Chapter 1
BABY STEPS
***
Lee Jeno x Na Jaemin
Mata Jeno membulat saat melihat seorang terpidana mati memasuki ruang eksekusi, tangannya gemetaran ketika memegang kertas selembar hasil vonis hakim kepada tahanan yang terduduk lesu itu, suara Jeno serak ketika membacakan penyebab lelaki itu harus dihukum mati.
“Terpidana melakukan pembunuhan berencana dengan menggunakan racun yang melanggar pasal 340 KUHP. Keluarga korban menolak berdamai, dan Na Jaemin dijatuhi hukuman mati dengan meminum racun.” Airmata meleleh menuruni kedua pipi Jeno selesai membacakan vonis, sementara Jaemin yang duduk beberapa meter di depannya hanya menatap lantai. “Waktu eksekusi besok pagi.” Lanjut Jeno, ia yang sedaritadi berdiri di balik meja tinggi di ruangan itu seketika terjatuh, lemas dikakinya membuatnya tak bisa lagi menopang berat tubuh.
Na Jaemin keluar ruang eksekusi bersama dua sipir penjara, tak ada sanggahan maupun sepatah kata yang keluar dari mulutnya, ia melihat Jeno yang terjatuh lesu selesai membacakan vonis dan Jaemin tahu tidak ada satupun dari mereka yang bisa berbuat apa-apa karena kejahatannya terekam jelas.
***
Menjadi seorang algojo bukan kehendak Jeno, ia yang semula hanya sipir biasa kemudian ditugaskan menggantikan posisi algojo mereka yang meninggal beberapa tahun lalu. Sudah banyak nyawa yang melayang di tangannya, bahkan setiap malam tidurnya tak nyenyak karena bayang-bayang manusia yang ia hakimi, mata yang seakan memohon itu terus menghantui tidurnya. Beberapa kali ia ingin berhenti namun pasti adasaja sesuatu yang menahannya, entah atasan yang tidak setuju sampai Jeno yang terbayang susah mencari kerja.
Selesai membacakan vonis Jaemin pagi tadi, Jeno menghampiri kamar tempat Jaemin beristirahat, ia bahkan tidak tahu Jaemin masuk penjara karena Jaemin tidak ditahan di penjara tempat ia bertugas, penjara ini adalah rumah khusus untuk eksekusi tahanan.
Jeno mengetuk pintu namun tidak ada balasan membuat ia langsung masuk, dilihatnya Jaemin berbaring di atas ranjang sambil menatap ke luar jendela. “Apa ada sesuatu yang ingin kau lakukan? Atau, barangkali ada sesuatu yang ingin kau makan? Sebelum hari besok tiba, aku akan berusaha memenuhinya.” Jeno mencoba bersikap professional walau matanya merah dan tangan meremas ujung baju. Penawaran macam ini bukan tanpa alasan, semua algojo melakukannya karena mereka berpikir, dengan mengabulkan permintaan terpidana mati mereka tidak akan menghantui si algojo.
“Keinginanku?” Suara Jaemin lemah. “Ingin kembali ke masalalu…” Jeno tahu Jaemin menyesal telah membunuh seseorang, ia tidak tahu penyebab Jaemin membunuh.
Jaemin adalah cinta pertamanya di SMA, mereka berbeda kelas namun berada di ekskul yang sama, Jeno mencintai Jaemin dalam diam selama 3 tahun masa sekolah mereka, setelah lulus Jeno kuliah dan tidak pernah lagi bertemu Jaemin. Jeno percaya ia akan bertemu lagi dengan cinta pertamanya, maka dari itu selama kuliah bahkan sampai sekarang Jeno tidak terpikir untuk menikah, ia akan menikah jika itu dengan Jaemin. Namun nyatanya, mereka dipertemukan kembali dengan status Jaemin terdakwa mati.
“…dan tidak ingin mengenalmu.” Itu permintaan sulit, bagaimanapun mereka sudah menjalani kehidupan ini dan berada di masa ini. “Jika kau ingin sesuatu, panggil saja aku.” Jeno meninggalkan ruangan Jaemin, menyisakan lelaki yang masih terbaring di ranjang itu.
***
Jika disuruh memilih kemampuan apa yang diinginkan Jeno untuk dimiliki, mungkin Jeno lebih memilih menghentikan waktu. Agar hari dimana Jaemin dihakimi tidak pernah terjadi, namun sialnya disinilah mereka sekarang, di ruang eksekusi dengan Jeno berdiri di depan Jaemin yang duduk sambil menatap rajun di atas meja.
Jeno tak mampu menatap Jaemin saat lelaki itu menenggak racun yang membuat matanya memerah dan mulutnya mengeluarkan banyak busa, Jaemin terbatuk keras dan memuntahkan darah sementara Jeno tak mampu lagi menahan isaknya, namun masih saja ia tak sanggup berbalik. “Je….no…” Di tengah ambang sekaratnya Jaemin memanggil Jeno membuat Jeno menatap tepat ke mata Jaemin.
Sekarang Jaemin sudah terkapar di atas lantai dengan darah yang keluar dari semua lubang di tubuhnya, Jeno menangis sambil berjongkok. ”Maafkan aku…” Tidak ada yang bisa Jeno lakukan, hukum di negara ini terlalu ketat yang meharuskan warga negaranya harus patuh dan tunduk.
Tangan Jeno gemetar, terulur hendak mengusap wajah Jaemin tapi Jaemin batuk keras memuntahkan darah, rasa sakit itu menggerogoti semua tubuhnya baik luar maupun dalam, Jaemin merasa kepalanya akan pecah dan jika bisa ia memuntahkan organ dalam perutnya, semenit yang begitu menyiksa. Sekali lagi ia berusaha menatap Jeno, belum sempat matanya terarah pada lelaki itu kesadarannya benar-benar hilang, atau mungkin nyawanya ikut hilang.
“Arrghhh….” Jeno berteriak keras, rambutnya ia jambak, tangisnya pecah, ia meraung seperti anak kecil di ruangan tertutup itu. Ia mendekap Jaemin yang bersimbah darah ke pelukannya. “Maaf… maafkan aku…” Cinta pertamanya, mati di tangannya sendiri.
Hampir satu jam Jeno menenangkan diri, setelah ikut mengkremasi jenazah Jaemin ia berjalan gontai ke ruangan tempat Jaemin beristirahat, berniat membersihkannya. Ia duduk di ranjang itu, lagi-lagi Jeno menangis, kejam sekali takdir pada mereka. Jeno mengigit bibirnya sambil merapihkan selimut dan bantal, saat akan meletakkan bantar ke posisi yang seharusnya, Jeno menemukan secarik kertas di bawah sana. Jeno mengambilnya.
‘Andai saja aku tidak bertemu denganmu, tidak menyukaimu, mungkin aku masih bisa hidup.’ Itu tulisan tangan Jaemin. Jadi, selama ini Jaemin juga mencintainya? Namun bodohnya Jeno menganggap Jaemin tidak tertarik padanya maka dari itu Jeno tidak pernah berusaha mendekati Jaemin. Tapi tunggu, apa maksud Jaemin, apakah penyebab Jaemin membunuh adalah karna Jeno?
Jeno menggeleng dan meremas kertas itu, membuangnya ke tong sampah.
***
Pukul 17.00 ketika Jeno pulang, ia mengendarai mobilnya memasuki terowongan, jalan yang akan membawanya kembali ke rumah. Tak seperti hari biasa, terowongan itu lebih gelap dari sebelumnya dan hanya ada mobil Jeno seorang yang lewat.
Tiba-tiba sebuah truk kontener melaju cepat dari arah berlawanan, Jeno hendak banting stir namun terlambat, kontener itu menabraknya begitu kuat hingga Jeno seketika tewas di tempat.
***
Jeno membuka kedua matanya dan mendapati dirinya berada di rumah, bukan rumah yang ia tempati saat sudah bekerja, namun kamar di rumah orang tuanya. Jeno memegang kepalanya, tidak ada perban maupun jarum infus. Ia berbangun, melirik seluruh ruangan itu.
Seingatnya tadi pagi ia melihat Jaemin meminum racun dan meninggal tepat di depan matanya, sore hari Jeno sadar sebuah kontener menabraknya, namun apa ini? Kenapa ia bangun di rumah orang tuanya?
“Jeno, sampai kapan mau bengong? Lihat sudah jam 7!” Seru seorang perempuan sambil berkacak pinggang di depan pintu masuk kamar. “Nuna?” Panggil Jeno bingung. “Hari ini pertama kau masuk sekolah, tahu! Cepat sana mandi.” Ah Ra membanting pintu kamar Jeno.
Jeno mengambil ponsel yang tergeletak di atas lantai. 10 Juli 2015.
To Be Continue