Yang Tamara tau, ayahnya sedang mengambil nafas . Tamara berbalik pada ayahnya dan saat itu , ayahnya melayangkan bagian besi dari sabuk itu dan langsung mengenai pelipis Tamara .
"Ibu lo yang buat gue kayak gini ! Dan lo ngehalangin semua ini . Rasain !"
Tamara masih memeluk sang ibu ketika sang ayah pergi dari tempatnya . Kemudian ibunya berontak dari pelukan Tamara . Membuat Tamara merasakan hal yang sama . Penolakan seperti ini membuat hatinya sakit .
"Lepas !" Ibunya berontak dan mendorong Tamara sampai punggungnya membentur lemari di belakangnya .
"Bunda ga papa ?" Tanya Tamara pelan .
Kepalanya terangkat untuk menatap sang ibu yang sudah berdiri . Pelipisnya nyeri . Punggungnya sakit . Tapi itu tidak seberapa dengan sakit dihatinya saat melihat ibunya mengabaikannya lagi .
Salah Tamara disini apa ?
Ibunya dari dulu memang tidak menginginkannya . Ibu tidak mau anak dari ayah . Tapi malah mengandung Tamara .
Sampai saat ini , Tamara yakin jika dirinya bukan anak dari ayahnya . Karena ayahnya sama sekali tidak menunjukkan jika Tamara adalah anaknya .
Tamara menyentuh pelipisnya yang nyeri . Dingin di tangannya meyakinkan Tamara jika kini pelipisnya kembali mengeluarkan cairan merah .
Tamara kembali terluka . Secara fisik dan batin .
“Dokter ,” kata perawat Liana .
Tamara di tarik paksa lagi dari ingatan buruk itu . Dia sudah ada di depan sang bunda dalam ingatan buruknya . Tamara menatap lagi orang di depannya . Sama . Orang yang sama dengan orang yang ada di ingatan buruknya tadi .
“Dokter Mara .” Sahut Dokter Sony yang memanggilnya .
Tamara menolehkan kepalanya . Lalu mengangguk , “ada apa dok ?”
“Bisa ke ruangan saya sebentar ?”
Tamara mengangguk , “baik , Dok .”
Liana mengangguk ketika Tamara meminta ijin dengan tanpa suara . Orang yang tadi memanggil dirinya sendiri bunda diam menatap punggung Tamara yang mulai menjauh .
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
“Kamu sudah dua tahun menjadi dokter intern bedah umum dan belum sekalipun membantu saya , Dokter Mara .”
Tamara sudah terduduk berhadapan dengan Dokter Sony di ruangannya .
“Iya dok , dokter belum pernah memanggil saya untuk membantu .”
Dokter itu mengembalikan anggukan Tamara tadi .
“Kalau begitu , mulai sekarang anda jadi asisten saya .”
Tamara baru saja mau menjerit , tapi di tahan .
“Aku tidak berencana merekrut asisten baru . Jadi aku mau kau yang ada di setiap operasiku nanti .”
Tamara mengangguk semangat , “terima kasih sudah mempercayaiku , Dokter Sony .”
Dokter Sony tersenyum . Tamara masih muda dan tentu saja berpotensi baik untuk menjadi dokter baik dan berbakat . Setidaknya , begitulah yang ada di pikiran Dokter Sony .
Tamara tersenyum senang . Bukan hal yang aneh jika Tamara bangga dengan ajaka Dokter Sony , karena dokter Sony sudah senior dalam urusan operasi . Dan tentu saja menjadi asistennya akan menjadi hal yang sangat luar biasa dan diinginkan semua orang . Termasuk Tamara .
Namun senyumnya luntur ketika dia menemukan orang yang memanggil dirinya sendiri Bunda dari Tamara .
“Mara . Ini bunda .” Katanya lagi .
Tamara sudah cukup mengenalnya . Tapi tentu saja , Tamara bukan Tamara yang dulu .
“Ada yang bisa saya bantu , Bu ?” Sahut Tamara terkesan tidak mengenali sosok sang Bunda .
Ibu itu menggeleng , “adik kamu , Mara . “
Adik katanya ? Bahkan Tamara sudah tidak peduli jika ibu dan ayahnya juga adiknya sekarang ada di dunia .
“Kenapa dengan anak ibu ?” Tanya Tamara lagi .
“Dia adik kamu , Mara . “
Tamara tersenyum , “maaf bu , mungkin ibu salah orang . Orang tua saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu . Mana bisa saya punya adik . “
Ibu itu menggeleng , “Bunda yang ngasih nama kamu , Tamara . Dan bunda yang melahirkan kamu . Tapi kenapa kamu kayak gini ke bunda ?”
Tamara tertawa dalam hati . Sebenarnya Tamara tau jika Bundanya itu adalah bundanya yang sudah menelantarkan dirinya beberapa tahun yang lalu . Dan kenapa sekarang dia balik lagi ke kehidupan Tamara yang sudah tenang tanpa memikirkan hal – hal yang bahkan bisa membuat Tamara mimpi buruk .
Tamara bahkan belum sempat merasakan bagaimana hangatnya pelukan seorang ibu dan lembutnya belaian seorang ibu . Dan dia sudah di paksa untuk dewasa belum waktunya .
Kembali lagi , Tamara mengenang masa kelamnya .
Dia merasakan bagaimana sakit hatinya ketika dia di buang ke rumah neneknya yang serba sederhana dan ketika neneknya meninggal , ibu dan ayahnya bahkan tidak peduli . Saat itu , Tamara masih berpakaian sekolah anak sma dengan rok abu – abu dan seragam putihnya . Tamara menangis sejadi – jadinya ketikan neneknya di kuburkan dan hanya dia yang menangis .
Setelah itu , Tamara bahkan tidak bisa menangis lagi selain untuk hal yang benar – benar ia tidak bisa tahan . Dan sampai saat ini , semuanya bisa Tamara tahan . Dia tidak menangis dengan begitu mudahnya . Tentu saja semuanya perlu pembiasaan diri .
“Dokter Mara , sudah waktunya untuk pulang ?”
Akhirnya ada yang membebaskan Tamara dari posisi sulit tadi . Dan tentu saja dia harus berterima kasih pada siapa pun yang menolongnya walau pun Tamara tau , dia mungkin tidak akan tau kenapa Tamara berterima kasih .
“Terima kasih , Rubin .”
Dan pukulan di lengannyalah sebagai balasan terima kasih Tamara .
“Namaku , Rubi . Tidak ada N di belakangnya , Tamara .”
Tamara terkekeh mendapati kritikan seperti itu dari seorang Rubi yang biasanya hanya mendengarnya tanpa berkomentar seserius ini. "Aku hanya bercanda. Tapi, namamu lebih enak ditambah N di belakangnya ."