian berbalik dan menatap dengan mata yang menajam kepada perempuan itu. Pupil mata Maddalene melebar saat ia melihat mata itu menatap tepat ke arahnya. Yang membuatnya pun kembali melangkahkan kakinya saat pria misterius itu mendekat.
“Berikan Liontin Artsat itu padaku, atau aku akan membunuhmu disini!” Dan ketika ancaman tersebut terucap dari mulut pria itu, dengan tangan besar yang menggapai ke arah Maddalene, perempuan tersebut yang tidak dapat lari ke manapun lagi, ia hanya bisa memejamkan matanya seerat mungkin dan berharap bisa kembali ke waktu yang seharusnya dia berada saat ini.
“Maddalene!” Sebuah panggilan itu terdengar kencang di telinga Maddalene, membuatnya dengan cepat membuka kembali matanya dan menyadari dirinya telah berhasil kembali ke waktu miliknya. Ia pun menatap pada Adhair yang ada di hadapannya yang sedari tadi berusaha menyadarkan dirinya.
Maddalene melirik ke arah Yasika yang telah selesai di obati, dan masih terbaring di atas kasur. Ia pun hanya bisa terdiam ketika melihat ketiga lelaki itu kini tengah menatapinya penuh dengan tanya.
Liam yang merasa penasaran pun akhirnya membuka percakapan dengan mengajukan sebuah pertanyaan pada Maddalene, “Jadi... Apa yang kau lihat?” Tanya Liam. Ketiganya memang telah mengetahui jika tadi Maddalene menggunakan kemampuan Flashback Vision nya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Maddalene, orang yang mendapatkan pertanyaan itu hanya diam dengan wajah yang pucat dan shock, tangannya yang bergetar secara tidak sadar menggenggam sebuah liontin yang bertengger di lehernya dan selalu bersembunyi di balik bajunya. Dan saat Adhair, Liam dan Gaelan melihat sebuah liontin yang berwarna perak yang baru saja Maddalene keluarkan dari dalam bajunya itu, membuat mereka bertiga merasa sangat amat terkejut karena mereka mengenali dengan jelas, milik siapa liontin itu.
Itu adalah Liontin Artsat, liontin milik bangsa Hydrangea. Bangsa kuat yang berhasil di kalahkan oleh Szabolcs beberapa puluh tahun silam, musuh yang paling di waspadai kebangkitannya oleh hampir seluruh bangsa-bangsa yang ada.
Ketiga pasang mata itu masih menatapi dengan tidak percaya keberadaan liontin tersebut yang ternyata ada pada perempuan ini, “Dari mana kau mendapatkan itu?” Tanya Adhair pada Maddalene dengan wajah yang sangat serius serta tatapan mata yang benar-benar sulit di artikan karena segala rasa bercampur di sana.
Apa yang di lakukan Adhair benar, tentu saja mereka harus mengetahui dari mana Maddalene mendapatkan kalung yang paling berharga milik musuh mereka itu? Apakah ia mencurinya? Kalau benar... Untuk apa ia mencurinya, dan dari mana ia mencurinya? Sedangkan keberadaan bangsa Hydrangea pun tak ada yang mengetahuinya. Ataukah ada seseorang yang memberikan kalung itu padanya? Jika benar... Maka siapa orang itu? Itulah pertanyaan yang harus di ketahui jawabannya, pertanyaan yang ada di dalam benak Adhair yang juga seharusnya ada di dalam benak Liam dan Gaelan.
Maddalene hanya terdiam dan tidak menjawab pertanyaan yang di lontarkan oleh Adhair tersebut, membuat lelaki itu mulai merasa marah dan segera mengeluarkan pedang miliknya. Namun keberadaan Liam dan Gaelan di sana membuatnya menahan diri ketika kedua temannya itu segera menahannya yang hampir saja menodongkan pedangnya itu pada perempuan tak bersalah di hadapan mereka.
“Lepaskan aku, dan biarkan aku menyelesaikan ini!” Ucap Adhair yang geram, sambil menatap tajam pada Liam dan Gaelan yang menahan tubuhnya. Sementara Maddalene hanya terdiam dengan wajah yang menghadap ke atas lantai yang kotor dengan darah Yasika di atasnya.
“Jika kau ingin menyelesaikan masalah ini, mari kita selesaikan bersama dengan Szabolcs!” Dan ucapan yang keluar dari mulut Liam, orang termuda di antara mereka berlima pun berhasil membuat Adhair menghentikan aksinya. Lelaki itu pun kembali menyimpan pedang miliknya ke dalam sarung pedang yang bertengger di pinggangnya. Kemudian setelah itu, ketiga lelaki itu pun secara bersamaan menatap pada Maddalene yang masih sama seperti sebelumnya, menunduk dan enggan menjawab.
“Aku akan membawa Yasika juga!” Ucap Gaelan yang langsung berjalan ke arah kasur untuk mengangkat tubuh Yasika yang masih tidak sadarkan diri, bukan tanpa sebab ia membawanya. Namun ia takut jika orang yang menyerang Yasika itu kembali dan justru semakin membuat Yasika terluka.
Adhair menganggukkan kepalanya kemudian ia menatap pada perempuan yang ada di hadapannya itu yang kemudian membuatnya menoleh pada Liam. “Ikat dia!” Perintah Adhair pada Liam yang terkejut mendengarnya. Namun lelaki itu hanya bisa mengangguk dan meraih kedua tangan Maddalene yang menyerahkan kedua tangannya begitu saja. Mereka pun keluar dari mes itu dan berjalan menuju tempat Szabolcs malam itu juga.
Di tengah desa, keberadaan orang-orang yang belum masuk ke dalam rumah mereka itu membuat kelimanya menjadi bahan tontonan dari jauh dan bisikan yang tidak-tidak. Bagaimana tidak? Mereka semua menyaksikan jika Maddalene yang di ikat itu berjalan bersama Adhair dan Liam yang ada di sisi kanan dan kirinya, sementara di belakang ketiganya Gaelan terlihat menggendong Yasika yang terlihat pucat dan lemas yang bahkan mereka duga jika perempuan itu telah merenggang nyawa.
Beberapa spekulasi keji dan buruk pun bermunculan di tengah warga, diantaranya adalah
‘Maddalene yang telah membunuh Yasika karena bertikai!’
‘Maddalene telah melakukan kesalahan fatal sehingga Yasika tewas.’
‘Apakah Yasika dan Maddalene berkhianat? Dan berhasil ditangkap oleh ketiga prajurit kuat itu?’
Itulah beberapa spekulasi di antara spekulasi kejam lainnya yang beredar dengan cepat malam itu.
Langkah keempat dari mereka pun telah sampai di depan ruang Szabolcs yang selalu di jaga oleh seorang penjaga sekaligus kepercayaan Szabolcs. Penjaga yang selalu berdiri di depan pintu ruangan itu pun menatap pada mereka dan menyipitkan matanya. Ia pun menghadang mereka yang hendak masuk begitu saja ke dalam ruangan Szabolcs. “Apa yang menjadi alasan kalian datang kemari dan ingin menemui Szabolcs?” Tanya penjaga itu pada mereka semua dengan suara yang menggeram berat, yang tentu saja akan menakuti seluruh anak kecil yang mendengarnya. Namun tidak dengan mereka. Terutama Adhair yang sering berbincang dengannya.
Liam, anak kesayangan seluruh rakyat itu menatap tajam sekaligus tidak suka pada sang penjaga yang menatap mereka dengan mata yang menyalang tersebut. Liam pun berucap, “Ada hal yang sangat penting yang harus kami bicarakan dengan Szabolcs saat ini!” Jawab Liam, meminta izin pada penjaga itu dengan suara yang tak kalah menakutkan meski tidak seberat penjaga tersebut. Meskipun Liam masih memiliki usia yang muda, tetapi ia termasuk ke dalam salah satu orang yang kuat yang ada di desa itu. Sehingga menghadapi penjaga Szabolcs bukanlah sebuah tantangan bagi dirinya.
Penjaga yang bertubuh kekar dengan ikat kepala hitam di dahinya itu mengelengkan kepala, memberikan jawaban pada mereka jika mereka tetap tidak di izinkan masuk ke dalam ruangan tersebut. “Saat ini Szabolcs sedang beristirahat, kembalilah besok pagi!” Titahnya pada mereka semua.
Adhair yang mendengar ucapan itu pun menghela napasnya dengan keras dan melepaskan lengan Maddalene yang sedari tadi ia seret. Adhair pun melangkah untuk berhadapan langsung dengan penjaga yang memiliki tubuh tinggi itu, ia menarik kerah penjaga tersebut hingga mereka saling bertatapan tajam dengan jarak yang dekat. Menatap dari mata ke mata, sementara Liam melangkah mundur untuk memberikan ruang pada Adhair jika-jika lelaki itu akan membanting penjaga tersebut ke atas tanah.
“Semua masalah ini berkaitan dengan hydrangea, musuh terbesar dan terberat kita! Apa kau ingin menunggu permasalahan ini membesar hingga esok pagi?!” Geram Adhair pada penjaga tersebut.
To be continued