bc

Satu Suami, Tiga Cinta

book_age18+
0
IKUTI
1K
BACA
love-triangle
family
love after marriage
second chance
arranged marriage
goodgirl
drama
bxg
city
childhood crush
like
intro-logo
Uraian

Misi untuk mengantar Laras ke sekolahnya.

chap-preview
Pratinjau gratis
Misi Antar Laras
Hari itu, seperti biasa, sarapan pagi bersama keluarga menjadi awal hariku sebelum berangkat ke kampus. Namun, rencana kuliahku sedikit tertunda. Ibu memintaku mengantar adik perempuan saya, Laras, ke sekolah karena Paijo, supir pribadinya, berhalangan. Ternyata Paijo sedang menjemput penggantinya untuk menjadi supir adik bungsuku, Dimas. Di rumah Ibu, suasana pagi terasa ramai. “Pagi, Bu,” sapaku kepada Ibu Sri Rahayu. “Pagi, sayang,” jawab Ibu. “Mas Bayu mana?” tanyaku, mencari keberadaan kakakku. “Itu…,” jawab Ibu, menunjuk ke arah dapur. “Oh,” gumamku. Bayu muncul dari dapur, “Pagi, Bu.” “Pagi, Bay,” sahut Ibu. “Dimas mana, Bu? Kok nggak ikut sarapan?” tanya Bayu. “Nanti juga turun, kok, Bay,” jawab Ibu. “Oh, oke. Emm, Bu…” Bayu memulai pembicaraan. “Iya, Bay, kenapa?” tanya Ibu. “Sudah dapat supir untuk Dimas belum?” tanya Bayu. “Sudah, Bay. Paijo sedang menjemputnya,” jawab Ibu. “Oh, gitu. Sudah jam setengah enam, Bu. Saya berangkat duluan ya,” pamit Bayu. “Bay, Bay, tunggu!” Ibu memanggil Bayu. “Iya, Bu, kenapa?” “Kamu antar Laras ke sekolahnya ya,” pinta Ibu. “Paijo kan sedang menjemput supir pengganti untuk Dimas.” “Loh, kok Bayu, Bu? Kan sudah ada Paijo. Emangnya Paijo ke mana, Bu?” Bayu bertanya heran. Laras pun ikut bertanya, “Iya, Bu, memangnya Lik Jo ke mana?” Ibu menjelaskan, “Lik Jo sedang menjemput penggantinya untuk mengantar Dimas ke sekolah. Jadi, kamu saja yang antar Laras ke sekolahnya hari ini ya, Bay.” “Iya, iya, Bu. Dik, cepat ya makannya,” pinta Bayu pada Laras. “Siap, Mas,” jawab Laras. Ibu memberikan uang tambahan kepada Bayu, “Bay, ini uang tambahan untuk kamu. Et… ada tapinya.” “Tapinya apa, Bu?” “Tapi ada syaratnya,” jawab Ibu. “Ada syaratnya? Apa syaratnya, Bu?” Bayu penasaran. “Kamu antar jemput Laras ke sekolahnya,” kata Ibu. Bayu ragu, “Antar jemput Laras sekolah, Bu? Tapi kan Bayu…” “Terserah kamu, Bay. Kalau mau, kamu ambil. Kalau enggak, ya Ibu bisa telepon Bagas saja untuk antar jemput Laras ke sekolahnya,” ancam Ibu. “Bagas? Bagas kan teman sekolahnya Laras juga, Bu,” kata Bayu. “Iya, memang. Apalagi kan Ibu setuju kalau Bagas dengan Laras. Bagas juga orang ningrat seperti kita,” kata Ibu. (Kalimat ini sebaiknya dihilangkan atau direvisi karena terdengar kurang pantas). “Ya sudah deh, Bayu ambil,” Bayu akhirnya setuju dan mengambil uang tambahan tersebut. Perjalanan menuju sekolah Laras tak berjalan mulus. Di tengah jalan, aku melihat Bagas. Aku pun menghentikan mobil dan menghampirinya sebentar. Di dalam mobil, Laras mengingatkan, “Mas Bayu, jalannya jangan ngebut ya.” Bayu menjawab dengan ketus, “Terserah gue dong!” “Ih, Mas Bayu, kalau elu ngebut, gue bilang Ibu nih!” ancam Laras. Bayu langsung ketakutan, “Eh, iya jangan, jangan dong, Dik!” “Ya sudah, buruan!” pinta Laras lagi. “Iya… iya…” keluh Bayu. Di Gang Mawar, suasana pagi terasa berbeda. “Dhik, buruan, sudah jam setengah enam ini, nanti telat!” keluh Bagas pada Dhika yang masih belum siap berangkat sekolah. “Sabar, Bagas,” jawab Dhika. Di mobil, aku melihat Bagas di Gang Mawar. “Eh, Mas Bay… kok berhenti sih?” tanya Laras saat aku menghentikan mobil di Gang Mawar. “Stss… adik kecil, diam. Adik kecil diam di mobil saja ya. Hehe…” kataku pada Laras. Aku menghampiri Bagas dan Dhika. “Assalamu’alaikum,” sapaku. “Wa’alaikumussalam,” jawab Bagas dan Dhika. “Eh, Bang Bayu,” sapa Bagas. “Iya, emm… gue mau kasih kesempatan nih buat elu,” bisikku. “Kesempatan apa, Bang?” tanya Bagas. “Itu adik kecil gue, Laras. Laras,” jawabku. “Laras? Kenapa, Bang?” “Laras bareng sama gue. Ini kesempatan kamu untuk jalan berduaan sama dia. Gimana? Mau nggak?” tanyaku. Bagas ragu, “Mau sih, tapi Lik Jo?” “Tenang aja, Paijo lagi menjemput temannya kok di kampungnya. Gimana?” ujarku meyakinkan Bagas. “Emm… boleh, Bang,” jawab Bagas. “Oke. Oh ya, ini…” Aku memberikan uang tambahan dari Ibu. “Apaan ini, Bang?” “Ini sebenarnya uang tambahan Abang. Nah, karena kamu mau antar jemput Laras ke sekolah hari ini, uang tambahan Abang untuk kamu saja,” jelasku. “Oh, gitu. Ya sudah, kalau begitu sekarang Laras-nya mana?” “Tuh, di mobil gue. Tunggu sebentar ya,” jawabku. “Iya, Bang,” seru Bagas. “Gas, pegang helmnya dulu ya,” pinta Dhika. “Iya, ada helm dua. Dhika, saya suruh naik angkot saja deh. Hehe…” batin Bagas. Kembali ke mobil, Laras bertanya, “Kok lama banget sih, Mas?” “Oke, kita jalan, yah,” kataku, mengabaikan pertanyaannya. “Kenapa?” tanya Laras. “Mogok, Dik,” jawabku. “Terus gue?” “Itu ada Arjuna-mu, Dik. Hehe…” “Arjuna-ku? Hemm…” keluh Laras. “Hehe…” aku hanya tertawa. Bagas bertanya, “Bang, kenapa sama mobilnya?” “Mobil gue mogok, Gas. Emm… tah, Dik…” jawabku. “Apa?” tanya Laras lagi. “Bareng Arjuna-mu saja ya,” kataku. “Hemm… iya,” keluh Laras. “Sukses ya, Gas,” bisikku. “Oke, makasih ya, Bang,” balas Bagas, berbisik. Di Gang Mawar, situasi sedikit kacau. “Bagas, pegang dulu buku ku,” pinta Dhika tanpa menyadari bahwa yang ada di dekatnya adalah Laras, bukan Bagas. Bagas langsung marah saat menyadari kesalahpahaman itu. “Eh, Dhika!” Dhika tersadar dan langsung meminta maaf, “Iya, eh Laras… Maaf ya, aku suruh kamu memegangi buku ku. Maaf juga ya, Bagas, sayangmu.” Bagas memberikan uang kepada Dhika, “Sudah, stop. Ini…” “Apaan nih, Gas?” tanya Dhika. “Ongkos. Kamu naik angkot saja ya,” jawab Bagas. “Tapi kan, Gas…” Dhika mulai protes, tetapi Bagas memotongnya dengan berbisik, “Stss… elu ini kan kakak gue. Ngalah kenapa sih sama adiknya sehari saja. Mumpung gue dapat kesempatan.” Dhika bertanya dengan berbisik, “Kesempatan apaan, Gas?” “Kesempatan untuk PDKT sama dia, Dhika,” jawab Bagas, masih berbisik. “Oh, gitu. Bilang dong dari tadi, Bagas. Ya sudah, sana berangkat,” kata Dhika, berbisik. Laras mengingatkan mereka, “Haa… jam enam lagi! Eeehhh… kalian berdua ini mau berdebat terus di sini atau mau berangkat sekolah sih? Nih, lihat, sudah jam enam, nanti telat!” Dhika pamit, “Oke… gue naik angkot. Mumpung sudah ada tuh angkotnya.” Sebelum pergi, Dhika mengirimkan foto Bagas dan Laras yang sedang naik motor berdua melalui w******p kepada Bagas. Aku baru bisa berangkat setelah Laras, Bagas, dan Dhika pergi ke sekolah, meskipun sebenarnya mobilku tidak benar-benar mogok. Di mobil Bayu.. "Akhirnya mereka berangkat ke sekolah juga, dan akhirnya bisa berangkat ke kampus juga. Huh.." kata Bayu menghela nafas. Di motor Bagas.. "Loh, loh, kok berhenti sih, Bagas? Kenapa?" tanya Laras. "HPku getar, sebentar ya.." jawab Bagas. "Jangan, mendingan kita jalan saja. Ini sudah mau masuk sekolah, nanti telat bagaimana?" tanya Laras, sedikit cemas. "Iya, iya deh.. Aku jalan.." jawab Bagas, namun tetap terpaku pada ponselnya. Laras mendesah, "Ayo jalan! Kok nggak jalan sih? Nanti telat loh ke sekolahnya." Bagas masih sibuk dengan ponselnya, "Iya, tapi…" "Tapi apa, Mas Bagas?" tanya Laras lagi, sedikit kesal. Bagas akhirnya menoleh, "Pegangan dong…" katanya, sambil tersenyum jahil. "Haa… maksudnya?" tanya Laras, pura-pura tidak mengerti. "Hadeh… Nggak peka juga ya kamu. Maksudnya tangan kamu di sini nih… dipeluk erat gitu aku. Hehe…" jawab Bagas, sambil memegang tangan Laras dengan erat. Laras tertawa kecil, "Hemm, iya deh… Sudah ya?" "Belum dong…" jawab Bagas, semakin mendekatkan tubuhnya ke Laras. "Haa… Belum? Perasaan sudah deh. Terus apalagi?" tanya Laras, heran. "Dagu kamu sekarang menempel di pundak aku…" pinta Bagas. "Oh, kayak gini?" tanya Laras, menempelkan dagunya di pundak Bagas. "Iya, benar. Lalu… tangan kamu tetap di sini, sambil aku elus-elus. Aku nyetirnya satu tangan saja, nah sekarang kita berangkat. Hehe…" kata Bagas, masih menggenggam tangan Laras erat-erat. Laras hanya bisa tersenyum, menyadari rayuan Bagas. Dalam hati, ia bergumam, "Modus…" Di angkot Bang Jali… Dhika memperhatikan Bagas dan Laras dari kejauhan, lalu berkomentar pada Bang Jali, "Emm… Dasar Bagas, kang modus jalan, Bang…" SMA Garuda Jakarta… "Yah… Tuh kan benar kita telat! Mas Bagas sih…" keluh Laras, sedikit kesal. "Ya maaf, hehe…" kata Bagas, tertawa kecil melihat ekspresi Laras. "Terus sekarang gimana?" tanya Laras. "Kita panjat pagar sekolahnya," jawab Bagas, penuh semangat. "Haa, panjat pagar sekolah? Tapi kan aku pakai rok, Mas! Terus juga gimana caranya manjat pagar sekolah? Tinggi tau, aku kan nggak bisa memanjatnya…" kata Laras, panik. "Kamu tenang saja, kan ada aku, hehe…" jawab Bagas, sambil tersenyum. "Haa, maksudnya?" tanya Laras, bingung. "Kamu… aku gendong, dan kita turun bersama ya," jawab Bagas. "Di gendong Mas Bagas? Aku pakai rok, Mas…" kata Laras, sedikit ragu. "Terus kenapa kalau kamu pakai rok? Gimana, mau nggak?" tanya Bagas, menggoda. "Emm… iya deh, eh… tapi jangan ngintip ya…" jawab Laras, sedikit malu. "Iya…" seru Bagas, sambil tersenyum. "Ya sudah…" Laras setuju. "Kalau ngintip paling cuma sedikit… hehe…" goda Bagas lagi. "Mas Bagas…" protes Laras, memukul lengan Bagas pelan. "Hehe… bercanda, Ras…" kata Bagas, tertawa. "Ya sudah, kita panjat…" sambung Laras. "Oke… aduh…" keluh Bagas, setelah mengangkat Laras. "Kenapa?" tanya Laras lagi. "Berat banget sih kamu, Ras. Hehe…" jawab Bagas, sedikit terengah-engah. "Enak saja aku berat! Awas ngintip…" keluh Laras, sambil memukul lengan Bagas lagi. "Hehe… iya…" seru Bagas, sambil berusaha memanjat pagar sekolah dengan Laras di gendongannya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
58.0K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook