Bersyukurlah ketika ada yang tulus mencintaimu, menyayangimu tanpa tapi, dan rela berkorban untukmu. Jaga dia, sayangi dia dan jangan biarkan dia kecewa. Karena ketika dia sudah kecewa, dia akan menjadi pribadi yang berbeda. Dan saat itu, yang ada hanyalah penyesalan.
Seperti apa yang dialami oleh Adis. Dia tahu, ini semua kesalahannya. Semua ini terjadi karena kesalahannya di masa lalu. Dia yang sudah mengubah Beno yang sangat hangat dan penyayang, menjadi pribadi yang dingin dan kaku terhadap dirinya. Bahkan, dia sampai mengeluarkan kata-kata kata yang tak pantas diucapkan.
Adis membasuh mukanya berkali-kali, berharap air yang mengalir katanya, ikut melunturkan rasa sakit hati di dalam hatinya.
Ah, nyatanya tak semudah itu. Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Saat dia sudah merasa lebih tenang dan tangisnya reda, Dia segera menuju ke pantry. Mungkin, secangkir teh hangat bisa sedikit menenangkan dirinya.
Adis duduk di kursi panjang yang ada di pantry Setelah dia selesai membuat secangkir teh. Dia membungkus cangkir itu dengan kedua telapak tangannya. Hawa hangat, menjalar ke seluruh tubuhnya. Dihirupnya aroma teh itu dalam-dalam. Berharap bisa memberikan efek ketenangan.
"Hai, Dena." Seseorang menyapanya.
Adis mendongakkan kepala. Terlihat langit sedang meracik kopinya sendiri.
"Eh … hai, langit."
Adis tersenyum, lalu menyesap tehnya perlahan.
Setelah langit selesai menyeduh kopinya, dia duduk di samping Adis yang sedang fokus pada tehnya.
"Are you O.K?" tanyanya lembut. Dia masih bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang terjadi antara Adis yang diketahui sebagai Dena itu, dengan Beno? Tidak mungkin adis keluar ruangan dalam keadaan menangis jika tidak ada apa-apa di antara mereka berdua. Dia sudah bertanya pada Beno, dan laki-laki itu menjawab bahwa Adis hanya lebay saja.
"I am good. It's O.K." Adis menjawab dengan senyum, senyum yang dipaksakan.
"Kamu jangan terlalu ambil hati dengan ucapan Pak Wijaya. Terkadang mempunyai memang sangat tegas dan sedikit temperamen, tetapi sebenarnya dia sangat baik. Masa lalu dia yang buruk saja yang mengubah dia menjadi seperti ini."
"Masa lalu yang buruk?" Adis langsung menoleh. Menatap langit yang saat itu menyesap kopinya.
"Ya, Dia pernah dikecewakan oleh seseorang yang sangat dia sayang. Karena itulah, dia bekerja sangat keras sampai lupa apa pun, hingga karakternya seperti itu sekarang. Apa-apa kudu perfect, kudu on time, sering lembur, ya begitulah. Tetapi tenang saja, dia orangnya baik kok. Kamu yang sabar ya?"
"Oh … iya. Saya akan berusaha untuk terus mengerti Pak Wijaya"
Adis kembali menunduk. Apakah Beno menceritakan masa lalunya kepada sahabatnya ini? sebenarnya Adis ingin bertanya lebih lanjut tentang apa yang sudah diceritakan oleh Beno tentang masa lalunya, tetapi sepertinya saat ini waktunya belum tepat. Namun, satu yang membuat Adis merasa menemui titik terang. Sekarang dia tahu, harus bertanya kepada siapa Jika dia ingin tahu lebih banyak tentang Beno sekarang.
"Oke. Maukah kamu cerita padaku Sebenarnya ada apa? Apakah kata-katanya begitu menyakitimu sehingga muka kamu sampai sembab seperti itu?"
Ya, pertanyaan pancingan itu sepertinya diketahui oleh Adis.
"Emm … nggak apa-apa kok. Aku cuma mengiyakan perubahan jadwal pada klien, padahal belum mendapatkan persetujuan dari Pak Wijaya. Yah, dia langsung ngamuk kayak barongan," ucap Adis. Lalu dia tertawa kecil. Entahlah, Apa yang sedang dia tertawakan saat itu.
"Hahaha … barongan?"
"Iya, serem."
"Jangan khawatir, saya bisa jadi pawangnya dia."
"Oh ya?" Adis tertawa kecil. Pawang? Ah, dulu dia lebih jago jadi pawang laki-laki itu.
"Iya. Jadi kalau dia sudah marah-marah nggak karuan, bilang aja sama saya."
"Terimakasih, Langit. Meskipun kau tidak menurunkan hujan dengan uang, kau Sudah cukup membuatku tertawa," ucap Adis diiringi dengan gelak tawa. Ya, dia sudah mampu tertawa meskipun mukanya Masih sembab.
"Hahaha … kamu ya, baru juga kenal Sudah berani meledek. Nggak ada lho karyawan lain yang seberani kamu."
"Yang perlu ditakuti itu yang kayak barongan, bukan yang bening begini. Ya nggak?" Adis menaik turunkan alisnya. Baru saja menangis sesenggukan, sekarang sudah berani-beraninya menggoda laki-laki lain.
Ya, adis memang sereceh itu. Dia supel, suka bercanda dan gampang akrab sama orang lain, itulah mengapa banyak yang sayang sama dia.
Langit meraba dadanya. Ah, dia tahu sedang dibecandain sama gadis receh sampingnya, tetapi Kenapa dadanya berdebar?
"Ih, bisa aja kamu. Ya udah, saya kembali ke ruangan ya? Kalau sudah tenang, kamu kembali ke ruanganmu. Nanti baronganmu ngamuk lagi, hahaha … bye."
Langit tertawa, Dia segera meletakkan cangkir di atas meja, dan melangkahkan kaki menuju ke ruangannya.
Sementara Adis, dia terdiam sejenak, lalu ikut tertawa. Ah, senang sekali rasanya bertemu dengan teman baru yang frekuensi. Sepertinya Langit akan menjadi salah satu orang yang membuat Adis akan bisa bertahan di tempat ini. Ya, setelah Nana tentunya.
Setelah dia benar-benar merasa tenang, Adis kembali ke ruangannya.
***
Di ruangannya yang luas, mewah dan berkelas, Beno menatap layar laptopnya dengan tatapan menerawang. Dia tidak benar-benar sedang memandang laptop itu. Sebenarnya dia terus kepikiran dengan Adis. Dia menyesal sudah mengatakan hal yang demikian.
'Apakah tadi aku sudah keterlaluan? Tetapi bukannya wajar kalau benci dengan perempuan itu?' batin Beno. Dia menyangga tubuhnya dengan tangan kanan, dan menggigit jari telunjuknya.
"Ini berkas yang harus Lo tanda tangani. Gue mau pulang dulu. Jam kerja gue sudah habis kan? Nanti gue langsung ke cafe Livia. Gue tunggu di sana."
Tiba-tiba Adis datang, tidak mengetuk pintu, tidak permisi dan juga tidak basa-basi. Dia meletakkan berkas-berkas itu dengan kasar. Meskipun di dalam hatinya Masih ada cinta, tetapi dia masih merasa sakit hati dengan kata-kata Beno beberapa jam yang lalu.
Beno membuang nafas kasar. Lalu dia berdiri menghadap adis yang saat itu juga sedang berdiri menghadap dirinya.
"Bukannya kamu sudah dibacakan jobdesk kamu apa? Kenapa kamu masih seenaknya sendiri?"
"Maksudnya?"
"Kamu harus lembur. Kalau mau istirahat, istirahat sejenak di kantor. Banyak yang harus kamu siapin. Hari ini kan hari pertama kamu mendampingi saya meeting. Jadi kamu harus maksimal."
"Kalau gue harus maksimal, Harusnya gue pulang dulu, istirahat, mandi, ganti pakaian, fresh. Jadinya otak gue masih on."
"Kok nyolot? Saya sudah bilang. Yang sopan di kantor. Panggil saya Pak wijaya. Perintah bos adalah titah yang harus kamu turuti. Kalau mau ganti baju, nanti beli aja di Mall."
"Kamu tuh bener-bener nyebelin ya Ben. Lo udah benar-benar berbeda. Lo udah ngatain gue yang macem-macem, sekarang eksploitasi tenaga gue. Keterlaluan Lo."
Adis menatap Beno dengan tatapan penuh kekecewaan, lalu dia segera pergi meninggalkan kantor mewah itu dengan hati dongkol.