‘Ternyata aku bisa membaca pikiran Raja, ah … senangnya bisa tahu rencana Raja untuk menjebak aku dan Yue,’ batin Liu An.
“Jadi … apa kau baru saja pergi dari istana untuk menemui Putra Mahkota?” tanya Raja.
“Tidak, Ayah. Aku hanya berjalan-jalan di tepi hutan kota Moniyan. Jika Ayah tidak percaya, aku bersama pengawal setiaku saat berada di sana,” ujar Liu An.
“Begitu, tetapi … ada yang melihat kau sedang berada di pasar.”
“Hm? Mungkin dia salah orang. Bukankah ada banyak di dunia ini wajah yang hampir sama, apa Ayahanda lebih percaya dengan mereka yang sama sekali tidak dekat dengan Ayah?”
“Tentu saja tidak, Putriku. Baiklah … kau datang untuk bertemu Sang Ratu bukan? Dia ada di taman belakang istana,” ujar Sang Raja.
“Baik, Ayah. Aku akan menemui Ibunda Ratu terlebih dahulu. Permisi, Ayah.”
Liu An melangkah keluar dari tempat itu, dan kini ia kembali berjalan menuju halaman belakang istana untuk benar-benar bertemu dengan ibunya. Bersama Yan Jie, Liu An menghadap Ratu Mo Ai.
“Ibunda,” sapa Liu An sembari memberikan hormat.
“Liu An, apa yang menahanmu?” tanya Ratu Mo Ai.
“Ayahanda menahanku dan bertanya seputar Kakak.”
“Apa jawabanmu?”
“Aku tidak tahu.”
“Bagus, biarkan pria itu berpikir sendiri mengenai apa yang dilakukan Yue di luar sana. kau hanya perlu membantu Yue untuk tidak menjadi bulan-bulanan Raja.”
“Baik, Ibu.”
“Kau sudah mengatakan pada Yue mengenai apa yang aku sampaikan bukan?”
“Sudah, Ibu.”
“Kau bisa kembali ke dalam kamarmu, dan kembali beristirahat.”
“Baik, Ibu. Aku permisi.”
Percakapan singkat itu berakhir begitu saja, dan Liu An pergi dari sana menuju ke kamarnya sendiri. Bersama Yan Jie, Liu An berjalan kaki dengan menahan rasa lelah pada bagian telapak kaki.
“Akh!” keluh Liu An pada akhirnya.
“Tuan Putri, ada apa?” tanya Yan Jie.
“Kakiku … sepertinya terluka karena sepatu ini terlalu sempit,” ujar Liu An sembari melepaskan sepatu itu.
Yan Jie merendahkan posisinya dan meraih kaki Liu An. Pria itu melihat apa yang terjadi pada kaki Liu An dan memang benar ada luka pada ujung jarinya.
“Maafkan hamba jika lancang melakukan ini,” ujar Yan Jie sembari bangkit dari posisinya dan meraih tubuh Liu An.
Liu An tidak menolak, ia hanya terdiam saat Yan Jie membawanya menuju ke kamar.
***
Malam ini, Liu An tidak bisa terlelap dengan tenang. Beberapa kali ia terbangun dan melihat ke arah pintu masuk. Yan Jie masih berdiri di sana untuk menjaga dirinya, tanpa ada yang menemani. Merasa kasihan, Liu An berjalan keluar dan duduk di samping Yan Jie.
“Tuan Putri, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah seharusnya kau sudah terlelap?” tanya Yan Jie.
“Aku tidak bisa tidur.”
“Kenapa? Apa ada yang sedang kau pikirkan?” tanya Yan Jie.
‘Ya, aku memikirkan dirimu,’ batin Liu An.
“Tidak, entahlah … aku tidak tahu kenapa bisa seperti ini.” Liu An beralasan.
Yan Jie tersenyum, lalu tiba-tiba saja ada dua buah cangkir berisi teh hijau. Cangkir itu masih terasa hangat jika disentuh, dan Yan Jie memberikan satu untuk Liu An.
“Minumlah, kau akan terlelap setelah meminum ini,” ujar Yan Jie.
“Tidak! Apa kau ingin meracuni aku?” tanya Liu An.
“Tentu saja, Tidak.”
Liu An merasa aneh pada pria di hadapannya, tatapan mata Yan Jie juga terlihat tidak sama. Akhirnya Liu An memutuskan untuk berdiri dan kembali ke dalam kamar. Tetapi, tangannya tertahan oleh Yan Jie.
“Lepaskan! Yan Jie, apa yang kau lakukan?” tanya Liu An kesal.
“Tuan Putri, bukankah seharusnya kau mengenali siapa aku?” tanya pria itu.
Warna mata yang berbeda membuat Liu An yakin jika pria itu bukanlah Yan Jie yang asli. Liu An menelan ludahnya kasar, tidak bisa melepaskan diri dengan mudah, ia mencoba dengan cara lembut.
“Baiklah, maafkan aku. Aku tidak mengenali dirimu sejak awal. Jika aku mengenalmu, apa kau bisa memberitahu aku, siapa dirimu ini?” tanya Liu An.
“Tuan Putri jahat sekali, kau benar-benar tidak mengenali aku.”
“Maafkan aku sekali lagi, ingatanku hilang setelah kejadian beberapa waktu lalu.”
“Aa … aku mengerti, jika begitu … aku akan mengingatkan kembali pada dirimu, siapa aku sebenarnya,” ujar pria itu sembari membawa pergi Liu An dari sana.
Tidak bisa memberontak, Liu An hanya mengikuti apa yang diinginkan pria itu. Sampai akhirnya mereka berada di atas bukit yang pernah Liu An kunjungi. Pria itu melepaskan Liu An dan mulai mengubah dirinya menjadi wujud sebenarnya.
“Rubah Merah,” gumam Liu An.
“Akhirnya kau melihatku dalam wujud ini, aku akan memperkenalkan diriku sekali lagi.”
“Ya, kau bisa melakukannya sekarang.”
“Namaku adalah Vahzang, aku dewa di gunung ini.”
“Jelamaan rubah merah dengan mata biru, maaf jika aku melupakanmu,” ujar Liu An.
“Tidak, kau tidak salah. Maaf jika aku mengejutkan dirimu di sana. aku berubah menjadi saudara kembarku karena tidak mudah untuk masuk ke dalam istana itu,” jelas Vahzang.
“Lalu … di mana Yan Jie?” tanya Liu An.
“Hmm, jadi kau benar-benar lupa kebiasaan rubah itu?” tanya Vahzang.
“Apa? Rubah? Kebiasaan?”
“Hmm, aku tahu … sepertinya kau memang mengalami hilang ingatan, sehingga aku bisa dengan mudah membuatmu terlihat seperti orang bodoh*.”
“Terserah, apa yang kau inginkan?”
“Aku hanya ingin kau datang kemari seperti sebelumnya. Kita bisa berlatih bersama lagi.”
“Berlatih apa?”
“Tentu saja berlatih memanah dan juga pedang. Bahkan kau sudah hampir mahir menggunakan tombak itu,” ujar Vahzang dengan menunjuk pada alat-alat yang disebutkan tadi.
Liu An masih tidak percaya, akhirnya dia berjalan mendekati alat-alat perang itu dan mencoba satu persatu. Benar saja, Liu An bisa menggunakan semua senjata dengan lancar. Dan mungkin Vahzang memang ingin mengajarkan beladiri padanya.
“Baiklah, kita bisa berlatih malam ini. Namun, aku harus kembali sebelum matahari muncul.”
“Baiklah, Tuan Putri.”
Akhirnya Liu An memulai latihan bersama Vahzang di atas bukit itu. Dengan pemandangan malam dan penerangan dari bulan, mereka terlihat bersungguh-sungguh saat latihan. Sampai matahari hampir saja muncul, dan mengharuskan Liu An untuk kembali ke dalam istana.
“Aku harus pergi!”
“Aku akan mengantarkanmu,” ujar Vahzang.
“Tidak perlu, aku tahu jalan untuk pulang.”
Liu An mulai melangkah menjauhi bukit itu. Sampai di pintu rahasia, Liu An melihat ada beberapa penjaga di sekitar yang mulai melakukan patrol. Tentu hal itu membuat Liu An harus berhati-hati. Beruntung, Liu An bisa masuk ke dalam kamar sebelum ketahuan oleh beberapa penjaga istana.
“Hah … akhirnya aku bisa sampai di sini dengan selamat. Hoams … aku ingin tidur.”
Liu An akan berbaring, akan tetapi pintu kamarnya terbuka oleh ulah Yue yang baru saja datang.
BRAK
“Liu An, Adikku! Kenapa kau masih saja tidur di waktu seperti ini?” Suara Yue membuat Liu An kesal.
“Pergi! Aku ingin tidur, Kakak!” ujar Liu An.
“Apa? Kau masih ingin tidur? Sedangkan matahari sudah berada di atas kepala!”
“Aku tidak peduli! Cepat pergi dari sini!” ujar Liu An.
“Kau mengusir Putra Mahkota? Putri Liu An, di mana sopan santunmu!” seru Yue sembari menarik kaki Liu An hingga turun dari atas ranjang.
BRUK
“Akh! Kau ini!”
Setelah terjadi benturan, tiba-tiba saja ada bayangan lain di dalam pikiran Liu An. Ia seperti mengingat kembali apa yang sudah hilang. Dan saat itu juga, Liu An berdiri dan mengatakan jika ia mengingat semuanya.
“Apa?”
“Kakak, aku tahu siapa yang meracuni aku saat itu,” ujar Liu An.
Yue membulatkan matanya dan seperti tidak percaya dengan perkataan sang putri. Hingga akhirnya Yan Jie datang dengan tergesa-gesa.
“Tuan Putri, kau tidak apa?” tanya Yan Jie.
“Hei, darimana saja kau?” Bukan Liu An yang bertanya melainkan Yue yang melihat Yan Jie dengan kesal.
“Yan Jie, kau selalu menghilang di saat aku membutuhkanmu!” Liu An terlihat kesal.
“Maafkan hamba.”
Liu An menarik tangan Yue untuk mengusirnya dari sana, sayangnya tenaga Liu An tidak sekuat itu.
“Kakak, kita lanjutkan nanti. Biarkan aku tidur.”
Liu An menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Tanpa peduli dengan teriakan dari Putra Mahkota, Liu An berbaring di atas ranjang dan memejamkan mata.