PENYESALAN YANG TAK TERUCAP

729 Kata
Langit pagi masih kelabu ketika Ryan membuka matanya. Ia tertidur di sofa apartemen, masih mengenakan kemeja dari malam sebelumnya. Kepalanya berat, pikirannya sesak. Percakapan dengan ayahnya berputar-putar seperti kaset rusak di kepalanya. Ia bangkit pelan, melangkah ke dapur, membuat kopi tanpa banyak berpikir. Biasanya ia langsung disibukkan oleh jadwal rapat atau email yang tak pernah habis. Tapi pagi ini… semua terasa sunyi. Seperti dunia menahannya untuk diam dulu. Di meja, ponselnya bergetar. Satu panggilan masuk dari nomor kantor ayahnya. Ia mengangkat dengan malas. “Halo?” Suara panik langsung menyambutnya. “Tuan Ryan! Ini Yanti, dari kantor Ayah… Kami baru saja dapat kabar dari rumah sakit. Mobil Pak Wijaya—tadi pagi—dia… mengalami kecelakaan di jalan tol menuju bandara.” Ryan langsung berdiri. Cangkir kopinya jatuh dan pecah di lantai. Tapi ia tidak peduli. “Apa maksudmu kecelakaan?” tanyanya cepat, suara bergetar. “Ayah Anda dibawa ke Rumah Sakit Sentosa. Tim medis bilang keadaannya… kritis.” Tanpa berpikir, Ryan menyambar jaket dan kunci mobil. Jantungnya berpacu, pikirannya kalut. Tangannya gemetar saat menekan lift. Tubuhnya seperti bergerak sendiri, hanya didorong satu hal—takut. Takut kehilangan sebelum sempat benar-benar berdamai. Lorong rumah sakit seputih salju, tapi tidak menenangkan. Bau alkohol dan disinfektan menyeruak, menusuk hidung Ryan saat ia berjalan cepat menuju ruang gawat darurat. Di sana, seorang perawat berdiri menunggu, wajahnya muram. “Pak Wijaya… telah meninggal dunia saat dalam perjalanan,” katanya, lirih. Dunia Ryan runtuh dalam satu kalimat. Tidak ada persiapan. Tidak ada salam perpisahan. Tidak ada kesempatan kedua. Tubuh Ryan limbung. Ia terduduk di kursi besi dekat dinding, memegangi kepalanya. Napasnya memburu, matanya menatap kosong ke lantai. Semalam... hanya semalam mereka bicara. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka mencoba mengurai jarak. Baru akan memulai, baru akan membuka pintu. Tapi pagi ini, pintu itu tertutup selamanya. “Bisa kami antar ke ruang jenazah?” suara perawat memecah pikirannya. Ryan mengangguk perlahan. Diam-diam. Dunia di sekelilingnya terasa mengambang. Ruang jenazah dingin dan hening. Bau bunga dan formalin bercampur jadi satu. Ryan berdiri mematung di depan tubuh ayahnya yang terbujur diam di atas ranjang logam, wajahnya tertutup kain putih. Ia tidak menangis. Belum. Ia hanya berdiri, lama, memandangi tubuh yang dulu begitu jauh darinya, dan kini takkan pernah bisa lagi menjawab apa pun. Tak lama kemudian, pintu dibuka perlahan. Pak Budi masuk, diikuti Bu Retno dan Karin. Wajah mereka murung, pakaian mereka gelap. Bu Retno menggenggam tangan suaminya erat, sedangkan Karin membawa setangkai bunga krisan putih di tangan kanan. Pak Budi mendekati Ryan, memeluknya sebentar. “Kami datang segera setelah dengar kabar. Kami semua berduka, Ryan. Sangat.” Ryan hanya mengangguk, wajahnya pucat. Karin tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah ke ranjang, meletakkan bunganya di samping tubuh Pak Wijaya. Kemudian berdiri di samping Ryan, menatap diam. Beberapa menit kemudian, tangis Ryan akhirnya pecah. Sunyi ruangan itu tak bisa lagi menampung rasa yang ia pendam. Ia berlutut di samping ranjang, memeluk tubuh dingin itu dan menangis seperti anak kecil. “Ayah…” isaknya. “Kenapa baru sekarang kita mulai bicara? Kenapa Ayah pergi sebelum semuanya selesai…?” Pak Budi mendekat, menepuk pundaknya. “Ayahmu mencintaimu, Ryan. Aku tahu itu. Walau tak selalu dalam bentuk yang kamu harapkan.” Ryan mengangguk sambil terisak. Ia tahu. Ia selalu tahu. Tapi tahu tidak pernah cukup ketika waktu tidak lagi memberi kesempatan. **** Pemakaman berlangsung cepat. Langit mendung, angin pelan meniup dedaunan gugur. Para pelayat berdiri dalam diam saat peti kayu diturunkan perlahan. Tak ada musik. Hanya gumaman doa dan tangis tertahan. Ryan berdiri paling depan. Pucat. Tegap. Tapi matanya sembab. Di belakang, Karin berdiri di antara orang tuanya, memandang Ryan dalam diam. Ia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya lelaki itu sekarang. Ia tidak pernah benar-benar mengenal Ryan… tapi pagi ini, ia melihat sisi manusiawi yang begitu rapuh. Setelah tanah terakhir ditabur, dan para pelayat mulai pulang satu per satu, Ryan tetap berdiri. Karin mendekatinya. “Kamu tidak sendiri,” katanya pelan. Ryan menoleh perlahan, menatapnya. Untuk pertama kalinya, sorot mata dingin itu pudar. Berganti luka. Berganti hampa. “Tapi rasanya seperti itu.” Karin tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sisinya. Menemani. Dan di bawah langit yang masih mendung, dua orang asing itu—yang dijodohkan oleh masa lalu—berdiri dalam kehilangan yang tak pernah mereka duga akan datang begitu cepat. Tidak ada kata cinta. Tidak ada janji. Hanya keheningan yang mereka bagi… dan mungkin, dari situ, sesuatu bisa tumbuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN