MTM (5) : Semalam

1620 Kata
"Pulang aja kalau mau pulang. Malik udah pulang ini." Akhirnya Rere mampu mengucapkan kalimat tersebut dengan lancar. Setelah mengumpulkan nyalinya. Gadis itu pun berhasil memecah keheningan. Reyhan meletakkan ponselnya di atas meja. "Kalau gue gak mau?" Rere terdiam, memikirkan kalimat yang cocok untuk membalas ucapan Reyhan. "Mending lo pulang aja deh. Gue gak pa-pa sendiri. Toh juga terbiasa sendiri," ucap Rere tanpa menatap Reyhan. "Gak bisa. Gue udah janji sama Bunda lo," ucap Reyhan. Rere kembali memutar otaknya. Agar Reyhan mau pergi dari ruangannya. "Oh iya, jangan Ge-er ya lo. Gue gak pernah mau nemenin lo, yah kecuali nyokap lo yang minta." Reyhan menghentikan ucapannya sebentar. "By the way, nyokap lo tahu gak ya kalau anaknya yang cantik jelita ini suka mempermainkan perasaan lelaki?" Rere menatap Reyhan dengan tajam. "Kenapa? Takut Bunda lo tahu tentang kita?" "Urusan lo sama gue! Gak ada kaitannya dengan keluarga gue," ucap Rere penuh penekanan. Mendengar hal tersebut Reyhan tersenyum sinis. Hening.... Tidak ada percakapan, keduanya diam tanpa sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba suara deringan ponsel Reyhan terdengar. Lelaki itu tersenyum senang, lalu mengangkat telpon dari kekasihnya. Rere menaikkan satu alisnya ke atas. Ketika melihat sebuah senyuman manis tercetak di bibir Reyhan. Rere terkesima, karena sudah sangat lama ia tidak melihat senyuman manis di bibir Reyhan. "Halo sayang.... " Rere sadar dari lamunannya, ketika mendengar Reyhan menyapa seseorang di seberang sana. Apa? Telinganya tidak tuli kan? Reyhan memanggilnya 'sayang? ' "..............." "Lagi di rumah, kenapa? Kamu udah makan? " Kenapa Reyhan berbohong dengan kekasihnya? Begitulah pemikiran dari Rere. "Udalah Re, bukan urusan lo juga," batin Rere. ".........." "Iya, see you... Love you to... " Karena Rere terlalu memperhatikan Reyhan ia juga sampai tidak sadar jika Reyhan menatapnya. "Kenapa liatin gue kayak gitu?" ucap Reyhan. Membuat kesadaran Rere pulih. "Apaan sih. Siapa juga yang liatin lo. Kepedean banget sih lo!" Reyhan tersenyum sinis mendengarnya. Jelas-jelas Rere memperhatikannya masih saja berkilah. "Pulang sana. Gue gak butuh lo," usir Rere menatap Reyhan dengan sinis. Reyhan berdiri, lalu berjalan mendekat kearah Rere. Reyhan mendekatkan wajahnya dengan wajah Rere. Rere terdiam kaku di depan Reyhan. "Ma... mau ngapain lo.... " ucap Rere gugup sekaligus takut. "Gue juga gak butuh lo. Gue benci sama lo, gue benci.... kenapa lo lakuin semuanya? Kenapa lo permainan kan gue? Kenapa? Apa salah gue Gin?" Kedua bibir Rere terbungkam. Gadis dapat melihat jelas luka yang ia gores kan di hati lelaki di depannya. Pikirannya melambung jauh ke masa lalu. "Sialan! Lo benar-benar buat Demas jauh dari gue!" Seorang siswi mencengkram dagu siswi lain di depannya. "Gue udah bilang! Gue gak pernah nerima Demas! Jangan salahin gue dong!" sahut siswi tersebut. Zoya tersenyum sinis mendengar penjelasan adik kelas di depannya. "b***h! Pinter gegoda ginikan lo? Pake pelet apa? Sampai Demas dekatin lo?" "Gue bukan w************n seperti apa yang lo bilang," ucap Rere penuh pembelaan. "Mana ada jalang ngaku jalang?" ucap Zoya menatap Rere tajam. "Dengerin gue! Kalau lo mau hidup tenang di sekolah ini. Gue punya satu tugas buat lo." Rere tertawa mendengar ucapan Zoya. "Lo siapa berani merintah gue? Sorry gue bukan babu lo ya! Meskipun lo kakak kelas gue gak takut sama lo!" "Oh ya? Gimana kalau gue suruh bokap gue buat pecat bokap lo? Setuju?" ucap Zoya di iringi tawa teman-temannya. Rere terdiam, apa mungkin Zoya anak dari bos Ayahnya? Jika benar, Rere tidak ada pilihan lain. Karena ayahnya sangat-sangat membutuhkan pekerjaan ini. "Bagaimana Regina Sintya? Hidup lo di tangan gue!" ancam Zoya kepada Rere. "b*****t! Apa yang lo mau!" seru Rere karena kesabarannya sudah habis. Zoya tersenyum senang, gadis itu membisikkan sesuatu di telinga Rere. Hal sesuatu yang sangat mencengangkan. ***** "Ma.... maaf...." lirih Rere mendengar ucapan Reyhan d depannya. Posisi mereka masih sama. "Maaf aja gak cukup! " banyak Reyhan Rere memejamkan matanya. Perlahan air mata Rere jatuh pada kedua pipinya. Brak.... "Arghhhh... " Reyhan meninju tembok untuk meluapkan emosinya. Tangannya berdarah. Melihat hal tersebut membuat d**a Rere sesak. Rasanya ia sedang terhimpit di ruang yang sempit. Pasokan oksigen turut menipis saat ini. "Ma... maaf... " Hanya itu yang mampu di ucapkan oleh Rere. Untuk meredakan emosinya, Reyhan memilih pergi. Tanpa kata membuat Rere semakin deras menangisinya. Tidak berapa lama beberapa orang suster dan dokter masuk kedalam ruangan Rere. Mereka mulai memeriksa Rere. Rere mulai tenang, karena langsung di tangani oleh Dokter. "Syukurlah anda tidak pa-pa. Serangan panik yang baru saja anda rasakan bisa berbahaya jika tidak segera di tangani. Untung saja tadi ada seseorang lelaki yang menghubungi kami." Dokter pamit dan pergi. "Suster, siapa lelaki yang memberi tahu Suster?" tanya Rere bingung. "Tadi saya melihat lelaki tersebut baru saja keluar dari ruangan ini. Mungkin teman atau pasangan anda," sahut Suster. "Oh, dia teman saja. Terima kasih Suster," ucap Rere akhirnya. Karena ia sudah tahu jawabannya. "Baik, kalau begitu saya permisi," ucap Suster lalu pergi meninggalkan ruangan Rere. "Lagi dan lagi, Reyhan nolongin hidup gue... Maafin gue Rey, semua kesalahan gue. Maafin gue.... " ***** Reyhan duduk di ruang tunggu di rumah sakit. Lelaki itu menyandarkan kepalanya pada dinding. Lalu mencoba menghela nafas dan mulai mengontrol emosinya. Kedua matanya menatap tangan yang masih terkepal. Dan mengeluarkan banyak darah. "Kenapa harus lo? Kenapa harus lo penyebab luka ini? Kenapa? Apa lo gak tahu seberapa dalamnya rasa ini? Kenapa dengan mudah lo hancurkan hati gue? Kenapa?" Setiap kalimat yang di ucapkan penuh dengan penyesalan dan keputusasaan. Seorang suster lewat di depan Reyhan. "Suster... " panggil Reyhan. "Iya Kak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Suster tersebut sembari menatap luka di tangan Reyhan. "Eum, bagaimana keadaan pasien tadi?" tanya Reyhan melirik kamar inap Rere. "Oh pasien atas nama Regina Sintya baik-baik saja. Pasien hanya mengalami sedikit serangan panik," jawab Suster. Reyhan mengangguk mengerti. "Terimakasih suster," ucap Reyhan. "Mau di obati lukanya Kak?" "Saya bisa obati sendiri," ucap Reyhan lalu pergi meninggalkan suster tersebut. **** Rere menikmati suasana hening di dalam ruangannya. Kedua mata gadis itu menatap langit-langit kamar inap yang membuatnya terdiam. Setetes air mata terjatuh pada pipinya. Gadis itu menghapus air matanya sembari tersenyum. "Kalau waktu itu gue gak malu jadi pecundang di depan Zoya. Mungkin, kita masih bersama. penyesalan terdalam gue adalah menyakiti perasaan lo, Rey. Maaf banget. Gue benar-benar gak bermaksud buat ngelakuin semua itu." Rere menghela nafas, mungkin kata-kata itu tidak mampu ia ucapkan secara langsung kepada Reyhan. Dia memang pecundang. Suara getaran ponsel membuat gadis itu bergegas menghapus air matanya. Lalu ia mengambil ponsel dan melihat siapa yang menelponnya? Kedua senyumnya terbit. "Halo... Abang kemana aja? Aku kangen banget." "Maaf ya, abang baru bisa ngabarin." "Abang sibuk banget?" "Iya sayang. Eh sebentar deh kamu kok kayak pake baju rumah sakit? Terus itu dimana?" "Iya Bang, aku masuk rumah sakit." "Loh, kok bisa? Kamu kenapa? Kamu sakit apa? Kenapa gak bilang sama abang? Jangan buat abang khawatir, sayang." "Aku kecelakaan. Tapi udah gak pa-pa kok. Gak ada yang parah juga." "Kalau gak parah kenapa sampai di rawat? " "Abang kayak gak tahu Bunda aja. Bunda kan lebay," ucap Rere sembari terkekeh. "Makannya kalau apa-apa itu hati-hati untung kamu gak kenapa-napa." "Iya abang sayang. Cepet pulang kangen... " rengek Rere. "Sabar ya sayang. Sebentar lagi abang pulang." "Awas aja kalau sebenarnya lama," ucap Rere mengerucut bibirnya. "Ya udah kamu istirahat ya. Sayangnya abang... Love you... " "Iya abang sayang, love you to." Ponsel di matikan. Namun sampai saat ini pun Rere tidak menyadari kehadiran seseorang di balik pintu. Seseorang itu mengurungkan niatnya untuk masuk kedalam ruangan begitu melihat Rere sedang berbicara dengan seseorang. Dan saat ini, lelaki tersebut menutup kembali pintu dan mengurungkan niatnya untuk menemui Rere. Ia diam, kemudian menyandarkan kepalanya pada tembok. Rere mendongak, menatap kearah pintu. "Kayaknya tadi gue denger pintu ke tutup. Tapi kok gak ada siapa-siapa." "Apa perasaan gue aja kali ya?" gumam Rere menatap pintu yang sudah tertutup rapat. Gadis itu diam, ia memikirkan Reyhan. Apa mungkin Reyhan sudah pulang? Meninggalkan dirinya? Atau jangan-jangan Reyhan masih ada di depan. "Kenapa gue jadi ngarep Reyhan ada di depan? Reyhan kan benci banget sama gue. Pasti dia langsung pulang." Akhirnya Rere memilih untuk tidak memikirkan Reyhan. Gadis itu mengambil ponsel dan memainkan ponselnya. Ia membuka akun sosial medianya. Setelah bosen, kembali ke beranda dan memainkan permainan yang ada. Namun sama saja, bagi Rere semua nampak membosankan. "Gabut banget anjer," ucap Rere. Ia membuka case ponsel lalu menemukan sesuatu. Ia menemukan sebuah foto berukuran kecil. Mungkin 3×4. "Loh ini foto apaan? Kenapa gue baru sadar ada foto di sini?" Rere membuka foto, dan menemukan foto dirinya bersama dengan Reyhan. Dulu, ia dan Reyhan ketika masih berpacaran. Kedua sudut bibirnya tetang senyum. Melihat foto tersebut. Seketika senyumannya pudar, ketika menyadari sesuatu. "Bodoh! Ngapain gue masih simpan foto ini." Rere pun menyobek-nyobek fotonya bersama Reyhan. Lalu membuangnya ke tempat tong sampah. "Gue udah move on. Dan gak seharusnya gue simpan kenangan sama dia. Gue harus belajar menghargai Bang Raka." "Maafin gue Reyhan. Semua ini salah gue.... " **** "Mas... ketiduran ya?" Reyhan membuka matanya. Menatap seorang suster yang sudah duduk di depannya. "Saya di mana Sus?" "Mas ada di mushola rumah sakit. Mas maaf di sini di larang untuk tidur," ucap Suster tersebut. "Iya maaf. Saya tadi ketiduran." Reyhan bangkit, lalu berjalan keluar mushola. Lelaki itu berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Tidak sepi, masih ramai. Sampai di depan pintu kamar Rere, ia ingin mengetuknya. Tapi ia sadar sekarang sudah sangat malam pasti Rere sudah tidur. Akhirnya dengan pelan-pelan Reyhan membuka pintu dan masuk kedalam kamar inap Rere. Benar, gadis itu sedang terlelap. Dengan raut wajah yang teduh. Entah kenapa langkah kaki Reyhan membawanya untuk mendekat kepada Rere. Reyhan menatap wajah Rere dengan lekat. Sembari terdiam entah apa yang ada di pikirannya saat ini. "Good night Re, gue gak bohong lo cantik banget," ucap Reyhan sembari diam menatap wajah teduh Rere. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN