SUARA YANG TERPENDAM

779 Kata
Malam membungkus kota dalam keheningan yang pekat saat Pak Wijaya membuka pintu rumahnya. Udara dingin menyelinap dari sela-sela jendela, dan suasana rumah seperti biasa: rapi, sunyi, dan terlalu luas untuk dihuni seorang diri. Tapi malam ini, keheningan itu berbeda. Lampu ruang tamu sudah menyala. Dan di sana, duduk seseorang yang tak ia duga akan menunggunya. Ryan. Putranya duduk di sofa dengan punggung tegak dan wajah serius. Tangan terlipat di d**a, dan pandangan matanya menusuk tajam ke arah ayahnya. Tak ada senyum. Tak ada sapaan. Pak Wijaya menutup pintu perlahan dan menatap Ryan. “Kapan kamu datang nak?” Ryan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap ayahnya tanpa berkedip. Udara di antara mereka terasa menegang. “Ayah tahu aku paling tidak suka dijodohkan,” kata Ryan akhirnya, pelan, tapi tajam. “Dan ayah tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Aku selalu bisa.” Pak Wijaya membuka mulut, ingin bicara, tapi Ryan mengangkat tangannya, menghentikan ayahnya. “Sejak Ibu meninggal, aku hidup sendiri. Aku belajar sendiri. Aku membentuk diriku sendiri. Dan selama semua itu, Ayah di mana?” suaranya mulai bergetar. “Sibuk. Proyek. Rapat. Urusan luar negeri. Selalu hal lain. Selalu yang bukan aku.” Pak Wijaya menghela napas panjang. “Ryan—” “Tidak, dengar dulu.” Nada suara Ryan kini lebih tinggi. “Selama ini aku diam. Karena aku pikir... mungkin memang begitu cara Ayah mencintaiku. Lewat uang. Lewat fasilitas. Lewat kemewahan. Tapi malam ini, Ayah melampaui batas.” Langkah Pak Wijaya perlahan masuk ke ruang tamu. Ia duduk di kursi seberang Ryan, menunduk sebentar, lalu menatap mata putranya. “Aku tak berniat menyakitimu, Nak.” Ryan tertawa kecil, kering. “Tapi Ayah sudah melakukannya. Dengan cara paling halus. Ayah pikir makan malam itu hanya perkenalan? Tidak. Itu tekanan. Itu cara Ayah menjebakku tanpa terlihat menjebak.” “Aku hanya ingin kau bahagia,” kata Pak Wijaya, pelan. “Aku melihat Karin, dan aku melihat kebaikan yang mungkin bisa menyentuh hatimu. Aku tidak memaksa “Tapi Ayah juga tidak pernah bertanya!” potong Ryan dengan nada tinggi. “Tidak sekali pun. Kau tidak pernah menanyakan apa aku bahagia. Tidak pernah menanyakan apa aku punya pilihan. Dan sekarang... tiba-tiba muncul dengan janji masa lalu? Kau tahu betapa asingnya itu bagiku?” Pak Wijaya terdiam. Tatapannya penuh rasa bersalah, tapi ia tidak menyela lagi. Ia membiarkan putranya meluapkan apa yang selama ini tertahan. “Aku berdiri sendiri selama bertahun-tahun,” lanjut Ryan. “Saat Ibu meninggal, dunia runtuh. Tapi Ayah malah larut dalam kerja. Aku mengerti… mungkin itu caramu bertahan. Tapi aku juga terluka. Dan luka itu tidak sembuh hanya karena Ayah berkata, ‘ini untuk kebahagiaanmu.’” Pak Wijaya menunduk. Ryan menarik napas berat, suaranya melemah. “Aku tidak ingin pernikahan yang dirancang oleh masa lalu. Aku tidak ingin cinta yang tumbuh dari rencana orang tua. Kalau aku mencintai seseorang… biarlah karena aku memilih, bukan karena Ayah pernah berjanji pada sahabatmu dua puluh tahun lalu.” Keheningan menyelimuti ruang tamu. Hanya suara detik jam yang terdengar, menandai betapa waktu berjalan lambat saat hati sedang kacau. Setelah beberapa saat, Pak Wijaya akhirnya bersuara. Pelan. Tulus. “Ayah… bersalah. Ayah terlalu lama menganggap kamu masih kecil. Dan terlalu lama percaya bahwa memberi adalah bentuk cinta paling besar. Ternyata… mendengar jauh lebih penting.” Ryan tidak menjawab. Ia menatap lantai, matanya merah. “Ayah hanya ingin kamu tidak sendiri,” lanjut Pak Wijaya. “Tapi kalau dengan cara ini malah menyakitimu… Ayah akan mundur. Tak ada paksaan. Tidak akan pernah ada. Janji itu... hanya harapan masa lalu. Bukan penjara masa depanmu.” Ryan mengusap wajahnya. Dalam diam, ia mencoba mengatur napas. Suaranya mulai tenang. “Aku tahu Ayah tidak jahat. Tapi... kita terlalu lama asing, Yah. Terlalu banyak jarak. Dan jarak itu... tidak bisa langsung hilang hanya karena makan malam.” Pak Wijaya menunduk pelan. “Aku tahu. Dan aku bersedia mulai dari awal. Jika kau izinkan.” Untuk pertama kalinya malam itu, Ryan menatap ayahnya tanpa marah. Ada luka yang belum sembuh, ada jarak yang belum selesai, tapi juga ada kejujuran yang akhirnya terucap. Ryan berdiri, mengambil jaketnya. “Aku butuh waktu.” Pak Wijaya mengangguk. Tapi kapan pun kamu siap bicara… Ayah di sini. Bukan sebagai pengusaha. Tapi sebagai ayahmu.” Ryan mengangguk kecil. “sudah terlalu malam aku akan pulang”,ucap Ryan Lalu melangkah pergi, meninggalkan ruang tamu. yang kini terasa lebih manusiawi. Tidak lagi sekadar rumah mewah yang sepi. Tapi tempat di mana akhirnya, dua hati mulai saling menyentuh, meski pelan. Wijaya melihat putra nya meninggalkan rumahnya. Di balik jendela, langit malam tidak lagi terlalu gelap. Ada cahaya samar dari bintang—mungkin pertanda, bahwa luka lama bisa perlahan sembuh... jika keberanian untuk bicara akhirnya muncul.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN