Bab 1. Istri Pengganti
“Cepat, ganti pakaianmu, pakai gaun ini! Apa yang kamu pikirkan?!” sentak wanita paruh baya bersetelan modis itu.
Sementara gadis yang dia suruh untuk berganti pakaian hanya termangu, menatap kesal kepadanya yang tampak menggebu-gebu.
“Tapi aku enggak mau menikah, Mam. Kenapa aku harus menggantikan Megan?” protesnya seraya meremas gaun putih yang ada di pangkuan.
“Lalu harusnya siapa? Haruskah aku yang menggantikan kakakmu, Nora?” Wanita yang Nora panggil mami itu kembali membentaknya.
“Tapi, Mam ….”
“Berhenti mengeluh! Cepat berdandan, aku tidak ingin semuanya berantakan. Atau haruskah kuhentikan pengobatan ayahmu? Agar kamu setuju!” kecamnya.
Nora mendelik, mendengar ancaman dari wanita itu, dia lekas bangkit dari duduk dan mulai berganti pakaian. Di sisi lain, wanita yang mengancamnya itu tersenyum puas melihat sikap patuh sang putri. Seraya melipat tangan di d**a, dia melenggang menghampiri Nora.
“Gitu dong, itu baru anak mami Utari,” bisiknya seraya membelai wajah cantik Nora.
Nora hanya mendengkus pasrah, tak memiliki pilihan lain. Terpaksa harus menikahi calon suami Megan–kakak tirinya. Entah apa sebabnya, Megan tiba-tiba pergi meninggalkan Indonesia sehari sebelum resepsi pernikahan tertutup itu berlangsung.
Utari meninggalkan Nora yang kini sedang didandani oleh WO profesional. Senyum puasnya tak berhenti tersungging, bagai vilain yang baru saja menguasai dunia seperti angannya.
“Akhirnya kamu berguna juga.”
***
Beberapa saat kemudian, Nora duduk di pelaminan tanpa tamu undangan, semua terasa hampa meskipun dekorasi gedung teramat mewah. Sesekali tatapannya mengedar ke seluruh penjuru ruang berlapis kain putih yang dihiasi bunga-bunga, dan lampu-lampu yang indah. Lalu, embusan napas berat mengiringi, mengungkapkan betapa tak ingin dia berada di posisi itu.
Lalu Nora terusik, ketika mendengar suara langkah mendekat. Pandangannya berpaling ke arah sumber suara. Seketika dirinya terpaku, saat melihat siapa yang datang.
Degh!
Mata Nora membeliak saat melihat seorang pria tampan, tinggi tegap mengenakan tuksedo hitam, lengkap dengan dasi kupu-kupu. Rambutnya ditata dengan rapi, khas pengantin pria. Sungguh mempesona, siapa pun akan memuja pria itu, jika tak tahu bagaimana sikap aslinya yang seperti kecerdasan buatan. Tanpa nurani.
Langkahnya terhenti tepat di hadapan Nora, tak lama kemudian pria itu berjongkok seraya mengeluarkan sebuah kotak merah dari sakunya.
“Adhara Elnora!” panggilnya, membuat Nora mengerahkan semua fokus padanya.
Lagi, hanya embusan napas yang menjadi jawaban gadis bermata lebar itu.
“Pakai ini, tapi jangan berharap apa pun!” tegasnya, sembari menyodorkan sebuah cincin berlian yang cantik. Secantik Nora.
Dengan ragu, Nora mengambil benda berbentuk lingkaran itu, lalu menyematkan di jari manisnya. Sekali lagi napasnya yang teramat berat terembus. Air matanya menitik begitu saja, mengingat mimpi yang selama ini ditata, harus ambruk oleh sebuah pernikahan. Benar, calon suaminya adalah pria kaya dari keluarga pejabat. Namun, itu bukan mimpinya, dia hanya ingin hidup mandiri dengan usahanya, bukan bergantung pada siapa pun.
“Saga, kamu yakin ini yang terbaik? Bukankah tunanganmu itu Megan? Kenapa harus aku yang menikah denganmu?” Akhirnya, pertanyaan itu terlontar juga.
Mendengar Nora mengoceh, Saga hanya tersenyum miring.
“Jika berani, tanyakan itu pada Megan. Dia yang menjadikanmu pengganti dan tawananku,” sahut Saga, terdengar begitu angkuh, membuat Nora semakin merasa kesialan merengkuh seluruh hidupnya.
“Tawanan katamu?” tanya Nora.
“Ya, lantas apa? Seorang yang diserahkan untuk kepentingan keluarga, bukankah itu tawanan?” sahut Saga, dia kembali berdiri.
Nora sedikit mendongak mengikuti pergerakan pria di hadapannya. Menatap tajam wajah tampan penuh keangkuhan itu. Wajah tampannya seolah lenyap oleh kata-kata tajam yang dilontarkan.
“Kamu tenang saja, ini tidak akan lama, status kita hanya di atas dokumen, kamu bisa hidup seperti maumu,” ujar Saga, kemudian memasukkan tangan ke saku celana, dan melenggang pergi. Tanpa menunggu jawaban dari gadis yang kini menjadi istrinya. Ya, istri pengganti lebih tepatnya.
“Pernikahan macam apa ini?” gumam Nora, seraya menatap nanar punggung Saga yang perlahan menjauh.
Hatinya lagi-lagi terasa diremas, setelah pernikahan paksa ini, dia harus hidup bersama pria yang dikenal tanpa hati. Bagaimana mungkin, dirinya yang penuh kelembutan, harus hidup seatap dengan orang yang memiliki sifat berbanding terbalik denganya.
***
Setelah resepsi kecil yang hanya dihadiri dua keluarga, Nora pun pulang ke rumah yang telah disiapkan Saga. Dia memang terbebas dari Utari. Namun, kini harus menghadapi situasi yang sepertinya tak jauh lebih baik.
“Tidak ada malam pertama, tidurlah di kamarmu dan bawa barangmu ke kamar itu!” Saga menunjuk sebuah kamar berpintu putih di rumahnya.
Setelah hening cukup lama, yang terdengar hanya kalimat-kalimat tak menyenangkan dari pria itu.
“Lakukan apa pun yang kamu mau, tapi jangan mengusikku. Aku akan menganggap kamu tidak ada,” lanjutnya, lagi-lagi tanpa menunggu jawaban dari Nora.
Tubuh Nora membeku untuk beberapa saat, rumah mewah itu terasa lebih mencekam dibandingkan dengan pelaminan yang sepi. Membayangkan setiap hari harus berinteraksi dengan Saga, membuat Nora teramat frustrasi.
“Haruskah aku melakukan kewajibanku sebagai istri?” celetuk Nora, tepat saat Saga hendak membuka pintu kamarnya.
“Tidak perlu memikirkan itu! Lakukan apa pun yang kamu mau, jangan saling memedulikan dan aku pun akan bersikap sama. Tapi ….”
“Tapi apa?” sela Nora.
Saga membalikkan badan dan menatap Nora yang terlihat begitu penasaran.
“Tapi, kita akan tetap bersandiwara di depan keluarga. Ingat, jangan ekspose dirimu di depan media, paham?” pesan Saga, kemudian dia masuk dan menutup pintu kamarnya.
“Ck! Oke, baiklah, aku akan tetap hidup sesukaku, sesuai kesepakatan. Lagian, kalau kamu tidak menyukaiku, kenapa setuju aku sebagai pengganti Megan?” balas Nora, setengah berbisik. Dia memang takut jika Saga akan mendengar keluhannya.
Sejurus, Nora menyeret koper menuju kamarnya. Tak banyak yang Nora bawa, dia menyimpan itu di lemari yang teranyata sudah penuh dengan barang-barang mewah.
“Apa aku tawanan yang dimanjakan?” gumam Nora, lalu tersenyum kecut.
“Sudahlah, aku cukup bertahan setahun dengan manusia angkuh itu, setelah itu aku bisa menjalani hidupku lagi,” lanjutnya masih berbicara sendiri.
Nora yang merasa lelah pun berniat untuk mandi dan tidur, tetapi tepat saat hendak memasuki kamar mandi, suara getar ponsel mengalihkan perhatiannya. Nora pun berbalik dan mengambil ponsel dan mendapati Utari meneleponnya.
Nora menarik napas panjang, jelas wajahnya menyiratkan rasa enggan. Namun, menjawab panggilan sang ibu adalah sebuah kewajiban untuknya.
“Kenapa kamu lama sekali?!” Padahal, baru saja panggilan itu tersambung. Bukannya nada keibuan yang lembut, melainkan bentakan dan teriakan yang menyambut.
“Aku baru sampai, dan baru saja mau mandi,” jawab Nora, dia berusaha jujur, meskipun ibunya tetap tak peduli.
“Ingat pesanku, bukan. Pakai apa yang kubelikan, buat malam ini berkesan untuk suamimu. Pastikan dia tak mengingat Megan, paham?” cerocos Utari.
“Mam–”
Baru saja Nora akan menjawab ocehan Utari yang tentu saja membuatnya kesal. Namun, pintu kamar yang terbuka lebar mengagetkannya. Nora bergeming saat melihat Saga datang dengan wajah penuh amarah. Lalu, dia merebut ponsel Nora.
“Berhenti mengganggu Nora, dan biarkan kami melewati malam ini dengan tenang!” ucapnya pada Utari.
Setelag berkata kasar pada ibu mertuanya, Saga mengakhiri panggilan dan mematikan ponsel Nora.
“Nih! Kamu tak bisa bicara, kenapa kamu hanya mengiyakan apa yang ibumu katakan! Emosi diciptakan untuk digunakan, manfaatkan itu!” ketus Saga, lalu berbalik dan pergi.
Nora tercengang dengan sikap pria itu, entah peduli atau emosi. Apa pun itu, setidaknya telah berhasil menyelamatkan Nora dari ocehan Utari. Nora masih termangu melihat kepergian Saga dari kamarnya. Entah sejak kapan pria itu berada di balik pintu.
“Membingungkan,” ucap Nora, lirih.
Bersambung …