bc

When I Meet You

book_age18+
115
IKUTI
1K
BACA
friends to lovers
drama
sweet
childhood crush
affair
like
intro-logo
Uraian

"Kau pernah merasa berada pada titik terendah hidupmu? Di mana kau seperti berada di tengah lautan tanpa tahu arah. Terombang-ambing dalam keheningan. Jika pernah, kau pasti tahu bagaimana perasaanku jika tak bisa memilikimu."

Azkian Mahendra.

"Seberapa besar pun cinta kita, sedalam apa pun kita saling mencintai, jika takdir memang tidak ingin kita bersama, maka selamanya akan tetap seperti itu. Sejak dulu, sudah kukatakan bahwa kamu dan aku tidak akan pernah menjadi kita."

Rihana Wulandari.

Hana dan Azka, dua manusia yang sudah saling menyukai sejak kecil. Namun, terpisah karena pekerjaan orang tua. Bertahun-tahun Hana menunggu kedatangan Azka, berharap cinta yang dulu terpatri di hati akan dapat balasan. Akan tetapi, takdir berkata lain, Hana dijodohkan dengan lelaki lain, Rama. Lelaki yang dianggap begitu sempurna oleh kedua orang tua Hana.. Demi baktinya kepada orang tua, Hana menerima perjodohan tersebut. Pernikahan mereka terbilang harmonis, tetapi kesalahan yang dibuat Hana membuat hubungannya dengan Rama menjadi renggang. Rumah tangganya retak dan di ambang kehancuran. Di saat hati dan pikirannya sedang merana, Azka hadir menawarkan kebahagiaan. Hana sadar dirinya sudah menikah, tetapi kebahagiaan yang ditawarkan Azka begitu menggoda dan itu impian Hana selama ini.

Namun, saat Azka sudah tenggelam dalam cinta yang memabukkan, Hana justru menarik diri dan mencoba memperbaiki hubungannya dengan Rama meski harus mengorbankan segala perasaan yang ada.

Apakah Hana bisa memperbaiki hubungannya dengan Rama ataukah kembali bersama Azka, lelaki yang sangat dicintainya sejak dulu?

chap-preview
Pratinjau gratis
Awal Dari Segalanya
"Reina, bisa tidak kau diam sebentar saja? Aku harus menyelesaikan pekerjaanku secepatnya!” Wanita yang kini tengah duduk berhadapan dengannya---yang sedang mengetuk-ketukkan jari-jari pada meja---kini mendongak. Mata cokelatnya itu kini menatap lelaki bermata abu-abu itu dengan tajam. "Apa urusanmu denganku? Kau tidak berhak melarangku!" ketusnya lalu menuang bir dan meminumnya. Lelaki di hadapannya itu memutar bola mata dan mendengkus. Menggerutu karena untuk yang ke sekian kalinya, wanita yang ia panggil dengan Reina itu membuatnya kesal. "Azka, antar aku pulang," ajak Reina pada lelaki yang bernama Azka itu, yang lebih terdengar seperti rengekan. Azka menghela napas dengan panjang lalu berdiri. Menaruh kembali tumpukan kertas ke laci nakas lalu meraih jaket hitam kesayangannya yang tersampir pada sandaran kursi. Dia melirik Reina yang kini tersenyum dengan mata menyipit, wajahnya merah padam akibat kebanyakan minum. "Ah, Baby. Kau sungguh memesona," racau Reina saat Azka meraih dan menuntunnya untuk keluar dari kamar apartemen lelaki itu. Menurut Azka, Reina kalau mabuk bisa sangat menyusahkan. Mengenalnya selama lebih dari lima tahun membuat ia hapal betul dengan apa yang akan wanita itu lakukan ketika sedang mabuk seperti ini. Dan, Azka sebagai sahabatnya tidak akan membiarkan Reina mempermalukan dirinya sendiri. "Kau keterlaluan, Bram! Kau mempermainkanku seperti ini! Dasar jahat!" Kembali racauan dan makiannya mengudara memenuhi lift. Bram, satu nama yang sering kali keluar dari mulut Reina, yang tidak jarang membuat Azka sakit kepala. Nama lelaki yang menjadi kekasih Reina sejak tiga tahun lalu yang entah kenapa memutuskan hubungan mereka tadi sore, hingga Reina datang ke apartemen Azka dalam keadaan kacau. Reina Putri Wijayanto, wanita itu cantik. Jika boleh Azka mendeskripsikannya, dia memiliki wajah yang mulus tanpa sedikit pun jerawat, hidung yang mancung, alis tebal dan bulu mata yang lentik serta bibir yang tipis. Reina adalah sahabat Azka, pertama kali mereka kenal karena saat kuliah Azka adalah ketua BEM dan lelaki itu menjadi pusat perhatian wanita, termasuk Reina tentunya. Bukannya ge-er, sebelum memutuskan untuk bersahabat saja dengan Reina, wanita itu pernah menyatakan cintanya namun ditolak mentah-mentah olehnya. Setahun Reina menanti Azka membalas perasaannya, sayangnya hati lelaki itu tidak bisa---walau sering mencoba---untuk membuka sedikit saja pintu agar Reina bisa masuk dan mengambil tempat di sana. Segala yang dilakukannya--dan usaha lelaki itu, hanyalah sia-sia. Hati Azka tidak bisa memilihnya. Mungkin karena lelah, Reina memutuskan untuk menjadi sahabat Azka saja. Walau Azka tahu apa yang dilakukan Reina itu sangat berat. Mengingat mencintai sahabat sendiri adalah hal yang paling konyol dan bunuh diri paling sempurna. Seperti apa yang ia rasakan dulu. Cinta kepada seseorang yang sangat dekat dengannya. Seseorang yang menempati hatinya tanpa ia sadari sejak lama. Mengingat hal itu, membuat Azka rindu. Rindu kepada sosok kecil dengan senyum manis yang selalu terpatri di wajahnya. Sosok kecil yang selalu mengulurkan tangan jika ia terjatuh. Sosok kecil yang selalu setia mendengarkan keluh kesahnya. Sosok yang begitu ... indah. Ini memang cinta masa kecil, namun semakin lama perasaan ini semakin besar. Perasaan yang andai saja dulu Azka bisa mengungkapkan yang sebenarnya bahwa dia sangat mencintainya. "Dasar jahat! Pembohong! Ka---" Makian Reina terhenti saat mulutnya dengan cepat dibekap oleh Azka ketika mereka keluar dari lift. Penghuni apartemen ini pasti masih banyak yang belum tidur, jadi tidak menuntut kemungkinan bahwa tidak akan ada yang mendengar racauannya yang bisa mempermalukan mereka. Azka menuntunnya masuk ke mobil, mendudukkannya di dekat kemudi lalu memasangkan seatbelt untuknya. Setelah yakin kalau wanita itu akan baik-baik saja, dia segera melesatkan mobilnya menuju apartemen Reina. Hari ini dengan mengendarai mobil Fortuner kesayangannya, Azka akan menemui Pak Bambang, kepala sekolah tempatnya mengajar. Kemarin Pak Bambang menghubunginya dan mengatakan kalau dia minta dijemput di Puncak, berhubung karena mobil beliau masuk ke bengkel saat naik ke tempat itu. Bunyi klakson seketika membuat ia tersadar. Azka melirik jalanan di depan, ah ternyata sudah lengang. Lelaki itu segera menjalankan mobilnya. Melewati jalan Ciawi, seketika dadanya menjadi sesak sekali. Seluruh tubuhnya menjadi ngilu. Aku kenapa? Tepat di depan sebuah sekolah dasar, Azka menghentikan mobil. Dinginnya wilayah ini tidak sedingin hati Azka yang beku karena kehilangan seseorang yang begitu berarti baginya. Entah kenapa Azka tiba-tiba ingin sekali singgah di tempat penuh kenangan itu. Kenangan? Ya, sekolah itu adalah tempatnya menimba ilmu dulu. Tempatnya bertemu dengan dia, seseorang yang selalu membuatnya merasa bahagia. "Ayah!" Teriakan itu membuat Azka mengintip dari balik kaca mobil. Seorang Anak laki-laki tengah berdiri di depan gerbang sekolah, memegangi tasnya dengan sorot mata sedih ke seberang jalan. Azka mengikuti arah pandangan anak kecil itu dan menemukan sepasang kekasih---mungkin, tengah duduk di dalam kafe yang berada di depan sekolah. Mereka sangat mesra. Si lelaki menggenggam tangan si wanita di meja, seakan-akan tidak ingin kekasihnya itu pergi. "Ayah!” Sekali lagi anak kecil itu berteriak. Tapi pasangan di kafe itu tidak mendengarnya. Yah, mungkin karena suara anak itu sangat kecil untuk sampai terdengar ke tempat ramai di seberang sana. Azka melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah sore. Kenapa Anak itu masih di sekolah? Apa yang dilakukannya? Entah dorongan dari mana, Azka kini sudah keluar dari mobil dan berada di hadapan anak itu. Anak lelaki itu menatapnya dengan ketakutan, terlihat ada cairan bening yang menggantung di sudut matanya. Dia menangis! "Hai," sapa Azka, berharap anak itu tenang dan tidak menganggapnya sebagai orang jahat. Anak itu mundur beberapa langkah, menjauhi Azka. Apa wajahku semenyeramkan itu hingga ia takut padaku? Azka mendekat, sebelum dia kembali menjauh, Azka segera memegang kedua pundaknya. Memberinya tatapan lembut, semoga saja ketakutan anak itu menghilang. "Kamu kenapa?" tanya Azka. Anak itu menggeleng. Sesekali melirik ke belakang Azka. Mungkin berharap agar ayahnya melihat. "Hei, jangan takut. Aku ini temanmu.” Ketika Azka mengatakan 'teman', dia mendongak. Hal itu membuat Azka terkejut. Wajah itu ... kenapa mirip sekali dengan seseorang yang dikenal Azka? "Om temannya Ayah?" Azka tersadar. "Ah, bukan Sayang. Om ini temanmu. Temannya ...." Lelaki itu melirik sekilas ke nametag yang menempel di seragam anak itu. "Ardian," lanjutnya. Kening anak bernama Ardian itu mengerut. "Temanku?" "Iya, aku temanmu. Benar, kan?" Anak itu tertegun menatap Azka. Sesaat kemudian wajahnya nampak cerah. Senyumnya mengembang. "Om mau jadi temannya Ian?” Kian! Jangan tinggalin Arin! Kali ini Azka yang tertegun, kenangan masa lalunya sekilas terdengar hanya karena anak di hadapannya itu menyebut dirinya sebagai Ian. Sapaan yang terdengar sama saat Azka kecil. Entah kenapa tiba-tiba jantung Azka menjadi berdebar tidak karuan. Jantung, ini hanya nama panggilan biasa. Kenapa kau harus seheboh ini? "Om?" "Ah, ya?" "Aku capek berdiri di sini terus selama hampir tiga jam. Apa Om tidak capek?" Pertanyaannya itu menyadarkan Azka sekaligus menjadi isyarat kalau anak ini sedang lapar. Azka menoleh ke belakang. Ayah Ian masih sibuk dengan pasangannya itu. Lucu ya, baru melihatnya saja Azka sudah menyimpulkan kalau lelaki itu jurang ajar. Kenapa? Karena jika lelaki itu bersama istrinya, anaknya pasti sudah duduk bersama mereka. Benar, kan? "Kamu lapar?" tanya Azka. Anak itu mengangguk malu-malu. Azka menuntunnya untuk ke seberang jalan, menuju kafe tempat ayah Ian berada. Saat hampir sampai, Ian menghentikan langkahnya. Dia menggeleng, tidak setuju untuk ke sana. "Nanti Ayah marah, Om." Astaga, anak ini takut. "Tenang saja. Kita tidak akan pergi ke ayahmu. Kita duduk di tempat lain. Oke?" Kali ini Ian tidak menjawab. Mereka segera masuk dan mengambil tempat yang jauh dari ayah Ian. Setelah pesanan datang, mereka segera menikmatinya. Ian makan dengan lahap sedangkan Azka terlihat hanya mengaduk-aduk makanannya. Fokus lelaki itu tertuju pada meja yang tidak jauh darinya, ia memperhatikan ayah Ian yang kini mengelus tangan wanita di hadapannya lalu menciumnya. Benar-benar keterlaluan! Anaknya menunggu dengan kelaparan, dia malah bermesraan di sini. "Om juga temannya Tante itu, ya?" Pertanyaan Ian membuat Azka kembali meliriknya. "Bukan," jawab lelaki itu. Ian mengangguk-angguk. "Ehm ... ibumu di mana?" tanya Azka hati-hati. Pertanyaan ini sebenarnya hanya untuk meyakinkan Azka kalau wanita yang bersama ayah Ian adalah wanita lain. Walaupun tadi Ian sudah menyebut wanita itu dengan 'tante' tapi siapa tahu ibu Ian sudah tiada dan wanita tadi adalah calon istri ayahnya, mungkin. "Ibu di rumah, Om," jawabnya. Nah, kan! Azka benar! Ayah Ian selingkuh! "Wanita yang bersama ayahmu itu, siapa?" Kedua bahu Ian naik turun. Tanda tidak tahu. "Ibumu tidak tahu kalau ayahmu selingkuh?" Ian menggeleng lalu mengangguk. Entah apa artinya. "Ibu mungkin tahu, mungkin juga tidak," jelasnya. Oh, begitu. Selesai makan Azka kembali melirik ayah Ian, lelaki itu sudah keluar sendiri. Meninggalkan wanita tadi. Mungkin baru sadar kalau sekolah anaknya sudah bubar sejak tadi. Dasar! "Om, antar Ian ke Ayah, ya!” "Kamu tidak takut?" Dia menggeleng. "Tante itu sudah tidak ada. Jadi Ian boleh ketemu Ayah." Ah, ternyata itu. Azka segera menuntun Ian keluar dari kafe. Di depan gerbang sekolah terlihat ayah Ian berdiri celingukan, mungkin mencari Ian, jelaslah karena anaknya tidak ada. "Ian!" panggil lelaki itu. Azka dan Ian segera menghampirinya. Ayah Ian melirik Azka, sedang menilik penampilan lelaki yang bersama anaknya itu. "Anda siapa?" "Sa---" "Om ini temannya Ian, Ayah." Ayahnya tidak menjawab, namun melirik Azka sekilas lalu berjalan menuju mobilnya. "Ayo, Ian. Kita pulang. Ibumu pasti cemas!" panggilnya. "Tunggu sebentar, Yah!" Ian menatap Azka lalu memeluk pinggang lelaki itu dan menengadahkan wajahnya, menatap Azka. "Om, terima kasih ya. Aku sudah tidak lapar lagi." Mendengar hal itu Azka jadi tersenyum geli, ia mengacak puncak kepala Ian. "Sama-sama. Sekarang kamu pulang, nanti ayahmu marah." Ian mengangguk dan melepas pelukannya. Sebelum pergi, dia berkata, "Semoga kita bisa ketemu lagi ya, Om." "Iya, semoga saja!" "Janji?" Dia menyodorkan jari kelingkingnya ke arah Azka. "Ayo, berjanjilah kalau kita akan bertemu lagi," ujarnya. Azka tersenyum dan mengangguk. Mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingking Ian. De javu! Azka sering melakukan ini! "Oke, Om. Sampai jumpa lagi!” Azka masih berdiri di tempatnya beberapa menit yang lalu saat Ian pergi bersama ayahnya. Lelaki itu terdiam cukup lama menahan perasaannya yang mendadak membuatnya sesak. Satu tangannya menyentuh d**a, tepat di mana hatinya berada. Janji kan kalau Kian akan kembali? Kian harus pulang ya, tepati janji. Kian kan mau jemput Arin kayak pangeran yang jemput Cinderella ....

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.4K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.8K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
58.9K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook