ch 2

4186 Kata
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Tadi sore usai Enzi selesai kelas mata kuliah umum—yang mana jadinya dia dan Raras beda kelas—Enzi menghampiri Raras. Cewek dengan keturunan bule itu mohon-mohon sama Raras biar dia ditemenin buat nemuin Jevan mengingat cowok itulah yang bagian pegang tiket festival Pamungka#. Kalau Devon dan Raras sudah jelas punya status sebagai mantan pacar. Maka Enzi dan Jevan ini dikenal se-Fakultas karena judul yang beda lagi. Gak ada yang tahu kenapa mereka berdua musuhan. Bener-bener gak pernah akur kalau ketemu. Bener-bener selalu adu urat kalau tatap muka. Sialnya, Pamungkas alias musisi kesukaan Enzi adalah bintang tamu utama di acara FTFT (Festival Tahunan Fakultas Teknik) tahun ini. Terus gak pakai lama, jelas dong Enzi yang waktu itu lihat insta story Jevan promosi FTFT, langsung nge-reply cowok itu buat beli tiket. Back to the topic. Raras menggeleng tegas atas permintaan Enzi. "Ogah, ambil aja sendiri." jawab Raras sore tadi, tak berminat dengan rayuan tiket gratis yang akan diberikan Enzi kalau Raras mau mengantarnya menemui Jevan. "Atau bisa 'kan nyuruh Jevan nganterin? Nanti kasih aja ongkirnya ceban." "Dia gak mau, Raaaaas. Gue juga udah ngomong gitu tadi ke Jevan, dianya ngeyel suruh gue yang nemuin. Ayo, dong, Raaaas. Huhuhu, lo tega apa gue pulang-pulang gak bernyawa gara-gara dijambakin Jevan?" "Gue males ketemu Devon, Zi. Sumpah, deh." "Ih, emangnya ada Devon di Okum?" "Emangnya kapan ada Jevan tapi gak ada Devon?" Enzi mencibir. Ia memutar otak biar Raras mau nemenin dia ke Okum buat nemuin Jevan. Lalu cewek itu bergerak cepat membuka ponsel, ia mengirimi pesan ke seseorang. "Lo ngapain?" Enzi melirik Raras sekilas. "Bentar." Raras tak peduli banyak, ia melempar plastik minumannya ke tong sampah kemudian bersandar pada dinding dengan malas. Menunggu Enzi melakukan sesuatu yang Raras tak tahu. "Noh, katanya Jevan dia cuman lagi sama Brian, gak ada Devon!" seru Enzi senang dengan menunjukkan layar ponselnya pada Raras. Raras membaca cepat isi pesan Jevan lalu menghela nafas. "Iya deh ayo gue anter." "Yes! Gitu, dong!" Tapi apa yang dikhawatirkan Raras sedari tadi faktanya jadi kenyataan beneran. Baru juga dia turun dari scoopy merah milik Enzi—karena mereka berdua emang boncengan—Raras melotot lebar menemukan motor besar warna hitam dengan plat nomor yang ia hapal di luar kepala, terparkir dengan rapi di antara barisan motor yang lain. "Tuh, kan, Enzi anjing lo bilang gak ada Devon?!" protes Raras pada cewek yang gak tahu apa-apa. Enzi melepas helmnya membuat Raras bisa menemukan raut bingung di wajah bule itu. "Hah, apa?" "Ada Devoooon!" ulang Raras dengan wajah udah tertekuk. "Gue mau pulang. Lo ambil sendiri." "Eh, eh, Ras, ih!" Enzi langsung menarik lengan Raras yang mau balik badan dan meninggalkan halaman kafe. "Sumpah, Ras, gue juga gak tahu! 'Kan elo juga baca sendiri tadi Jevan bilangnya gimana." "Gue males ketemu Devon." "Lo tega ninggalin gue sendirian?" Enzi merajuk. "Lagian kita, kan, cuman mau ambil tiket doang. Gak bakal lama, Ras. Janji!" Raras yang melihat Enzi sudah memohon-mohon dengan wajah yang dibikin sesedih itu jadi beneran gak tega. Raras berdecak sebelum akhirnya menghela nafas. "Ya udah ayo. Gak usah lama ya tapi!" Kedua cewek cantik itu berjalan beriringan memasuki kafe. Mengingat ini masih sore dan hari aktif mahasiswa, gak kaget kalau Okum lagi banyak pengunjung. Tapi gak butuh waktu lama buat mereka berdua menemukan tempat duduk tiga cowok yang dicari. Raras mengambil nafas dalam-dalam. Ayo Ras jangan grogi. Ketemu mantan harus bisa biasa aja, gak boleh lembek, gak boleh lemah. Batin cewek itu dalam hati. Cowok yang mengambil atensinya sejak detik pertama memasuki kafe itu sedang menunduk—entah mencari apa—ketika Raras tiba di depan meja mereka. Devon mengangkat kepala, Raras tahu cowok itu kaget karena tiba-tiba dia ada disini. Tapi cewek itu berusaha gak peduli. "Mana tiket gue?!" Enzi tanya dengan nada gak bersahabat pada Jevan, yang diam-diam bikin Raras menghela nafas lagi karena—hell, baru juga ketemu nada bicara temannya ini udah ngegas banget. Jevan melengos lalu merogoh weist bag Eiger miliknya. "Buset. Lo pembeli lagaknya kayak malak, ya?" "Bacot. Cepetan gue gak ada waktu banyak." Raras masih memasang tampang datarnya sekalipun dia seratus persen sadar dari tadi Devon udah salah tingkah duluan. Cowok itu berkali-kali curi pandang ke Raras.  "Baru beres kelas, Ras?" Suara Brian menyapa gendang telinga. Raras jadi menoleh kemudian tersenyum ramah. "Iya, Kak. Lo sendiri baru beres atau udah nongkrong dari tadi?" "Udah dari tadi, sih." Brian mengedikkan dagunya ke kursi kosong di sampingnya. "Sombong amat berdiri mulu. Sini duduk. Lama gak nongkrong bareng juga." "Eh? Ah, gak usah. Ini juga cuman nemenin Enzi ambil tiket. Jadi—" "Aduh, anjir. Zi, tiketnya ketinggalan di kosan!” "Fak?!" Enzi melotot. "Jev, lo kalau gak niat jualan mending ngomong dari awal!" "Lupa, Zi, sumpah dah. Anu, gini deh. Gue ambil bentar ke kos, lo tunggu sini dulu." Sialan. Raras benci harus berlama-lama di lingkaran ini. Dia berdeham. "Atau gini aja, Zi. Gimana kalau ambilnya besok aja? FTFT juga masih minggu depan, kan?" "Gak papa, Ras, suwer gue ambil aja bentar. Duduk dulu, pesen minum. Gue balik ke kosan gak ada lima menit, oke?" ujar Jevan cepat kemudian ngibrit keluar kafe. Membuat Enzi meringis merasa bersalah pada Raras yang kini memasang wajah jengah. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Devon Artama's POV "Nih cowok boker di Dubai dulu apa gimana, sih?" omel Enzi entah pada siapa. "Lama amat." Gue ngelirik Raras sekilas, kelihatan banget cewek itu gak nyaman. Salah siapa milih duduk sebelah Brian bukan di sebelah gue? Kan jadinya malah hadap-hadapan sama gue. Canggung kan lu. "Sabar kali, Zi. Elu kenapa, dah, sensi amat kalau sama Jevan? Orang dia pergi juga belum ada lima menit." ujar Brian sembari terus mengetik di ponselnya, gak tahu lagi chatting sama siapa. Sesaat kemudian, gue ngerasa ada yang nendang kaki gue, pelan. Gue jadi nunduk ke bawah meja, menemukan kaki Brianlah pelakunya. Gue noleh ke Brian, alis cowok itu naik turun, matanya melotot, kayak sebuah kode yang kalau diterjemahkan jadi gini : itu ada mantan lo, jangan buang kesempatan, b**o. Gue langsung berdeham, membersihkan tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. "Eh, Zi. Elo beli tiket berapa di Jevan?" "Beli satu." "Nonton sendirian?" Enzi mengangguk. "Kenapa? Mau nemenin gue?" Gue mendengus. Sedikit gak kaget dengan kalimat ceplas-ceplos cewek bule itu. "Kagak elah. Emangnya... lo gak nonton FTFT, Ras?" "Ha?" Raras kelihatan agak kaget pas tahu-tahu gue ngajak dia ngobrol. "Gue?" Gue mengangguk. Lucu amat ini anak kalau lagi melongo begini. "Enggak." "Kenapa?" "Gak suka Pamungkas." Kalau sama gue, suka gak? "Oalah, gitu. Padahal Jevan kayaknya ada satu tiket nganggur. Kalau lo mau, gue bisa mintain." "No, thanks." jawab Raras cuek banget. Gue putar otak lagi. "Elo mau gue kasih tahu hidden guest star FTFT gak?" "Emang siapa?" Enzi dan Raras jawab bareng. Bikin Devon langsung menyeringai. "Sheila on 7." "SERIUS?!" Devon mengangguk puas mendengar respon Raras. Dia jelas gak lupa kalau Raras adalah fans berat Mas Duta. "Tuh, kan, Ras! Gue bilang juga apa, beli aja! Jadi gue gak nonton sendirian!" Raras langsung menatap gue. "Gue mau, dong, satu. Gak usah yang gratisan gak apa-apa. Gue bayar." Kekehan kecil dari Brian yang pasti lagi tepuk tangan dalam hati karena pancingan gue berhasil terdengar. "Iya, gampang. Nanti gue ambilin tiket. Sekalian mau ke back stage-nya, gak? Temen gue ada yang bagian ngurusin bintang tamu. Kalau lo mau.. gue juga bisa anter lo ketemu Duta." "Ini... beneran?" Raras benar-benar speechless. Antara cewek itu lagi seneng gak karuan atau agak gengsi karena dia jadi luluh sama gue cuman karena disogok Sheila On 7. "Beneran, Ras. Tapi..." "Tapi?" Gue nyengir kemudian menumpu dagu di tangan, memajukan badan, bodo amat sama Enzi dan Brian yang geli liat tingkah gue. "Pulang nanti gue yang anter. Deal, gak?" * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Gue gak bohong saat gue bilang kalau efek mantan emang gak main-main. Itu gak ngefek cuman ke cewek, tapi juga di pihak cowok. Setelah hampir sebulan motor gue gak bonceng siapa-siapa selain Jevan karena dia tukang nebeng, akhirnya. Akhirnya Raras ada disana lagi. Gue berusaha setenang yang gue bisa buat gak terus-menerus nyengir sepanjang jalan. Walaupun gak ada sepasang lengan yang melingkar di pinggang gue kayak dulu dan gak ada Raras yang numpu dagu di pundak gue, tetep aja rasanya masih semenyenangkan ini. Gue yakin Raras sadar sepenuhnya kalau gue bawa motor pelan banget. Bodo amat. Gue cuman pengen boncengin dia lebih lama dari seharusnya. Masih mending gak gue bawa keliling alun-alun Malang dulu. "Rumahnya masih tetep, kan? Di Perjing?" Gue agak berteriak, tapi kayaknya Raras masih gak bisa denger. Terbukti dengan pergerakan cewek itu yang maju mendekat, pipinya jadi bersebelahan dengan telinga gue. “Apa? Gak denger!" "Rumahnya gak pindah, kaaan?" "Oh, enggak." Kemudian hening lagi. Sampai akhirnya rumah berpagar hitam sudah di depan mata, gue mematikan mesin motor. Raras turun dan mencopot helm. Gue cuman bisa ngeliatin dia sambil senyum—senyuman yang gue gak coba buat sembunyiin karena tertutup helm full face. Tapi karena gue masih punya niat ngobrol, jadi gue ikutan lepas helm. "Lagi sepi rumahnya?" Raras menoleh ke belakang, mengamati rumahnya yang emang keliatan gak ada orang. Bahkan lampu halaman rumah juga belum dihidupin padahal ini udah menjelang maghrib. Kalau gak salah tebak, itu artinya Papa Mama cewek itu belum sampai rumah dan Radit juga belum balik. "Iya. Kayaknya orang rumah belum ada yang balik." Gue manggut-manggut paham. Ini gue gak ditawarin masuk ngeteh dulu, nih? "Elo langsung pulang, kan?" Wadaw, terdengar mengusir. "Eung, iyalah. Kan elo gak nawarin masuk. Hehe." "Ya udah, langsung pulang aja. Thanks udah dianterin." "Eh, tapi, Ras. Elo jadi nonton, kan?" "Sheila On 7? Iyalah." "Bagus. Mau nonton sama gue? Dari pada jadi nyamuk Enzi sama gebetannya." "Enzi sendirian." "Enggak, dia tadi sempet bilang ke Jevan nambah beli satu tiket buat gebetannya." Raras mendengus. Gue terkekeh. Lucu banget, sih, mantan gueeeeeeeee. "Gampanglah. Atur nanti." "Oke. Kalau gitu gue balik dulu." Raras mengangguk cuek. "Bye, Ras." Sesampainya di rumah, Devon liat story Whats App-nya Raras. Foto kura-kura peliharaannya doang, sih. Tapi Devon gatel banget pengen nge-reply. Jadi dia beneran send. Devon Artama replied to your story |Tadi mau bilang good night i love you juga tapi takut dimarahin |Hehe * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Devon Artama's Point of View Gue lagi goleran di kasur kost ketika jam dinding udah nunjuk angka 11 malam. Maklum, bukan anak cowok namanya kalau gak begadang. Apa lagi gue baru menghabiskan satu gelas kopi kapal api yang dibikinin Jevan barusan. Awalnya, gue asik nge-game di ponsel, terus karena mata mulai panas, akhirnya gue berhenti. Sekarang gue bingung mau ngapain. Alhasil, gue memilih duduk dan menyandarkan punggung di kepala ranjang. Iseng, jari gue buka i********:. Scroll, scroll, scroll, eh, tiba-tiba akun milik sang mantan alias Raras Jein nongol di beranda. Cewek itu baru memposting foto seorang diri, di caption dia nulis kalau itu hasil jepretan Enzi. Bibir bawah gue tanpa sadar langsung maju, merengut. Tengah malam begini emang jam rawan buat kangen mantan. Gue ngeliatin foto Raras lama, setiap inci dari wajah cewek cantik itu jadi pusat perhatian gue. Usai memberi like disana, gue cepat-cepat buka akun Whats App. Nama Jevan adalah nama pertama yang lewat di kepala. Devon Artama |ADSGSJDX |Kangen banget sama Raras |Pengen meluk anjingggg   Gak lama, Jevan yang emang lagi online itu akhirnya ngasih balesan. Jevan |???????   Devon Artama |:(| Jevan |Chat orangnya lah goblok |Ngapa chat gue   Devon Artama Gak bakal diwaro sama doi|   Jevan |Banci |Coba dulu baru sambat Sekalipun udah dikatain sama itu anak, tapi gue masih gak berani. Gini konsepnya. Gue sama Raras udah putus sejak tiga minggu yang lalu. Terus kita jarang chat, udah pasti. Ngapain juga, kan, chatan sama mantan? Kita juga jarang ketemu dan jarang ngobrol. Kalau tiba-tiba gue ngechat lagi—gak tiba-tiba, sih, sebelumnya gue juga beberapa kali nekat nge-text Raras tapi cuman berakhir di read doang-apa gak makin aneh? Lagian gini-gini, gue juga punya harga diri yang harus dijaga. Gue bolak-balik dicuekin Raras, ya kali masih ngemis? Tapi gue kangen. Jadi akhirnya gue balik ke i********:. Niat hati mau liat postingan Raras lagi, soalnya tadi lupa nge-screen shot. Tapi mata gue teralih mendapati Raras baru bikin Insta story. Jempol gue meluncur kesana dan mengetuknya. Kali ini Raras memotret selimut yang dia pakai, lalu ada tulisan kecil di ujung layar. Gak bisa tidur. Gitu tulisannya. Karena gue akui urat malu gue udah putus—jadi  jangan kaget kalau gue gak pernah kapok ditolak, gue akhirnya nge-reply. Devon Artama replied to your story |Abis ngopi ya lu? Hoki. Raras langsung membaca DM-nya dan sekarang lagi mengetik. Gue auto jadi deg-degan. Demi apapun. Gue benci dibikin kangen dan galau sama cewek kayak gini. Biasanya, malem-malem begini, gue sama Raras asik telepon atau video call-an sampai salah satu dari kita ketiduran. Sekarang siapa, ya, yang nemenin cewek itu kalau gak bisa tidur begini? Raras Jein |Iya wkwkw |Kok tau sih Lah? Tumben kagak judes jawabnya. Gue langsung nyengir sendiri baca balesan dia. Duh, Ras, kangen. Devon Artama |Apal sama kelakuan lo dari dulu wkw |Merem aja atau ngitung kambing biar cepet tidur |Udah malem banget ini Raras Jein |Udah nyoba dari tadi |Gak bisa-bisa Gue menggigit kecil bibir bawah gue, mikir balesan apa yang tepat buat Raras. "Bismillah." gumam gue kemudian mulai nge-send chat. Devon Artama |Mau gue call, gak? |Gue temenin ngobrol |Siapa tau bisa cepet tidur kayak pas kita masih pacaran |Hehe * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *   Raras Jein's Point of View   Kayak pas kita masih pacaran, katanya. Devon, tuh, niat banget bikin gue salah tingkah. Baca username dia tiba-tiba muncul di DM masuk paling atas aja udah bikin deg-degan, segala sekarang malah nawarin call. Biar apa? Biar gue gamon? Iya? Biar gue kangen yang dulu-dulu? Pipi gue panas tiba-tiba, kayaknya ini AC kamar gue lagi mati. Sialan. Gue menarik nafas panjang sambil mikir tawaran dia barusan. Gue ngelirik jam, udah jam 11 lebih lima belas menit. Padahal gue besok ada kelas pagi. Seharusnya gue bisa nolak pas ditawarin Radit kopi americano tadi. Minumnya pukul tujuh, tapi sampai sekarang mata gue terang banget kayak senter baru di-charge. Omong-omong balik lagi soal chat Devon barusan, gue masih gak ngerti harus jawab gimana. Jadi gue diemin, gue out dari akun i********:. Jangan tanya apa sebenernya gue pengen call-an sama dia, jawabannya YA MAULAH. Tapi resiko kalau gue iyain juga lebih ngeri. Kalau gue makin gak bisa ngelupain Devon gimana? Tapi kalau gak mau, nanti pasti nyesel gimana? Kesempatan gak dateng dua kali. Ponsel yang masih ada di tangan gue bergetar. Kali ini ada notifikasi masuk dari Whats App, dengan nama yang sama. Masih Devon Artama. Tanpa membuka pesan, gue cuman ngegulir layar ke bawah dan baca pesan masuk itu dari sana. Devon Artama |Ras? |Udah tidur, ya? |Raras? |Ah, udah tidur nih | Ya udah |Good night ya Dulu, tuh, kalau mau tidur, Devon bilangnya gak begini. Tapi, "Good night sayang, jangan bangun kesiangan biar gue jemputnya gak kelamaan nunggu. Ilyyyyyy." Yah, anjir. Tiba-tiba jadi pengen nangis. Ya Allah kangen Devon. Gue cepet-cepet buka w******p dan ngetik disana. Raras Jein |Belom hehe| |Call sekarang gak apa-apa?   Devon Artama |Gak apa-apa |Gue juga ga bisa tidur Dulu, gue gak segan buat ke kosan Devon kalau dia bilang gak bisa tidur begini. Simpel, kita tidur berdua tanpa ngapa-ngapain sampai keesokan harinya. Yang penting dia bisa tidur, kan, setelah ada gue? Sekarang siapa, ya, yang begitu ke Devon? * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Devon Artama's point of view   Demi Patrick yang kepalanya lancip, salah gak sih kalau sekarang gue pengen lari ke kamar Jevan terus meluk dia erat-erat kayak balonku tinggal empat? Gue seneng. Seseneng itu. Gue udah berusaha se-cool mungkin buat jawab chat dia. Semoga Raras gak tahu disini gue lagi nyengir kayak orang sinting saking senengnya. Gak pakai lama, gue nelpon. Telepon langsung diangkat tapi Raras gak ngomong apa-apa. Malu kali, ya? "Raras?" panggil gue. Duh, kapan ini panggilan bisa ganti jadi sayang lagi. Males nyebut namanya. Enak manggil sayang. Dia berdeham. "Iya, ini gue." "Hehe." balas gue kemudian menepuk kening gue sendiri. Lah, Devon g****k lu ngapain heha-hehe. "Abis nugas atau kenapa? Kok minum kopi?" "Hm, iya. Tadi Radit bawain kopi buat Papa, tapi Papa keburu udah keluar lagi sama Mama. Jadi gue yang minum. Sekalian buat nemenin nugas." jelas cewek itu panjang lebar. Gue tanya serius, nih. Lo pernah gak sih kangen dengerin cerita orang yang biasanya dia, tuh, apa-apa cerita, hal sekecil apapun diceritain? Jadi sekarang gak ada yang begitu, lo pasti ngerasa hampa, kan, kayak lagunya Ari Lasso? Raras tuh tipe cewek begitu. Dia gak sengaja nginjek semut aja langsung ngechat gue. Dulu. Sebelum putus. "Kebiasaan," omel gue tanpa sadar. "Dibilangin kalau mau nugas, tuh, jangan malem-malem. Sore aja biar malem udah bisa tidur. Gak perlu ngopi." "Ya gimana orang tadi sorenya ke perpus sama Enzi. Lo sendiri gimana?" tanya dia balik. "Masih demen begadang?" "Masih." jawab gue singkat. Apa lagi sejak putus sama lo. Makin gak bisa tidur. "Pasti sebelum call-an sama gue, lo lagi nge-game, ya?" Gue terkekeh. "Masih apal aja lu." "Masihlah. Dari dulu lo-nya pasti begitu." Dia masih apal kelakuan gue. Senangnya. "Raras." "Apa?" "Tidur. Ini setengah dua belas." "Gak bisa..." Ya Allah, cantikku. Jangan ngerengek begitu. Gue ini gak bisa sama yang gemes-gemes kayak elu. "Mau gue nyanyiin?" "Boleh?" "Boleh," jawab gue mantap. Ada senyum tipis yang tersungging di bibir gue. "Mau lagu apa?" "Aku pasti kembali." "Gue juga pasti bakal balik." Raras berdecak. "Maksudnya, gue request lagu Aku Pasti Kembali. Lagunya Pasto." Gue tertawa. "Sengaja ya lo request lagu ini? Apa kode?" "Jangan mulai, ya, Devon. Gue gak mood ribut malem-malem, nih." "Dih, jutek. Iya, iya, bentar. Gue ambil gitar dulu." "Gak usah!" sela Raras cepat. "Gak usah pakai gitar, nanti tetangga kamar lo malah horor lagi denger ada yang gitaran tengah malem." "Ya elah, kagak bakal." "Gak usah, Devon..." Raras mengulangi kalimatnya. "Nyanyi langsung aja." Ini cewek bisa banget pakai suara lembut bikin gue merinding. Gue berdeham sebelum akhirnya mengiyakan. "Iya, deh. Lo nya sambil merem, ya, biar cepet tidur." "Iya." Aku hanya pergi tuk sementara Bukan tuk meninggalkanmu selamanya Aku pasti kan kembali pada dirimu Tapi kau jangan nakal Aku pasti kembali   * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *   Devon Artama's POV Ternyata, sepertinya apa yang terjadi kemarin semalaman antara gue dan Raras gak begitu berarti buat dia. Beda dengan gue yang seneng minta ampun dan mikir kalau telponan satu jam itu jadi awal yang baik buat hubungan kami, buat Raras mungkin cuman angin lalu. Tadi siang sekitar jam setengah sepuluh, gue maksa Jevan nemenin gue ke kantin Psikologi dengan alasan pengin siomay Bang Bagus. Tapi Jevan tahu, sih, kalau alasan utamanya bukan itu. "Mau caper ke Raras kan, lo?" gitu tebaknya tadi. Gue cuman nyengir dan tetep maksa dia buat ikutan. Tepat sesuai tebakan gue, Raras lagi di salah satu meja kantin sama Enzi. Niat hati mau nyapa dan sok asik aja duduk di mejanya, tapi yang ada Raras cuman ngelirik malas ke arah gue dan ngomong. "Ngapain lo disini?" Sumpah, gue kaget. Jutek banget asli. I mean, bukannya kemarin kita gak kenapa-napa? Gue bahkan nyanyiin dia sampai dia ketiduran dan pagi ini dia begitu ke gue?! Is she kidding me?! Enzi dan Jevan yang gak tau apa-apa jelas udah biasa mendengar nada ketus dari mulut cewek itu. Tapi gue? God, i wish i can move on soon. Eh, jangan deh. Gue masih menikmati masa-masa ngejar Raras biar mau balikan. Tahu kalau Raras kayaknya mode devil di siang hari dan jadi angel kalau di malam hari—ini berdasarkan pengamatan gue usai kejadian kemarin dan beberapa hari yang lalu waktu dia mau aja gue anterin pulang—gue akhirnya punya ide. Bayangin jadi gue. Cuman karena pengen nongkrong bareng Raras, gue sampai harus ngeluarin duit hampir dua juta buat nyuruh Jevan ngajakin Raras ke salah satu kafe terkenal di Kota Malang. Ceritanya, Jevan bagi-bagi PJ alias Pajak Jadian sama cewek barunya, jadi dia mau nraktir kita-kita. Padahal, mah, pakai duit gue. Ini jam enam senja. Langit udah hampir gelap sepenuhnya. Gue dan anak Enam Hari, ditambah Enzi dan (semoga) Raras jadi ikutan, kita bakal ketemuan di Halo Cafe. Janjiannya jam tujuh, sih. Makanya sekarang gue lagi ngantri mandi. By the way, Jevan lagi mandi di kamar mandi gue. Dan bau-baunya, sih, kayaknya Brian juga mau pakai kamar mandi gue. Sampai detik ini, bertahun-tahun temenan sama mereka, gue gak tahu kenapa mereka selalu pinjem kamar mandi gue padahal mereka punya kamar mandi sendiri. Tiba-tiba suara Jevan terdengar dari bilik kamar mandi. "Von, p****l lo kemana?!" Ha? Gue bengong. "LO NGOMONG APA ANJENG?!" Brian udah ngakak duluan. "Typo kali," katanya. "Pentin maksud gue! Hahaha!" (shampoo pantene) Dasar orang gila. "Gak ada, abis." jawab gue acuh. Bermenit-menit kemudian, akhirnya Jevan keluar dari kamar mandi. Gue sempet rebutan kamar mandi sama Brian, tapi karena gue kalah dengan embel-embel Brian lebih tua dari gue, akhirnya gue ngalah. Gue tiduran di kasur dengan ponsel di tangan. Jevan lagi bersiul menyanyikan salah satu lagu milik Noah yang gue lupa apa judulnya. Mata gue mengamati instastory Enzi. Disana ada Raras yang lagi tersenyum lebar ke arah kamera. Enzi nulis, "die lagi seneng" sebagai captionnya. Sadar kalau gue ngeliatin foto itu sampe gak kedip, tiba-tiba sisir yang tadi dipakai Jevan melayang ke kepala gue. "Ngapain lo senyam-senyum?" tanyanya memandang gue horor. Gue membalikkan ponsel, menunjukkan ke Jevan apa yang lagi gue liat. "Cewek gue cantik banget, anjir." "Mantan." ralat Jevan. "Gak usah diingetin, sih, Bangsat." Gak butuh waktu lama sampai akhirnya Brian keluar dari kamar mandi, gue gantian yang masuk. Lalu kami siap-siap, dan akhirnya berangkat dengan mobil Jeep kesayangan Brian. Karena kosan anak Enam Hari gak jadi satu, alias Sandy dan Wildan gak ngekos disana tapi di lain tempat, dan Jevan sendiri punya apartemen, jadinya enam cowok yang mager bawa motor sendiri-sendiri ini harus ngejemput satu-satu temannya. Biasanya yang jadi sopir Brian, tapi kadang Sandy juga. "Seatbelt lo, Pon." ujar Brian memberitahu. Gue nurut. Seiring dengan tangan yang sibuk mengaitkan sabuk pengaman, bibir gue membentuk senyum tiba-tiba. Raras, i'm coming! * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN