Jawaban Bunda

1510 Kata
Aku kembali menarik napas dalam lalu perlahan mengembuskannya. Membulatkan tekad, aku mengetuk pintu kamar bunda. "bunda udah tidur?" tanyaku gugup dibalik pintu. "masuk La, bunda lagi pake skincare" sahut bunda dari dalam. lagi, aku mengembuskan napas sebelum membuka pintu kamar bunda. "kenapa La? mau tidur sama bunda?" goda bunda. "bunda" panggilku pelan. Mungkin bunda langsung tersadar dengan nada suara ku, segera tubuhnya yang menghadap kaca berbalik menghadapku. "kenapa sayang?"  Tanpa menjawab, aku melangkah mendekati bunda, duduk di samping tempat tidur menghadap bunda. "itu map apa?" tanya bunda melihat map yang aku bawa. "aku mau cerita sama bunda, tapi janji bunda jangan marah" aku menatap bunda dengan berbagai pandangan. Takut, gugup,pasrah, berharap. Semua campur aduk. "cerita apa?" "tapi janji jangan marah bunda" "bunda usahakan. Jadi, apa yang udah kamu lakukan La?" "aku keterima beasiswa" "wah, hebat!!!! kampus man-" "di korea"lanjutku memotong pertanyaan bunda. Wajah bunda yang gembira langsung berubah datar setelahnya.  "jangan bercanda sama bunda" tegas bunda. Aku menggelengkan kepala "aku gak bercanda bunda, aku serius. Aku keterima di salah satu kampus dan aku juga dapat beasiswa, full" "kenapa kamu gak bilang sama bunda sebelumnya?!" bentak bunda yang membuat aku begitu takut. "karena aku tahu bunda gak akan izinkan aku" lirihku. "dan kamu pikir sekarang bunda bakal izinin kamu?!" bunda kembali membentak, marah dan kecewa, itu yang aku lihat dari matanya. "setidaknya aku sudah mencoba bunda"lirihku yang kemudian memilih menunduk. "kamu ingin mencari ayah mu dan meninggalkan bunda. begitu?! kamu gak mau tinggal sama bunda lagi? iya?!" Aku langsung menggeleng mendengar tuduhan bunda. "bukan begitu bunda, aku-" "lalu bagaimana La? gak cukup kamu tinggal sama bunda? kasih sayang yang bunda kasih kurang?!" "engga bunda. Engga" jawabku lalu menatap bunda. Demi Tuhan, aku tidak pernah merasakan kurang kasih sayang dari bunda. Aku juga setuju jika aku dan bunda sudah cukup, tapi aku tetap ingin bertemu sosok itu. Ayah, meskipun sekali seumur hidupku. Bunda menghela napas, mencoba meredakan emosinya "Biarkan dia dengan hidup barunya La dan kita dengan hidup kita"  "bunda, aku hanya ingin bertemu ayah, melihat sosok itu meskipun hanya dari kejauhan. Setidaknya aku bisa menggambarkan sosok itu dengan apa yang aku ketahui dan bukan aku hafal dari cerita bunda" lirih ku. "sulit La, kamu akan sulit mencarinya, mungkin butuh waktu yang lama" "makanya Ila cari beasiswa disana bun, Ila tahu menemukan ayah tidak mungkin hanya satu atau dua hari. Jika Ila ke Korea dan hanya mencari ayah, Ila perlu uang yang sangat banyak karena akan menghabiskan waktu yang lama. Tapi jika Ila sambil kuliah, Ila punya waktu setidaknya empat tahun dengan biaya lebih kecil karena ada beasiswa. Selain itu, jika pahitnya Ila memang di takdirkan tidak bertemu dengan ayah, setidaknya usaha Ila di Korea tidak sia-sia. Ila masih bisa mendapatkan gelar sarjana disana." jelasku dengan panjang. Aku turun dari tempat tidur dan jongkok di hadapan bunda, menggenggam tangan bunda dengan mata yang saling menatap. "sulit La, bunda tidak ingin kamu sakit hati nantinya" Aku menggeleng, masih menggenggam tangan bunda "engga. Ila sadar posisi Ila, Ila kesana hanya ingin melihat ayah, bukan untuk mendapat pengakuan apalagi merusak rumah tangganya. Melihat dari jauh sudah cukup buat Ila" "kasih bunda waktu" Aku mengangguk, tentu saja aku akan memberikan waktu. Bunda mau mempertimbangkan saja sudah  sangat bagus. Setidaknya sekarang ini aku tinggal perbanyak doa agar jawaban bunda nanti sesuai dengan keinginanku. Bagaimanapun aku sudah mempersiapkan ini cukup lama dan ini bukanlah hal yang mudah. Untuk sampai di titik ini benar-benar rasanya berat.  "sekarang kamu tidur, udah malem" Aku tersenyum, bangun lalu memeluk erat bunda yang membalas pelukanku. "Ila sayang banget sama bunda" "bunda juga sayang Ila" Aku kembali ke kamar, tadinya bunda menawarkan untuk aku tidur di kamarnya meskipun nada suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya. Aku menolak. Aku ingin memberi bunda waktu untuk berpikir. Di kamar aku hanya diam, tidur sambil menatap langit-langit. Sah saja jika ada yang bilang aku egois dan tidak menghargai perasaan bunda. Aku jelas sangat tahu jika bunda dan ayah berpisah karena sebuah keadaan yang dimana bunda menjadi pihak paling dirugikan dan di sakiti. Dan fakta tersebut aku tetap melakukan ini semua demi menjawab rasa penasaranku dan menyakiti bunda. Egois, aku benar-benar egois. Tapi seperti yang aku bilang untuk kesekian kalinya. Aku hanya ingin melihat sosok ayah secara langsung. Aku tidak akan datang ke hadapannya untuk menyebutkan siapa aku dan menuntut sebuah pengakuan atau parahnya menuntut warisan dan merusak keluarganya yang sekarang, menghancurkan hati anak dan istrinya dengan kedatanganku. Tidak. Aku tidak akan melakukan itu. Setidaknya, kalaupun aku bisa menyapa, aku akan menyapa sebagai orang asing gila yang tiba-tiba memberi salam sambil tersenyum. Meskipun kemungkinan itu sangat kecil. Hingga pikiran-pikiran itu membuatku lelah dan tertidur. Aku terbangun saat bunda mengetuk pintu kamar, meraih ponsel di nakas aku melihat jam yang ternyata sudah pukul enam. "Bangun La" suara bunda masuk kedalam pendengaranku. "iya bun" sahutku. Aku segera bangun dan pergi ke kamar mandi, mencuci wajah dan gosok gigi. "sarapan" ucap bunda saat mengetahui kehadiranku di ruang makan tanpa melihatku. Biklah, tidak ada sapaan hangat pagi ini. Mood bunda tidak terlihat baik. Aku duduk dan tanpa mengatakan apapun bunda langsung menyiapkan makanan untuk ku. Kami makan dengan hening. Tanpa obrolan, tanpa kehangatan.  Selesai makan aku langsung cuci piring, sedangkan bunda ke kamar. Bersiap untuk kerja.  "bunda berangkat" hanya itu yang bunda ucapkan dan lagi-lagi tanpa melihatku bunda langsung pergi. Berharap kedinginan ini hanya hari ini saja.  Tapi harapanku berbeda dengan kenyataan. Sudah empat hari bunda bersikap dingin. Diam dan hanya berbicara untuk memanggilku makan. Aku memang belum punya pacar tapi aku yakin akan lebih memilih pacarku yang diam daripada bunda. Ini benar-benar menyakitkan dan sudah tidak kuat. Bunda satu-satu sosok berharga dalam hidup ku dan ketika bunda seperti ini rasanya seperti banyak belati menancap di jantungku. Hingga pagi ini aku putuskan untuk kembali berbicara dengan bunda mengenai pendidikan dan mencari ayah. Semalaman sudah aku pikirkan dan putuskan. Aku akan menyerah. Aku tidak akan melanjutkan itu semua, aku akan melanjutkan pendidikan di tempat pilihan bunda dan tidak akan pernah mengungkit tentang ayah. Bunda lebih berharga dari segalanya termasuk keinginanku. "duduk" Masih dengan nada dingin bunda menyuruhku duduk, bersiap memulai sarapan. Ketika bunda meletakkan piring sarapanku yang sudah terisi. Aku mulai makan, begitupun dengan bunda. Sesekali aku melirik bunda yang fokus memakan sarapannya. "bunda, Ila mau ngomong sesuatu" aku berbicara dengan lirih dan bunda langsung menatapku. "maafin Ila, bunda. Ila egois dan Ila udah nyakitin bunda dengan keinginan Ila. Ila minta maaf bunda." bunda masih diam dan hanya menatapku "bunda itu orang yang paling berharga untuk Ila, sampai kapanpun dan Ila nyesel karena udah nyakitin bunda. Jadi Ila putuskan untuk tidak melanjutkan semuanya. Ila akan tetap disini sama bunda dan melanjutkan hidup seperti biasanya. Tapi Ila mohon, bunda jangan diemin Ila begini, bunda. Ila sedih" dan air mataku menetes, tidak terisak tapi dengan deras terus mengalir.  Bunda masih diam, hingga akhirnya bunda bangun dan meninggalkan aku sendiri di ruang makan. Meletakkan wajahku di atas meja, aku menangis, mulai terisak. Rasanya begitu sakit. Aku kerasa usapan lembut di kepalaku.  Perlahan aku mengangkat wajah, bunda sudah duduk kembali di sampingku, mengusap kepalaku lembut. Mata bunda merah, jelas kalau bunda menahan tangis. "maafin bunda" Aku menggeleng masih terus menangis, lalu memeluk bunda. "Ila yang salah bun, Ila egois. Maafin Ila" "engga sayang. Ila betul, Ila berhak melihat sosok itu. Ila gak salah. Bunda salah karena terlalu egois sama Ila" suara bunda terdengar begitu serak. Bunda melepas pelukan ku, kedua tangannya menangkup pipiku, mengusap lembut mereka dan menghapus air mata. "Selama belasan tahun bunda yang sudah egois sama Ila. Ila melakukan semua hal yang bunda perintahkan. Tapi melihat sosok ayah juga hak Ila dan bunda gak mau lebih egois lagi untuk melarang Ila. Ila berhak menentukan apa yang Ila mau kedepannya, termasuk mencari ayah. Tapi bunda mohon, jangan merusak apa yang mereka miliki sekarang."  "jadi bunda izinin Ila pergi?" aku bertanya dengan suara sedikit tercekat karena sisa tangis. Bunda tersenyum lalu mengangguk "bunda izinkan kamu pergi" Aku kembali memeluk bunda, lebih erat. Merasa bersyukur memiliki bunda dalam hidup. Bunda yang tidak pernah membuatku merasakan kekurangan kasih sayang. Bunda yang selalu melindungiku, mengajariku banyak hal. "terima kasih bunda. Aku sayang bunda" "bunda lebih sayang kamu" balas bunda lalu mencium pucuk kepalaku. “dan ini, semoga ini bisa membantu Ila” bunda menyodorkan map coklat kepadaku. Dengan wajah bingung aku menerimanya, membuka map tersebut dan melihat isinya. “ini-” suaraku tercekat melihat isinya. “catatan pernikahan ayah sama bunda di salah satu masjid, rumah sakit tempat bunda kerja dan alamat ayah dulu juga kantornya. Tapi maaf, photo-photonya tidak ada karena sudah dibakar nenek kamu” “nenek?” Bunda mengangguk “nenek marah karena kondisi bunda. Hamil dan tidak memiliki suami. Dia marah pada ayah Ila dan membakar semua photo. Meminta bunda melupakan ayah” “terus kalau nenek tahu Ila ke Korea?” bayangan nenek yang marah benar-benar terlihat jelas di pikiranku. Bunda mengusap kepalaku “jangan takut, nenek itu urusan bunda” Tersenyum lebar, kemudian mengangguk dan memeluk bunda. Aku percaya bunda. Ketika bunda bilang bahwa aku jangan takut, maka aku tidak akan pernah takut. Ada bunda di bersamaku, melindungiku. “terima kasih bunda”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN