prolog + ch.1
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
THE BLURB
Beberapa orang bilang—ralat, sebagian besar orang bilang, perihal melupakan pada suatu hubungan, laki-laki adalah yang paling juara. Di titik baru berpisah dengan sang kekasih, laki-laki akan jadi pihak yang paling santai dan tahu-tahu bisa move on begitu saja, belum lagi banyak dari kaum adam akan dengan mudah menggandeng perempuan lain dalam waktu singkat.
Tapi sepertinya hal seperti ini tak berlaku untuk Devon Artama, sekalipun dia ingin.
Teman-teman yang ia punya dari ujung Fakultas Ilmu Kedokteran sampai ujung Fakultas Ilmu Administrasi, semuanya bilang Devon adalah cowok keren yang bakalan berhasil menaklukkan hati perempuan hanya dengan melemparkan satu kedipan mata. Katanya lagi, ia keren dengan segala hal yang ia miliki sekarang. Tapi Devon tidak merasa seperti demikian rupa. Yang ada kata pecundang adalah sebutan yang melekat dari dirinya, untuk dirinya sendiri.
Bagaimana tidak?
Terhitung saat ini adalah minggu kedua setelah ia mendengar kalimat laknat dari bibir Raras Jein—perempuan yang seharusnya masih jadi kekasihnya sampai detik ini. Tak perlu ditanyakan apakah Devon Artama benar-benar menyayangi gadis itu karena jawabannya adalah : tentu saja. Dulu, ia bisa menaklukkan gadis yang berusia dua tahun di bawahnya tersebut setelah ia mendekati Raras hampir setengah tahun tanpa kepastian. Manis pahit asam garam sudah ia cicicpi untuk sampai akhirnya Raras menerima dirinya. Devon menjalani hari-hari dengan baik bersama gadis itu. Raras Jein adalah saksi hidup selain orang tuanya dalam keseharian Devon. Selain orang tuanya, Raras adalah harta yang paling berharga yang Devon punya. Penyemangat terbaik, pembangun suasana hati, pelengkap hidup, semuanya. Devon menyayangi Raras sampai tak sadar kalau apa yang ia lakukan selama keduanya masih resmi menjadi sepasang kekasih adalah sesuatu yang Raras tak suka.
Dan tiba-tiba, perempuan itu meminta berhenti. Menyerah atas hubungan mereka.
Raras meminta putus dari dirinya. Dengan alasan yang tidak bisa Devon terima begitu saja. Tapi rasa sakit hatinya karena Raras yang bilang bahwa selama ini gadis itu tak bahagia membuat Devon akhirnya menganggukkan kepala, mengiyakan keputusan yang diambil oleh Raras.
Tapi kemudian Devon memikirkan kembali dua minggunya yang terasa hampa dan dingin. Laki-laki itu benci merasakan rindu tiap malam. Benci bagaimana dinginnya tatapan Raras kepada dirinya setiap kali mereka bertemu.
Devon menginginkan Raras kembali ke dalam hidupnya.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
CHAPTER 1
"Hayo, ngeliatin apa?"
Devon langsung mengangkat kepala, menemukan sang pacar kini berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Devon memberikan senyum tipis lalu menunjukkan apa yang dia lihat di ponsel Raras. "Nih, ngeliatin selfie kamu barusan. Sekali foto bisa sampai seratus."
"Namanya juga cewek."
Devon meninggalkan ponselnya di nakas lalu memilih menjauh dari kepala ranjang. Kedua lengannya merengkuh pinggang pacarnya, menumpukan pipi di pundak Raras.
"Capek?"
Devon mengangguk. "Padahal manggung juga cuman enam lagu. Tapi badanku rasanya mau copot semua."
"Tidur, gih. Nanti aku bangunin jam enam."
"Jam lima aja. Kan aku manggungnya jam tujuh." ucapnya sebelum menjauh dari Raras, menata tubuhnya tidur dengan nyaman di kasur gadis itu. "Jangan lupa bangunin."
"Ngelamun aja terus, anjir."
Teguran dari suara husky milik Jevan memaksa Devon kembali ke kenyataan. Ia berdecak kencang, mengamuk karena lamunannya dirusak. "Berisik lo."
"Ngelamunin yang iya-iya atau apaan, nih?"
Kali ini suara dari manusia yang berbeda. Satu temannya yang lain—yang kerap dipanggil Brian, melontarkan pertanyaan tak masuk akal.
"Ujan-ujan emang bikin kangen sama mantan, sih, Von."
"Siapa yang kangen mantan?" tanya Devon sewot. "Bukan gue."
"Says the one yang di layar hapenya keliatan mantengin i********: Raras."
Mendengar itu, Devon langsung menunduk—yang anjirnya, di ponsel dia emang lagi menampilkan salah satu postingan foto lama milik mantannya.
Oke, kalah telak. Devon tahu ia sudah tak bisa mengelak. Jadi dia memilih bungkam usai mengantongi ponselnya, tak berniat melanjutkan kegiatan stalking yang ia lakoni sebelumnya. Devon melamun juga bukan tanpa alasan. Ini malam minggu. Tepatnya saat ini masih sore di hari Sabtu. Bukan hari spesial, tapi ia hafal benar bagaimana Sabtu sorenya selalu dihabiskan dengan sosok gadis cantik dari adik tingkat mahasiswa seberang yang tak lain dan tak bukan sekarang sudah jadi mantannya.
Dua minggu yang lalu adalah Sabtu terakhirnya bersama Raras.
Setiap hari Sabtu, Devon selalu menjadwalkan untuk pergi ke rumah gadis itu, beristirahat disana usai siangnya ia akan menghabiskan waktu dengan teman band-nya. Kadang gak ngapa-ngapain. Cuman sekedar nemenin Raras nugas, atau dianya tidur, atau mereka berdua nonton netflix.
Tapi lihat sore ini dia sedang apa.
Sudah tidak ada lagi Raras Jein yang akan menyuruhnya beristirahat sebelum manggung, yang akan menelponnya dan bertanya kenapa Devon belum ke rumah, yang akan memberinya kecupan di pipi sebelum Devon pamit buat latihan. Udah gak ada lagi.
Gak beda jauh sama temen-temennya yang selalu ngatain dia manusia gamon, kadang Devon pun gak habis pikir, kenapa bisa-bisanya cowok seganteng dia jadi sad boy mendadak dua minggu belakangan. Gak naif, biasanya cowok cakep kalau abis putus gak perlu waktu buat mikir cari gandengan lain. At least, mereka harus pamer ke mantan kalau mereka baik-baik aja setelah diputusin.
Tapi sialnya Devon gak bisa kayak gitu.
Jangankan cari gandengan baru, ngeliat cewek lewat aja matanya selalu kebayang itu Raras. Ngobrol sama Jevan, manggilnya "Ras", ditanya mau kemana jawabnya "nyamperin Raras". Bibirnya sudah terbiasa menyebut nama gadis itu. Ia sudah terbiasa menghabiskan waktu dengannya. Jadi mana bisa dia disuruh cepet-cepet cari pengganti?
"Ada anggur mer—“ Devon belum selesai dengan pertanyaannya setelah bungkam beberapa lama.
Jevan, sang pemilik apartemen, mengangkat alis tinggi-tinggi sebelum akhirnya menyahut cepat. "Kita mau manggung dua jam lagi, ya, Nyet. Jangan ngadi-ngadi lo mau ngamer sekarang."
"Dikit."
"Gak ada. Ambil extra joss aja sana."
Frustasi, tiba-tiba Devan menjambak rambutnya dan teriak. "Duh, Raras! Gak tau apa gue kangen!"
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Di lain tempat namun waktu yang sama, gadis dengan handuk yang melilit tubuhnya tersebut sedang duduk di depan meja rias dengan ponsel di tangan. Raras baru selesai mandi, omong-omong. Tapi karena denting dari benda persegi panjang miliknya berbunyi, Raras jadi menyempatkan membuka isi pesan.
Ternyata dari Enzi, sahabat dekatnya.
Enzi Sienna
|cabut gak lo malem ini?
|satnight juga
Raras Jein
|skip gue
|lagi males dan bokek
Raras tak mendapati balasan lagi usai ia membalas pesan Enzi, jadi dia meletakkan ponsel itu sembarangan. Raras mengambil pelembapnya untuk ia oleskan ke wajah sembari bersenandung kecil. Ini masih jam lima dan dia tidak tahu harus melakukan apa. Sabtu lalu di jam yang sama, dia menghabiskan waktunya dengan Enzi untuk kuliner di pasar malam. Sabtu sebelumnya lagi, dia menghabiskan waktu berdua dengan Devon di rumahnya. Tapi Sabtu ini?
Rasa hampa langsung hadir begitu saja ketika tak sengaja benaknya menampakkan wajah Devon. Ia menghela nafas kecil, bersama oksigen yang ia hembuskan dari hidungnya bisa membuat bayang-bayang sang mantan juga hilang dari kepala.
Raras menyelesaikan urusan dengan kulitnya sedikit lebih cepat kemudian melangkah mendekat pada lemari besar miliknya. Mengingat tak ada acara apapun untuk dihadiri malam ini, juga ia tak punya rencana kemana-mana, Raras memutuskan memakai baju rumahan. Tapi baru juga hendak memilih, ketukan di pintu kamarnya membuat Raras mengurungkan niat.
"Kak!"
Nah, kalau itu suara adik laki-lakinya. Radit.
"Apaan?!" teriaknya dari dalam kamar.
"Buka dulu pintunya, anjir."
"Gue lagi ganti baju, dodol."
"Oh," Radit diam sesaat. "Papa nanya, Kak Raras mau keluar sama Kak Devon, gak? Kalau iya, baliknya nitip martabak keju—"
"Enggak, gak kemana-mana!"
"Loh, gak kemana-mana?" tanya Radit memastikan jawaban kakaknya. "Tumben? Kak Devon emangnya gak manggung?"
"Gue gak keluar." jawab Raras sekali lagi, tak mau menjelaskan lebih lanjut. Lagipula kenapa ia baru tahu adik laki-lakinya itu sangat kepo? Raras jadi sebal sendiri. Tapi omong-omong, dia memang belum menceritakan kepada keluarganya mengenai hubungan yang ia jalani dengan Devon sekarang. Papa dan mamanya memang beberapa kali menanyakan Devon karena cowok itu tak pernah ke rumah semenjak dua minggu yang lalu, tapi Raras berhasil membohongi mereka, mengatakan bahwa Devon sedang sibuk.
Tak mudah bagi Raras menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sedangkan orang tua dan adiknya sangat menyayangi Devon seperti kedelai kacang pilihan. Lagi pula, berpacaran selama satu tahun lamanya juga faktor lain yang membuat Raras tak siap bicara sekarang.
Radit masih mengomel di depan pintu tapi Raras tak peduli. Sampai akhirnya dia mendengar langkah kaki menjauh, Raras kembali berkutat dengan isi lemarinya. Ia menarik asal salah satu baju di tumpukan kaos-kaos berwarna gelap. Yang sialnya, ternyata ia menarik kaos milik Devon. Beberapa kaos milik cowok itu memang masih disini. Devon belum sempat mengambilnya.
Tak tahu apa yang sedang ada dalam otaknya, Raras membawa baju itu untuk diciumnya. Menghirup wangi khas sang mantan yang kemudian menguar, membuatnya merasa ada laki-laki itu disini. Ukiran kenangan demi kenangan muncul lagi.
"Anjir, kangen wanginya Devon." gumamnya lirih.
Saat Raras akhirnya selesai mengganti pakaian dengan celana selutut dan kaos kebesaran milik Devon, cewek itu melempar badannya di ranjang. Baru hendak membuka Spotify, notifikasi pesan masuk di ponselnya membuat Raras langsung berpindah aplikasi.
Setelah dua minggu lamanya tidak pernah menemukan nama laki-laki tersebut muncul di layar ponsel, kini nama Devon hadir lagi. Raras mengernyit, jemarinya dengan cekatan membuka pesan, membacanya.
Devon Artama
|Yang
Hah?!
Cowok itu sedang mengetik, jadi Raras tidak membalasnya langsung. Keningnya berlipat, bingung setengah mati. Tak lama kemudian pesan ditarik.
Devon Artama
|Sori, lupa kalau udah putus hehe
|Jaket gue masih di elo, ya?
|Boleh gue ambil?
Pernah gak barusan putus sama kalian terus masih gamon-gamonnya, eh, sekarang malah dipaksa takdir buat ketemu? Jelas Raras gak siap!
Cewek itu menggigit bibir bawahnya, panik sendiri tapi diam-diam juga mau. Tapi kalau ia ketemu Devon sekarang, bisa-bisa Raras makin gamon. Tapi kalau gak ketemu Devon, kangennya gak dituntasin, dong?
Raras Jein
|Ok
|Ambil aja di rumah
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Devon melompat dari panggung usai band mereka tampil malam ini. Ia mengambil botol mineral di back stage, meneguknya cepat kemudian mengambil jaket yang ia sampirkan di kursi.
"Gue balik duluan, ya." pamitnya dengan langkah kecil menghampiri empat temannya.
"Lah, gak ikut ngumpul?"
"Loh, mau ngumpul?" Devon balik tanya. "Tadi katanya pada balik langsung aja."
"Kata siapa?"
Devon mengedikkan dagunya menunjuk Jevan. "Tuh, kata Jevan."
Nah, anyways, kenalin band mereka berlima, namanya Sixth Day.
Di posisi pertama, ada Sandy yang megang vokal. Dia yang emosinya gampang kesulut. Entahlah, mungkin darah tinggi. Kedua, ada Jevan yang paling tua, yang paling deket juga sama Devon selain Brian. Jevan ini gitaris, beda sama Brian yang pegang bassist. Yang ke empat, ada Wildan di keyboard. Dan yang ke lima tahu sendirilah siapa bagian drummernya. Devon Artama, yang jadi anggota paling muda di antara yang lainnya.
Di antara lima cowok keren ini, yang sold out cuman Jevan sama Brian. Yang dua jomblo dari lahir. Yang satu baru jomblo dua minggu.
"Makanya kalau Jevan ngomong, tuh, jangan dipercaya. Boong semua yang keluar dari mulutnya." kata Sandy.
Jevan nyengir. "Sori, elah. Gue mau q-time sama cewek gue. Jadi apartemen gue lagi enggak terima tamu."
Yang lain mencibir.
"Berarti gue jadi pamit, ya, ini?" Devon berdiri lagi.
"Lo mau kemana, sih, buru-buru?"
"Mau nyamperin—"
"Pret!" potong Jevan. "Bisaan banget kalau ditanya pasti jawabnya nyamperin Raras."
"Eh, beneran kali ini, anjir. Gue mau ke rumah Raras."
Mata Brian memicing. "Balikan lo?"
Devon menengadahkan kedua tangan kemudian mengusap ke wajahnya. "Amin."
"Lah, gue tanya serius."
"Belum, Bang, belum. Doain." Devon melangkah keluar dari ruangan. "Assalamualaikum!"
"Dasar gak jelas banget itu bocah."
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Devon memarkirkan motor hitamnya di depan pagar rumah Raras. Jantungnya deg-degan sendiri. Rasanya udah lama gak kesini padahal biasanya rumah Raras jadi rumah kedua Devon. Dia melepas helmnya, kemudian bercermin di spion dan merapikan rambut.
Niatnya, Devon mau ngeluarin hape buat ngechat Raras kalau dia udah sampai. Tapi ia mengurungkan itu ketika mendengar pintu dibuka. Raras disana, dengan piyama monokurobo kesukaannya, rambut digelung asal, cewek itu mendekat ke arah pagar.
Devon menggaruk hidungnya yang tak gatal. Tiba-tiba perutnya pulas ketika sang mantan membukakan pagar hitam yang menjadi penghalang keduanya.
"E... hai." sapa Devon canggung.
Tapi sialnya, Raras hanya menatap Devon dengan tatapan datar. Malah alisnya sekarang terangkat satu. Devon jadi ngerasa canggung sendiri.
Cewek itu menyerahkan jaket yang dimaksud Devon di pesannya tadi. "Ini, kan?"
"A, oh, iya. Iya, ini." Devon menerimanya.
"Barang yang lain biar gue kerdusin dulu kalau lo mau ambil semuanya."
"Yang lain?"
"Barang lo banyak yang ada di gue, kan?" Raras menghela nafas. "Gitar lo juga masih di kamar."
"Oh, itu. Santai aja. Kapan-kapan biar gue ambil, nyicil tapi ngambilnya." Kalau sekali bawa langsung semuanya, gue gak bisa nemuin lo, dong. Lanjut Devon dalam hati.
Raras mengangguk singkat. "Udah, kan?"
"Apanya?"
"Urusan kita."
Bibir Devon menyungging sedikit. "Kita?"
Raras melotot. "Gue sama elo maksudnya."
Cowok itu jadi tertawa kecil. "Iya, udah. Kan emang mau ambil ini doang."
"Ya udah pergi."
Devon langsung mengumpat. Anjrit, diusir. "Hm, oke. Thanks, betewe."
Mleihat Raras yang menatapnya jengah bikin Devon berat hati jadi benar-benar jalan mundur, berniat pulang sekarang. Padahal, kalau Devon bisa, dia lebih pingin ngobrol lebih lama.
"Ras." panggil Devan akhirnya ketika ia sudah naik ke atas motor dengan kantung plastik hitam di stangnya.
Raras diam, menunggu Devon melanjutkan.
"Kangen gak, sih?"
"..."
"Gue kangen."
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Meanwhile Raras pas udah di kamar terus ngunci pintu. Dia langsung lompat ke kasur terus teriak. Suaranya rada teredam sprei.
"Anjir Devon bangke gue juga kangen! Huhuhu."
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
"Udah, sih, sana cari yang baru."
Devon mendengus mendengar kalimat Jevan.
Omong-omong, mereka sedang menghabiskan satu sore di sebuah kafe tak jauh dari kampus. Entah sudah berapa lama Devon dan teman-temannya duduk bersantai disini, tak ada yang ebrminat pulang.
"Sengaja, nih, udah gue cariin kafe langganannya bocil-bocil. Kan elu pedofil."
"Ngomong apa, sih, anjer."
Brian udah ngakak duluan. "Iya, ya. Bener juga lu, Jev. Devon 'kan demennya sama dedek gemes."
Devon tahu celetukan demi celetukan yang keluar dari bibir teman-temannya ini adalah bentuk sindiran mengingat Devon dan Raras memang terpaut usia cukup jauh. Tapi bukan p*****l juga, kali. Devon yang kini menginjak semester tujuh dan Raras yang baru jadi mahasiswa baru, alias mereka berdua beda tiga tahun doang.
"Males gue." jawab Devon singkat. Ia kemudian membuka bungkus rokok yang gak tahu punya Jevan atau Brian. Kemudian matanya jelalatan nyari korek. "Korek gue tadi mana, dah?"
Baik Jevan maupun Brian jadi ikut menunduk, mencari korek kesayangan Devon.
"Emang lo tadi bawa korek?"
"Bawa," Devon menyingkirkan piring di hadapannya untuk mencari benda tersebut. "Kan tadi gue taruh sini."
Terlalu malas untuk lanjut ikut mencari, Jevan mendorong korek hijaunya ke depan Devon. "Pake punya gue dulu aja."
"Ck, korek gue dulu nih cariin."
Jelas bukan tanpa sebab kenapa Devon sesayang itu sama koreknya. Pemantik api milik Devon masih pemantik api biasa seperti orang lain punya. Bedanya, korek itu adalah pemberian dari Raras, yang mana sudah di custom pakai wajah Raras.
Emang, dulu awal Devon dibeliin itu sama Raras, Devon gak mau pakai dengan alasan males kalau dikatain bucin sama temen-temennya. Tapi lambat laun dia liatin kok lucu aja gitu koreknya. Jadilah sama Devon dibawa kemana-mana. Sampai sekarang.
"Tuh, tuh," Brian menendang kecil korek yang ternyata jatuh di bawah meja dengan sepatunya. "Punya mata makanya dipake, Pak."
Devon meringis lalu menunduk berniat mengambil koreknya.
Persis kayak di sinetron picisan, tepat saat tangannya hendak meraih, sepasang kaki bersepatu Puma berhenti di sana. Membuat Devon jadi mengangkat kepala.
Itu Raras.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *