Saat jam makan siang, Adis segera menuju ke kantin. Dia janjian sama Nana di sana. Ah … inilah enaknya satu kantor sama Nana. Di kosan dia bisa full curhat, di kantor dia juga masih bisa curhat lagi. Meskipun kadang nanas sampai bosan mendengar curhatan Adis, tapi Gadis itu tak peduli. Tetap nyerocos menceritakan masalahnya.
"Huft … Aku tidak tahu kenapa si Beno sekarang bisa sedingin itu. Apa dia sama sekali nggak ingat ya sama kenangan-kenangan kita yang dulu?"
"Dia bersikap seperti itu karena dia masih ingat dengan jelas kenangan kalian yang dulu. Kenangan yang menyakitkan. Jadinya ya begitu. Setiap ingat kamu dari setiap unit kenangannya, dia akan merasa sakit hati."
"Masa gitu sih? Ya setidaknya gue kan pernah spesial di hatinya. Harusnya gue sedikit diperlakukan spesial dong. Yang lebih menyebalkan lagi, ya terus pacaran sama pacarnya yang nggak tahu malu itu. Masa iya suap-suapan di kantor. Eh, lo bisa bantuin gue nggak? Bantuin gue untuk menyelidiki semua kekurangan cewek itu, aku bakalan cari kekurangan Rossi yang bakal buat Beno illfeel. Dilihat dari semua postingan sosial medianya, dia itu cuma cewek yang pengen ngeruk harta Beno doang. Ini nggak bener. Bener-bener nggak bener. Gue harus menyelamatkan Beno dari godaan cewek matre yang sok perhatian seperti dia," ucap Adis berapi-api.
"Hilih, bilang aja lo cemburu tingkat dewa. Pakai mencari-cari kesalahan orang."
Adis menunduk. Dia mengaduk-aduk es teh yang baru saja dia pesan. Nana benar. Dia cemburu. Tak ada masalah jika Beno hanya disuapi kekasihnya di ruangannya sendiri ketika dia sibuk dengan laptopnya. Tak ada yang salah dengan itu. Yang salah adalah pemikiran adis.
Jujur, saat ini dia sangat menyesal. Dia menyesal sudah main-main dengan perasaan waktu itu, hanya karena dia ketakutan sebelum menjalaninya. Dia takut hidup dengan Beno karena pelitnya. Bodohnya, dia tidak pernah bisa menebak dan tidak pernah mengerti kenapa Beno seperti itu.
"Adis, lho … kok mata lo berkaca-kaca?"
"Gue menyesal Na. Andai saja dulu Gue mau bersabar barang sehari aja, pasti saat ini gue masih bisa bersama orang yang tulus sayang sama gue. Orang yang selalu mengusahakan kebahagiaan gue. Orang yang mau berkorban apapun buat gue. Gue rindu dia … Gue rindu dia yang dulu. Gue rindu kasih sayangnya, perhatiannya, semuanya. Rasanya gue pengen pukul diri gue sendiri yang terlalu bodoh waktu itu."
Adis masih menunduk. Matanya basah. Ya, namanya penyesalan pasti ada di belakang. Dia memang tidak bisa mengembalikan masa lalunya, tetapi dia akan berusaha untuk menjadikan masa lalunya sebagai masa depan.
"Adiiiiis … lo kok nangis sih. Cup cup cup. Jangan nangis deh. Lo tambah jelek tahu kalau nangis."
"Makanya bantuin gue. Gue pengen balik lagi sama Beno, gue juga tidak ingin Beno diperas begitu sama ceweknya. Karena gue tahu siapa Beno, pasti dia bekerja mati-matian untuk sampai di posisi ini."
"Hilih, Lo pengen balik sama dia karena lo tahu sekarang dia kaya kan? Dia bukan Beno yang suka jemput lo pakai motor butut dan selalu kehabisan bensin, makanya lo mau berusaha untuk mengacaukan hubungan mereka berdua. Dis, Gue tahu lo menyesal dan pengen balik sama dia, tetapi jangan sampai rasa penyesalan lo itu mengubah lo jadi orang jahat. Sekarang kalian sudah punya kehidupan sendiri sendiri. Dia sudah bahagia dengan pilihannya sendiri sekarang. Jadi jangan berusaha untuk merusak kembali kebahagiaan pak Wijaya."
"Beno, bukan Pak Wijaya," ucap Adis dengan nada kesal. Dia ingin minta bantuan, tetapi malah diceramahi panjang lebar.
"Sama aja, Pak Beno Wijaya."
Adis kembali menunduk. Ah, dia tetap tidak bisa rela. Feelingnya mengatakan kalau perempuan itu tidak tulus mencintai Beno. Dia sudah scroll sosial media Rossi. Dari situ dia tahu, kalau Beno sering membelanjakan dia barang-barang mewah dan mengajak dia makan makanan di tempat mewah. Bahkan beno memberi dia uang untuk belanja sendiri. Rossi selalu post itu di sosial medianya. Jadi dia tahu semuanya.
'Kenapa kamu jadi bodoh seperti ini sih, Ben? Meskipun gue belum kenal sama Rossi, gue tahu perempuan itu manfaatin lo,' batin Adis.
"Ish, jangan gitu dong. Lo di sini buat kerja. Enggak usah sedih-sedih enggak usah galau galau. No man no cry, yang penting cuan ngalir. Ya kan? Itu kan yang selalu lo bilang?"
"Sekarang semuanya berbeda. Sangat berbeda, Na. Apapun Yang terjadi, gue bakalan cari tahu siapa rosi dan apa motivasinya untuk menjadi pacar Beno."
"Dasar sinting!"
Nana meneguk es tehnya dengan kesal. Ah, Memang begitulah terkadang. Orang yang sedang jatuh cinta, terkadang memang bodoh dan tidak bisa berpikir dengan jernih. Ya, seperti adis saat ini. Yang selalu berpikir negatif tentang pacar Beno. Padahal, Bukankah wajar jika bino menginginkan wanita lain dalam hidupnya, wanita yang sangat mencintainya dan selalu perhatian terhadap dirinya. Masih ingat kan prinsip Beno saat ini? 'Ketika aku dicintai, maka aku akan 2 kali lebih mencintainya.'
***
"Jam 7 malam? Baik, Pak. Siap."
Adis menutup teleponnya, lalu dia mendengus kesal. Apa-apaan ini, baru bekerja sebentar harus lembur. Kenapa coba klien harus minta meeting di luar jam kerja?
Huft … dia harus kembali menemui Beno satu paket dengan muka juteknya.
"Permisi!"
"Masuk."
"Pak, PT ADIS WIJAYA minta meetingnya di undur nanti malam jam 7."
"Kamu sudah menyetujuinya?"
"Iya, Pak."
"Kenapa kamu nggak konfirmasi dulu ke saya? Saya ada acara penting nanti malam."
"Saya lihat schedule bapak, malam ini Bapak kosong tidak ada agenda. Jadi saya menyetujuinya."
"Kamu fikir keperluan saya hanya masalah pekerjaan saja?"
"Lalu masalah apa, Ben? Pacaran? Iya? Mau ngedate sama cowok kamu yang norak itu? Tolong dong di bedain antara kerja sama masalah pribadi."
Beno langsung berdiri, lalu menyilangkan kedua tangannya di depan d**a.
"Kamu siapa, sok-sokan ngatur hidup saya? Kamu siapa, berani-beraninya berbicara seperti itu? Sudah seharusnya kamu konfirmasi ke saya dulu, jangan seenaknya. Bukannya kamu sudah berpengalaman dalam hal ini. Kenapa masih teledor? Kalau masalah pribadi saya, kamu tidak berhak untuk ikut campur."
"Ben, Rossi itu cuma memanfaatkan elo doang. Dia nggak bener-bener sayang sama lo. Dia cuma memanfaatkan kan lo dan memanfaatkan harta lo aja."
"Lo nggak lebih baik dari dia. Jangan memutar balikkan fakta dan menuduh orang lain. Bukannya Lo yang melakukan itu? Memanfaatkan harta Jordan waktu itu? Bagi gue, Lo nggak lebih baik dari dia. Lo hanyalah cewek murahan yang mau sama siapapun yang ngasih barang-barang mewah buat lo."
Mata Adis memanas. Hatinya terasa begitu sesak. Air mata, telah menggenang di sana. Beno, orang yang sampai detik ini masih dia sayang, tega mengatakan itu padanya. Sakit, rasanya sungguh sakit.
"Beno, Lo … "
"Kenapa? Benar kan ucapan gue?"
Adis tidak bisa lagi menahan tangisnya. Air matanya turun deras ke pipinya.
"Lo … Lo keterlaluan, Ben," ucap Adis dengan kedua belah pipi yang sudah basah. Lalu, dia keluar ruangan Beno sambil sedikit berlari. Saat dia baru saja keluar ruangan, dia berpapasan dengan langit.
"Dena? Kamu kenapa?"
Adis tak menjawab. Dia segera berlari menuju ke toilet. Sesampainya di sana, Adis membasuh mukanya dengan air di wastafel dengan air mata yang terus mengalir tiada henti.
'Bisa-bisanya lo bilang seperti itu sama gue, Ben. Seburuk itukah gue di mata Lo? Apa lo nggak tahu kalau gue bener-bener masih sayang sama lo. Gue masih cinta sama lo. Tapi Lo … malah ngatain gue sebagai cewek murahan? Di mana hati Lo, Ben? Kemana perginya Beno yang dulu?' ucap Adis dalam hati.
Gadis itu masih terus membasuh mukanya, supaya tak ada yang tau bahwa air mata sedang mengalir deras ke pipinya.