Sorot matanya tampak redup dengan tatapan kosong mengarah pada layar ponsel yang entah sudah berapa kali ia ketuk agar tak kunjung padam. Hening yang menyelimuti juga denyutan yang sedang menggila di kepalanya seakan menunjang hancur yang tengah ia rasa. Abim terdiam, terpaku pada deretan pesannya yang tak kunjung mendapat balasan. Abim pernah membayangkan keadaan ini, keadaan di mana akhirnya dengan terpaksa ia harus melepaskan gadis mungil yang memiliki senyum semanis gulali itu. Prediksi awalnya, April akan pergi sebab tahu akan sakit yang derita, bukan pergi karena memilih laki-laki lain seperti ini. Tak habis pikir, Abim bahkan bolak-balik men-scrool sosial media April demi mencari tahu sejauh apa hubungan gelap yang tengah mereka bangun di belakangnya. Tapi sialnya, tak ada apapun

