Bab 1. Mahkota Terenggut
“Kalau kau tidak bisa melunasi utang-utangmu, tubuhmu akan jadi milikku malam ini!”
Seorang pria yang tengah mabuk itu terlihat terus memaksa Vielga–gadis muda yang bekerja sebagai babysitter di rumah pria itu untuk melayaninya di atas ranjang.
“Tuan, tolong lepaskan aku! Aku mohon!”
Vielga terus berontak. Coba melepaskan diri dari kuasa majikannya yang jauh melebihi tenaganya.
“Kau harus melayaniku!” Tanpa memedulikan permohonan gadis cantik itu, pria bernama Areksa langsung membawa tubuh Vielga ke atas ranjang. Dengan buas, pria yang sudah dikuasai nafsu itu melucuti seluruh pakaian Vielga hingga tubuh polosnya terpampang jelas di mata majikan tampan itu.
Aksara tak membuang waktu, penyatuan pun terjadi dan hal yang membuat pria itu kaget ternyata dia adalah laki-laki pertama yang sudah merenggut kesucian Vielga–sang babysitter yang baru beberapa hari bekerja di rumahnya.
***
Beberapa hari sebelum kejadian itu, Vielga terlihat baru saja pulang dari kampus. Gadis cantik itu mengerutkan kening karena merasa bingung saat melihat rumahnya didatangi banyak orang tak dikenal. Dia bergegas, lari sepanjang halaman rumah untuk mendekati keramaian itu. Napasnya tersengal-sengal, Vielga lekas menghampiri ibunya yang sedang berlutut sembari memohon-mohon pada pria di hadapannya. Vielga tidak tahu apa yang terjadi sampai barang-barang di rumahnya dikeluarkan.
“Saya mohon, Pak, tolong jangan jebloskan suami saya ke penjara! Saya yakin suami saya tidak bersalah, dia pasti tidak korupsi, Pak.”
Vivi–ibu Vielga tengah mengatupkan kedua tangannya sambil terus menangis tersedu-sedu.
“Mama, ada apa ini, Mah? Apa yang terjadi?” tanya Vielga ke samping ibunya. Meminta sang ibu untuk bangkit berdiri.
Vielga menatap sinis kepada para pria yang membuat ibunya sampai menangis seperti itu, apalagi mereka juga dengan lancang sudah mengeluarkan barang-barang dari dalam rumahnya.
“Apa yang terjadi? Kenapa kalian bertindak tidak sopan di rumahku?” Vielga bertanya dengan ketus. Dia merasa kesal lantaran ibunya harus memohon-mohon seperti tadi.
Pria paruh baya di hadapan Vielga menghela napas pelan. “Rumah kalian disita oleh bank karena ayahmu banyak utang dan korupsi di perusahaan. Sebagai gantinya, semua yang kalian punya kami sita, bahkan ini saja tidak cukup untuk melunasi uang yang sudah kalian nikmati itu,” balasnya tak kalah ketus dan sinis.
Tak percaya dengan perkataan orang asing itu, Vielga percaya kalau ayahnya tidak mungkin melakukan hal serendah itu. Dia tahu, ayahnya orang baik dan jujur. Pria itu pasti sedang mengarang, Vielga pun enggan memercayainya.
“Nggak mungkin! Papaku nggak mungkin melakukan hal serendah itu, apalagi sampai korupsi, papaku orang baik. Kalian pasti salah orang!” sergah Vielga menyangkal tuduhan pria itu.
Dia tak terima kalau ayahnya dituduh yang tidak-tidak. Vielga memeluk ibunya yang sedang menangis dan tak menjawab pertanyaan putri semata wayangnya. Vielga tahu betul jika sang ibu sedang syok akibat kedatangan pria-pria bertubuh besar itu. Bahkan, mereka sampai menggeledah seisi rumah tanpa bisa ditahan.
“Halah, sudah! Jangan banyak omong. Ayahmu sudah terbukti bersalah, dia sudah dijebloskan ke penjara atas perbuatannya!” Pria tua itu membentak, lalu pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Vielga.
“Mah, sebenarnya ada apa, sih? Kenapa mereka sampai menggeledah rumah kita, Mah? Nggak sopan banget, nggak punya adab!” Vielga menggerutu, ia menahan tangis karena perasaannya mulai tak enak.
Vivi yang sejak tadi diam pun akhirnya mulai bicara. Wanita paruh baya itu tampak mengusap lembut pipi anaknya. Mau bagaimanapun mereka harus menerima fakta kalau pria yang selama ini mereka percayai telah melakukan kecurangan di tempat kerjanya.
“Papamu memang terbukti korupsi dan banyak utang tanpa sepengetahuan kita, Nak. Tadi, Papa mengakui itu saat nelpon Mama,” tutur Vivi menjelaskan dengan bibir gemetar, tak kuasa menahan air mata yang sejak tadi terus menetes tanpa bisa ditahan.
Sekujur tubuh Vielga menjadi lemas seketika, dia nyaris kehilangan keseimbangan lantaran kaget mendengar bahwa ayahnya memang bersalah. Vielga yang tadinya terus menyangkal, kini hanya bisa terdiam dengan air mata saling berjatuhan.
Syaraf di tubuhnya mati rasa, lidahnya kelu untuk mengatakan sesuatu, membuat Vielga hanya bisa diam membisu. “Nggak, Mah, nggak mungkin. Papa pasti difitnah, Papa nggak mungkin melakukan itu!” Gadis itu masih coba berpikir positif, dia hanya percaya dengan pendiriannya meski sang ibu sudah menjelaskan semuanya.
“Kamu harus sabar, inilah kenyataan, Sayang. Kalau papamu tidak korupsi dan banyak utang, rumah kita nggak bakalan disita sama bank. Sekarang kita harus pergi dan cari tempat tinggal.”
Sama seperti Vielga, Vivi pun sangat terpukul dengan kejadian ini. Kendati demikian, dia harus berusaha tegar, dia masih punya kewajiban untuk mengurus anaknya seorang diri. Menjaga amanat sang suami. Selagi suaminya di penjara, akan menjaga putri mereka dengan baik.
Vielga pun ambruk di atas lantai, dia menjerit histeris karena berita pahit ini memang benar adanya. Vielga tak kuasa menahan tangis, tak peduli banyak orang di sini.
“Kalau rumah kita disita, kita akan tinggal di mana lagi, Mah?” Vielga menangis terisak, menengadahkan wajahnya menatap ibunya yang berusaha tegar, walau hati dan pikirannya hancur berantakan. “Oh iya, Mah, Papa 'kan masih punya apartemen, kita tinggal di sana aja, gimana?”
“Nggak bisa, Nak. Bukan hanya rumah, semua aset papamu sudah disita. Termasuk apartemen dan kendaraan. Kita sekarang udah nggak punya apa-apa lagi.”
Senyum yang terukir di bibir Vielga pun luntur seketika, saat ini mereka sudah tidak punya apa pun. Bahkan tempat tinggal saja tak lagi punya, entah akan tinggal di mana setelah ini.
“Terus kita bakal pergi ke mana, Mah? Vie gak mau pergi, Vie mau di sini, Mah!” Vielga menolak pergi dari rumah yang sudah puluhan tahun dia tempati.
“Mau gimana lagi, Nak, semuanya udah ludes. Mama akan cari tempat tinggal yang baru buat kita. Mama juga akan cari pekerjaan supaya kamu bisa kuliah dan melanjutkan pendidikanmu.”
Selang beberapa jam diam dalam kebisuan, semua isi rumah sudah berhasil dikeluarkan. Para pria yang ada di sana pun mulai meninggalkan halaman satu persatu. Di depan pintu, sudah tertulis baliho kalau rumah mereka telah disita oleh bank.
“Sekarang ini bukan rumah kalian, silakan bawa barang-barang kalian dan pergi dari sini!” usir pria tadi dengan tatapan tajam.
“Aku mohon, Pak, izinkan kami tinggal di sini sampai besok. Hari sudah malam, kami bingung harus pergi ke mana,” pinta Vivi, coba memohon pada pria itu agar memberinya kesempatan. Di malam yang sudah gelap, pasti akan sulit mencari tempat tinggal, apalagi sanak keluarga mereka tak ada satu pun yang dekat dan semuanya berada di kota lain yang jaraknya cukup jauh.
“Saya nggak peduli, itu urusan kalian, bukan urusan saya! Kalau tidak mau saya bersikap kasar, sebaiknya cepat pergi dari sini dan bawa barang-barang kalian! Jangan pernah berani datang ke sini karena ini bukan lagi hak kalian!”
Ketika Vielga ingin menimpali, Vivi menahan tangannya agar diam. Terpaksa mereka harus pergi meninggalkan rumah itu meski dengan perasaan campur aduk. Mereka hanya membawa beberapa koper berisi pakaian yang sudah dikemas oleh Vivi sebelum Vielga pulang.
***
Tak terasa, sudah satu bulan mereka tinggal di kontrakan yang terbilang cukup sederhana karena kontrakan petakan itu berukuran kecil. Rupanya tabungan yang tersisa di ATM Vielga sudah habis dan tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari, Vivi pun sampai jatuh sakit lantaran terlalu sedih dan memikirkan suaminya yang mendekam di dalam penjara.
“Aku udah nggak punya uang, Mah. Kayanya, Vie berhenti kuliah saja deh. Vie mau kerja, Mah, apalagi sekarang Mama lagi sakit. Jadi, mulai sekarang, biar Vie aja yang kerja cari uang. Mama istirahat, ya!” lirih Vielga sembari menggenggam tangan ibunya yang terlihat lemah.
“Ma-afkan Mama, Nak. Mama nggak bisa menafkahi dan mengurusmu dengan baik.” Vivi merasa gagal. Niat hati ingin menggantikan suaminya, dia justru malah jatuh sakit.
“Mama nggak perlu minta maaf, nggak apa-apa kok, Mah. Sekarang, Mama harus fokus sama kesembuhan Mama dulu. Urusan uang, biar jadi tanggung jawab aku, Mama nggak perlu mikirin itu.”
Keteguhan Vielga membuat hati ibunya terenyuh. Vielga yang terbiasa hidup dalam limpahan kemewahan dan dimanjakan, ternyata bisa mengerti posisi mereka sekarang. Bahkan, Vielga mau mencari pekerjaan agar kebutuhan mereka terpenuhi.
“Tapi, Nak. Kamu belum lulus kuliah, mau kerja apa dan kerja di mana?”
“Apa saja, Mah, yang penting kerja bener.”