DATANG TANPA JANJI

663 Kata
Langit pagi itu cerah. Awan-awan tipis bergerak perlahan seperti sedang berjalan kaki di atas langit kota. Toko Flamboyan baru saja dibuka. Angin berembus lembut melalui celah pintu depan yang sedikit terbuka, membawa aroma bunga yang segar dan menenangkan. Karin berdiri di dekat rak bunga matahari. Tangannya sibuk mengelap dedaunan yang basah oleh sisa semprotan air. Senyum kecil terbit di wajahnya ketika ia melihat salah satu kuntum bunga matahari yang tumbuh lebih tinggi dari biasanya. “Kamu bandel ya,” gumamnya pelan sambil membetulkan posisi tangkainya. Suara musik klasik mengalun lembut dari speaker kecil di sudut ruangan. Suasana seperti ini selalu menjadi tempat pelarian paling aman bagi Karin. Di tengah dunia yang berubah, bunga-bunga tetap jujur. Mereka mekar atau layu, tapi tak pernah pura-pura. Tiba-tiba, bel pintu toko berdenting pelan. Karin menoleh, berharap melihat pelanggan tetap atau kurir pengantar bahan. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Ryan. Karin menegakkan tubuh. Tangannya yang masih memegang kain lap sedikit gemetar, entah kenapa. Ryan berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana, bukan setelan jas seperti biasa. Matanya tak setajam sebelumnya. Ada kelelahan, ada… sesuatu yang tak bisa Karin terjemahkan. Mereka saling memandang beberapa detik. Hening. Lalu Karin bicara lebih dulu. “Halo…” “Halo,” jawab Ryan pelan. Suaranya dalam, tapi berbeda dari nada dingin yang pernah ia dengar saat makan malam itu. Lebih... manusia. “Aku… cuma lewat,” tambah Ryan. “Lalu… entah kenapa… kakiku membawaku ke sini.” Karin meletakkan kain lap ke atas meja dan tersenyum kecil. “Tidak apa-apa. Kamu boleh masuk. Ini… toko yang selalu terbuka, kan?” Ryan melangkah masuk. Bel pintu kembali berdenting di belakangnya. Ia menatap sekeliling. Deretan mawar, krisan, melati, lili, semuanya tampak asing namun menenangkan. Aroma lembut bunga menyambutnya, seperti menyambut seseorang yang tersesat dan ingin istirahat. “Aku belum pernah ke tempat seperti ini,” katanya lirih. Karin membungkuk pelan, menata posisi pot kecil di dekatnya. “Maksudmu toko bunga?” Ryan mengangguk. “Aneh ya. Sudah dua puluh enam tahun hidup, tapi… aku bahkan tidak tahu nama-nama bunga, selain mawar.” Karin tertawa kecil, tidak mengejek, hanya tulus. “Itu normal. Banyak orang hanya tahu bunga lewat momen—ulang tahun, pernikahan, atau… pemakaman.” Kata terakhir membuat keheningan kembali turun. Ryan menunduk sedikit, lalu berkata, “Terima kasih… untuk bunganya. Yang kamu bawa ke rumah sakit.” Karin tersenyum lembut. “Aku tidak tahu harus bawa apa selain bunga. Itu satu-satunya bahasa yang kupahami.” Ryan memandangi pot lili putih di dekat mereka. “Aku pikir... aku datang ke sini bukan cuma karena kaki membawaku. Mungkin karena... aku lelah. Rumah terlalu sunyi.” Karin mengangguk. “Kadang… tempat yang penuh bunga bisa memberi kehangatan yang tak bisa didapat dari tembok-tembok rumah.” Mereka terdiam lagi. Tapi kali ini bukan hening yang kikuk. Ada ruang yang hangat di antara mereka, seperti dua orang yang pernah berjalan di sisi berseberangan jalan dan akhirnya berhenti untuk saling melihat. Karin membungkuk, mengambil satu tangkai bunga berwarna ungu pucat. “Ini statice,” katanya sambil menyodorkan bunga itu ke Ryan. Ryan menerimanya dengan bingung. “Statice?” “Simbol kenangan abadi,” ujar Karin, tersenyum kecil. “Orang jarang memilihnya. Tapi menurutku, bunga ini paling jujur.” Ryan menatap bunga itu lama, lalu berkata pelan, “Aku suka. Diam, sederhana… tapi punya makna.” Karin menunduk sedikit, menyembunyikan rona di pipinya. “Aku senang kamu datang. Bukan karena janji. Bukan karena orang tua kita. Tapi karena kamu sendiri yang memilih datang.” Ryan menatapnya. Pandangannya lembut, tapi dalam. “Aku juga nggak tahu ini akan jadi apa. Tapi kalau kamu tidak keberatan… mungkin aku bisa datang lagi, kadang-kadang. Duduk. Lihat bunga. Bicara sedikit.” Karin mengangguk. “Datanglah kapan pun. Toko ini... tidak hanya untuk orang yang bahagia. Tapi juga untuk yang sedang mencari tenang.” Ryan tersenyum. Senyum pertama yang Karin lihat sejak malam makan malam itu. Bukan senyum sopan yang dibuat-buat. Tapi senyum pelan, seperti retakan cahaya di balik dinding.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN