"Serius lah. Sekarang aku selesaikan pekerjaan aku dulu ya? Supaya nanti malam kita bisa keluar."
"Tapi aku bawain makanan. Oseng ati ampela kesukaan kamu."
"Nanti aja ya. Aku masih sangat sibuk, Sayang. Kalau kamu mau nemenin di sini juga nggak apa-apa."
"Ya udah, aku suapin deh. Kamu lanjut aja kerjanya."
Beno tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia merasa, kekasihnya itu selalu dan selalu perhatian terhadap dirinya, apalagi soal makan. Setiap hari Rossi selalu memastikan Beno makan dengan baik, karena dia sempat beberapa kali masuk rumah sakit karena penyakit asam lambung. Ah entahlah, kenapa penyakit Adis itu menurun padanya.
"A' dulu."
Rossi menyuapkan nasi dengan oseng ati ampela ke mulut Beno.
"Hmmm … enak," puji Beno sambil tersenyum, matanya dan jarinya masih fokus ke laptop.
"Permisi."
Terdengar suara disertai ketukan pintu di luar.
"Masuk aja!" sahut Rossi sewot. Dia tahu dan sudah hafal kalau itu suara sekertaris Beno yang mulai detik itu sangat ia benci.
Adis membuka pintu, dan dia langsung menelan ludah saat melihat Rossi menyuapi Beno dengan penuh kasih sayang. Sebenarnya, Beno merasa canggung, tetapi dia berusaha untuk tetap bersikap biasa saja.
"Permisi. Ini berkas-berkas yang Bapak minta, sudah saya persiapkan semuanya."
Adis meletakkan berkas-berkas itu tepat di hadapan Beno dengan sedikit keras.
"Hmmm … kamu boleh keluar."
"Iya, tentu saja saya akan keluar. Tapi besok-besok lagi, kalau di kantor jangan mesra-mesraan ya, Pak. Nggak etis."
Adis berbicara dengan ketus. Dia merasa berbicara dengan Beno, bukan berbicara dengan Pak Wijaya, atasannya yang sudah seharusnya dia segani dia hormati. Lalu, dia bersiap untuk pergi.
"Eh tunggu! Nggak Sopan banget sih jadi sekretaris. Kamu pikir kamu ini siapa bisa berbicara seperti itu sama atasan kamu?"
Adis menghentikan langkahnya, lalu kembali berbalik ke arah mereka berdua.
"Maaf, mbak. Seharusnya Mbak Rossi tahu kalau ini kantor tempat orang bekerja, kalau mau pacaran nanti, nggak sopan." Dia menatap Rossi, lebih tepatnya menatap penuh kecemburuan. Sebenarnya tak masalah jika seorang bos disuapi pacarnya di dalam ruangannya sendiri. Tapi kalau bosnya adalah Beno, tentu saja Adis tak suka, bukan karena yang lain, tapi karena cemburu.
"Bentar deh, kayaknya Kamu jomblo ya sampai bersikap yang gak masuk akal seperti ini. Baru kali ini lo aja sekretaris yang kurang ajar kayak kamu. Sayang, lebih baik kamu pecat dia aja deh. Masih banyak yang mau jadi sekretaris kamu yang lebih sopan daripada dia."
"Ehem … Dena, keluar dari sini. Banyak yang harus kamu kerjakan. Nanti siang kita ada meeting dengan PT Amanda. Sudah dipelajari?"
"Dena?"
Adis mengerutkan keningnya.
"Pelajari sekarang! Kalau ada yang belum mengerti, kamu bisa tanya sama Andin. Sekarang!"
"Baik, Pak."
Yah, kali ini dia harus mengalah. Kalau tidak, bisa-bisa dia benar-benar dipecat. Akhirnya, Dia memutuskan untuk pergi meninggalkan ruangan Beno dengan segudang rasa cemburu di dalam hatinya.
***
"Jadi bos kok seenaknya sendiri. Seharusnya dia bisa membedakan dong, di kantor sama di luar. Ceweknya tuh, nggak ada akhlak banget. Suka nyolot lagi." Adis menggerutu sambil menyiapkan berkas yang akan digunakan meeting beberapa jam yang akan datang.
"Permisi, sekertaris baru pak Wijaya?"
Seorang laki-laki berperawakan tinggi dan badan atletis, menghampiri Adis yang saat itu sedang menggerutu.
Sontak, Adis langsung berdiri dan mengangguk.
"Eh, Iya, Bapak. Saya sekretaris barunya pak Wijaya. Ada yang bisa saya bantu?" Adis langsung memasang senyum manis dengan raut muka yang seolah ceria. Ya, sebagai seorang sekretaris, kadang dia harus melakukan kepura-puraan di hadapan banyak orang. Termasuk pura-pura ceria meskipun saat ini rasanya dia ingin memakan Rossi hidup-hidup.
"Perkenalkan, Saya Langit. Saya adalah manajer keuangan di sini. Saya mau bertemu dengan Pak Wijaya sekarang, bisa?"
"Langit? Langit … bisakah kau turunkan hujan dengan uang, Aku mau kaya tanpa kerja," ucap Adis refleks. Ya, inilah akibatnya Dia sering scroll aplikasi warna hitam itu.
Sontak, langit langsung tertawa terbahak-bahak.
'Ya Ampun, wanita ini nggak sopan banget, tapi kok lucu ya? Baru pertama kali bertemu berani-beraninya dia berkata seperti ini sama aku,' batin Langit.
"Eh pak Maaf, saya nggak sopan ya? Kebiasaan di tempat kerja lama, suka becanda."
"Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Santai Aku suka kok. Jadi nggak kaku suasananya."
"Beneran? Alhamdulillah kalau Bapak nggak galak seperti di Boss. Oh iy, perkenalkan, saya Adis."
"O.K, kok belum pakai name tag?"
"Masih dibawa pak Wijaya, nggak tahu kenapa nggak dikasih. Mungkin dia ingin, biar nggak ada yang tahu namaku dan nggak ada yang memanggil namaku, biar dia aja."
"Hahaha … Kamu ada-ada aja sih. Pasti Wid suka punya sekertaris kayak kamu. Ya sudah, saya masuk dulu ya?"
"Eh … Iya, Pak. Silahkan."
Adis hanya bisa garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Entah kenapa laki-laki itu tertawa, padahal enggak ada lucu-lucunya sama sekali.
Lalu, dia tersenyum. Syukurin mereka berdua. Pasti kepergok orang lain sedang berduaan.
"Makanya, jadi direktur itu yang berwibawa dan good attitude, bukan malah pacaran," ucap Adis sambil sibuk memeriksa data di laptopnya.
Entahlah, gadis itu sekarang hobi menggerutu sejak kembali bertemu dengan Beno.
"Eits, sorry. Gue ganggu?"
Baru saja Langit membuka pintu ruangan, dia terkejut melihat Rossi yang sedang asyik memeluk Beno dari belakang.
Rossi buru-buru melepaskan pelukannya, dan dengan canggung Dia berjalan menuju ke sofa untuk mengambil tasnya.
"Oh nggak ganggu kok. Kebetulan saya harus pergi juga."
Dia mengambil tasnya, lalu menoleh ke arah Beno.
"Jangan lupa nanti malam ya, Sayang. Aku tunggu."
"O.K." Beno tersenyum, mengiringi kekasihnya ke luar ruangannya.
"Kok Lo bisa masuk sih, nggak pakai ketok-ketok dulu," ucap Beno. Dia menutup laptopnya, lalu menyangga menyangga kepalanya dengan tangan kanan.
"Ya sekretaris lo bilang, kalau gue bisa langsung masuk. Ya gue masuk aja lah. Eh by the way, sekretaris Kamu lucu banget sih. Udh cantik, lucu, gemesin. Namanya siapa? Adis ya?"
"Lo ke sini mau ngapain? Nganterin laporan keuangan? Bawa sini!"
Entah Kenapa Beno mendadak sewot. Sepertinya dia tidak suka kalau ada orang yang memuji Adis.
"Sewot banget sih. Ini. Lo periksa dulu."
"O.K. by the way, namanya Dena. Bukan Adis."
Ya, sengaja. Dia ingin agar gadis itu dipanggil dengan nama Dena. Alasan pertama, supaya kekasihnya tidak lekas tahu bahwa yang menjadi sekretarisnya saat ini adalah mantan pacarnya. Alasan kedua adalah, dia ingin menganggap Gadis itu adalah orang lain yang bernama Dena. Bukan Adis, mantan kekasihnya yang sudah menorehkan luka sangat dalam terhadap dirinya.
"Masa? Dia ngaku ke gue namanya Adis."
"Ini, kasih name tag nya sekalian."
Pino menyodorkan name tag Adis yang bertuliskan nama 'Dena' pada Langit.
"O.K. gue keluar dulu kalau gitu."
"Hmm … "
Ya, Beno dan langit adalah sahabat. Jadi, wajar kalau Mereka tampak begitu akrab. Itulah mengapa, Beno sangat percaya pada langit dan mengamanahkan dia untuk menduduki jabatan manajer keuangan.