* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Devon sempat bangun untuk minum obat setelah Raras kembali dari apotik. Dengan kepala berat dan pusing yang semakin menjadi-jadi, Devon jelas langsung tidur. Hal yang sedikit membuatnya tidak enak karena ia lupa, setelah ia tidur di ranjang Raras, apa yang mantan kekasihnya itu lakukan? Dimana Raras tidur?
Untungnya, sekitar pukul setengah satu, Devon terbangun karena gerah. Keringatnya mulai bercucuran. Mungkin efek usai ia minum obat dan beristirahat. Devon bangun karena terkejut menemukan dirinya yang berada di kamar asing—bukan asing, sih, tapi mengingat ia sudah lama tidak menginjak lantai kamar Raras, jadi ia masih sedikit terkejut. Perlahan, ia bangkit dari tidurnya, menyibakkan selimut tebal yang dari tadi menggulungnya hingga leher—pasti kerjaan Raras.
Suara berisik dari lantai bawah membuat Devon memilih menggerakkan kakinya kesana. Karena dia tak menemukan Raras di kamarnya, ia kira yang ada di lantai satu adalah perempuan itu. Tapi ternyata tebakannya salah.
“Lah, Kak?” Radit menghentikan pergerakannya yang sedang mengotak-atik stik game PS nya untuk mendongak ke arah Devon yang berdiri di dekatnya. “Kok elo bangun?”
“Iya, kebangun.”
“Sori, gara-gara gue berisik, ya? Kata Kak Raras elo lagi sakit. Tidur aja lagi. Gue abis ini juga udahan, kok.”
Devon menggeleng. “Kagak. Santai, elah. Kayak sama siapa aja lo.”
Radit meringis.
“Kakak lo dimana, sih? Kok di kamar gak ada?”
“Dia tidur.”
“Lah?” Devon mengernyit. “Tidur dimana?”
“Di kamar gue,” Radit membereskan stik gamenya, lalu membereskan beberapa bungkus makanan yang berceceran. “Gue kira kalian lagi berantem. Tumbenan dia gak mau tidur sama lo.”
Devon langsung tertegun. Ia bisa mengambil kesimpulan. Sepertinya mantan kekasihnya itu tidak bercerita tentang kandasnya hubungan mereka. Maka dari itu, Radit terlihat tidak ngeh dengan betapa ngenesnya Devon sekarang yang lagi mengejar Raras biar mau balikan sama dia.
“Dia bilang mau tidur sama elo?”
Radit mengangguk. Kemudian berdecak kesla karena ingat kakaknya menumpang tidur di kasurnya. “Ini gue mau balik ke kamar. Ngantuk.”
“Eh, wait, wait. Gue bangunin Raras dulu, ya? Biar pindah ke kamar dia aja.”
“Ya elah, Kak. Ngebet amat lo mau tidur sekasur.”
Devon meringis. “Kangen. Mohon dimaklumi.”
“Ya udah sana susulin.”
“Sip,” Devon mengangkat jempolnya. Kemudian meringis saat ia hendak mengangkat kaki melangkah menjauh karena pusingnya kembali terasa. “Gue ke kamar lo dulu.”
“Yoi.”
Ia segera naik ke lantai atas lagi. Membuka kamar Radit yang gak terkunci—iya, dia mutusin buat langsung buka pintu dan masuk dari pada harus ketuk pintu yang mana malah ngebangunin Raras.
Devon sudah berancang-ancang menggendong tubuh Raras. Sekali lagi, dia gak mau cewek itu terbangun. Kenapa? Karena Raras sudah jelas bakalan seratus persen nolak mentah-mentah kalau tahu Devon mau tidur satu kasur dengan dia. Padahal Devon bukan punya maksud mau ngapa-ngapain. Dia juga sadar, kok, kalau mereka masih gak punya statsu apa-apa selain jadi mantan. Dia gak bakalan berani ngapa-ngapain Raras. Devon hanya ingin mengambil kesempatan agar bisa memeluk Raras semalaman saja.
Cewek yang baru dipegang tengkuknya sebelum Devon mengambil tubuhnya untuk digendong iku langsung menggeliat. Kemudian perlahan matanya terbuka. Devon jadi dag dig dug sendiri.
“Devon?”
Yah, gagal sudah.
Devon menjauhkan tangannya. Kini memilih duduk di tepi ranjang karena Raras sudah benar-benar terbangun. Matanya sudah terbuka penuh.
“Lo ngapain disini?”
“Ayo pindah. Lo ngapain tidur disini?”
“Lo aja yang tidur di kamar gue.”
“Kenapa?”,
“Hah?” Raras mengernyit bingung. “Kan elo lagi sakit. Gue udah bolehin lo nginep di rumah gue. Makanya pakai aja kamar gue.”
“Elo mau tidur dimana?”
“Disini.”
“Sama Radit?”
Raras mengangguk.
“Radit udah gede, Ras. Dia jelas keganggu, lah, lo numpang tidur sama dia.”
“Gak papa.”
“Ras...” Devon menghela nafas. “Lo gak mau tidur di kamar lo karena ada gue, kan?”
Raras gak menjawab. Devon mengambil kesimpulan bahwa jawabannya adalah iya.
“Ya udah, guenya gak usah tidur di kamar lo. Gak papa. Gue tidur di depan aja. Atau gue bisa pulang sekarang, gak apa-apa. Lagian pusingnya udah mendingan.”
“Apaan, sih, lo?!” Raras langsung menyemprot sebal. “Belum bener enakan udah sok-sokan mau balik sekarang. Biar apa? Biar mau kecelakaan di jalan?”
“Ya enggak, gitu, Ras...” Devon jadi menciut karena dibentak begitu. “Radit tadi, tuh, mukanya kayak sebel gara-gara lo tidur disini. Gue yang gak enak sama dia, Ras, kalau cuman karena gak mau sekamar sama gue, lo nya milih ke kamar Radit. Paham gak, sih, maksud gue?”
Raras berdecak. “Udah, sih, gak usah mikirin Radit.”
“Mana bisa.”
Devon lalu berdiri. Karena menghadapi keras kepalanya Raras bisa-bisa membuat otak Devon meledak. “Udah, balik aja lo ke kamar. Gak apa-apa gue balik aja sekarang.”
“Devon!”
“Gak papa, Raras. Santai, gue udah enakan ini abis minum obat yang lo kasih.”
Cowok itu langsung keluar dari kamar Radit, melangkah menuju kamar samping alias kamarnya Raras. Walaupun cowok itu pura-pura cuek, dia tahu Raras langsung mengikutinya. Devon tahu Raras khawatir dan udah siap ngomel kalau emang cowok itu nekat balik di jam sebelas malam begini. Bukan jam sebelasnya yang jadi masalah, tapi Raras gak yakin benar-benar udah sembuh.
“Mau kemana lo?”
Melihat Devon yang udah nyabut hape dari chargernya, Raras langusng menodongkan pertanyaan itu. Devon gak jawab. Situasi malam ini jadi kayak adegan di sinteron Indosiar. Yang mana suami istri lagi ribut terus istrinya mau minggat dari rumah, terus sama suaminya makin dimarahin. Bedanya kalau disini, yang jadi istri itu Devon, yang jadi suami itu Raras. Lihat aja ekspresi sangarnya Raras yang udah siap menelan Devon hidup-hidup kalau sampai cowok itu berani nekat balik jam segini.
Raras menghela nafas kasar kala tahu bahwa Devon sengaja pura-pura tuli.
“Ya udah, gue balik tidur disini. Gak di kamar Radit.” ucapnya tiba-tiba. Membuat Devon menyeringai dalam diam. Beruntung dia lagi membelakangi Raras. “Lo balik besok aja. Paham?”
“Beneran?”
“Iya. Gue tidur disini.”
“Sama gue?”
Raras diam. Tak menjawab. Ia bahkan langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Devon jadi menghela nafas. “It’s okay. Kalau gitu, elo tidur di kasur. Gue di sofa.”
Gak apa.
Devon beneran gak papa kalau harus tidur di sofa walaupun badannya belum sembuh seratus persen. Ia gak masalah sama sekali, selama itu membuat dia bisa memperhatikan Raras selama gadis itu tertidur, dan menemukan perempuan itu juga kala pagi nanti ia terbangun.
Hei, Raras yang mau membantunya, emmbiarkannnya menginap, membelikannya obat, hingga mengizinkan Devon berada di satu kamar dengannya adalah sebuah kemajuan pesat. Rasanya gak tahu diri aja kalau Devon masuih memaksa dan ebrharap Raras memberikan ruang agar mereka bisa tidur dalam satu ranjang yang sama.
Melihat Raras yang memasang wajah gak yakin alias sedikit gak enak kalau harus membiarkan Devon tidur di sofa, Devon kembali buka suara.
“Gak papa, Raras. It’s totally okay. Gue malah yang makasih karena udah dibolehin nginep disini.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Keesokan harinya, Devon tetap jadi Devon Artama.
Seolah-olah ia masih terikat status pacaran dengan Raras, seolah-olah dia belum putus dari perempuan itu, Devon bisa-bisanya bangun pukul sembilan pagi. Tapi sesungguhnya ini gak disengaja. Mengingat Devon memang bukan tipe orang yang suka dan bisa bangun pagi, jadi ya begini.
Ia bangun dengan punggung yang rasanya sakit semua, rasanya semua tulangnya akan patah dalam hitungan detik saking tidak nyamannya. Yang memuatnya terkejut adalah, yang pertama, dia mendapati selimut Raras menutupi tubuhnya. Demi apapun, Devon ingat kemarin malam dia hanya memakai selimut yang baru dibuka dari plastik laundry, sedangkan selimut biru tua itu dipakai Raras. Oke, Devon bisa mengambil kesimpulan bahwa pasti mantan kekasihnya memberikan selimut ini pagi tadi.
Yang kedua, matanya terbuka dan tak mendapati Raras ada di kasur, belum lagu cahaya matahari yang mengintip di balik tirai jendela sudah sangat cerah, Devon yakin ia bangun kesiangan. Dan itu terbukti kala ia sudah lari-lari ke lantai bawah, dia mendapati Raras yang sudah di dpaur, entah sedang memasak apa, hanya saja perempuan yang membelakanginya itu sedang memakai apron.
“Ras.” panggil Devon pelan.
Cowok itu hendak menghampiri Devon, hampir saja punya niatan memeluk Raras dari belakang kalau saja ia tidak ingat bahwa ia dan Raras bukan lagi sepasang kekasih.
“Duduk aja. Gue lagi masak.”
Kaki Devon langsung berjalan mundur. Menuruti permintaan Raras. Kini dia duduk tenang di ruang makan. Mendapati meja makan yang masih kosong mlompong, Devon memilih mengamati Raras aja.
“Bangun jam berapa, Ras?”
“Barusan.”
“Oh, ya?”
“Setengah jam yang lalu.” ralat Raras. Cewek itu menoleh ke belakang, mengamati Devon sekilas lalu kembali mengiris wortel. “Lo gak mau mandi dulu?’
“A... eum,”
“Udah enakan bener, gak? Kalau udah, ya enggak apa-apa mandi.”
“Udah, sih...”
Karena jawaban Devon tak meyakinkan, Raras memilih untuk menghampirinya saja usai mencuci tangannya singkat. Devon termundur dalam duduknya karena kaget tiba-tiba Raras memperpendek jarak di antara mereka.
“Gue cuman mau ngecek suhu,” jelas Raras menjawab kebingungan.
Devon meringis. Ia diam saja sambil sedikit melirik ke Raras yang tangan dinginnya sedang memegang dahi dan lehernya bergantian.
“Agak anget. Cuci muka aja, deh, gak usah mandi.”
Devon mengangguk. “Gue pakai kamar mandi lantai satu gak apa-apa?”
“Gak papa.”
“Oke.”
Laki-laki itu langsung melewati Raras untuk masuk ke kamar mandi yang ia masuk. Dia menggosok gigi dan mencuci wajahnya dengan sabun muka yang tersedia disana. Gak membutuhkan waktu lama buat dia untuk menyelesaikan semua urusannya disana sebelum ia kembali keluar dari kamar mandi.
“Gue boleh bantuin?” tanya Devon kala sudah merasa tangannya kering usai mengusakan pada tisu kering.
Raras mengernyit. “Gak.”
Devon jadi diam. Ia duduk di kursi bar. Mengamati gadis yang memakai apron tersebut dalam diam. Tangannya bertumpu satu di dagu. Tiba-tiba sekali, senyumnya terbit tipis.
Tak pernah ada di bayangan Devon kalau akan ada hari dimana ia bisa menginajk rumah Raras lagi sedangkan keduanya putus dengan tak baik-baik. Ia gak tahu kalau ada kesempatan besra yang tiba-tiba membuatnya bisa tidur di kasur perempuan itu lagi, memandangi Raras yang sedang memasak, dan hal-hal yang ia dapatkan lainnya semenjak kemarin ia datang kesini dengan luka di wajah.
Ah, nyatanya baku hantam yang ia lakukan dengan Jonath kemarin tak begitu buruk. Atau bisa diralat, itu malah membuahkan hasil baik.
Tentu saja masih ada perandaian yang muncul di kepalanya.
Andai saja.
Andai saja keduanya tidak putus. Bisa jadi pagi ini Devon melontarkan pernyataan random tapi tulus dari hatinya berupa, “Ras, ngeliat kamu masak begini jadi kebayang kalau aku nikah sama kamu nanti, deh.”
Iya. Memang itu yang sedari tadi dipikirin Devon kala mendapati gadis cantik itu bergelut fokus dengan bahan masakan dan alat masak. Pemandangan yang terlalu berharga untuk dilewatkan.
“Kak.”
Suara itu membuat Raras dan Devon sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Menemukan Radit tak berkaos sambil menguap lebar, baru selesai menuruni tangga.
“Papa Mama belum pulang?”
Raras menggeleng. “Lo gak baca grup?”
“Apa?”
“Papa bilang balik sore.”
“Oalah.”
Selanjutnya, adik satu-satunya Raras itu menghampiri Devon—lebih tepatnya hendak mengambil air putih di dekat sana. “Udah sembuh, Kak?”
Devon mengangguk sambil nyengir.
“Lo kemarin sakit apa, sih? Kata Kak Raras lo demam, tapi kok sampai bengkak rahang lo?”
“Abis baku hantam juga.”
Radit hampir menyemburkan minumnya.” Lo abis berantem?”
“Iya.”
“Sama siapa?”
“Lo ngapain, sih, kepo amat, Dit?”
Nah, yang itu bukan suara Devon. Melainkan Raras.
“Ye, apa, sih, orang gue tanya Kak Devon.”
“Ada lah, sama cowok.” jawab Devon akhirnya. “Anaknya gangguin kakak lo.”
Radit berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia menoleh pada Kakaknya yang kini terlihat meyeduh sesuatu di sendok. Sepertinya sedang mencicipi hasil masakan. “Tuh, Kak, lihat. Gara-gara elo Kak Devon sampai ribut.”
Raras hadir ke meja makan, menata hasil masakannya disana, diikuti Radit dan devon yang lalu duduk nyaman disana.
“Dih, apaan, sih, Dit.”
“Apaan, apaan. Tanggung jawab lo kak Devon sampai babak belur.”
Devon disana hanya tertawa melihat kelakuan Radit.
Dulu, sebelum ia dan Raras putus, Radit dan orang tua Raras memang sangat menyayangi Devon. Seakan-akan Devon sudah jelas akan jadi menantu di keluarga mereka. Untungnya tidak ada yang berubah karena Raras memang tidak menceritakan tentang kandasnya hubungan mereka pada keluarganya.
“Makanya gue biarin dia nginep sini. Gue yang ngobatin. Lo kira itu bukan bentuk tanggung jawab gue?”
Dua orang di hadapannya masih berdebat. Devon sebagai pendengar disana jelas anteng dan diam saja. Senang bukan main karena Radit membelanya.
Radit baru akan kembali membantah namun karena matanya menemukan sesuatu yang aneh di meja makan, bocah SMA itu jadi membelalak. “Kak, lo masak bubur doang?!”
“Hm.”
“Lah, gue sarapan apa, anjir?”
“Pesen aja. Gue males masak.”
“Ya elah, mentang-mentang pacar lo sakit yang dimasakin cuman Kak Devon. Gak adil banget.”
Oke, kayaknya Devon gak salah, dong, klau tiba-tiba mendengar kalimat itu jadi terenyuh? Dia melirik Raras, yang ternyata juga sedang meliriknya. Devon langsung tersenyum geli kala mendapati Raras salah tingkah sendiri.
“Pesen, Dit. Grabfood sana, gue yang bayarin.” ujar cewek itu setelah berdeham, menutupi canggung yang dirasakan.
“Beneran? Lo bayarin?”
“Iya, berisik.”
“Alah, nanti lo nipu gue kayak kemarin-kemarin. Nyuruh gue pesen grab food tapi pas abangnya dateng lo gak mau bayar. Ujungnya gue yang bayar sendiri.”
Devon tertawa. “Emang iya, Dit?”
“Iya. Kelakuan pacar lo, tuh, Kak.”
Pacar lo. Pacrar lo. Pacar lo.
Dua kata itu terasa menyenangkanuntuk didengar telinga Devon.
“Pesen aja, Dit. Gue yang bayar.” kata Devon kemudian.
Lagi pula laki-laki itu sedikit merasa tak enak dari kemarin banyak merepotkan. Tak ada salahnya kalau ia membelikan sesuatu untuk adik mantan kekasihnya ini.
“Sekalian buat Raras juga.”
“Gue gak usah.”
“Emang lo mau sarapan bubur?”
Raras diam sesaat sebelum menjawab dengan nada gak yakin. “Iya.”
“Lo gak suka bubur, Ras,” kembali Devon berucap. “Pesen aja, sih, gak apa-apa. Dit, minta tolong pesenin juga buat kakak lo.”
“Siap, deh.”
Raras hanya mendengus. Kemudian ia mendorong mangkuk kosong ke hadapan Devon membuat cowok itu menatap Raras bingung. “Apa?”
“Ambil buburnya. Sarapan dulu. Udah mau siang ini.”
“Ooh..”
Devon langsung menuruti. Ia mengambil bubur yang terlihat lezat—tapi dari sekian banyak masakan Raras yang selama ini ia pernah coba, bubur adalah yang paling Devon suka. Bukan, bukan Devon suka bubur, tapi makanan yang paling enak yang bisa Raras masak adalah bubur.
“Abis makan, obatnya minum lagi.”
Devon tersenyum kecil. Udah jelas, sih, cowok itu baper bukan main dengan perhatian Raras. Padahal dari kemarin-kemarin ia malah dijudesin mulu. Cowok itu menyuapkan bubur ke dalam mulutnya, merasakan bumbu yang meresap dengan pas di lidahnya.
Raras terlihat mengamati raut wajah Devon, mungkin sedang menunggu reaksi apa yang akan diperlihatkan Devon setelah mencicipi bubur buatannya tapi cewek itu terlalu gengsi untuk bertanya. Jadi Devon juga sengaja jahil, dia memasang ekspresi biasa aja.
“Kak, elo gue pesenin nasi pecel.”
“Lele?” Raras tanya.
“Iya. Yang di Bang Udin biasanya.”
Raras mengacungkan jempol sebagai jawaban. “Makasih.”
“Ngapain makasih ke gue? Makasih ke Kak Devonlah. Orang dia yang beliin.”
Raras melirik Devon yang menatapnya santai. Cewek itu menggerutu sebal dalam hati. Ia tahu benar Devon pasti merasa menang karena Radit terus-terusan bersikap begini. Yang mana ini sangat menyudutkan Raras.
“Makasih,” ujar Raras kemudian. Lirih sekali. Hampir gak terdengar. Apa lagi intonasinya tidka enak didengar.
“Apa? Gak denger?” Devon sengaja.
Raras mendelik. “Ma-ka-sih.”
Devon menyeringai dalam hati.
“Jangan makasih doang. Suapin gue, dong. Masih lemes ini tangan gue.”
Raras makin melotot. Beruntung Radit sedang bermain dengan ponselnya, sibuk sendiri, jadi tak tahu bahwa kakaknya sedang sebal sedemikian rupa.
“Tuh, Kak, suapin. Lagian pacar lagi sakit disuruh makan sendiri,” ujar adiknya masih dengan tangan bergerak cepat di atas layar handphone.
“Tuh, Ras, dengerin.”
Merasa disudutkan begini, Raras tak mau mudah kalah. “Ogah.” jawabnya kemudian. Dengan kedua tangan bersidekap di depan d**a. “Salah siapa juga sok-sokan berantem sampai sakit?”
“Dia, kan, belain lo, Njir.”
“Dit, lo diem deh.”
“Dih, galak. Emang bener, kok.” Radit mengangkat kepala, menatap kakaknya dengan mata memicing. “Disuruh nyuapin aja gak mau.”
Kali ini rasanya gak ada pilihan lain. Dengan ogah-ogahan, Raras pindah duduk di samping devon, mantan pacarnya. Ia menarik mangkuk yang sudah terisi bubur itu, lalu mulai menyendok.
Devon tersenyum puas. Sangat puas. Ia merasa menang di atas awan. Senang bukan main. Cowok itu membuka mulut, membiarkan Raras menyuapinya walau dengan tampang malas.
Raras mendumel dalam hati. Kalau udah bisa nyebelin kayak gini, mah, artinya udah sembuh.
“Jangan merengut, dong, Ras. Gue lagi sakit ini.” ujar Devon, sengaja, biar Radit dengar dan memarahi kakaknya lagi.
“Apa, sih, Von?” Raras menyendok bubur lagi, kali ini sengaja dengan grusah-grusuh hingga benturan antara sendok dan mangkuknya berdenting keras. Devon menahan tawanya. Ia malah bahagia di atas penderitaan orang lain.
“Abis makan lo langsung pulang,” bisik Raras pelan, tapi ia tahu Devon mendengar. Dengan tatapan tajam, Raras melanjutkan. “Gak usah banyak alasan.”
“Tapi gue—“
“Gak usah banyak alasan.”
Skak mat.
Baru juga seneng, udah diusir suruh pulang. Devon menggerutu dalam hati.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Seperti biasanya, Raras dan Enzi akan selalu berdiam diri di kelas usai mata kuliah mereka selesai. Beda dengan mahasiswa mahasiswi lain yang biasanya lebih suka langsung keluar kelas, Enzi dan Raras malah sebaliknya. Menunggu kelas sampai kosong mlompong lalu malah bercerita disana—setidaknya sampai mahasiswa dari mata kuliah lain datang dan itu waktunya mereka pergi.
Tapi karena setelah mata kuliah mereka tidak ada mahasiswa kelas lain yang menggunakan kelas, alhasil keduanya memutuskan disana saja. Duduk bersampingan dengan mata fokus pada ponsel masing-masing.
Di tengah heningnya ruangan selama bermenit-menit, Enzi tiba-tiba bersuara.
“Eh, Ras, lo udah tahu belum kemarin Devon baku hantam sama Jonath?”
Nah, soal yang satu ini, Enzi emang gak tahu apa-apa kalau Raras jelas udah tahu. Enzi bener-bener gak tahu, apa lagi soal Devon yang sampai menginap di rumahnya karena sakit. Tapi Raras pun emang gak ada niat buat ngejelasin. Pertama, gak ada gunanya juga buat diceritain—walaupun sebenarnya Raras pengen bilang ke Enzi karena sejak kemarin, Raras sering kali dibikin baper sama kelakuan mantannya yang satu itu. Yang kedua, karena Enzi suka banget ngecengin Raras.
“Dapet info dari siapa lo?”
“Dari grup. Rame banget anjir. Emang dasar, ya, kalau yang ada hubungannya sama Devon nyebarnya cepet kayak petir.”
“Jonath juga hits, kali, Zi. Makanya langsung famous berita, ya.”
Enzi mengangguka-ngguk cuek menanggapi. “Eh, tapi sumpah, sih, gue penasaran. Kenapa bisa coba mereka berdua gelut? Masa ngerebutin lo, sih?”
“Ngaco. Ngapain jadi gue?” Raras pura-pura gak tahu. Ia meminum botol air mineralnya dengan santai, dengan ekspresi polos.
“Soalnya kemarin Jonath minta ID line lo, kali? Terus Devon emosi jadi nantangin dia gelut? Kating, anjir, berani amat itu anak.”
“Kagaklah. Ya, kali, Devon gelut gara-gara itu. Lagian kemarin pas kita balik dari sana, Devon sama Jonath, kan, baik-baik aja.”
“Nah, makanya itu. Kenapa abis kita pulang malah mereka gelut? Aneh.”
Raras mengedikkan bahu. “Cabut, yuk, Zi. Laper gue.”
Tanpa mengangguk atau menjawab sepatah kata, Enzi langsung berdiri pertanda setuju. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tote bag yang tersampir di pundak kirinya.
“Makan apa, ya, enaknya?”
“Bakso aja gue,” Enzi menjawab. “Lagi BM dari kemarin.”
“Ya elah, kemarin udah bakso.”
“Iya juga, sih.”
Langkah dua perempuan cantik itu lurus ke depan, kini keluar dari pintu kaca belakang gedung jurusan mereka untuk ke kantin lewat jalan tembusan. Emang lebih cepet lewat sana dari pada harus muter-muter pakai jalan umum yang biasanya, apa lagi Raras dan Enzi baru selesai masuk kelas yang ruangannya ada di pojok lantai tiga. Jauh banget, Bro.
Beruntung siang ini kantin tak terlalu ramai. Bahkan dalam sekali lihat, Enzi dan Raras bisa menemukan banyaknya kursi kosong yang jadi pilihan untuk mereka duduki.
“Sini aja.” Raras memilih meja kosong yang mana tempatnya lebih dekat untuk ke stan-stan makanan. Enzi mengangguk setuju kemudian memilih duduk di hadapan Raras. Mengingat bentuk kursi yang tersedia di kantin jurusan mereka adalah panjang dan bisa dipakai hingga empat orang, jadilah Enzi dan Raras bebas memilih duduk di sudut kanan atau kiri.
“Gue pesenin. Lo mau apa?”
Raras diam sejenak. Tapi matanya bergerak cepat melakukan scanning. Lalu berhenti di stan yang menjual soto. “Soto, ya. Jangan dikasih kubis, bilangin Ibunya.”
“Oke. Sama?”
“Jus apel.”
“Oke. Bentar.”
Selanjutnya, Enzi berjalan menjauh ke stan yang menjual bakso, pilihan gadis itu sendiri. Raras hanya menggeleng-geleng kepala karena Kebiasaan Enzi yang satu itu. Raras gak cuman sekali dua kali mengingatkan Enzi untuk gak kebanyakan makan bakso. Udah tahu baaya dan bikin penyakitan kalau di konsumsi tiap hari, tetep aja cewek itu gak nurut.
Dalam seminggu, Enzi bisa tiga sampai empat kali makan bakso. Itu terhitung pas sama Raras di kampus doang. Belum kalau yang gak ketahuan Raras misalnya pas lagi hang out sama gebetannya dan pesen bakso lagi.
Raras mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Benar-benar gabut nungguin Enzi yang ternyata memilih menunggu makanan di depan stan alih-aih duduk bersamanya dan membiarkan makanannya datang diantar.
Merasa bosan, cewek itu mengeluarkan ponselnya, lagi.
Kalau udha seperti ini, kadang sempat terlintas di pikiran Raras pada siapapun orang yang menciptakan ponsel karena benda persegi panjang itu banyak membantu. Apa lagi kalau lagi gabut gak tahu mau ngapain, gak kebayang bagi Raras mau ngapain kalau gak main sama hape.
Dia membaca isi grup salah satu mata kuliahnya yang memberi informasi tentang tugas pertemuan minggu ini berupa membuat power point secara individu yang dikumpulkan lewat Google Drive. Scroll, scroll, scroll. Raras membacanya pelan dan memasukkannya ke dalam otak. Jemarinya membintangi satu-persatu pesan yang sekiranya penting dan perlu disimpan.
“Nih, Nyonya.”
Enzi membuat Raras mengalihkan perhatian. Cewek itu nyengir. “Makasih, Sist.”
“Iye, sama-sama.”
“Jusnya dianter?”
Enzi mengangguk. “Antri katanya.”
“Oh, oke. Abis ini ingetin balikin duit lo.”
“Ye, apaan, sih, anjir. Kemarin, kan, udah bagian lo bayarin gue. Hari ini, ya, guelah.”
Ada peraturan gak tertulis yang diciptakan kedua perempuan tersebut. Jika pada satu hari salah satu dari mereka ngebayarin bill, artinya keesokan harinya yang ngebayarin bakalan gantian. Gak tahu rule ini berlaku sejak kapan, cuman yang pasti sejak lama. Tahu-tahu mereka selalu oke-oke aja kalau disuruh ngebayarin duluan, dan keesokan harinya selalu ngebayarin balik lewat bayarin makanan atau pas belanja. Gak pakai itung-itungan spesifik kayak misal hari ini Enzi ngebayarin seratus ribu, besoknya Raras harus bayarin makanan yang harganya segitu juga. Enggak. Yang paling penting judulnya ’udah ngebayarin balik’ aja.
Mereka berdua makan dalam diam. Hanya dentingan antara mangkuk dan sendok yang terdengar, juga keramaian beberapa orang di kantin yang kalau ngomong kayak lagi teriak.
“By the way, Han.”
Yang diajak ngomong jadi menghentikan kegiatannya menyeruput kuah soto untuk melirik Enzi sesaat.
“Gue penasaran, deh. Lo sama Devon pernah chattingan gak, sih, abis putus?”
“Pernah.”
“Oh, ya?”
“Iya. Pernah kapan hari, tuh, dia ngechat mau ngambil barang di rumah gue. Itu chat pertama setelah gue sama dia putus.”
“Itu kapan?”
“Seminggu yang lalu, kali, ya? Lupa gue, Zi.”
“Dih, lo kok gak ada cerita ke gue, sih?”
“Ngapain juga begitu doang cerita.”
“That was funny story, dong, Ras. Hubungan sama mantan itu selalu jadi cerita menarik.” Enzi mengakhiri kalimatnya dengan kekehan geli. Ngakak sendiri sama pernyataanya.
“Mana ada.”
“Eh, terus gimana? Bentar, deh. Emang barang-barang dia masih banyak yang di elo?”
Raras mengangguk membenarkan. “Masih.”
“Sampai sekarang?’
“Iya.”
“Hm..” Enzi menggumam. “Alamat bakalan sering Devon mampri rumah lu, dong, buat ngambil barang. Terus selain chat itu, ada ngechat lain?”
“Ada, sih, tapi random aja. Gak jelas.”
“Gak jelas gimana?”
Ditanya begitu otomatis bikin Raras flashback sama kejadina beberapa hari lalu dimana dia bisa-bisa call-an tengah malem sama Devon sampai-sampai dinyanyiin segala. Astaga, kalau ingat yang satu itu bisa bikin pipi Raras memerah tiba-tiba.
“Heh, malah ngelamun. Ih, bikin kepo. Apaan, sih, kenapa kenapa?”
“Ya gitu doang, Zi,” jawab Raras memilih bungkam. “Dia ngomen story gue. Udah.”
“Udah?” Enzi memicing curiga, tak percaya.
“Mm, hm.”
Keduanya lalu melanjutkan acara makannya masing-masing. Sesekali Raras ataupun Enzi mengajak membahas tugas yang diberikan oleh dosennya hari ini. Atau mengeluh atas nilai kuis dadakan kemarin yang dilaksanakan secara online. Malam-malam pula!
“Bahas soal Devon, gue pikir—“
“Ya elah,” Raras berdecak. “Gue lagi ngomongin apaan, tetiba elo malah ngajakin bahas dia lagi.”
Enzi nyengir. “Bentar, eh. Gue beneran serius, nih, mau ngomongin dia.”
Raras memutar bola matanya jengah. Tapi tak urung tetap memasang telinga dengan baik. Lagian bagaimanapun, Raras sebenarnya, kan, juga masih gamon sama mantan pacarnya itu. Oke, ini jadi kedengeran munafik, deh, apa lagi Raras gak pernah bersikap baik sama Devon selama ini. Yang orang lain gak tahu adalah, setiap hal kecil yang dilakuin mantannya itu mampu membuat Raras jadi ketar-ketir, antara takut baper sama takut nangis soanya kangen berat. Sstt, jangan bilang siapa-siapa!
“Dia, tuh, masih gamon, tahu, Ras sama elo.”
Mendengar itu, Raras cuman mampu bahas dalam hati : ye, kalau itu gue juga tahu.
“Kata siapa lo?”
“Mbaknya dimohon jangan sok buta dan gak tahu, ya.” Enzi mendorong mangkuknya menjauh usai menghabiskan kuah yang tersisa dalam baksonya. “Orang manapun juga bisa liat betapa Devon sangat gamon ke elo.”
“Liat gimana, sih? Orang dia ke gue biasa aja perasaan.”
“Heh, lo gak nyadar beneran atau pura-pura gak nyadar?”
Raras meringis. Ia menyibakkan rambutnya ke belakang saat dirasa menganggu. “Gini, Zi. Ya, beberapa kali gue emang ngerasa, sih, Devon kayak nyari kesempatan—“
“Nah, iya! Itu juga maksud gue. Lagian Devon juga suka terang-terangan, kan, di depan kita, di depan Jevan sama yang lain, kalau dia suka banget modusin elo. Dia, tuh, gamon!”
“Hmmm.”
“Lah, malah ham-hem ham-hem ini anak.”
“Ya gue harus ngapain, Zi?’
Enzi menaruh tangannya di dagu untuk menopang. “Elo gamon, gak, ke dia?”
“Hah?!”
“Elo. Ke Devon gamon juga, enggak?”
“Apa banget, deh, pertanyaan lo.”
Raras merasa pipinya memanas. Jadi untuk meminimalisir salah tingkahnya karena ditanya tentang itu—apa lagi ini juga perihal gengsinya yang gak mau ngaku kalau sebenarnya dia emang gagal move on juga—jadi dia memilih mengalihkan wajah ke arah lain sambil menyedot jus apelnya yang datang dari tadi tapi dianggurin sama Raras.
“Elo baru putus sama Devon berapa minggu, sih, Ras? Gak ada sebulan, kan, masihan? Harusnya, sih, ya, kalau setahun hubungan lo sama Devon kemarin emang hubungan real dan lo beneran sayang, harusnya lo gamon. Just like what Devon do.”
“Hm, gimana, ya, ngejelasinnya.”
‘Halah, ngejelasin tinggal ngejelasin aja pake gimnaa-gimana.”
Raras mencibir.
“Gemes tahu gak, sih, Ras gue sama lo, tuh. Kayak gue kadang mikir aja gitu. Nih anak kok lempeng-lempeng aja abis putus sama Devon. Gue kira, ya okelah sehari dua haru abis putusan mungkin lo emang bakal fine-fine aja soalnya, kan, emang lo yang mutusin. Tapi ini udah mau sebulan dan lo juga gak ada gebetan baru, ya kali lo gak gamon atau minimal pernah kangen gitu sama dia?”
Raras tertawa dalam hati, bertepuk tangan atas kemampuan aktingnya di depan banyak orang sampai-sampai gak ada yang tahu tentang fakta yang sebenarnya.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *