Perantara Hujan
Ana berganti baju secepat mungkin. Butiran hujan yang mengerubungi wajahnya, ia biarkan begitu saja. Tanpa basuh dan tanpa make up. Karena memang di pondoknya tidak ada make up sama sekali, kecuali ada yang menyeludupkannya. Segera setelah merasa cukup, Ana berlari menuruni tangga.
Lantai pondok yang licin akibat terpaan hujan menghambat pertemuan Ana dengan Gus Fikri. Silih berganti santriwati menyeru agar larinya kian dipercepat. Tidak enak membiarkan seorang gus tampan berkulit kuning langsat itu sendirian.. Auranya yang setentram cahaya mentari di pagi hari, membuat semua orang rela berlama-lama dengannya.
Sayang, Ana sama sekali tak tertarik. Meski teman-temannya sering iri dengan kedekatannya dan Gus Fikri, Ana tetap tak acuh. Ia lebih memilih diam, menyembunyikan perasaannya dari siapapun. Andai saja, teman-temannya tahu tentang yang terjadi di masa lalu, mereka akan tahu betapa dekat dengan Gus Fikri itu merupakan cobaan bukan kenikmatan.
“Ah, itu kan hanya masa lalu An. Masa yang selalu meronta-ronta minta dikenang. Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Yang penting sekarang adalah Gus Fikri,” goda Reni di suatu waktu.
“Apaan sih ....” protes Ana.
Reni satu-satunya santriwati yang telah mengetahui masa lalu si bidadari balkon itu. Namun hal itu tak merubah apapun. Reni tetap saja memaksa Ana untuk menjatuhkan hatinya pada Gus Fikri.
Gemelutuk hujan mengetuk genteng. Debit air yang terlampau banyak, mengalir begitu deras. Beberapa ada yang merembes, masuk melalui celah-celah genteng yang rusak. Sedikit demi sedikit air itu menetes membuat santriwati gusar dan menaruh ember di bawahnya. Sedetik. Dua detik. Keletak-keletik air mulai terdengar dari ember itu.
Tetes air itu juga melukis warna hijau di sebuah ukiran kayu jati bertuliskan “Hidup Mulia Berawal dari Prihatin”. Tepat di bawah tulisan itu terukir kata “Kakawin Sutasoma”. Slogan di atas sangat sering terdengar, hanya saja ukiran di bawahnya itu sedikit mengganjal. Kakawin?
Andai saja bukan karena kata itu, Ana pasti tak bimbang. Kata kakawin itu telah merubah garis hidup gadis mungil itu. Bahkan ia menerapkan sebuah kakawin untuk menjadi kunci atas jawaban masalahnya sekarang ini.
“Ngapunten Gus, saya lama,” pinta Ana. Tangan kanannya menelungkup di atas kepala, melindungi dari serbuan hujan.
Si gus tersenyum manis. Giginya yang berderet rapi tampak mengkilap. “Namanya juga wanita, lama berdandan itu wajar,” ujarnya halus, “kenapa hujan-hujannan? cepat masuk!” sambungnya kemudian.
Andai hati Ana sudah terbuka, ia pasti akan mudah terlena dengan cara bicara Gus Fikri yang santun. Terlebih sikap lembut serta caranya menghormati wanita itu sungguh membuat semua perempuan tertunduk kagum. Nahas, Ana tetap tak tertarik padanya.
“Kita langsung saja ya!”
“Nderek mawon Gus.”
Mobil mulai melaju pelan, menembus tirai hujan yang kian menipis. Kaca mobil berembun manis. Sedang dalam mobil setetes air mata mulai terkikis. Hari ini, Ana akan mengukirkan sebuah janji berlapis.
Di depan ibunya nanti, Ia akan udarkan semua rasa. Tentang dia, tentang si gus dan tentang sebuah ikatan sakral. Pondok tahfidz yang sarat akan etika serta sumber ajaran Jawa, telah membentuknya menjadi perempuan setya[1] serta mitayani[2]. Hari itu akhirnya akan datang juga.
Dua tahun atau mungkin sudah tiga tahun yang lalu. Tepat di mana Ana berangkat menuju pondok tahfidz berbalur ajaran arif Jawa ini. Tepat di mana seorang kang santri melepasnya untuk menunaikan tugas mulia. Hari itu, hari di mana hujan menjadi pengantar rindu.
***
“Pergilah! Penuhi tugas mulia itu ....” lirih seorang santri.
Pandangannya dan Ana melekat di udara. Ana tersipu lalu menunduk. Batinnya mulai berkecamuk, antara ikhlas dan tidak. Cintanya sudah di depan mata, namun cinta itu malah menghendakinya pergi.
Kang santri berwajah tirus itu menangkap keraguan di wajah Ana. Ia pun jongkok, memandang wajah gadisnya yang tertunduk. “Semuanya akan lebih indah jika engkau menjadi hafizah seutuhnya.”
“Tapi kenapa Kang? Kenapa harus di pondok itu? Kenapa nggak di pondokmu aja.” Mulut Ana menggigit bibirnya, sekuat tenaga ia menahan isak.
“Abah dan Umi nggak ridho An, mereka lebih ridho kalau kamu di pondok itu. Sebagai santri sudah sepatutnya kamu mematuhi apa yang gurumu perintahkan. Bukannya begitu yang diajarkan kitab Adab al-Alim wa al-Muta’llim?”
Ana mengangguk pelan.
Hening. Suara semilir angin yang berarak bersama mendung, begitu jelas terdengar.
“Lagian ... kalau kamu tetap di pondok ini, nanti bukannya fokus hapalan, malah fokus ngejar Akang. Hahaha.”
“Seperti biasa, receh.” Sekeras tenaga Ana memaksaan sebuah senyuman terukir di wajahnya.
“Biarin, yang penting aku bisa melihat senyum manismu, hehehe,” papar kang santri sembari menunjuk bibir Ana yang mengembang.
Hening sejenak. Air muka pemuda itu berangsur berubah. “Kamu pasti bisa, An. Sembari kamu menjadi sempurna dengan hapalanmu, aku juga akan mempantaskan diri untukmu kelak.”
“Kupegang janjimu, Kang,” Ana terdiam sembari menghela napas. “Selamat tinggal!” ucapnya kemudian.
“Jangan pernah ucapkan selamat tinggal, kita pasti akan berjumpa lagi.”
Ana tersenyum. Gurat wajahnya semakin terang oleh kesenangan. “Assalamu’alaikum, Kang.”
“Wa’alaikumussalam.”
Mobil sedan berwarna hitam metalik membawa Ana pergi. Rintik hujan tiba-tiba turun, merebakkan bau tanah kering. Rinainya semakin deras seiring kepergiannya. Sebelum benar-benar menghilang, Ana melambaikan tangan. Memberi raut wajah terbaik kepada belahan hatinya.
Meninggalkan kenangan manis tak semudah merajutnya. Meski berjuta kali kenangan yang lain dibangun, kenangan manis tetap akan bertahta dalam jiwa. Begitu juga dengan cinta pertama. Banyak orang bilang bahwa cinta pertama tak akan pernah lekang dimakan usia. Pahit-manis cinta pertama akan senantiasa menduduki singgasana hati.
Linang air mata, merebas di jilbab Ana. Wajahnya kebas. Berulang kali ia lafadzkan surat Ar-Ra’d ayat 28,
“... alaa bidzikrillahi tathmainnul quluub.”
Hati bisa menjadi tentram hanya dengan mengingat Allah. Demikianlah yang diterangkan ayat suci itu. Ayat suci yang senantiasa dijaga oleh Sang Kholik. Begitu agung dan meresap hingga ke jiwa. Mendawai merdu di hati Ana. Irama puitis yang tak pernah terkalahkan oleh pujangga manapun itu, menyadarkan gadis mungil itu bahwa Allah senantiasa bersamanya.
Ana mengembuskan napas. Gambaran masa depan yang indah mulai terangkai dalam benaknya. Janji untuk sama-sama menjadikan hari esok kian baik demi menuntaskan sabda Nabi Muhammad, telah terpatri di dadanya.
“Aku janji akan menjadi hafizah, Kang,” batin Ana mantap.
***
Kisah ini memang tak berjalan mulus. Dan Ana tahu itu. Ia hanya tak menyangka, hatinya akan segoyah ini pada pilihan yang bahkan secara nalar sudah dapat dijawab. Tapi hati memang tak bisa dituntut, ia bisanya dituntun. Menuntunnya pun harus pelan-pelan sampai menemukan jawaban.
Setetes hujan merangsek masuk ke celah jendela mobil, menetes tepat di tangan halus Ana. Hujan memang selalu mengantarkan rindu. Lihatlah! Hanya dengan sebuah tetes hujan, Ana ingat semua masa lalunya. Ingatan tentang perjalanan Al-Qur’annya. Perjalanan yang penuh akan ajaran kakawin dan ketulusan niat dalam hati sanubari.
Dengan lirih, Ana mengucapkan basmallah sembari terus mengulang hapalan. Ia ingin seiring perjalanan ini, hatinya tenang dan menata seluruh masa lalunya. Mungkin di sana ada setitik jawaban untuk membantunya menemukan jawaban yang tepat dan tidak meyakitkan.