♩✧♪● Theatre 7 ○♩♬☆

1650 Kata
Pagi-pagi sekali, Eureka sudah terjaga. Barusan, ia mendapat mimpi buruk yang cukup tidak ia sangka-sangka. Eureka bermimpi bahwa ia menghadiri sebuah pesta pertunangan. Dan rupanya, itu adalah pertunangan Athaya. Maka seharusnya, Eureka adalah calon tunangan Athaya, kan? Namun yang ada justru Putri lah yang berdiri di samping Athaya sebagai tunangan pemuda itu. “Hell, gue mimpi apa, sialan!” Eureka menggerutu. Saking kesalnya, ia sampai mengumpat. Padahal ia jarang bicara tak sopan begitu. Setelah menenangkan diri barang beberapa saat, ia pun memilih bergegas beranjak dari ranjang. Tangannya menyambar ponsel dan mulai membuka sebuah aplikasi milik kampusnya. Ia hendak log in untuk melihat jadwal kuliahnya hari ini. Syukurlah, ternyata ia mendapat kelas siang. Jadi pagi ini, Eureka bisa sedikit bersantai. Eureka berjalan keluar dari kamarnya dan menuju ke dapur. Setibanya di sana, ia melihat sang mama sedang memasak sembari bersiap-siap untuk pergi bekerja. Mamanya harus menjadi tulang punggung keluarga sejak papa Eureka meninggal dunia. Memang sebelum itu, mamanya juga sudah bekerja sebagai editor freelance. Tapi belakangan, mau tak mau, Mama Eureka harus lebih sering mengambil pekerjaan dan menjadi pekerja penuh waktu di sebuah kantor penerbitan. Ia membutuhkan penghasilan tetap untuk membiayai hidupnya dan juga putrinya. "Re," panggil Mama Eureka. Eureka menoleh dan memasang tampang bertanya. "Iya, Ma?" "Besok Mama ada pelatihan di luar kota sama temen-temen editor di kantor Mama. Mungkin acaranya sekitar satu mingguan. Kalau Reka tinggal sementara di rumah orang tua Athaya gimana? Biar kamu nggak sendirian di rumah." Mamanya bertanya hati-hati. "Reka biar di rumah aja. Sendirian nggak apa-apa ketimbang harus tinggal di sana." Eureka asal ceplos saja. Tapi menurut gadis itu, memang lebih baik baginya tetap tinggal di rumah ketimbang ia harus menginap di rumah orang tua Athaya. Yang mana itu artinya Eureka juga akan secara rutin bertemu dengan Athaya. Tidak! Eureka belum siap. Mama Eureka tampak cemas. "Mama nggak tenang kalau harus ninggalin kamu sendirian di rumah. Siapa yang ngurusin makan kamu? Siapa yang nemenin kamu di rumah kalau malam?" "Lagian Mama nggak bisa nggak ikut kegiatan kantor Mama itu?" Eureka balik bertanya. Mamanya menghela napas. "Nggak bisa, Re. Mama kan baru kerja di sana. Sebelumnya Mama cuma jadi editor freelancer. Sekarang berhubung Mama sudah jadi pegawai tetap di sana, ya Mama harus ikuti aturannya. Pelatihan kaya gini juga nggak sering-sering, kok. Kebetulan aja, ini pas Mama masuk, mereka ada planning buat bikin pelatihan kaya gini." Eureka cemberut. Ah, seandainya sang mama tidak harus jadi wanita karier. Pasti mamanya bisa menemani Eureka sehari-hari tanpa terkecuali. "Reka kan sudah besar. Reka harus ngerti posisi Mama. Kalau Mama nggak kerja, kita harus hidup dengan cara apa?" Mamanya tampak sabar ketika mengatakan itu. Tapi sangat kentara bahwa sang Mama meminta Eureka mengambil keputusan yang lebih bijak. "Jadi gimana?" Eureka luluh juga. Mamanya mengulas senyum semringah. Ia berkata, "Besok selama Mama ikut pelatihan, kamu tinggal di rumah orang tua Athaya. Mama sudah bilang ke mereka dan mereka juga nggak keberatan." Eureka meneguk ludah. Dengan sedikit berat hati, ia menganggukkan kepala tanda setuju. "Ya, sudah, kamu nanti mulai packing barang-barang yang perlu kamu bawa ke tempat Athaya. Biar kamu nggak perlu bolak-balik ke sini. Dan satu lagi, kamu jangan manja ya di rumah Athaya. Jangan merepotkan mama dan papanya Athaya." "Iya, Ma, Eureka usahakan," balas Eureka dengan lesu. Setelahnya, baik Mama Eureka maupun Eureka memilih kembali ke kesibukan masing-masing. Eureka lanjut membuat minuman hangat sambil menunggu sarapan buatan sang mama siap. *** Mama Eureka sudah berangkat ke kantor. Kini tinggallah Eureka sendiri di rumah. Gadis itu tampak bersantai di ruang tengah sembari menonton film dari ponselnya. Dan sebagai bentuk pemborosan, Eureka juga menyalakan televisi. Entah tujuannya apa, mungkin hanya sekadar memberikan suara-suara dan membuat suasana lebih hidup. Eureka sibuk ketawa-ketiwi hingga sebuah panggilan telepon yang masuk ke ponselnya menginterupsi. “Apaan, sih? Orang lagi asyik-asyik nonton film,” gerutunya sebelum mengangkat telepon itu. “Hallo, siapa ini?” tanya Eureka karena mendapati nomor yang masuk ke ponselnya belumlah terdaftar di dalam daftar kontak. “Hallo, Reka. Ini aku Itha tapi pakai nomor temanku. Kamu di mana sekarang?” Itha tampak tergesa-gesa dalam berbicara. Eureka terduduk siaga. “Di rumah, Itha. Kenapa?” “Ayo ke kampus. Jadwal kelas kita yang nanti siang diajuin jadi pagi ini. Dosen kita harus ngisi seminar nanti siang, makanya nggak bisa ngajar.” “Hah?” Eureka gelagapan. Gadis itu belum bersiap-siap. Boro-boro bersiap, mandi pun belum Eureka laksanakan. “Aduh, kelasnya mulai jam berapa?” “Sepuluh menit lagi,” jawab Itha prihatin. “Kamu nggak lihat pemberitahuan di grup chat kelas, ya?” Eureka refleks mengangguk. Sejak tadi ia disibukkan dengan acara menonton film. Ia tidak sempat mengecek grup atau apapun itu. Akhirnya, Eureka berujar, “Aku skip kelas dulu aja gimana?” Itha buru-buru mencegah. “Jangan, Re. Ini baru awal semester. Masa presensi kehadiran kamu udah kosong. Sayang, kan?” “Ya udah, aku siap-siap dulu. Tapi kayanya bakalan terlambat.” Eureka hampir putus asa. Ia kebingungan harus memulai dari mana. Waktunya tak banyak. Tapi ia masih harus menyiapkan ini dan itu. “Iya, nanti aku bantu izinin ke dosennya.” Itha dengan baik hati menawarkan bantuan. “Makasih, Itha,” ujar Eureka sembari berlarian menuju ke kamarnya. Tak lama kemudian, sambungan telepon pun berakhir. Eureka lanjut mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan. Tanpa mandi terlebih dahulu, Eureka hanya membersihkan wajah dan menyikat gigi, lalu mulai berpakaian. Sambil berpakaian, tangannya dengan cekatan memasukkan beberapa buku kuliah dan alat tulis ke dalam tas. Setelah semua beres, Eureka menyambar tasnya dan berjalan keluar kamar. Ia langsung menuju ke pintu depan. Namun sebelum pergi, tentu saja Eureka harus mengenakan alas kaki. Ia mengenakan sepatu yang tampak santai tapi juga formal di waktu bersamaan. Samar-samar Eureka mendengar deru motor mendekat ke rumahnya. Ia yang masih grasah-grusuh mengenakan sepatu pun segera mengecek ke luar. “Ah, kebetulan ada Kak Atha.” Eureka berujar senang. Ia melangkah keluar rumah dan sekalian menutup pintu rumahnya. Ia menghampiri Athaya dan memohon dengan setengah memaksa, “Bisa antar aku ke kampus sekarang?” Athaya mengernyit heran. Ia baru saja menghentikan motor dan sekarang Eureka malah memburunya untuk segera cabut lagi dari sana. Athaya berdeham dan lanjut berujar, “Gue cuma mau antar titipan nyokap gue buat mama lo. Lagian gue barusan dari kampus. Ngapain gue ke sana lagi?” “Kak, aku telat kuliah ini. Ayo cepet anterin. Nanti aku ganti deh ongkos bensinnya.” “Pesen ojol aja kalau gitu,” balas Athaya tak mengerti seberapa gentingnya situasi ini. Karena terus mendapati penolakan dari Athaya, Eureka nekat duduk di boncengan motor Athaya. "Ayo jalan, please," ujarnya tak sabaran. Athaya mendengkus, lalu diam-diam terkekeh geli. Ia cukup kesal, tetapi ia juga merasa tingkah Eureka lucu. "Iya, iya, sabar. Ini gue jalan," gumam Athaya. Akhirnya cowok itu mulai menyalakan kembali mesin motor dan memutar arah, kemudian lanjut tancap gas meninggalkan rumah Eureka. Di perjalanan, keduanya tak terlibat pembicaraan apa-apa. Tapi Athaya bisa merasakan bahwa Eureka tengah gelisah. "Lo duduknya bisa diem nggak, sih? Gue pikir motor gue yang rada nggak bener atau bannya bocor. Ternyata orang yang lagi gue boncengin yang gerak-gerak terus." Athaya mengeluh. "Buruan dong, Kak," pinta Eureka tanpa mengindahkan keluhan Athaya sebelumnya. Gadis itu juga sibuk memperhatikan ponsel untuk melihat menit demi menit yang terlewati. Lima menit kemudian, mereka tiba di kampus. Athaya tak memarkirkan motor di parkiran. Cowok itu hanya menurunkan Eureka di depan gedung kelas, lalu melanjutkan perjalanan pulang. *** Setibanya di rumah, Athaya cukup kaget mendapati bahwa dirinya belum memberikan titipan dari sang mama untuk Eureka dan keluarga. Ah, sial, gara-gara tadi mereka terburu-buru, Athaya sampai lupa tujuan awalnya datang ke sana. "Lho, kok oleh-oleh dari Mama belum kamu anterin ke tempat Reka?" Mama Athaya yang entah muncul dari mana itu tiba-tiba menegur. Athaya garuk-garuk kepala. Ia pun memasang cengiran khasnya. “Iya, tadi lupa,” ujarnya, “nanti sore aja Athaya ke sana lagi.” “Oke,” setuju mamanya sambil berlalu masuk ke ruangan lain di rumah itu. Melihat mamanya tak lagi mempermasalahkan soal oleh-oleh, Athaya melanjutkan langkah menuju ke kamar. Tanpa bersih-bersih badan terlebih dahulu, Athaya langsung melemparkan diri ke kasur. Pemuda itu sibuk memainkan ponsel. Ia tengah serius berkoordinasi dengan kepala divisi diklat Teater Artes. “Nanti malem, ya?” gumamnya saat ia dimintai persetujuan untuk menggelar latihan rutin perdana mereka di tahun ini. Tapi setelah Athaya pikir-pikir, sepertinya persiapan dari divisi diklat untuk menggelar latihan rutin ini belum cukup. Athaya: Emang kalian udah siapin materi dan pemateri? Sekar: Udah, sih. Buat materi, gue dan tim udah siapin. Calon-calon pemateri juga bisa kami hubungi siang ini. Athaya: Materinya apa? Sekar: Dasar-dasar aja dulu, sih. Kaya vokal gitu. Athaya: Calon pemateri siapa? Sekar: Lo mau nggak ngisi materi? Athaya mendengkus. Seharusnya ia jangan bertanya karena pada akhirnya ia juga akan kena lagi-kena lagi. Lagian, ia belum selayak itu untuk mengambil bagian menjadi pemateri di sesi latihan rutin Teater Artes. Masih banyak anggota-anggota dari angkatan atas yang lebih mahir darinya. Athaya: Jangan gue, lah. Gue belum mampu. Sekar: Kalau gitu, gue hubungi angkatan atas, ya? Siapa tahu ada yang bersedia. Kandidatnya banyak kok. Athaya: Oke, terserah lo aja. Tapi kalau memang jadi latihan, jarkoman maksimal sore udah disebar ke grup ya. Biar pada bisa luangin waktu ikut latihan. Lama Athaya tak mendapat balasan dari Sekar. Padahal Sekar masih dalam kondisi online. Hingga lima belas menit kemudian, ada pesan balasan dari Sekar masuk ke ponsel Athaya. Sekar: Siap, Pak Ketua! Ini gue lagi hubungi anak-anak angkatan atas. Kalau salah satu atau beberapa dari mereka bisa ngisi materi di larut nanti, gue akan langsung bikin pengumuman di grup. Athaya: Sip, semangat, Kar! Athaya pun menyudahi acara bermain ponsel. Ia kini hanya melamun menatap langit-langit kamar. Pikiran Athaya berkelana. Beberapa hari ke depan, ia dan teman-teman seangkatannya di Teater Artes harus menyiapkan makrab untuk menyambut angkatan di bawah mereka yang sudah bergabung dan bertahan bersama mereka selama kurang lebih setengah tahun belakangan. “Gue belum ada gambaran, njir,” keluh Athaya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN