Bab 1. Serangan Panik
****
Malam itu Sasmita Anggi diundang Marcello Jovie untuk makan malam. Pada awalnya gadis itu ragu dan ingin menolak tapi karena perusahaan telah menunjuk dirinya agar mewakili, apa boleh buat Sasmi harus melaksanakannya walaupun dengan berat hati.
Mengenakan gaun panjang yang lumayan seksi, menonjolkan bentuk b****g yang indah, Sasmi melewati beberapa kerumunan orang-orang penting yang menghadiri acara ulangtahun sang bos besar Marcello Jovie.
Dandanan Sasmi tidak terlalu menor, ia menggunakan beberapa krim wajah yang penting dan juga lipstik warna peach, warna kesukaannya. Gaun warna merah muda yang dipakai Sasmi terlihat berpadu dengan kulit Sasmi yang putih bersih. Sebuah cluth warna senada menghiasi tangannya, menambah kesempurnaan akan penampilan seorang Sasmita Anggi.
Marcello Jovie adalah bos berpengaruh, ia memiliki banyak anak cabang dan pusat hiburan di kota. Hari ini adalah ulangtahunnya yang ke-34, mengadakan pesta meriah di sebuah hotel mewah bintang lima.
Pria dengan rambut sedikit gondrong dan dikuncir itu tersenyum saat mendapati gadis pujaannya datang ke pesta. Seperti dugaannya, Sasmita terlihat cantik dengan gaun yang ia pakai saat ini. Entah kenapa gadis berusia 30 tahun itu terlihat begitu indah di matanya.
"Sasmi, kau baru saja datang?" Marcello menyapa, menghampiri Sasmi yang baru saja datang ke acara ulangtahunnya.
Sasmi mengulas senyum, tahi lalat kecil di bawah bibir kirinya menambah kecantikan yang dimiliki gadis tersebut. Darah Marcello berdesir, hasratnya meninggi saat ia dihadapkan pada kenyataan bahwa gadis ini adalah gadis yang menolaknya beberapa kali. Dan bodohnya, Marcello tidak pernah jera untuk mendekatinya.
"Tentu saja, Tuan. Aku mewakili perusahaanku untuk datang ke pestamu. Ada beberapa kado untukmu, aku sudah menyuruh seorang pelayan untuk membawanya." Sasmi berbicara seperlunya.
Marcello tersenyum lebar, ia meneguk sedikit anggur dari dalam gelas yang ia bawa. "Kamu sangat cantik, Sasmi."
Gadis itu terdiam, tak lama kemudian ia mengulas senyuman kembali. Rasa risih mulai menghinggapi hatinya, hal yang tidak ia suka harus perlahan ia terima. Ya, pria itu sering menghujaninya dengan pujian, membuatnya merasa malu di depan umum.
"Apakah kau mau berdansa denganku?" tawar Marcello ketika Sasmi tak menanggapi pujiannya.
"Aku tidak pandai berdansa, Tuan. Silakan cari pasangan lain saja," tolak Sasmi sambil tersenyum. Gadis itu menahan rasa ingin muntah akibat rayuan yang dilancarkan pria tersebut.
"Aku bisa mengajarimu sekarang," ucap Marcello bersikeras. Sasmi menggeleng, ia tertunduk dan memperhatikan sepatu Marcello yang hitam mengkilat.
"Sepatumu sangat bagus Tuan, sayang sekali kalau harus diinjak-injak oleh kakiku." Sasmi melengkungkan senyum. Sebuah penolakan yang lembut tapi menyakitkan untuk Marcello Jovie.
Pria itu menatap sepatunya sejenak lalu membalas senyum Sasmita. Hatinya mendidih tapi pria itu berusaha untuk menahannya sekuat mungkin.
Marcello melirik ke arah pramusaji yang melayani Sasmita minum. Ia menawarkan sebuah ginger lemon tea ke arah Sasmi. Gadis itu tidak menolak, ia pun berterima kasih pada sang pramusaji.
"Untuk kerjasama yang dijalin antara perusahaanku dan juga perusahaanmu, mari kita bersulang." Marcello mengangkat gelas berisi anggur miliknya ke hadapan Sasmi. Gadis itu mengangguk lalu mengikuti Marcello mengangkat gelas. Mereka terlibat acara minum bersama dan juga percakapan panjang.
Mendadak perasaan Sasmi tidak enak. Di tegukan yang ketiga, perasaannya Sasmi semakin memburuk. Matanya sedikit berkunang, ia sedikit kesulitan dalam menegakkan tubuh. Sasmi yakin jika minuman yang ia minum sudah dicampur obat oleh seseorang. Tapi siapa?
Tatapan Sasmi tertuju pada Marcello, ia beranggapan jika minuman ini pasti pria itulah yang mencampurkan obatnya. Tak ingin Marcello curiga padanya, Sasmi kembali tersenyum lalu meletakkan gelas di meja. "Aku ingin ke toilet, aku rasa warna lipstikku mulai memudar karena banyak minum."
Marcello tersenyum miring, ia hanya mengangguk pelan dan mempersilakan Sasmi untuk pergi. Pria itu terus memperhatikan Sasmi, rencana yang ia susun sepertinya mulai berhasil. Memanggil beberapa suruhannya, Marcello meminta agar mereka membuntuti Sasmi ke toilet.
Perasaan Sasmi semakin tidak enak saat perjalanannya menuju toilet. Ia melihat sekelebat bayang yang terus membuntutinya. Pikiran Sasmi sekarang adalah bagaimana ia bisa lolos dengan keadaan baik-baik saja.
Jantung Sasmi berdebar, hasrat aneh tiba-tiba menyerang tubuhnya. Rasa panas itu membakar tubuhnya, membuatnya mulai berfantasi gila. Melepas high-heel yang ia pakai, Sasmi lantas berlari menuju ke toilet secepatnya sebelum ia benar-benar ambruk dalam perjalanan.
Menghindari pengejaran, Sasmi memilih untuk belok ke sebuah kamar yang kebetulan tidak terkunci. Kesalahan bagi Sasmi, ia bahkan tidak permisi ketika masuk ke dalam kamar itu. Napas Sasmi terus menburu, ia mencengkeram gaunnya dengan resah.
Dalam keadaan nyaris kehilangan kendali, ia mencoba terus berpikir waras. Hal yang harus ia lakukan adalah mencari air dan mengguyurkannya ke atas tubuh. Jika ia tidak waras maka malam ini ia akan terjebak dan tidak bisa pulang.
"Siapa dirimu?" tanya seseorang dengan heran. Sasmi mendongak, ia menatap seorang pria yang bertelanjang d**a dan hanya melilitkan handuk di perutnya. Pria itu menautkan alis, tangannya menggosok rambutnya yang basah oleh air.
Ya Tuhan, jantung Sasmi berdegup kencang setelah melihat pemandangan tersebut. Ia menggeleng, mencoba menetralkan hasrat gila yang memenuhi otaknya.
"Hei, kamu siapa? Apa yang kau lakukan di ruanganku?" Pria itu makin curiga saat Sasmi tak segera menjawab. Ia mendekat, menarik lengan Sasmi agar bisa melihat wajahnya lebih dekat.
Sasmi terkesiap, tubuhnya tidak terlalu kokoh hingga akhirnya ia jatuh ke dalam pelukan pria itu. Tatapan keduanya bertemu, jemari Sasmi-pun tanpa sengaja menyentuh d**a pria tersebut.
"Kamu mau mencuri? Jika kamu tak menjawab, aku akan memanggil petugas keamanan untuk mengusirmu!" Pria itu berkata dengan tegas, bola matanya yang berwarna coklat indah dalam sekejap membutakan hati dan pikiran Sasmi.
Tanpa banyak bicara, Sasmi berjinjit lalu melayangkan sebuah ciuman pada bibir pria tersebut. Sontak saja sang pria kaget, ia lantas mendorong tubuh Sasmi. "Apa yang kau lakukan?"
Sasmi mencengkeram gaunnya, ia menunduk sambil menggigit bibir. "Bantu aku, ada obat di dalam tubuhku. Aku kepanasan."
Pria itu terbungkam, jantungnya turut berdegup saat Sasmi berkata demikian. Ia tersadar dan hampir melonjak saat gadis di depannya ini menarik handuk yang melilit perutnya. "Hei, jangan kurang ajar!"
"Tolong aku, aku kepanasan." Sasmi semakin menggila tanpa sadar. Ia menarik handuk tersebut, sedang si pemilik berusaha mati-matian untuk bertahan.
Karena tak kunjung berhasil, Sasmi dengan nekat menarik tubuh pria tersebut lalu menghujaninya dengan beberapa ciuman. Pria itu kewalahan, aroma parfum Sasmi yang lembut merangsang impuls sarafnya.
Pria yang bernama Haga Hanugara tak bisa mengendalikan keliaran Sasmita malam itu. Ia terjebak, otaknya mendadak tumpul saat jemari Sasmi mulai berbuat nakal dan mengeksplor tubuhnya.
"Hen-hentikan!" Haga berteriak, memecahkan kegilaan yang terjadi dalam ruangannya. Ia mundur beberapa langkah, membetulkan handuknya yang nyaris lepas dari lilitan. "Aku tidak mengenalmu. Pergilah dari sini!"
Haga berbalik badan, wajahnya merona merah seiring dengan benda pusakanya yang mulai tegak menjulang. Sasmi menggigit bibir, peluhnya mulai bercucuran hebat. Otaknya terus saja menyuruh Sasmi untuk mendapatkan pria ini.
"Lihat aku!" teriak Sasmi tak waras. Gadis itu melorotkan atasan gaunnya tepat saat Haga menoleh. Lagi-lagi mata Haga ternoda, ia bisa melihat dua bukit indah itu terpampang di hadapannya. "Aku membutuhkanmu. Bantu aku meredakan sakit ini, kumohon!"
Haga terpaku. Seakan terhipnotis, pria itu diam tak bergerak saat lilitan handuk itu lepas begitu saja dari perutnya. Ciuman Sasmi bersambut, keinginan Sasmi akhirnya terbalas.
Dan malam itu sesuatu yang memalukan telah terjadi.
****
Sasmi tersentak, ia beranjak bangun dengan rasa panik yang luar biasa. Tubuhnya mengilu, rasa perih terasa membelah di bagian bawah perutnya. Ia menyadari jika saat ini ia bangun tanpa sehelai benang pun. Sasmi meringis, ia memegangi kepalanya yang masih terasa pusing dan berputar.
"Sudah bangun?" Seseorang mengejutkannya. Pria yang ditidurinya tadi malam kini nampak keluar dari arah kamar mandi. Handuk itu—handuk warna krem itu, mengingatkan Samsi pada kejadian tadi malam yang begitu memalukan.
Sasmi membuang muka, ia menarik selimut guna menutupi tubuhnya yang terekspos keluar. Pria itu terkekeh, ia mendekat ke arah Sasmi sambil menggosok rambutnya yang basah. "Tidak ingin nambah lagi?"
Sempurna. Wajah Sasmita saat ini mirip kepiting rebus. Ia bahkan bingung harus menyembunyikan wajahnya saat ini. Jangankan membalas ucapannya, menatap lawan bicaranya pun ia tidak berani.
"Kenapa diam? Jika ya, mari kita lakukan sekali lagi. Aku bersedia membuka handukku lagi." Pria itu menawarkan diri membuat napas Sasmi menjadi sesak.
"Hentikan!" tegas Sasmi tidak suka dengan intimidasi yang pria itu lakukan. Pemuda tampan dengan rambut basah tersebut menautkan alis, merasakan perbedaan sikap gadis itu antara tadi malam dan juga saat ini.
Mengembuskan napas, pria itu berbalik badan meninggalkan Sasmi. "Baiklah, aku anggap bahwa kamu saat ini sudah waras. Jadi, berapa ganti rugi yang akan kau berikan padaku?"
"A-apa?" Sasmi terkejut, ia menatap pria itu dengan heran.
Haga menaikkan alis, ia bersedekap dengan tenang. "Ya, ganti rugi. Kau sudah memaksaku tadi malam, kau juga minta tambah sebanyak tiga kali. Apa kau lupa dengan perbuatanmu, hah?"
Nyali Sasmi menciut, ia mengalihkan pandang dengan wajah pucat. Segila itukah dirinya tadi malam? Semua ini gara-gara Marcello.
"Kau harus mengganti rugi semua yang sudah kau lakukan padaku, kau juga harus membayar seluruh biaya hotel ini. Jadi berapa rupiah yang akan kau keluarkan untukku?"
****
Cerita baru dariku, semoga kalian menyukainya sama seperti kalian menyukai Dhante dan Gama.
Welcome. Jangan lupa tap love-nya ya...
Terima kasih.