* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Sekitar sepuluh menit gue nunggu Raras, akhirnya cewek itu dateng juga. Dengan style yang Raras banget—celana jeans biru, kaos yang dimasukkan, dibalut cardigan panjang dan high heels yang gak tinggi-tinggi amat—cewek itu selalu menawan di mata gue.
"Beh, lama amat lu." komentar Jevan usil saat Enzi duduk tepat di hadapannya.
Seperti biasanya, setiap kalimat yang keluar dari mulut Jevan adalah awal kenapa Enzi langsung meledak. Gue gak terlalu peduliin mereka berdua yang selalu adu bacot tiap ketemu. Fokus gue sekarang adalah Raras yang wajahnya bete asli.
Gue bisa nebak kenapa.
Apa lagi kalau bukan karena dia mau gak mau harus duduk di kursi samping gue.
Sebenernya, kursi di meja ini ada delapan. Tapi karena gue emang pengen duduk sebelah dia, jadi gue sengaja pindahin satu kursi ke meja lain. Haha, gue emang jenius.
"Duduk, Ras." ujar gue lembut ke arahnya. Raras melirik gue sekilas sebelum akhirnya menarik kursi yang tersisa dan mendudukinya.
Wangi parfum Raras yang udah lama banget gak gue cium sekarang hadir lagi. Hidung gue rasanya dimanjain. Apa gue udah pernah bilang kalau sejak gue sama Raras jadian, wangi Raras adalah candu? Asli, secandu itu.
Pas kita masih pacaran dulu, gue sering banget meluk dia cuman buat ngehirup wanginya. Pernah juga gue beli parfum yang sama kayak punya Raras—ga peduli baunya terkesan feminim—tapi anehnya, nyemprotin ke diri sendiri, tuh, bakal beda sama nyium langsung dari pacar gue.
Mantan maksudnya.
"Lo dapet cewek baru?"
Pertanyaan dari Enzi membuyarkan kegiatan flash back gue.
Jevan yang lagi ditanya langsung mengangguk. "Iye, kenape? Jealous lo tanya-tanya?"
"Dih, amit-amit. Bukan apa-apa, tapi kalau emang kita nongkrong dalam rangka lo bagi-bagi PJ, kenapa cewek lo malah gak lo bawa?"
Skak mat.
Pertanyaan dari Enzi bener-bener belum gue siapin. Gue pikir-pikir, t***l juga gue. Kenapa ngomongnya harus Pajak Jadian, sih? Kan kalau PJ emang harusnya bawa cewek baru juga.
"Cewek dia lagi sibuk UKM," Sandy buka suara.
Gue tersenyum lebar. Bapak yang satu ini emang bisa banget diandelin.
"Iya?" Raras dan tatapan menyelidiknya terarah tajam ke Jevan.
"Ya Allah, iya, Ras. Gak percayaan amat lu sama gua."
Tiba-tiba, mata Raras noleh ke gue. Ikut menyelidik gue juga.
Mampus.
Tapi karena gak mau ketahuan bohong, gue pura-pura g****k aja.
"Apa?" tanya gue polos ke arah Raras. Gue gak takut membalas tatapannya. Yang ada akhirnya kita malah saling tatap-tatapan. Beberapa detik di kasih kesempatan Tuhan buat menyelami mata indah itu, gue bisa ngerasain perasaan menggebu-gebu.
Kangen dan nyesel adalah yang mendominasi.
Raras menghela nafas sebelum memutus pandangan. Cewek itu menyandarkan punggung ke kursi. Kemudian menjadi pengamat di meja kami, sesekali merespon Enzi atau anak Enam Hari yang asik mengobrol apa aja.
Gue?
Gue disana emang cuman pengen ngelihatin Raras. Gue bahkan gak sungkan menumpukan pipi di tangan dengan kepala menoleh tepat ke arah Raras. Gue tahu pasti anak-anak yang lain berdecak geli dengan kelakuan yang gak tahu malu ini. Tapi apa boleh buat? Gue kangen ngelihatin Raras dari jarak sedekat ini.
Dulu, gue juga ada di posisi ini. Menjadi pendengar yang baik, menumpukan pipi di tangan, mendengarkan celotehan Raras yang lagi cerita tentang betapa banyaknya tugas kampus yang ia tempuh hari ini, atau betapa lelahnya dia karena dosen yang nyebelin, atau dia yang kangen sama gue karena gue sibuk latihan di studio sampe lupa ngabarin dia, dan cerita-cerita lain yang gak pernah gue lupa.
Dulu, gue juga pernah ada di posisi ini. Memandang lurus ke arah Raras yang lagi tidur usai pergulatan kami di ranjang. Karena pikiran lancang itu, mata gue sekarang langsung jatuh ke bibirnya. Bibir yang dulu gak pernah absen bahkan sehari untuk gue cicipi. Apa rasanya sekarang? Masih lipbalm stroberikah? Atau jeruk? Atau coklat? Gue mau tahu.
"Ekhm."
Deheman disengaja itu berasal dari Raras.
Gue langsung menegakkan punggung dan menatap anak Enam Hari yang sama-sama ngeliatin gue. Ngapain, dah? Dikira gue artis?
Pelayan datang gak lama setelah itu. Di antara dentingan piring, garpu, dan sendok yang berbunyi karena Enzi dan Jevan berebut nusuk steak di tengah meja, gue memilih mengajak Raras ngobrol.
Melihatnya mendekatkan mangkuk saus koloke ke depannya, gue membuka suara. "Masih seneng banget makan koloke?"
Raras ngelirik sekilas sebelum berdeham acuh. "Hm."
"Berarti masih sering ke Warung 99, dong?"
Warung 99 itu warung yang jualan nasi goreng, bakmi, dan koloke di deket kampus. Gue yang ngenalin warung itu ke Raras dulu, awal pacaran.
"Hm."
"Ham-hem ham-hem mulu dari tadi."
Raras mendentingkan garpunya di piring. "Terus lo mau gue ngomong apa?"
Buset, galak.
Gak sadar, kayaknya Jevan dari tadi ngamatin gue sama Raras. Hal ini terbukti karena cowok itu langsung nyaut abis denger Raras ngomong barusan.
"Itu yang baru putusan ceweknya jutek amat perasaan."
Gara-gara kalimat Jevan, yang lain jadi ikutan noleh ke gue. Jevan b*****t emang.
"PMS kali." ujar Wildan sambil mengunyah timun.
"Berapa kali kena bentak Raras, Pon?"
Gue nyengir aja. "Cuek banget dia sekarang, Zi."
Jevan berdecak geli. "Ras, jangan gitu, dong. Kasihan nih temen gue nangis mulu kalau malem di kosan."
Gue melotot. "Kagak ada, ya, kambing."
"Gak nangis kali, Jev." Brian membela. Gue langsung menatap Jevan meledek karena Brian ada di pihak gue.
"Tapi itu, tuh, tiap hari nggenjreng gitar sambil nyanyi, takkan pernah habis air mataku bila ku ingat tentang dirimu..." lanjut Brian.
Jevan ngakak sejadi-jadinya sampai gebrak-gebrak meja. "HAHAHA BENER ANJING."
"Fak." gue mengumpat. Malu sendiri sampe ga berani noleh ke samping.
"Bukan, Bri, bukan lagunya Kerispatih," Sandy ikut-ikutan. "Tapi lagunya itu, tuh, apa sih judulnya. Yang gini, saat kau tak adaaa, atau kau tak disiniiii!"
"Hiyaaaa."
"Hahaha, bangke!"
"Move on, Pon, move on!"
Semuanya makin tergelak sedangkan gue rasanya udah mau tenggelam di Samudra Hindia aja.
Ras, lo gak buta 'kan kalau sampai detik ini gue gak bisa ngelupain lo?
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Devon percaya kalau Raras itu emang punya alter ego alias kepribadian ganda. Dalam satu hari, cewek itu bisa jutek dan sejahat nenek lampir. Tapi besoknya, Raras juga bisa tiba-tiba baik dan lembut kayak awal jadian—walaupun pakai status mantan.
Kata Jevan kemarin, Devon gak boleh nyerah kalau emang dia pengen balikan sama Raras. Iya, kemarin malam usai pulang dari kafe, Devon cerita kalau dia sedih banget gara-gara Raras. Cewek itu sama sekali gak ngerespon rayu demi rayu yang dikasih Devon. Padahal Devon gak sekedar ngerayu, dia begini karena dia emang perhatian. Dia mau Raras luluh. Tapi kemarin hasilnya nihil.
Jadi siang ini, Devon sengaja buka Zenly dan mengintai lokasi Raras. Cewek itu lagi di kafetaria dan dengan informasi itu, Devon ngajakin Jevan buat nyusulin kesana. Jevan iya-iya aja, kasihan juga sama temennya yang udah kayak pengemis cinta.
Gak susah menemukan tempat duduk Raras apa lagi di mata Devon, cewek itu cantik banget, jadi sekalipun di tempat ramai dan banyak orang, wajah Raras gampang dibedain.
Devon langsung duduk dengan santai tepat di samping Raras, Jevan memilih untuk ke warung membeli soto sebelum menyusul bergabung ke meja mereka. Lagian, Jevan juga harus membaca basmallah sebelum kesana karena pasti sebentar lagi dia dan Enzi terlibat percecokan tak penting.
Raras kaget. Dia sampai berjengit dan menjauh sedikit karena tiba-tiba ada yang duduk di sampingnya. Kursi di kafetaria adalah kursi dari semen yang panjang, dan bukan satu kursi yang ditempati satu orang. Kursi tersebut bisa ditempati tiga orang sekaligus. Jadi bisa bayangin gimana Devon langsung nempel banget di samping Raras? Duduk tanpa jarak.
"Astaghfirullah," Raras sampai nyebut. "Lo ngapain tiba-tiba disini?"
Devon pura-pura cuek sambil mainan ponsel. "Gak papa."
"Gak papa?"
"Mau nemenin aja."
Raras mendengus kemudian memberi jarak di antara keduanya.
"Alus banget, Pak, kalau modus." komentar Enzi sambil menyedot pop ice-nya.
Devon gak merespon. Dia nyengir doang kemudian menoleh saat suara nge-bass milik Jevan berteriak kenceng banget. Devon yakin, nih, pasti pengunjung kafetaria yang lain juga kaget gara-gara suara Jevan.
"Von, titip gak?!" teriaknya.
Devon mengangguk dan mengisyaratkan bentuk rokok dengan jari telunjuknya dan tengahnya yang ia taruh di depan bibir—seperti sedang merokok. "Ice blast satu!"
Jevan mengangguk paham.
"Lah, lo ngapain ngajak babu lo segala, Von?"
Tuh, kan.
Enzi, tuh, emang gak bisa ngebiarin Jevan hidup tenang. Baru juga cowok itu duduk, udah disindir.
"Elu kali babunya Raras."
"Ih, enak aja lo ngomong!"
"Emang enak. Kan tinggal ngomong."
Tak memperdulikan kedua manusia yang kayak tikus dan kucing itu, Devon memilih membuka suara untuk mengajak gadis di sampingnya berbicara.
"Elo gak ada kelas, Ras? Apa udah selesai?"
"Udah beres."
Devon mengangguk-angguk. "Udah makan siang?"
"Udah."
Raras, nih, posisinya cuman lagi diem doang sambil nopang dagu. Matanya lurus menatap jalan raya. Devon jadi bingung, dong. Ini anak gabut banget apa gimana?
"Terus disini ngapain? Numpang ngelamun?" Devon bertanya, diakhiri dengan kekehan geli.
Raras melirik Devon kemudian melepas topangan dagunya. Dia kini menopang kedua tangannya di sisi tubuh. Kepalanya menoleh lurus ke arah Devon. Si cowok jadi deg-degan ditatap begitu.
"HP gue ketinggalan di kelas. Makanya gabut."
"Lah? Ketinggalan? Kok gak elu ambil? Kalau ilang gimana?"
"Ini gue disini lagi nungguin HP gue balik. Ada kating yang nemu HP gue, jadi dia nawarin buat ngasih langsung kesini."
"Oh, ya?"
Raras mengangguk.
"Baik banget. Elo yang butuh, dia yang nyamperin," ujar Devon. "Siapa, sih?"
"Kak Jonat. Elo tahu, kan? Dulu kita—" Raras berdeham karena hampir salah bicara. "Dulu gue sama elo pernah nonton pertandingannya pas ada acara kampus. Inget, gak? Yang main voli terus kenalan sama lo."
"Ah, Jonathan anak FIA?'
"Iya, Jonat yang itu."
"Gabut, ya, pasti kalau gak ada hape?" Devon bertanya.
"Banget."
Akhirnya, Devon mengangsurkan ponselnya kepada Raras. Si cewek langsung mengangkat alis bingung.
"Main hape gue aja. Game Pou punya lo belum gue uninstall, kok. Masih ada."
Raras agak ragu, tapi karena dia emang lagi bosen parah, akhirnya dia mengambil ponsel hitam milik Devon. "Beneran gak apa-apa gue pinjem?"
"Gak apa-apa."
"Ya udah."
Raras mengetuk dua kali layar cowok itu agar menyala, kemudian karena pergerakan jarinya terhenti oleh password, Raras membalikkan ponselnya menghadap Devon. "Password?"
"Tetep, kayak dulu."
Raras agak tertegun sesaat. Password yang sama seperti dulu artinya masih tanggal jadian mereka. Tapi Raras gak mau meleleh gitu aja. Dia dengan sok santai menekan angka-angka disana, dan... memang terbuka.
Keterkejutannya belum selesai disana karena apa yang ia lihat usai membuka password adalah wallpaper ponsel cowok itu yang masih fotonya. Foto selfie Raras, sendirian. Raras masih inget dulu dia sendiri yang masang foto itu buat wallpaper hape Devon waktu Devon tidur. Tapi pas bangun pun, cowok itu gak protes. Yang ada Devon malah terkekeh geli sambil bilang kalau fotonya lucu.
Ah, mungkin dia males ganti atau gak ada waktu buat ganti, makanya masih ini foto wallpapernya. Batin Raras gak mau baper.
Raras lanjut main ponsel, memainkan game favoritnya sepanjang masa, yang mungkin orang bilang itu game anak kecil, tapi Raras suka.
"Von, PUBG." ujar Jevan membuat kegiatan Devon yang lagi asik memperhatikan Raras fokus memberi makan Pou jadi terhenti. Ia mengangkat kepala menghadap temannya. "Apa?"
"PUBG, budek."
"Gak dulu. Hape gue lagi dipake dia." jawabnya sambil mengedikkan dagu ke arah perempuan di samping.
Devon mendengus. "Bucin mantan ya begini, nih."
"Kalau mau pake, pake aja, Von," Raras mempause game-nya. "Ini."
"Enggak. Lo pake aja. Lagian kasihan Pou-nya gak pernah gue urus. Kangen mamanya, tuh, pasti."
Rona merah gak bisa terhindar lagi.
"Raras?"
Seseorang memanggil nama cewek itu. Membuat empat manusia di meja tersebut sama-sama menoleh kemudian mendapati cowok jangkung dengan almamater khas anak Fakultas Ilmu Administrasi berdiri di samping meja.
"Eh, Kak." sapa Raras sambil berdiri.
Jonat menyapa Devon dan melakukan fist bomp sekadarnya. Begitu pula dengan Jevan-- walaupun sebenernya gak kenal-kenal amat.
"Ini, kan, hape lo?" Jonat menyerahkan Iphone gadis itu sambil tersenyum tipis. "Lain kali jangan ceroboh, ya."
"Tahu, tuh, Raras." Enzi ikutan berkomentar. "Mikirin apa coba sampai hape aja ketinggalan."
Raras meringis. "Iya. Sori banget, ya, Kak gue ngerepotin elo."
"Santai, sih. Ini juga sekalian mau balik ke kos," Jonat menghadap ke arah Devon. "Von, next time jagainlah hape cewek lo. Untung gue yang nemuin, kalau orang lain, kan, bisa beda cerita."
"Eh? Gue—" Raras berdeham. "Gue sama Devon cuman... temen, Kak."
"Loh?" Jonat mengernyit bingung beberapa saat sebelum akhirnya paham dengan situasi. "Udah gak... bareng?"
Raras menggeleng pelan, canggung. Devon sendiri memilih diam, masih belum bisa menerima kenyataan tentang yang satu ini. Enzi dan Jevan yang lagi ngunyah makanan aja sampai ikut berhenti.
Jonat tersenyum tipis. "Eung, kalau gitu... gue boleh minta ID Line lo?"
"ID Line?" Raras melirik Devon sekilas. "Oke."
Dan Devon bisa merasakan hatinya tertusuk bambu runcing, tepat di ulu hati.
Sakit banget, man.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Ceritanya, Raras sama Enzi balik lebih dulu. Jevan juga ada kelas. Akhirnya karena Devon gak ada kegiatan, dia nongkrong sendirian di kafetaria. Ada, tuh, dia satu jam disitu cuman ngabisin rokok sambil ngelamun. Beberapa anak dari jurusan yang sama kayak Devon ada yang nyamperin dan mau gabung di meja Devon, tapi sama dia diusir.
Kenapa?
Ya karena Devon lagi gak mau diganggu. Dia lagi mau menghayati kegiatan melamunnya sekarang.
Antara mejanya sama meja Jonathan dan beberapa anak FIA disana cuman berjarak sepuluh kaki. Diam-diam, Devon mengamati Jonath. Pikirannya melayang kesana-kemari menebak apa yang akan terjadi sama Raras dan Jonath setelah mereka tukar kontak tadi. Apakah mulai hari ini mereka bakal sering chatting? Apakah bakal ada acara ketemuan dan ngajak jalan? Apakah Jonath bakal serius ke Raras dan bikin mantannya jadi pacar dia?
Devon benci ketika spekulasi demi spekulasi di pikirannya terus bermunculan gak berhenti.
Gimana kalau emang ini adalah tanda kalau Devon harus mundur? Bahwa Jonath emang ada niat ngedeketin Raras dan Raras oke-oke aja sama itu?
"Cantiklah. Kapan, sih, gue nargetin cewek gak cakep?"
Samar-samar, Devon mendengar suara Jonath yang menyapa gendang telinganya. Ia menajamkan pendengaran. Tiba-tiba merasa penasaran dan ingin tahu.
"Tapi setahu gue dia galak. Ada, tuh, dulu temen gue juga pernah mepetin Raras, tapi gak berhasil soalnya si cewek judes minta ampun."
"Halah," Jonath mengibaskan tangannya sebagai balasan atas ucapan teman tongkrongannya. "Lo ngeraguin kemampuan gue?"
"Coba aja, deh, gue jamin lo gak bakal bisa."
Devon harap ia bisa melihat ekspresi Jonath sekarang untuk pertimbangan apakah Devon harus menghampiri kakak tingkatnya itu atau enggak. Tapi naas, posisi Jonath yang membelakanginya membuat Devon gak tahu, apa sebenernya Jonath ngomongin sesuatu yang positif atau sebaliknya.
"Tinggal gue cekokin dikit juga udah bisa gue bawa ke kasur."
Sampai akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibir Jonath.
Semuanya terjadi bergitu cepat ; Devon menginjak rokoknya asal, berjalan cepat, dan tanpa aba-aba, badan Jonath terangkat karena kerahnya ditarik, satu bogem mentah pun melayang tepat di hidungnya.
Krak.
Devon pastikan tulang hidung bangir milik Jonath harus patah sore ini juga.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Perkelahian antara Devon si drummer Enam Hari dan Jonath pemain voli andalan FIA tentu jadi perbincangan hangat di seantero kampus. Kafetaria mendadak ramai karena adu tinju yang terjadi sore itu.
Devon baru melepaskan Jonath usai—entah gak ngerti gimana ceritanya, Jevan dan Brian menghentikan perkelahian. Mereka membawa pulang Devon dengan paksa—karena awalnya Devon masih gak mau berhenti bahkan setelah hidung Jonath mengeluarkan darah sederas air terjun.
Bukannya mencoba mengerti perasaan Devon, Jevan dengan kurang ajarnya malah menoyor kepala cowok itu yang kini sedang menghidupkan mesin motor.
"Lo, tuh, kayak bocah tahu gak! Bisa-bisanya masih di wilayah kampus malah baku hantam."
Devon cuman berdecak, gak menanggapi banyak. Mood nya benar-benar rusak total dan ia gak butuh diceramahin.
"Gak usah bawa motor. Masuk ke mobil, gue bawa lo ke Puskesmas dulu biar diobatin." ujar Brian.
Tapi Devon masih tuli. Dia bahkan kini sudah menoleh ke kanan dan ke kiri melihat jalan raya, agar ia bisa segera menyebrang dan melajukan motor.
"Heh anaknya Pak Denis!" Jevan berteriak. "Lo mau kemana, Kambing?"
"Von."
"Gue gak papa."
Hanya itu yang dikatakan Devon sebelum akhirnya motor besar Devon melaju kencang membelah jalanan, meninggalkan Brian dan Jevan yang mencibir kesal sambil meninju angin. Buat apa mereka ngebut dari kos ke kampus kalau yang dijemput aja kelakuannya kayak begini?
Gak butuh waktu lama buat Devon akhirnya sampai di depan pintu. Bukan pintu kamar kosnya, melainkan pintu rumah perempuan yang sedang jadi pelaku kenapa wajahnya bisa babak belur kayak gini.
Ketukan kedua kalinya berhasil membuat si pemilik rumah membukakan pintu. Raras dengan kaos dan celana jeans panjang—kayaknya belum ganti baju sejak pulang kuliah—terkejut setengah mati melihat Devon berada di rumahnya dengan wajah mirip zombie. Lebam keunguan di rahang dan sudut mata, baju dengan sedikit percik merah, serta rambut yang udah gak karuan bentuknya.
"Von?"
Bahkan suara Raras sampai bergetar, lemas rasanya melihat Devon dengan kondisi seperti ini.
"Lo..."
"Gue boleh masuk?"
Raras tak menjawab, tapi kemudian ia membiarkan Devon dengan kurang ajarnya tiba-tiba menyuruh Raras menyingkir dari ambang pintu. Cowok itu langsung duduk di sofa single ruang tamu dan menyandarkan punggungnya disana. Nafas Devon masih tak beraturan. Masih banyak hal yang berkecamuk di pikirannya, tak bisa diam. Kalimat b******k dari seorang Jonathan masih terngiang berulang kali di telinga.
Raras langsung mengambil duduk di sofa sebelah Devon. Ia duduk dan mendekat, lututnya hampir bersentuhan dengan lutut Devon. Bohong kalau Raras gak khawatir, dia benar-benar tak bisa menahan raut wajah cemasnya.
"Von?"
"Hm."
"Lo abis berantem?"
"..."
"Lo abis berantem?" ulangnya.
"Iya," Devon gak menyangkal. "Berantem sama Jonath."
"Jonath?!"
"Jangan sama dia," ujar Devon tiba-tiba. Cowok itu menegakkan punggungnya. Kini ia sedikit meringis merasakan perih di sekitar matanya karena pukulan Jonath tadi. "Lo boleh cari siapapun buat jadi pengganti gue nanti, asal jangan Jonath."
Raras tertegun.
Lama ia dan Devon saling mengenal, ia hafal benar kalau Devon gak bakal ngelarang Raras ngelakuin sesuatu kalau bukan karena alasan yang jelas. Dengan kalimat pendek itu, apalagi Devon bilang kalau ini adalah alasan kenapa ia sampai babak belur, Raras cukup pintar untuk mengartikan maksud Devon.
"To be honest, gue emang gak minat sama Jonath dari awal."
Jawaban Raras membuat Devon langsung menatap lurus ke arah cewek itu.
"Gue gak suka cowok kayak Jonath. Lo tahu gue benci playboy," Raras menghela nafas sambil beranjak dari duduknya. "Tunggu disini, gue ambil P3K."
Selanjutnya, cewek itu meninggalkan ruang tamu untuk mengambil barang yang dimaksud, meninggalkan Devon yang sekarang menyesali aksi baku hantamnya dengan Jonath.
Kalau tahu Raras gak minat sama Jonath dari awal, gue gak bakal capek-capek mukulin dia. Batin Devon.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Salah satu contoh tamu gak tahu diri adalah seorang Devon Artama.
Cowok dengan kaos putih polos yang terbalut jaket levis itu tertidur setelah Raras mengobatinya tadi. Kurang ajarnya. dia belum terbangun sampai jam dinding menunjukkan pukul delapan malam kini.
Bayangin. Dengan posisi duduk di sofa, bisa-bisanya Devon ketiduran sampai selama itu. Raras tahu Devon sengaja kesini sore tadi, karena cowok itu hafal, setiap hari Jumat, orang tua Raras emang gak pulang karena menginap di Cibubur, di rumah kakek. Raras udah apal banget kelakuan si mantan.
"Kak, gue mau cabut."
Suara itu membuat Raras menoleh. Radit, sang adik, sudah memegang kunci motor dan mengayunkannya di tangan.
"Mau kemana malem-malem?"
"Kepo, deh."
"Gue laporin ke Mama ya, lo."
"Udah pamit, wle!" Radit menodongkan tangannya di depan Raras. "Minta duit, dong, Kak. Buat isi bensin doang."
Raras melotot. "Gak. Lo kira gue udah kerja apa gimana bisa-bisanya minta ke gue."
"Ya elah, uang bensin doang," Radit menggosok hidungnya yang tiba-tiba gatal. "Lo mau gue cepuin ke Papa kalau Kak Devon nginep disini?"
"Dia gak nginep, anjir. Fitnah mulu."
Radit menatap tak percaya ke arah Raras, membuat kakaknya jadi berdecak. "Ambil di dompet gue. Tasnya ada di meja makan."
Radit tersenyum lebar. "Oke! Love you, sis!"
Setelah kepergian Radit, Raras kembali melirik Devon yang masih tidur tenang. Raras mencibir. "Pasti bangun-bangun badannya encok semua. Untung udah jadi mantan. Kalau masih pacaran pasti gue disuruh mijetin dia."
Kaki cewek itu memilih melangkah mendekat ke arah Devon yang meringkuk di sofa. Tangannya menggerak-gerakkan lengan atas cowok itu agar segera bangun.
"Von," panggilnya berbisik. "Devon, bangun."
Laki-laki itu melenguh pelan tapi tak kunjung bergerak maupun membuka mata.
"Devon, bangun ih. Pindah ke kamar aja. Jangan tidur disini."
Devon akhirnya mengernyit, membuka mata sedikkit, mencoba menguasai kantuknya. "Kamar?"
"A..." Raras menggigit bibirnya, "Iya. Emang lo mau tidur di ruang tamu?"
Devon menatap Raras bingung. Cowok itu duduk tegak kini, tangannya mengusap mata beberapa kali, berusaha menghilangkan kantuk tapi tak berhasil. Devon benar-benar ingin tidur.
"Raras?"
"Apa."
"Gue kayaknya demam, deh," ujar cowok itu tiba-tiba. "Badan gue meriang banget."
"Ck, kan," Raras siap mengomel. "Elo, tuh—udah, sana, pindah ke kamar dulu. Gue beliin obat di apotik."
Devon berdiri sambil meringis. Ia benar-benar pusing sekarang.
"Ayo," ajak Raras. "Masih bisa jalan, kan? Apa perlu gue gendong?" tanya cewek itu sarkas yang dibalas Devon dengan kekehan geli.
Cowok itu mengikuti Raras masuk ke kamar. Ada perasaan lega dihatinya tepat saat kakinya menapak lantai kamar gadis itu. Dulu kamar ini sering ia tempati. Dulu Devan gak segan pulang langsung ke rumah Raras buat sekedar tidur di kamarnya sebelum berangkat kelas lagi. Dulu kamar ini penuh memori indah.
Semerbak hawa menenangkan dari ruangan ini membuat Devon tak bisa menahan senyum. Walaupun udah gak menemukan figura foto mereka berdua di atas meja, Devon bersyukur masih punya kesempatan tidur di atas kasur tersebut. Lagi. Setelah sekian lama.
Raras memaksa Devon untuk langsung berbaring. "Tidur dulu aja. Gue pergi bentaran."
Dengan posisi berbaring, Devon mengangguk pelan. Ia memejamkan mata usai menarik selimut wangi Raras sampai menutupi lehernya. Kemudian langkah kaki Raras terdengar menjauh, mungkin gadis itu sudah pergi, apa lagi pintu yang ditutup pelan juga terdengar.
Tapi tak lama kemudian, ada pijakan langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Devon ingin membuka mata tapi pusing yang menyerangnya tak mengizinkan ia untuk melakukan itu. Jadi Devon tetap diam, pura-pura tidur saja.
Sayup-sayup di ambang kesadarannya, Devon merasakan kecupan kecil di pelipisnya. Di susul suara Raras yang berbisik lirih.
"Cepet sembuh, bayi."
Senyum tipis terulas jelas di bibir Devon.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *