Mulai Perjalanan

2030 Kata
Setelah perdebatan yang terjadi cukup alot dan berlangsung tidak sebentar, akhirnya nenek memberiku izin untuk pergi. Bunda adalah orang yang paling berperan besar dalam usaha membuju nenek. Bagaimanapun, aku adalah cucuk nenek satu-satunya. Sulit untuk melepas aku pergi jauh, apalagi ke tempat dimana bunda pernah merasakan sakit yang begitu dalam. Nenek hanya tidak ingin jika cucuknya bernasib sama dengan anaknya. "pokoknya kamu jaga diri, jangan cari jodoh orang sana!" ulang nenek entah untuk yang keberapa kali. Aku mengerti, nenek hanya tidak ingin kisah bunda terulang lagi kepada diriku. "iya nek, nenek juga pokoknya harus pindah ke rumah bunda" jawabku. Selama ini, nenek memang tinggal sendiri, di kecamatan lain. "suruh bunda kamu aja yang sering jenguk nenek" nenek melirik bunda dengan ekor matanya. "iya, nanti aku sering datang ke rumah mama" sahut bunda tidak ingin memulai perdebatan lagi. Nenek kembali memelukku, mencium wajahku. Meberikan doa-doa terbaik untukku. Selesai dengan nenek, aku beralih ke bunda, mata bunda sudah berkaca-kaca. Aku yang tidak ingin menangis malah meneteskan air mata terlebih dulu. "jaga diri ya sayang, selalu hubungi bunda setiap hari" bunda mengusap lembut pipiku, air mata bunda juga sudah mengalir di kedua pipinya. Aku hanya mengangguk, suaraku tertahan di tenggorokan karena menahan agar tidak meraung. "jangan telat makan, fokus belajar juga. Jangan boros" lanjut bunda lagi. Aku kembali mengangguk, lalu memeluk bunda. Bunda balas memelukku, mengusap lembut punggungku. Ah, rasanya aku akan selalu merindukan pelukan bunda. "Qila pergi ya Bun" pamitku setelah melepas pelukan dengan bunda. Bunda mengangguk sambil tersenyum. Aku beralih menatap nenek, "Qila pamit ya nek" ulangku kepada nenek. "iya, hati-hati ya sayang" Aku mengangguk. Menghela napas, aku tatap dua orang yang paling penting dalam hidupku secara bergantian. Rasanya memang berat, tapi aku sudah mengambil keputusan. Berharap keputusan ini adalah hal yang terbaik. Perlahan aku membalikkan tubuh, berjalan menjauhi mereka sambil sesekali berbalik dan melambaikan tangan. Sekarang aku tahu bagaimana perasaan para anak rantau saat harus berpisah dengan orang yang mereka cintai. Hanya doa yang bisa menguatkan setiap langkah. *** Setelah melewati perjalanan selama kurang lebih tujuh jam, aku berhasil sampai di Korea Selatan. Aku mengeluarkan ponsel dari saku, menghubungi kenalan ku, Grace -yang juga penerima beasiswa-. Tidak butuh lama Grace menerima teleponku. Aku langsung memberi tahu keberadaanku dan Grace langsung meminta agar aku tetap di tempatku karena dia akan datang. Beruntung aku sudah mengatur agar nomorku bisa langsung digunakan saat tiba di Korea. "baik Grace, terima kasih" ucapku lalu menutup telepon dengan Grace. Grace berada di tahun ke dua, aku berkenalan dengan Grace setelah membaca postingannya di salah satu akun perkuliah, dia bercerita tentang bagaimana berkuliah di Korea Selatan. Sayangnya, aku dan Grace beda kampus. Meskipun begitu, dengan baiknya Grace mau membantuku. Dia bahkan yang mencarikanku tempat tinggal yang nyaman, aman dan murah. "halo Qila!" Grace menyapaku dengan ramah. "Hai Grace" Grace juga tidak ingin di panggil kak, dia lebih suka di panggil nama tanpa embel apapun. "yuk, kamu pasti capek. Pengen cepet ketemu kasur kan?" tanya Grace "iya, maaf ya Grace, ngerepotin" "santai. Namanya kita lagi di tempat orang, ketemu yang satu negara udah rasa ketemu keluarga" jawab Grace. "betul banget" Grace membantuku menarik satu koper milikku. Kami menggunakan taksi menuju tempat tinggalku. "gimana kamarnya? disini cukup aman. Penghuninya kebanyakan perempuan. Kalau ke kampus, cuma satu kali naik bus, jalan kaki juga bisa sekitar tiga puluh menit" jelas Grace saat kami sudah masuk kedalam kamar, mungkin tepatnya apartemen dengan tipe studio atau kosan?. "bagus, terima kasih ya" "sama-sama. Laper gak? mau cari makan?" Aku mengangguk "yuk" jawabku antusias. "oh iya, sorry. Lo muslim?" tanya Grace dengan wajah tidak nyaman. Aku tersenyum, memberi tahu Grace bahwa tidak masalah dengan pertanyaan Grace "iya, aku muslim" "oke, maaf kalau pertanyaan gue gak sopan. Daripada tiba-tiba gue bawa lo ke restoran babi, gue non muslim soalnya" sahut Grace. Aku tertawa "its oke Grace" sahut ku kemudian. Tanpa merapihkan koperku terlebih dahulu, aku dan Grace langsung keluar. Mencari makanan yang tentunya halal. "lo suka seafood?" tanya Grace. "suka" "makan Jjampong aja kalau gitu" putus Grace. Aku hanya mengikuti langkah Grace, suasana jalan sudah cukup ramai. Masuk ke restoran pilihan Grace, Grace langsung memesan dua porsi. Jarak Restoran ini dengan tempat tinggalku tidak begitu jauh. "abis dari sini, lo ketemu ibu yang punya kamar ya. Rumahnya di lantai bawah" Aku mengangguk "sipp" "lo inget jalan balik ke tempat lo kan? soalnya gue abis makan mau langsung balik, ada janji. Gak apa-apa?" "gak apa-apa. Gue inget kok" "sip kalau begitu. Pesanan datang, kami makan dengan lahap sambil sesekali mengobrol. Grace banyak cerita mengenai pengalamannya tinggal di Korea, dia juga memberikan beberapa tips untukku, terlebih dalam hal makanan. Grace juga akan memasukkanku ke grup mahasiswa Indonesia agar aku bisa lebih mudah mendapat bantuan atau informasi yang di perlukan. Karena ketika sedang berada di negara lain, sesama warga negara adalah keluarga. Selesai makan, Grace kembali ke tempatnya dan aku berjalan menuju tempat tinggalku. Tempat tinggalku memang bukan berada di gedung mewah dan besar, hanya bangunan tiga lantai dengan masing-masing tiga pintu di lantai dua dan tiga. Karena untuk lantai satu, hanya ada satu pintu dan itu pemilik gedung tersebut. Aku langsung menekan bel milik pemilik gedung, kata Grace, orangnya cukup ramah dan aku juga berharap demikian. Pintu terbuka, muncul wanita paruh baya yang langsung menatapku bingung hingga tidak lama mata kecilnya membulat "Ila? kamu Ila dari Indonesia?" tanya wanita paruh baya itu dengan bahasa Korea. Aku mengangguk "betul, saya Ila. Pengguni kamar 2B" jawabku lalu membungkuk, memberi salam. "masuk-masuk. Panggil saya Bibi Im" Beliau membuka pintu lebar, menyuruhku masuk. Penilaian Grace tidak meleset. Bibi Im benar-benar ramah. Aku duduk di sofa, sedangkan Bibi Im pergi entah kemana. Aku manatap sekeliling, melihat foto keluarga Bibi Im. "silahkan diminum" Bibi Im datang dan meletakkan secangkir teh di hadapanku. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih lalu meminumnya sedikit. "aku tinggal bersama suamiku, anak-anak sudah berkeluarga, saat ini suamiku sedang ke luar kota. Aku harap kamu bisa nyaman tinggal disini. Tolong hargai kenyamanan penghuni lain. Jangan membawa obat terlarang kedalam kamar" jelas Bibi Im langsung. "baik" jawab ku. "kamu tidak punya penyakit menular bukan?" Aku menggeleng "tidak, saya sehat Bi" jawabku. Bibi Im mengangguk, kami lanjut mengobrol ringan. Bibi banyak bertanya tentang keluarga dan asal usulku, aku tidak keberatan dengan hal itu, karena bagaimanapun Bibi Im berhak tahu akan hal itu. Aku pamit kepada Bibi Im, aku kembali ke kamar dan langsung menghubungi bunda. "assalamualaikum bunda" "waalaikumsalam Ilaaaaa. Gimana sayang, sudah sampai kosan?" saat perjalanan dari bandara menuju tempat tinggal, aku sudah mengirim pesan kepada bunda. Memberi tahu jika aku telah sampai di Korea dan sedang menuju tempat tinggal "sudah bunda, Ila sudah di dalam kamar" "gimana tempatnya? aman? nyaman?" Aku tersenyum mendengar nada suara bunda yang penasaran "alhamdulillah tempatnya bagus bun, nyaman. Aman juga. Ibu yang punya juga baik" "alhamdulillah. Kamu sudah makan sayang?" "sudah bunda, Ila sudah makan. Bunda sudah?" "bunda gak nafsu makan" "loh, kenapa bunda?" "bunda kangen kamu" "bundaaaa, jangan bikin Ila nangis lagi" rengekku. "kamu nangis, bunda juga bakal nangis loh La" "makanya bunda jangan nangis" "tapi bunda kangen kamu" "Sekarang bunda makan dulu ya, Ila gak mau bunda sampe sakit. Ila juga mau beresin koper. Nanti kalau udah selesai, kita video call ya. Biar bunda tahu kamar Ila gimana" "yaudah. Terus kabari bunda ya" "siap bunda" "dah sayang" "dah bunda" Aku langsung menghela napas setelah menutup panggilan dengan bunda. Perasaanku campur aduk. Ternyata begini rasanya berjauhan dengan keluarga. Selama ini, aku dan bunda tidak pernah berjauhan dalam waktu yang lama. Rasa ragu dengan pilihan yang di ambil juga pasti muncul, apalagi saat rasa rindu terasa dan suara orang tercinta terdengar menyayat hati. Tapi menurut Grace, hal itu sangat wajar. Grace bahkan pernah langsung menyesal dan ingin kembali lagi ke Indonesia tepat setelah kakinya menginjak bandara Korea. Hanya butuh waktu dan perasaan terbiasa itu akan muncul. Aku langsung membuka koper pertama, koper paling kecil. Total aku membawa tiga koper ke Korea. Dua koper pakaian dan satu koper yang berisi macam-macam atau campur. Aku merapihkan semua pakaian kedalam lemari dari dua koper. Lalu skincare dan makeup keatas meja. Lanjut meletakkan sepatu di rak hingga menata makanan dan bumbu instan yang aku bawa dari dalam koper ke tiga. Kata bunda, bunda akan sering-sering mengirim makanan setiap bulannya. Bunda tidak ingin jika aku sampai kelaparan. Beruntung kemampuan masak yang aku miliki tidak terlalu buruk, setidaknya aku masih bisa memasak mie. Tidak, mungkin lebih dari sekedar mie. *** Aku bangun pukul sembilan pagi, setelah salat subuh, aku memang tidur lagi. Semalam aku kembali menghubungi bunda setelah selesai merapihkan barang. Melakukan video call agar bunda melihat keadaan kosan yang aku tempati. Bunda cukup senang, karena kamarnya terlihat nyaman dan bagus. Baru setelah menghubungi bunda, aku langsung tertidur pulas. Aku masih memiliki waktu empat hari sebelum pengarahan mahasiswa, mungkin jika di Indonesia semacam ospek atau Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Berbeda konsepnya, 'Ospek' versi Korea ini hanya terjadi selama satu atau dua hari. Kami sebagai mahasiswa baru hanya akan datang dan medengarkan arahan dan seminar. Hari ini aku akan mengunjungi beberapa tempat untuk membeli beberapa keperluanku. Beruntung aku sudah mengerti cara menggunakan aplikasi petunjuk jalan dan akutan umum yang di beritahu Grace. Pintu kamarku di ketuk, segera aku turun dari kasur dan membuka pintu. "ini sup rumput laut dan udang tepung. Ini halal." Bibi Im menyerahkan nampan berisi makanan yang tersusun rapi dalam beberapa piring. Cantik. Semalam, aku juga memberi tahu Bibi Im jika aku seorang muslim. Beruntung aku tidak mendapat respon yang mengkhawatirkan, Bibi Im bahkan memberi tahu beberapa tempat makan yang bisa aku kunjungi. Bibi Im benar-benar baik. "terima kasih bi" aku menerima nampan berisi makanan itu dengan hati-hati, mencegah sup rumput lautnya tumpah. "Kau punya indomie?" tanya Bibi Im kemudian. "hah?" "Indomie, kau punya? aku sangat suka. Tapi jarang memakannya karena harus membeli di supermarket khusus" "ada, aku ada. Bibi silahkan masuk dulu. Aku akan letakkan ini dulu di atas meja" Bibi Im langsung tersenyum lebar dan masuk, aku langsung meletakkan makanan pemberian Bibi Im diatas meja. "bibi suka Indomie kuah atau rebus?" tanyaku lalu membuka rak dinding. Aku memang cukup banyak membawa mie instan. Tentunya tanpa bunda tahu. "Aku belum pernah mencoba yang rebus" Aku mengangguk, meraih satu bungkus indomie goreng dan indomie kuah rasa ayam bawang. "ini mie goreng, bibi pasti pernah memakan ini. Kalau ini mie rebus, enak kalau bibi memasaknya dengan sayur juga telur" "wow. Thank you. Aku akan coba. Jangan lupa habiskan sarapanmu " Bibi Im mengedipkan seblah matanya lalu keluar kamar sambil membawa dua bungkus Indomie pemberianku. Setelah menutup pintu dan menguncinya kembali, aku langsung meraih ponsel. Memotret sarapan pemberian Bibi Im dan mengirim fotonya kepada Bunda. Sebelum sarapan, aku membasuh wajah terlebih dahulu. Dering ponsel terdengar, sepertinya bunda langsung menghubungi setelah melihat foto yang aku kirim. Selesai membasuh wajah, aku segera melangkah ke meja makan kecil. Meraih ponsel dan menghubungi bunda kembali. "assalamualaikum bunda, Ila tadi dari kamar mandi dulu" laporku sambil meletakkan ponsel di meja dengan di sangga oleh cangkir dan mengatur agar kameranya pas. "itu di kasih ibu kos? baik ya ibu kosnya" "iya bun, ibunya juga tahu kalau Ila muslim" "alhamdulillah, bunda semakin lebih tenang kalau begitu" "iya, bunda jangan khawatir ya, doakan Ila." "iya sayang, udah ya. Bunda tutup" "iya bunda" "dah sayang" "dah bunda" Setelah terputus, makanan di meja langsung aku santap. Masakan Bibi Im ternyata lumayan enak. Setelah sarapan, aku lanjut mandi, kemudian membuat list apa saja yang perlu di beli. Hingga pukul setengah sebelas aku berangkat menuju stasionery untuk membeli beberapa kebutuhan kuliah. Note, balpoin, pensil, note pembatas dan beberapa item lain. Rasanya seperti bersiap untuk tahun ajaran baru di sekolah. Bedanya, aku tidak membutuhkan buku tulis dengan jumlah cukup banyak. Keluar dari toko alat tulis, aku memilih berjalan menyusuri toko-toko. Melihat apa yang menarik atau aku butuhkan. Hingga aku berhenti di salah satu toko yang menjual tas. Aku masuk, memilih yang cocok dan nyaman untuk aku pakai saat kuliah. Perjalanan tidak berhenti di toko tas, aku kembali melangkah hingga beberapa kali berhenti untuk masuk kedalam toko yang menarik perhatianku. Melirik jam di tangan dan mengingat jika tidak ada lagi yang aku perlukan. Aku memilih untuk pulang. Untuk makan siang, biar nanti aku memasak makanan yang ada di kamar. Aku masih merasa bingung dan takut tersesat di hari pertama aku mencoba mengenal dan mengingat jalan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN