ch 5

5000 Kata
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Jadi?” Raras kembali memfokuskan matanya pada Enzi, yang ternyata masih menunggu jawaban darinya. “Apa?” “Jadi elo tuh gamon juga apa enggak?!” Enzi mendengkus. “Apa, apa.” “Ah... soal itu... gue—“ “Woi, ngegibah mulu lo, Zi.” Tiba-tiba suara lain muncul di meja mereka. Membuat Raras dan Enzi otomatis menoleh dan mendongak, tahu-tahu ada si jangkung Jevan yang dengan seenak jidat menyuruh Enzi geser agar ia bisa duduk di sampingnya. “Lo apaan, sih, gesar-geser!” ujar Enzi sambil mendorong bahu Jevan menjauh. Tapi ya mana bisa. Orang Jevan tenaganya lebih kuat. Hasilnya Enzi cuman sekedar kayak menggoyangkan pundak cowok itu saja alih-alih membuat Jevan pindah. “Ngomongin apaan lo tadi? Serius amat tuh muka.” “Kepo lo, bangke.” “Elo bangke.” Raras meringis. Sudah lama kenal Enzi dan Jevan, ia masih suka heran kenapa dua orang di hadapannya ini suka sekali bertengkar karena hal-hal kecil. “Lo kesini sendirian?” tanya Raras. Jevan malah berdeham sambil memasang muka jahil. “Lo mau nanyain Devon dimana aja pakai ngeles.” “Ha?” Raras mengernyit. Padahal dia memang mau menanyakan apakah Jevan kesini sendirian karena jika iya, itu sangat aneh. Untuk apa coba? Kenapa dia malah dituduh menanyakan keberadaan Devon? “Kagak, Ras. Gue sama Brian sama Depon. Tuh mereka lagi ngantri di warung sono.” jawab cowok tinggi itu sambil mengedikkan dagu, menunjuk keberadaan dua temannya yang sedang berdiri sambil menghisap batang rokok di masing-masing jemari. Raras menoleh, lalu kembali menghadap ke depan karena tak mau Devon tahu dia sedang memastikan keberadaannya “Ngapain lo kesini?!” Kalau nada bicaranya nyolot, itu sudah pasti dari bibir Enzi. Jevan menarik teh botol milik Enzi, lalu dengan seenak jidat, cowok itu meminumnya langsung—karena tidak ada sedotan juga. “Heh, b******k, itu punya gue!” Jevan yang sedang meneguk sampai tersedak karena Enzi merebut botolnya dengan kasar, air tumpah kemana-mana. Jevan melotot, Enzi berdiri, menjauh karena terkena cipratan teh yang jatuh menetes dari botol ke meja. “Zi, gue lagi minum! Uhuk, uhuk!” “Ya beli minum sendiri kenapa, sih?! Ini punya gue!” Raras mengeluarkan tisu—apa lagi ia memang selalu membawa tisu kemana-mana—cewek itu langsung mengelap meja yang basah, sementara dua pelakunya malah asik berdebat seperti kucing dan anjing. “Heh, ngapain, sih, lo berdua teriak-teriak? Liat, tuh, diliatin orang banyak.” Brian berujar sambil meletakkan rokoknya di meja, lalu duduk di samping Jevan dan Enzi yang sudah duduk tenang. Devan memilih duduk di samping Raras—jelas, kapanpun ada kesempatan, cowok itu mana mungkin mau menyia-nyiakan. “Malu. Lo berdua udah tua juga, masih aja suka berantem.” “Jevan, tuh!” Enzi nyolot lagi. “Jiji amat jadi cowok.” “Ya elah, Zi, gue juga cuman minta. Pelit amat jadi temen.” “Siapa yang temen lo? Gue? Hih, najis!” “Zi, udah, Zi,” Devon menghela nafas. “Rame, nih, kantinnya. Ngeganggu yang lain kalau lo teriak-teriak mulu.” “Tuh, dengerin,” “Udah makan, Ras?” Tanpa menoleh, Raras menggumam singkat menjawab pertanyaan Devon. “Hm.” “Hm itu udah atau belum?” “Udah, bacot.” “Weits, galak.” Devon mengalihkan kepala menghadap Enzi yang duduk di hadapannya. “Udah emang, Zi?” “Udeh, astatang. Heran udah dijawab juga sama Raras.” Enzi jadi nyolot juga sama Devon. “Heh, he, by the way. Lo kemarin beneran gelut sama Jonath?’ Devon mengangguk. “Lusa, kali.” “Iya lusa maksud gue. Kenapa, Pon? Tumben amat lo tawuran.” “One by one, keles,” Jevon nimbrung. “Tawuran tuh kalau orangnya banyak.” “Sama aja.” “Beda!” “Udah! Berantem mulu lo berdua!” Brian ingin menendang Jevan dan Enzi rasanya karena mereka berdua tak bisa diam. “Tapi luka lo mendingan gitu, Pon.” “Iyalah, diobatin.” “Obatin siapa? Lo ke puskesmas emang?” “Kagak.” Devon melirik Raras, tapi cewek itu terlihat santai saja. “Gue ke rumah—“ Sialan, kaki Devon diinjak oleh Raras. Ia melirik ke bawah. Benar saja tebakannya. Sepatu heels cewek itu berada di atas converse putihnya. Astag, gak tahu apa Raras kalau sepatunya baru dicuci sama Devon tadi pagi. “Ke rumah siapa?’ “Bri, inget gak, sih, lo? Kite susah-susah ngebut dari kos buat nyamperin Depon. Eh yang disamperin malah minggat.” Brian sampai melempar gumpalan tisu ke wajah Devon yang untungnya ditangkas dengan baik. “Iya, anjir, kurang ajar banget lo.” “Siapa suruh, sih, ngejemput?’ “Ye, kan, emang nih bocah cilik gak tahu diri. Mana malemnya gak balik ke kos. Tidur dimana lo?” Devon melirik ke arah Raras lagi. Tapi karena tak mau cari masalah apa lagi kakinya sampai diinjak lagi, Devon memilih memberikan kebohongan. “Ada lah.” “Lo ada cewek baru, Pon, makanya gak balik ke kos waktu itu? Jangan-jangan yang ngobatin juga cewek baru lo?” tuduh Jevan dengan mata memicing curiga. Devon membuang nafas kasar. “Oh, gue tahu, gue tahu.” Yang alin langsung menaruh pada Enzi yang mencuri perhatian. “Apaan, Zi?” “Jangan-jangan...” Enzi lalu memindahkan tatapannya pada Devon, kemudian pada Raras. “Devon nginep di rumah lo, ya, Ras?!” “SUMPAH!?” Brian dan Jevon kompakan memekik kaget. Raras lalu menggeleng cepat, panik. Devon malah yang sekarang santai aja sambil menghisap rokoknya. Menikmati raut wajah panik Raras yang dituding begitu. Lagian apa susahnya bilang iya dan mengaku. Toh mereka tidak melakukan apapun kemarin lusa saat Devon menginap disana walaupun mereka berada di satu kamar semalaman. “Apaan, anjir, kok jadi gue?!” “Ah, ngaku lo, Ras.” Jevon berada di kubu Enzi kelihatannya. “Ya Allah, kagak! Rese banget, dah, fitnah-fitnah!” “Sumpah, gak, tuh?” Brian ikut-ikutan. “Iya!” Devon gemas sendiri. Ia mati-matian menahan senyum karena Raras yang kelihatan banget panik. Bodohnya, kenapa tiga teman mereka—Enzi, Brian, dan Jevan malah percaya gitu aja coba sama jawabannya Raras. “Terus lo kemana, Pon?” “Balik ke rumah gue.” jawab Devon akhirnya, tapi sambil menaik turunkan alisnya pada Raras. “Oalah, ke rumah bokap nyokap lo? Jadi yang ngobatin ya orang rumah?” “Iya.” Enzi menumpukan tangannya di dagu. Ia menyelidik luka yang terlihat sedikit kebiruan di rahang Devon. “Lagian lo ngapain, sih, pakai tonjok-tonjokan? Lo tahu gak, Pon, beritanya tuh nyebar sekampus!” “Biasa. Kalau cogan yang kena masalah pasti langsung nyebar.” “Ye, songong!” Devon ketawa. “Lo emang ada masalah sama Jonath apa gimana? Perasaan sebelum gue sama Raras balik, elo kan sempet sapa-sapaan sama itu kating.” “Emang.” “Terus?” Dilihat dari tiga ekspresi temannya, Devon tahu semua yang ada di meja sedang menaruh perhatian ke dirinya karena penasaran. Apa lagi Devon memang tidak membahas permasalahan sebenarnya yang membuat ia dan Jonath saling tonjok kemarin lusa. Diam-diam, Raras walaupun terlihat bermain ponsel, ia sebenarnya juga memasang telinga baik-baik. Walaupun hari itu, hari dimana Devon ke rumahnya dengan babak belur, Devon hanya menceritakan garis besar bahwa Jonath melakukan sesuatu yang tidak mengenakkan di teling Devon, dan itu ada sangkut pautnya sama dia. Tapi Raras, kan, belum tahu spesifik permasalahannya. Jadi gak salah dong kalau ia penasaran sekarang? “Masalah cewek, sih, biasanya.” tebak Brian. “Lah kalau masalah cewek, mah, berarti Raras dong? Kan Devon gamon Raras.” “b*****t!” Devon langsung mengumpat karena Jevan ceplas-ceplos begitu. Ya sekalipun kayaknya semua orang tahu tentang fakta yang satu itu, tapi bagaimanapun Devon juga masih punya harga diri buat dipertahankan di mukanya, apa lagi di depan Raras. Biarlah soal pergamonan ini jadi urusannya dengan Raras saja. Cukup mereka yang tahu. Tapi teman beradabnya ini malah dengan seenak jidat membicarakannya di publik. Enzi ketawa. “Cie, cie, gamon nih, ye, Mas Drummer.” Raras sendiri pura-pura tak dengar. Walaupun jantungnya sudah berdegup dengan baik. Kini ia mulai menyelesali keputusannya yang membiarkan Jevan bergabung di mejanya. Karena setelah Jevan bergabung disini, yang ada semua membicarakan Raras—walaupun tidak secara langsung. “Lah, Devon mah emang gamon, kali,” Jevan menambahi. “Raras aja yang gak sadar-sadar.” “Paan, lo, Jev.” “Ih, galak.” Raras melototi Jevan. “Ayo, Pon, cerita. Ditungguin juga.” Cowok yang dipebut namanya oleh Brian itu jadi mengalihkan perhatian dari Raras. Dia berdeham sesaat sebelum memulai cerita. “Jadi abis lo semua balik, gue kan sendirian, tuh, di kantin,” katanya memulai. “Posisinya meja gue tuh gak jauh sama Jonath. Kayaknya cuman jarak empat meja doang. Tapi sayangnya posisi gue sama Jonath duduknya saling ngebelakangin. Terus, gue sebenernya gak ada niat ngping, suwer dah. Cuman karena kantin gak terlalu rame, otomatis suaranya Jonath sama temen-temennya kedengeran dong sama gue.” “Oke...” Brian mengangguk-angguk dapat membayangkan. “Terus?” “Terus gue kira gue salah denger. Temennya Jonath kayak nyebut-nyebut nama Raras.” Karena kalimat itu, Raras yang dari tadi lebih suka menghadap ke arah depan jadi mau menoleh. Ia sempat bersitatap pada Devon yang ternyata sedang melirik ke arahnya sebelum kembali fokus menceritakan pada Brian dan Jevan. “Akhirnya gue beneran, dong, niat nguping. Eh Jonath tiba-tiba ngomong.” “Ngomong apa?” Devon meneguk ludah. Tiba-tiba emosinya kembali memuncak saat teringat ucapan b******k kakak tingkatnya itu. “Ada lah, pokoknya. Ngomong sesuatu yang bikin gue marah banget.” Raras berdecak. “Ngomong apa?” tuntutnya ingin tahu. “Kalau cerita jangan setengah-setengah. Bikin kepo aja.” “Tahu, nih, Depon.” Devon balas berdecak. “Udah, mendingan lo gak usah tahu.” “Ye, mana bisa?! Lo aja gelut sama Jonath gara-gara gue. Kok guenya malah gak boleh tahu?!” “Ngomong ajalah, Pon,” Brian menengahi. “Kecilin suara lo kalau emang sensitif topiknya.” Devon menginjak sisa putung rokoknya yang sudah ia jatuhkan di dekat sepatu. Dia menatap ke Raras yang terlihat penasaran setengah mati. “Dia bilang, sejudes-judesnya elo, dia pasti bisa bawa lo ke kasur.” “Bangsat.” “Fak.” “Anjir?” Semua u*****n itu berasal dari tiga temannya, selain Raras. Cewek itu sepertinya sangat terkejut mengetahui fakta bahwa ada orang yang bisa membiacarakan tentang dirinya selancang dan sekurang ajar itu. “Lo...” Raras menatap Devon dengan tatapan blank. “Ini serius?” “Ya elah, Ras, ngapain juga gue bercanda.” “b******n itu orang, ya, ternyata!” Enzi udah menggebu-gebu duluan. “Ganteng doang, tapi otak di s**********n!” “Ga kaget, sih, gue. Jonath bukannya dari dulu emang sebajingan itu?” Brian mengangguk membenarkan perkataan Jevan. “Iya, dari dulu dia sering nyewa ayam kampus. Kabarnya udah dari dinding ke dinding, kayaknya semua orang udha hafal kelakuan dia.” “Gak kaget elo sampe kalap begitu, Anjir,” “Iya juga.” Enzi ikut menipali Jevan. “Kalau gue disana, gue juga langsung nablok mulut dia. Berani bener ngomong kayak gitu.” “Iya, kan? Itu juga yang gue rasian. Rasanya emosi gue munclak langsung ke permukaan. Makanya gak pake basa-basi, gue langsung nonjok dia.” Raras sendiri masih menata nafasnya yang drai tadi tercekat. Terkejut karena sosok Jonath yang jadi kebanggaan kampus karena prestasinya itu bisa merendahkan seorang perempuan. Apa lagi ia dan Jonath tak pernah terlibat interaksi sebelumnya. Kenapa bisa? “Ras,” Devon tiba-tiba memegangi lengan atas  mantan pacarnya karena Raras masih diam dan linglung. “You okay?” Raras langsung menoleh. ‘hm, iya, gue gak papa.” “Udahlah, gak usah dibahas lagi.” Enzi berujar kemudian. “Bikin emosi aja itu tiang.” “Tiang siapa?” ‘Si Jonath.” “Ye, tinggian juga gue.” Jevan nyolot. “Ye, santai aje kali, Bor.” “Heh, ngomong-ngomong, berarti sebenernya tuh Jonath ada niat ngegebet Raras gitu, ya, Von?” “Iya. Kalau gak salah denger sih emang temennya Jonath ada nyebut-nyebut soal itu.” “Oh, iya, iya. Kebayang sekarag gue gimana awal percakapannya sampai-samapi ngomongin hal sebejat itu.” “Eh, tapi,” Raras ikut membuka suara. “Dulu pas maba kayaknya elo pernah naksir Jonath, deh, Zi? Inget, gak?” “Hah?!” “Sumpah lo Zi?” Enzi langsung melotot ke arah Raras. Drai tadi ngomongin Jonath, Enzi udah ketar-ketir takut kalau Raras ngomongin ini. Eh, malah ternjadi beneran. “Kagak, heh, ngarang aja lu.” sangkal Enzi. “Ih, masa gue cuman mimpi, sih? Orang gue inget elo ngomong pas kita lagi disuruh ke ruang—“ “La la la la la, gue gak denger, gue gak denger!” Enzi langsung menyanyi random dengan suara keras, sambil kedua tangannya menutup telinga, membuat manusia-manusia lain di mja tersebut otomatis terbahak melihat tingkahnya. Raras terkekeh geli. “Noh, ngaku dia.” “Dih, gak! Gue, kan, cuman nyanyi!” “Halah.” Jevan mendorong kepala Enzi dari samping. “Ye, selera ko yang kayak Jonath gitu, ya, Ji?” “Ja-Ji Ja-Ji. Nama gue Enzi! Pake Z bukan J!” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *  Perkumpulan tidak sengaja antara Raras, Enzi, dan tiga sekawan laki-laki itu tidak berlangsung lama karena Raras dan Enzi harus masuk kelas berikutnya. Ini siang hari, yang mana panas matahari lagi gak main-main alias bikin gosong dan menyengat ke kulit. Sembari menunggu dosen yang datang—padahal ini sudah lima belas menit para mahasiswa sudah duduk tenang dan rapi di kelas—Raras mengipasi lehernya dengan buku tipis milik Enzi, yang diambil entah dari mana paahal Enzi tidak pernah membawa buku ke kampus. “Panas banget, asli.” keluhnya, lagi. Enzi berdiri. Karena ia dan Raras sedang mendapat tempat duduk di kursi paling depan, tepat di depan meja dosen, jadi Enzi dapat dengan mudah menggapai remote AC. “Heh, emang gak paap?” Raras menatap temannya ragu. “Nanti mahasiswa lain malah protes mampus lo.” “Gak bakal.” “Udah, he, jangan diturunin banyak-banyak suhunya.” Karena perempuan bule itu mendapati Raras yang terus menarik-narik kemejanya untuk tidak menurunkan suhu terlalu banyak, Enzi jadi memandang seluruh isi kelas, yang entah kenapa banyak mahasiswa lain sedang menatapnya. Oh, mungkin karena Enzi jadi menyita perhatian karena berdiri sendiri sedangkan yang lain sedang duduk. Enzi berdeham sesaatl. “Guys, AC nya gue turunin agak banyakan, ya? Kalian juga lagi kepanasan, kan?” “Iya, dah, serah.” “Iya.” “Terserah.” Banyak jawaban dari mahasiswa lain berupa kata itu-itu saja. Yang artinya kebanyakan adalah mengiyakan saja mau  Enzi. Jadi cewek tiu memeletkan lidahnya pada Raras. Seolah-olah dia berkata : Tuh, kan, gak papa. Raras mencibir saja. Kemudian menoleh pada temannya yang kini sudah duduk di kursi samping. “Ini dosennya kayaknya gak hadir, deh, Njir.” “Tahu, deh. Kayaknya, sih, iya.” Enzi menjawab. “Eh, Ras, nanti elo beneran dateng, kan?” Nah, ngomongin soal dateng gak dateng yang dimaksud Enzi, ini adalah topik yang sudah mereka bahas saat di kantin tadi bersama Devon, Brian, dan Jevan. “Jev, lo selesai kelas jam berapa?” “Jam dua, Bangke. Lo udah tanya dua kali, loh, ya.” Brian meringis. “Oke, awas aja lo dateng telat.” “Dateng kemana?” Enzi ikut nimbrung. “Ke studio. Kita mau latihan.” “Jam empat, kan, ya?” Devon tanya. “Jam setengah tiga, Njir. Jam empat mata lo.” “Lah? Jam setengah tiga? Lo mau latihan berapa jam, sih, emangnya”” Brian berdecak. “Lah, gimana sih lo? Kan manggungnya jam lima. Ya bener dong kita latihannya jam setengah tiga. Itu juga kalau gak ada yang molor.” “Oh iya. Lupa gue kalau kita ngisi jam lima.” “Jangan telat. Dimarahin Sandy nanti lo.” “Dih, kok gue? Gue mana pernah telat. Jevan tuh.” “Iye, iye, bacot.” Enzi yang dari tadi menyimak pembicaraan para laki-laki ini akhirnya mengangguk mengerti atas apa yang sedang diobrolkan. “Oh, Enam Hari mau ngisi? Tumben. Biasanya malming doang.” “Lagi butuh duit.” jawab Jevan asal. “Manggung dimana?” “Di WOW Cafe.” “Di Batu? Jauh banget?” “Elah cuman setengah jam aja jauh.” “Ya maksud gue biasanya kan lo ambil yang di Malang-Malang aja!” Enzi jadi nyolot. Emang ngomong sama Jevan tuh gak bisa gak bikin emosi. Brian menendang kaki Devon. Matanya melirik ke arah Raras yang mengaduk jus dengan muka yak berminat. Devon mengangkat alisnya tinggi, gak paham maksud Brian. Sampai akhirnya mulut Brian terbuka, menggesturkan kalimat : ajakin Raras. Devon baru angguk-angguk paham. “Ehm, Ras.” Yang dipanggil langsung menoleh. “Apa?” “Mau gak nanti ke WOW?” “WOW? Ngapain?” Eh, ternyata Raras dari tadi gak ikutan nyimak. Ketara banget dari pertanyaannya yang polos tersebut. “Enam Hari nanti ngisi disana, Ras,” Brian menjelaskan. “Lo sama Enzi kesana, gih. Dari pada gabut di kosan.” “Dih, gue gak gabut, ya, Bri!” Enzi menyela. “Tugas gue lagi numpuk!” Brian melotot. Matanya lagi-lagi menggambarkan kalimat : ya elah, diem aja kenapa, sih. Biar Devon bisa berjuang. Akhirnya Enzi mingkem. “Tapi bener kata Enzi, gue lagi banyak tugas. Jadi kayaknya... next time aja, deh.” “Yah, Ras.” Jevan ikut berkomentar. “Sekali-kali nontonin kita main, dong. Lo kan udah lama gak ngeliat kita manggung.” Raras meringis. “Duh, gimana, ya?” “Kalau dulu tiap elo nonton elo fokusnya ke Depon, kali ini coba ke gue. Lo gak tahu, kan, Ras, gue kalau lagi ngegenjreng ganteng banget?” Ucapan Jevan disusul dengan pekikan mengaduh karena Devon menendang tulang keringnya di bawah meja. “Doh, Pon, sakit anjir!” “Bagus, Pon, tendangin aja,” Enzi malah jadi kompor. “Gue yang denger tadi juga pengin muntah.” “Serius, Ras, nanti join, yuk?” Brian kembali berujar. Menawari Raras agar mau mengiayakan. Kadang Devon juga agak bingung, sih, kenapa Brian ini jadi temen baik banget. Kalau Jevan kadang suka mengumpankan Devon buat dimalu-maluin di depan mantan pacarnya, Brian malah yang jadi malaikat, suka banget bantu Devon buat punya ide biar sukses balikan sama Raras. “Kalau lo gak ada transport buat ke Batu...” Devon berdeham. “Nebeng gue aja. Gue jemput ke rumah. Mau?” “Hah?” Raras malah melongo. Dia, kan, belum bilang iya. Kenapa malah udah ditawarin nebeng bareng? “A-anu, gue, gue ngikut Enzi aja, deh. Kalau dia ikut, gue ikut.” Selanjutnya, Enzi langsung kaget sendiri karena tiga cowok di samping dan di depannya sama-sama menatap Enzi penuh ancaman. Kayak lagi bilang : bilang kalau lo ikut atau lo gue begal nanti pas balik. Jadi Enzi langsung nyengir ke arah Raras. “Iya, deh, gue ikut. Tapi lo beneran ikut, kan, Ras?” Raras mengangguk lesu.  Devon sudah tersenyum dalam hati. Senang dan sangat puas. Diam-diam, kepalan tangannya disambut baik oleh Brian di samping meja, bertos-ria karena rencananya berhasil. Dia berterimakasih pada teman baiknya tersebut. “Oke, kalau gitu gue jemput jam empat lebih dikit? Setuju?” “Ya elah, nih anak ngegas banget,” gerutu Jevan yang masih bisa didengar oleh yang lain. “Gak,” jawab Raras tegas, karena ia sudah mencium bau-bau modus disini. “Gue bareng sama Enzi aja.” “Hah?” Enzi yang kini melongo. Lalu Jevan datang sebagai pahlawan kesiangan bagi Devon. “Loh, Ras, tapi kan gue sama Enzi mau berangkat berdua.” Brian dan Devon otomatis nahan ngakak karena mendengar jawaban Jevan. Mana pernah dua orang itu berboncengan? Dan kini mereka berdua mengatakan sesuatu yang kayak sedikit impossible aja buat dilakuin. Astaga, demi Devon doang nih. “What? Ngapain? Tumben lo mau sama Jevan?” Jevon diam-diam mencubit tangan Enzi dari bawah. “Oh, iya, Ras, soalnya gue mau ke kosan Jevan nambah beli tiket FTFT. Ya, kan, Jev? Jadi ke WOW nya sekalian aja berdua.” Walaupun sedikit aneh dan gak bisa dipercaya kalau anjing dan kucing itu akan berduaan di atas sepeda motor ke Batu, Raras tetap mengangguk aja. “Kalau Brian? bukannya biasanya anak Enam Hari kalau mau ngisi di kafe berangkatnya semobil, ya?” “Oh, itu, mobil gue di bengkel. Jadi alamat kita pakai motor sendiri-sendiri.” Devon bertepuk tangan dalam hati karena teman-temannya yang sangat baik dalam berakting. Menjadwalkan rencana dadakan dan sedikit tidak wajar hanya demi mendukungnya untuk dekat sama mantan tentu harus diapresiasi. Devon sangat berterimakasih. “Gimana, Ras?” Devon tanya lagi. Merasa tak ada pilihan, Raras akhirnya mengangguk. ”Oke, jemput di rumah.” Yes! Devon teriak dalam hati. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *   Raras Jein Point of View   Jujur, gue juga gak tahu kenapa gue memilih ngeiyain ajakan Devon. Maksudnya, gue juga masih bisa nolak, kan? Gue punya hak seratus persen buat bilang enggak. Tapi here i go, gue malah bilang iya, dan mempersilahkan dia buat ke rumah untuk jemput. Double shot. Kalau di dunia ini ada pialabuat pemenang orang yang paling munafik di seluruh planet, kayaknya gue gak bakal kaget kalau nama gue yang bakal disebut. Gue selalu bertindak impulsif. gue selalu ngomong sesuatu yang padahal berbalik dengan fakta di hati gue. At least apa yang gue rasain gak pernah sama apa yang gue bilang. hal ini juag yang terjadi di siang tadi. Gue bilang gue males, gue bilang ngapain juga mau nontonin Enam Hari manggung, padahal sebenarnya? Oh, jelas, gue kangen nonton Devon main drumnya. Gue kangen nyemangatin dia sebelum dia manggung dan ngasih satu kecupan buat amunisi. Gue kangen semua yang dulu-dulu sama Devon. Mungkin kemunafikan itulah yang membawa gue mengangguk menyanggupi permintaan mantan. Jadi gak kaget juga. Kalau saat ini, setelah gue mandi dan ganti baju, di jam yang menunjukkan pukul setengah empat, gue lagi berkutat dengan beberapa make up di depan cermin. Gue bukan mau cari perhatian Devon jadi dandan secantik mungkin, enggak, gue gak selebay itu juga kali. Tapi emangnya gue mau kelihatan jelek di depan dia? Kan enggak juga. Makanya gue sengaja ngasih beberapa produk di wajah, setidaknya gue gak keliatan pucet dan kusam. “Kak?” Panggilan itu disusul dengan ketukan pintu. Gue udah apa sama kelakuan adek gue, Radit. pasti sebentar lagi pintu akan— Nah, kan. Belum juga gue selesai ngomong. Radit punya kebiasaan kecil yang bikin sebel. Dia manggil dan ngetuk cuman buat formalitas karena dulu pernah gue marahin, tapi setelah mengetuk pintu, adek gue pasti langsung ngebuka tanpa nunggu gue—yang sebagai pemilik kamar dan punya kuasa penuh—ngebukain buat dia. Apa gak kurang ajar? Gimana kalau gue lagi ganti baju? Enak aja adek gue sembarangan buka-buka pintu. “Lo bisa gak nunggu gue yang bukain? Suka banget main nylong.” ujar gue menegurnya setelah mendapati Radit masuk ke kamar. “Mau ngapain lo?” Radit masih pakai seragam sekolah, artinya dia baru balik dari sekolah. Wajar, sih, orang sekarang emang jam setengah empat. “Gak ada makanan, anjir, di meja,” keluh Radit kemudian sambil melempar badan di atas ranjang gue. “Papa Mama kemana?” “Kantor, lah, Sinting. Jam segini emang biasanya dimana?” tanya gue sarkas. “Perasaan tadi pagi Mama masak, deh. Kok gue cek meja barusan kosong?” “Gak tahu.” “Kak, sumpah, gue laper banget. Beliin makanan apa, kek.” Gue berdecak. Menaruh lipgloss yang baru gue pakai lalu menghadap penuh ke arah adek tercinta gue. “Beli sendiri. Lo belakangan ini suka banget malak gue.” “Ya gimana, lo kan tahu sendiri Mama motong uang saku gue.” “Salah siapa juga ketahuan ngerokok.” “Ye, kayak gak pernah muda aja lo.” Raras melotot. “Lo mau kemana, Kak?” “Kepo.” “Pacaran pasti. Bang Devon mau jemput, ya?” Duh, andai saja adik tersayangnya ini tahu kalau mereka sudah putus, pasti Radit gak bakal nyebut Devon pakai kata pocar-pacar mulu. Gue, kan, yang baper sendiri. “Iya.” “Hm, dasar. Kemarin aja lo usir-usir dia padahal masih sakit. Sekarang udah jalan aja berdua.” “Ye, suka-suka gue, dong. Bocah ikut campur ae.” Radit bangun dengan malas dari kasurnya. Ia melangkahkan kaki menjauh dari kamar gue sambil mendumel. “Kok Kak Devon mau ya sama elo yang bar-bar dan gak ada feminimnya sama sekali?” “Heh, gue masih bisa denger, ya, dek!” “Senagaj!” balas Radit sambil berteriak karena adik gue terdnegar lagi menuruni tangga. “Biar lo sadar diri!” Gue mendengus. Radit gak tahu aja kalau Devon emang udah sebucin itu sama gue—at least yang gue tahu begitu—jadi gak peduli mau gue kasar dan gak ada manis-manisnya, Devon juga gak bakal protes. “Kak cepet turun!” Suara Radit terdengar lagi. Gue baru akan berteriak mengomel karena menduga adit bakal ngebabuin gue buat masak sesuatu yang bisa dia makan tapi ternyata tebakan gue salah. Selanjutnya yang terdengar adalah... “Ini pacar lo udah dateng!” Sialan, Radit. Kenapa sih harus selalu nyebut pacar lo pacar lo? Devon, kan, punya nama. Akhirnya dengan sedikit dongkol, gue kaembali bercermin, memastikan make up gue masih on dan gak terlalu menor, kemudian mengambil tas, memasukkan ponsel dan powerbank, dompet dan ligloss, lalu keluar dari kamar. Oke, tenang, Raras. Lo gak perlu deg-degan karena ini cuman Devon. Ini cuman mantan. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *   Devon Artama’s POV   Setelah ngebut dari kos ke rumah Raras yang sebenarnya gak sampai lima belas menit juga bakal sampai—for your information, gue ngebut karena kelamaan milih baju, oke, bully aja gue—akhirnya sampai juga di depan rumah dia. Gue menyapa salah satu tetangga Raras yang keebtulan lewat depan rumah. Kayaknya ibu-ibu itu sampai apal kalau gue pacarnya Raras, makanya tadi langsung nyapa sambil nanya. “Mau ketemu Raras, ya, Mas?” By the way, gue lupa kapan terakhir kali gue ngerasa serempong ini—anjir, padahal gue cowok—dan seribet ini dalam memilih baju. Jevan bahkan sampai mengumpati gue yang minta saran ke dia. Hei, jangan salah. Walaupun Raras terlihat kayak kepaksa buat nonton gue nanti di WOW, gini-gini, kan, bisa disebut kencan. Jadi gimanapun, gue gak mau dapet kesan jelek dan gak good looking di hari pertama kencan gue sama Raras setelah satu bulan kami putus. Sambil melangkahkan kaki memasuki halaman rumah mantan, gue berdoa dalam hati, semoga parfum gue gak terlalu menusuk hidung karena tadi gue agak banyak nyemprotinnya. Tapi karena parfum gue mahal, kayaknya sih gak bakal bikin muntah. Ciah. Gue mengetuk pintu cuman dua kali, itu pun tepat saat gue mendengar suara Radit teriak-teriak dari dalam yang disahuti oleh suara Raras. Gue menggelengkan kepala karena tahu adik kakak itu pasti sedang ribut. Pacaran setahun sama Raras jelas bikin gue sampai apal kelakuannya sama adek satu-satunya yang dia punya. Ya, begini. Kayak Enzi sama Jevan. Gak pernah akur, atau akur kalau lagi situasi darurat aja. “Masuk aja, Kak.” Gue mengangguk lalu mengikuti Radit yang masih memakai seragam sekolah itu untuk ke dalam rumah. Gue memilih duduk di ruang tamu. “Lo baru pulang sekolah, Dit?” tanya gue. “Iya. Bentar, ya, Kak.” Kemudian yang terdengar adalah suara Radit yang langsung menggelegar karena nyuruh kakaknya cepet turun. Gue cuman bisa ketawa, apa lagi saat Raras balik teriak sambil misuh-misuh. Gue berdiri, lalu mengikuti Radit yang masuk ke dalam, meninggalkan ruang tamu. Seiring gue jalan ke ruang tengah, gue mendapati Raras turun dari tangga. Man, jujur, gue gak peduli lo pada ngatain gue lebay dan kayak anak ABG labil. Tapi ngeliat Raras dalam balutan pakaian yang sebenarnya biasa aja, dengan make up naturalnya, gue tiba-tiba deg-degan. Momen ini ngingetin gue pas awal ngedeketin Raras dulu. Detak jantung yang gue rasain persis kayak jaman ngajak dia malam mingguan pertama. Dulu. Gue kayaknya masang senyum terlalu lebar, sampai-sampai radit langsung ketawa abis ngeliatin muka gue. “Perasaan kakak gue gak secantik itu sampai bisa bikin cowok gak kedip, deh, Kak. Elo, nih, udah kena pelet Kak Raras.” Gue cuman mengangguk canggung ke arah Raras yang gak tahu kenapa ngalihin wajah ke arah lain. Apa cewek ini juga sama salah tingkahnya kayak gue? Gue harap jawabanya iya. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN