Tiga tahun lalu. Hari ketika Ana masih berada di pondok yang dulu.
Di ruangan setengah kumuh itu, konon dihuni oleh wanita berbaju putih polos. Kabar burung itu seringkali bersiul, membuat setiap santri tak berani ke lantai dua masjid. Entah siapa yang menerbangkan kabar burung itu, tapi anehnya semua santri percaya tanpa perlu bukti terlebih dulu. Namun hingga kini, Ana belum pernah melihatnya. Ia yang senantiasa hafalan di lantai dua masjid tak sedikit pun merasakan hawa keberadaan makhluk mistis.
Mungkin karena sesama wanita, kuntilanak itu tidak tertarik padanya. Sejauh yang Ana dengar “kuntilanak” itu menampakkan diri pada kang-kang santri. Sempat ia berpikir kalau yang mereka lihat bukan “kuntilanak”, melainkan dirinya sendiri. Bagaimana pun bentuknya, Ana ingin membuktikan mitos itu benar atau tidak. Ia telah menunggu “kuntilanak” penghuni lantai dua ini selama seratus hari penuh sembari menghafalkan Al-Qur’an.
“Nanti kalau dia menampakkan diri bagaimana?”
Sebuah bisikan samar-samar terdengar. Ana pun mendekat, memastikan bahwa suara itu berasal dari manusia.
Ngapain kang-kang santri malam-malam ke sini? batinnya.
Lantai dua masjid ini memang milik umum. Baik santri putra atau putri bisa menempatinya. Tapi kalau malam, santri putra dilarang menjamah area tengah. Mereka hanya bisa sampai balkon, sementara akses untuk ke dalam, dihalangi oleh pintu.
“Gini aja takut. Gimana besok kalau udah berkeluarga, ha? Mau ditinggalin tuh istri dan anakmu kalo lihat hantu?”
Ana terkekeh mendengarnya. Dua kang santri yang sedang uji nyali, membuat Ana punya ide cemerlang. Tak berpikir panjang ia pun mematikan semua lampu lalu menunggu di daun pintu, menunggu saat-saat mereka memaksa masuk.
Daun pintu mulai bergoyang.
“Loh kok balik?” kang santri yang tadi ketakutan bertanya.
“Apa gunanya coba? Pintunya aja terkunci,” jawab suara yang lain.
Ana menepuk jidadnya. Ia tak sadar kalau pintu itu terkunci dari dalam. Dengan sangat hati-hati, ia pun memutar kunci dan engsel pintu yang rusak membuat daun pintu itu terbuka dengan sendirinya.
“Pan ....” panggil seorang santri, suaranya bergetar. Ketakutan.
Orang yang dipanggil berhenti lalu berbalik.
“Nah gitu dong! Sekarang kita tinggal masuk.”
“Loe yakin?”
“Iyalah.”
Entah apa tujuan dua kang santri ini, yang pasti Ana sudah bersiap menakut-nakuti mereka.
Desiran angin membuat bulu kuduk berdiri. Suasana yang sempurna untuk menakut-nakuti mereka. Cat dinding yang sudah luntur, ditambah lagi lampu di ruangan ini mati, sudah cukup menyeramkan. Ana beruntung. Itung-itung hukuman bagi mereka yang melanggar batas teritorial.
“Hihihi ....” Ana mencoba menirukan suara kuntilanak.
“Pan ... denger nggak?”
“Denger.”
Kang santri yang semenjak tadi ketakutan menarik-narik lengan temannya. Dia menunjuk-nunjuk sosok putih yang tengah bersender di tiang pondasi.
“Kuntilanak!”
“Hihihi ....” Ana kembali mengulangi tawanya.
Kang santri yang ketakutan itu lari tunggang langgang.
“Berisik!” Kang santri satunya menipuk sosok putih itu dengan buku.
“Ouch,” Ana mengaduh.
“Oh jadi hantu zaman sekarang bisa merasakan sakit?”
Ana menyibak mukena yang dipakainya. “Aku bukan hantu, dodol.”
“Dasar tukang iseng.”
Kang santri yang tidak ada takutnya itu menghidupkan lampu.
“Dasar pelanggar wilayah,” cela Ana.
“Heh, aku ke sini ada perlu.”
“Alah alasanmu aja kali.”
“Mau percaya silakan, nggak silakan. Bukan urusanku!”
“Akan kulaporkan ke pengurus bahwa ada santri putra yang melanggar aturan wilayah.”
“Eh, yang bukain pintu siapa ya? Kau lah alasan kami bisa masuk. Jadi jika kami dihukum, kau pun kena getahnya. Paham?”
Ana diam. Dia mengutuki dirinya sendiri karena kalah pintar bicara dengan kang santri di depannya. Ana tak dapat melakukan apa-apa lagi, selain memandang ketus kang santri yang tengah mengambil sebuah Al-Qur’an.
“Minggir!” katanya tak kalah ketus.
“Niat hati ingin mengerjai malah dikerjain. Apes.”
Ana pun merapikan mukenanya.
“Ini kan bukunya si Pan yang buat nabok aku tadi.” Ana mengambil sebuah buku di dekatnya.
“Diary.” Matanya seketika berbinar-binar melihat judul buku itu. Bibirnya menyunggingkan senyuman.
“Balas dendam dimulai,” bisiknya puas.
Ana menggelar kasur. Ia menelungkupkan badan lalu menyanggah dadanya dengan bantaj. Tangannya membuka diary milik Pan. Gadis mungil itu sempat bimbang antara membukanya atau tidak. Tapi demi rasa sebal yang masih bercongkol di hatinya, ia pun membukanya. Bodo amat. Mungkin ketika bertemu nanti, diary ini bisa menjadi bahan olokan untuk membalas si Pan.
P-a-n-j-i.
“Oh jadi nama kang santri yang nyebelin itu Panji. Hem ... nama yang gagah.”
Ana membuka halaman berikutnya lalu membacanya perlahan.
12-12-2015
Dear diary
Sudah setahun berlalu dan selama itu tidak ada yang aku takutkan lagi di dunia ini. Orang yang kucinta telah pergi seutuhnya. Kini aku sendiri dalam buaian kesedihan. Andai saja Pak Kiai tak berbaik hati, aku sudah diungsikan di panti seperti puluhan anak korban bencana alam ini. Tuhan kau berhasil membunuhku tanpa merenggut rohku.
Secarik koran tertempel rapi di halaman berikutnya. “Sebuah Dusun Hilang Ditelan Longsor”, begitulah bunyi judul koran itu. Ana pun membacanya lagi dan lagi.
13-12-2015
Dear diary
Ayah pernah berkata bahwa anak yang berumur tujuh belas itu haruslah kuat. Sekarang umurku dua puluh dan ya aku cukup kuat. Sehari setelah aku dibawa ke dalem Pak Kiai yang tak lain adalah Abahku, aku menolak untuk tidur di dalemnya. Lebih baik aku menyantri saja. Bukankah aku cukup kuat, Yah?
Ana merinding ketika menyadari bahwa Panji mengalami kerinduan yang sangat menyakitkan. Dia sangat merindukan orang tuanya yang terkubur longsor.
14-12-2015
Dear Diary
Aku tak punya barang untuk kukenang, itulah alasanku menulis diary. Semuanya telah terkubur longsor. Rumah, ibu, ayah dan semuanya telah ditelan bumi. Mengapa Tuhan tak membiarkanku tertelan di sana saja. Aku rindu ayah dan ibu. Tapi ke mana aku harus melabuhkan kerinduan ini? Jasad mereka pun tidak ditemukan, bahkan aku ... aku .... aku pun tak memiliki secarik foto orang tuaku? Ke mana aku harus melabuhkan kerinduan ini? Hanya kau, wahai diaryku. Mungkin teman-temanku akan menganggapku alay, tapi hanya kau satu-satunya pengingat wajah mereka. Orang tuaku yang terkubur lengkap bersama kenangannya, meninggalkanku di sini seperti anak jalanan.
Sebongkah air mata jatuh di kertas. Spontan Ana mengusapnya lalu mengamatinya heran. Ia jarang menangis, tapi diary itu berhasil membuatnya terharu. Tangannya membalik halaman berikutnya. Di sana ada sketsa wajah laki-laki dan perempuan. Tintanya sedikit luntur terkena tetesan air. Ana menebak bahwa itu adalah tetesan air mata Panji ketika melukisnya.
Di pojok kanan bawah tertulis “maaf wajahmu jadi jelek Yah, Bu ...”. Tulisan itu membuat air mata Ana tak dapat dibendung lagi. Sempurna sudah ia menangis. Lambat laun Ana menyadari betapa pentingnya buku diary itu bagi si Panji. Sayang ia tidak tahu bagaimana caranya agar buku ini sampai kepadanya lagi.
Malam itu, Ana tidur dengan wajah kebas. Ia merasa dirinya mengerti sepenuhnya tentang kang santri itu. Sedihnya, marahnya, dan kebingungannya serasa menyatu dalam hati Ana. Ia ingin menjadi kekuatan kebahagiaan bagi Panji. Bukan karena suka, melainkan mengamalkan hidup sesuai namanya yang artinya kebahagiaan. Jika ia bisa bahagia, mengapa orang lain tidak?