Chapter 4 | Balas Dendam

1090 Kata
"Abim udahan dulu main ponselnya, nggak ngantuk apa?" omel Tyas saat melihat sang putra masih asik bermain ponsel dengan handuk kecil di dahi tak lupa alat pengukur suhu yang berada diantara bibir pucatnya, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Beberapa menit lalu Tyas yang hendak mengecek sang putra langsung kaget kala meraba suhu Abim naik drastis. "Mama kalau mau tidur ngga papa, Abim mendadak insom, mungkin efek gak enak badan," keluh anak itu dengan lirih lengkap dengan suara kurang jelasnya akibat termometer yang menyumpal sang mulut. Tyas lantas mengambil handuk yang berada di dahi Abim lalu kembali mencelupkannya dalam air dingin. Setelahnya ia menyibak surai anak itu yang sedikit mengganggu lalu kembali meletakkan handuk itu di sana. Beranjak mengambil alat pengukur yang sudah berbunyi lalu mengecek angka yang terdapat di dalamnya. "Empatpuluh derajat, dari tadi bukannya turun malah makin naik. Gak pusing, Bim?"  Anak itu menggeleng. "Dikit, mama kalo mau tidur ngga papa, bener," keukeh nya dengan mata masih terfokus pada ponsel yang membuat Tyas geram sendiri. Wanita itu langsung merebut benda yang menjadi pusat perhatian Abim dengan paksa. Sedikit jengkel saat melihat apa yang sedari tadi menjadi pusat perhatian sang putra di dalam ponsel itu. "Korea terus, gak pusing apa liat cahaya ponsel malam-malam gini? Gak kasian sama badan sendiri, lagi sakit juga!" omel Tyas lalu mengantongi benda pipih itu. "Ponsel mama sita sampe kamu baikan, sekarang tidur!" Abim hanya menghela napas kesal saat kegiatan nge-drakor nya terhenti di tengah jalan begitu saja. Ayolah, bahkan ia rela menahan pusing yang sedari tadi menggila di kepalanya demi menuntaskan drama negeri gingseng itu. "Yaudah, kalau gitu temenin tidur," rengek anak itu dengan sorot mata meminta belas kasih.  Seakan ampuh, tyas lantas menghela napas tak tega. Kasihan akan penampakan mata sayu dan juga kantung mata sang anak yang menghitam, tangannya kemudian terulur mengusap pipi anak itu penuh sayang, berusaha meresapi sensasi panas yang menyapa kulit tangannya. "Kamu jangan bandel dong Bim, main ponsel berlebihan itu gak baik, terlebih kamu lagi sakit. Liat nih, panas banget gini. Beneran gak pusing?" tutur wanita itu lembut penuh sarat kekhawatiran lalu menyibak surai Abim dan mengganti kompresan. Khawatir karna suhu anak itu tak juga turun. Abim memejam, jelas saja ia merasa pusing, tapi jika dikatakan, pasti ibunya itu akan kelimpungan lalu menyarankan rumah sakit dan Abim benci itu.  "Mending mama tiduran di samping Abim deh, peluk sambil pijetin kepala Abim. Kayaknya Abim lagi kangen belaian mama," ujarnya parau dengan mata mencoba menggoda sang ibu. Tyas hanya menggeleng lalu mengikuti perintah anak tunggalnya itu. Ia memasukkan kaki rampingnya ke dalam selimut yang disambut oleh hawa panas tubuh Abim, lalu merengkuh tubuh ringkih itu dengan erat. Sesekali memijat kepala anak itu dengan pelan. Jujur saja, Tyas selalu memperlakukan hal kekanakan ini pada Abim hingga anaknya itu tumbuh menjadi anak yang manja.  "Ma ...." "Heum?" "Maafin Abim, selama ini terlalu manja. Insyaallah, Abim usahain bakal lebih buat mama sama papa bangga. Abim mau ngebasket, Abim mau nyoba apapun yang anak laki lakuin. Karna ... Abim gak mau buat mama sama papa malu punya anak gak berguna yang taunya Korea, ponsel sama rumah doang." "Uluhluh, mama kok gak suka ya bayi mama sok dewasa gini?" "Oke, kita kete." -ooOOoo- "Bener udah baikan lo? Gue perhatiin, masih pucet aja tuh muka." "Udahlah, emang mau lo gimana? Tiga hari gue dijadiin bayik di rumah sama mama, dan itu udah lebih dari cukup buat gue sembuh dadakan." Gio lantas tertawa lalu menepuk bahu Abim yang sedikit terekspos karna memakai seragam basket. Kini keduanya tengah berada di lapangan basket outdor belakang gedung sekolah hendak melaksanakan latihan rutin. "Wajah lo tuh imut banget Bim, pantes buat dimanjain. Atau lo mau gue manjain juga? Kayak gendong, atau ... cium?" "Najis b*****t. Gue gak mau yah gimik tentang kita homo jadi kenyataan." "Gue sih oke aja asal sama lu." "b*****t lu GIO!" Abim lantas menoleh ke arah sahabat jangkungnya itu lalu menjambak surai anak itu dengan kuat. "Gue tuh ganteng, bukan imut. Sekali lagi bilang gu--" "Aduh Bim sakit b**o! Aw ... Bim lepas!" Abim hanya acuh dengan tangan masih asik menarik surai malang Gio. Anak itu tak peduli jika mereka berdua sudah menjadi bahan tontonan gratis para anggota basket lain, Gio memang harus diberi pelajaran agar jangan mengejeknya lagi. Priiiit! "Oke, semua harap kumpul. Kita pemanasan." Abim lantas melepaskan tautannya pada surai Gio yang membuat sang empu meringis kesakitan. Sejenak, Gio menjitak kepala Abim cukup keras guna melaksanakan aksi balas dendam. Tapi entah mengapa anak itu tak lagi membalas perbuatannya, malah asik melihat ke arah sang kapten yang mulai dikerumuni anggota lain dengan tatapan aneh. "Yo, emang kalian biasa mulai jam segini?" tanya Abim tanpa mengalihkan pandangan. Gio lantas melirik arloji yang berada di pergelangannya lalu menggeleng kecil. "Kaga, ini mah udah lewat setengah jam. Harusnya mulai jam tiga tadi," jawabnya. Mendengar itu Abim lantas berdiri lalu berjalan santai dengan senyum terpatri di wajahnya. Saatnya balas dendam. "Ngapa dah tuh anak," monolog Gio lalu mulai ikut berkumpul mengekori langkah Abim. Setelah sampai di titik kumpul, pria berkulit putih dengan surai hitam yang menutupi dahinya itu mulai berjalan menuju barisan depan. Memasukkan tangannya ke dalam saku celana pendek seragamnya. Dengan wajah santai ia berucap, "Kapten kok telat? Mentang posisi udah di atas jadi suka-suka hati, gitu? Kita juga punya kesibukan selain ini, bisa nggak lebih menghargai waktu?" Sepertinya sang empu yang dituju oleh Abim mulai emosi lalu mendelik dengan gigi bergemeletuk. "Lo cuma anak baru yang masih bodoh dalam segala hal. Lebih baik lo diem di posisi dan ikutin arahan gue," ujarnya tajam. Abim mendengkus lalu ikut melayangkan tatapan tak kalah tajam dari sepupunya itu. "Nggak usah ngalihin pembicaraan, gue anak baru sama lo yang nggak tau aturan itu beda jauh." "Bangsa---" "Iya, emang dari awal peraturan basket gitu kok, siapapun yang telat bakal dihukum, kapten sekalipun." Raka lantas terdiam dengan tangan terkepal erat, matanya beralih menatap sang penyeru yang tak lain dan tak bukan ialah Gio, sahabat Abim. Well, mau adu argumen ternyata. "Kan udah gue bilang, kapten baru ya dengan peraturan baru," tekan pria yang memiliki rahang tegas itu dengan wajah merah padam. "Termasuk masalah waktu? Terlambat diperbolehkan kah?" "Yaudah Bim, besok dateng pas latihan udah mau kelar aja." Dua sahabat yang berbeda warna kulit itu lantas saling pandang dan melempar senyum tipis. Anggota lain pula mulai mundur, malas membuat masalah dengan si gila Raka. "b******n! YAUDAH MAU LO SEMUA APA?" pekik pria tempramental itu seraya mengacak rambutnya kasar saat merasa dipojokkan. "Sadar diri lah, masa gak peka," celetuk Abim yang langsung dibalas kekehan oleh beberapa anggota tim. Ah, mengapa membuat sepupunya marah sangat menyenangkan? "Awas lo," cetus Raka penuh kekesalan yang menjurus pada Abim lalu mulai melangkah mengelilingi lapangan. Ah, pria penggila Korea itu nyaris terbahak di tempat. "Eh asli, si Raka kesel banget itu Bim, hahahaha." "Anjir, berani bener lu Bim!" Abim hanya tersenyum lalu bertos ria dengan beberapa anggota, terkhusus Gio.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN