bc

Jadi Istri Pria Tua

book_age18+
32
IKUTI
1K
BACA
BE
age gap
heir/heiress
drama
like
intro-logo
Uraian

Adara Cudson gadis berusia 20 tahun itu harus merelakan hidupnya menikahi pria 23 tahun di atasnya. Ingat, lebih 23 tahun, bukan berusia 23 tahun. Dia, Andrew. Pria tua yang juga merupakan Asisten Pribadi sang ayah.

"Ingat, Paman. Ara itu terlalu baik, makanya Ara mau membantu Paman A."

"Ara tidak mau Paman A malu."

"Ara, kasihan."

"Paman A 'kan sudah Ara anggap ayah sendiri."

"Hua ... Ara jadi istri, Pria tua!"

Cover : Picture from Pexel, Font : Bambus, Edit: Text On Photo

chap-preview
Pratinjau gratis
Kabar yang mengejutkan
Sudah satu tahun seorang Adara Cudson alias Ara meninggalkan rumah untuk menempuh pendidikan di kota sebelah. Ia memutuskan untuk hidup mandiri jauh dari keluarga. Kedua orang tua Ara yaitu Marsha Alice Noir dan Andrean Cudson pasti menentang keputusan sang anak. Alasannya, tentu saja Adara seorang anak perempuan. Adara memang bisa melakukan pekerjaan rumah, keduanya yakin anaknya itu bisa hidup mandiri tapi tetap saja mereka akan khawatir. Ini anak perempuan loh, kalau ada apa-apa di luar bagaimana? Akan tetapi, dengan tekad bulat Adara, anak itu berhasil meyakinkan kedua orang tuanya sehingga ia bisa berkuliah di tempat ini. Ara pulang ke rumah satu Minggu sekali, itu pun hanya di hari libur saja. Sayangnya, sebulan ini ia tidak bisa pulang karena tugas kuliahnya semakin banyak. Di sini, Ara menyadari, semalas-malasnya ia sekolah dulu, lebih enak masa sekolahnya daripada masa kuliahnya. Lebih enak ia di usia belasan tahun di banding ia yang sekarang kepala dua. Ya, meskipun baru menginjak usia dua puluh tahun sih. Tapi tetap saja, beban pikirannya juga banyak. Selain tugas kuliah, ada hal lain yang selalu menjadi beban dalam pikiran serta hatinya. Satu hal, yang hanya ia ketahui seorang diri. Larut dalam tugas kuliah yang harus ia kumpulkan besok, Ara tidak menyadari ponselnya yang telah menyala berulang kali. Sadar-sadar, ketika ia tengah merenggangkan tubuhnya dan tanpa sadar melirik ponselnya tersebut. Ada kurang lebih sepuluh panggilan dari Mamanya dan dua puluh panggilan dari Papanya. Ara bergegas mengambil ponselnya, ia berniat menghubungi balik kedua orang tuanya. Sayangnya, niat itu tak jadi ia lakukan. Salah satu dari kedua orang tua tengah menelpon lagi. "Ada apa, Pa?" tanya Ara, sedikitnya ia merasa khawatir juga. Takut terjadi sesuatu di rumah. "Kamu sibuk, Nak?" tanya suara seorang pria di sana. Pria yang kini tidak lagi muda. Tapi masih awet muda. Siapa lagi kalau bukan Papanya, Andrean Cudson. "Ara sedang mengerjakan tugas, Pa. Maaf tidak mendengar panggilan Papa dan Mama, ponsel Ara dalam mode hening. Maafkan Ara ya, Ma." Ara sangat tahu, saat salah satu dari kedua orang tuanya menelpon, pasti tidak sendiri. Jika Mama menelpon selalu ada Papa di sampingnya. Begitu pun sebaliknya. "Iya, Sayang." Nah, benar bukan, kali ini Mamanya yang menjawab. Ara tersenyum tipis mendengarnya. Kisah cinta kedua orang tuanya sungguh membuatnya iri. Cinta yang awet sampai sekarang bahkan tetap romantis dan harmonis. Apapun masalah yang terjadi di masa lalu dibuat seakan tidak pernah terjadi. Mamanya terlalu baik pada sang Papa. Awalnya ia kecewa, tetapi kekecewaan itu hilang seiring berjalannya waktu. Melihat Papanya yang sangat baik pada Mamanya, membuat hatinya tersentuh dan ikut memaafkan Papanya juga. Terlalu konyol diam-diaman dalam satu rumah untuk waktu yang lama. Hampir tiga bulan lamanya ia menganggap Papanya tidak ada. Maklum saja, dulu pikirannya belum dewasa. Ia masih kelas satu menengah. Untungnya ada sang Mama yang selalu memberi pengertian dan juga pria itu, yang selalu datang menghiburnya. "Ara, kamu tidak melihat pesan yang Mama kamu kirim?" Ara mengerutkan dahinya. Memang sudah lama ia tidak melihat pesan chat masuk. Bukan sengaja tidak melihat, melainkan tidak tahu. Karena selain grup kampus juga teman-teman di kampusnya, semua pesan chat telah ia arsipkan. Jadi, tidak bisa melihat itu ada pesan chat yang masuk. "Maaf Pa, Ara tidak lihat." "Kebiasaan kamu itu." "Ish, bukan kebiasaan tahu, Pa. Ini untuk pertama kalinya. Kan baru sebulan ini Ara sibuk. Ara sudah berubah rajin ini, sesuai janji Ara ke Mama dan Papa. Anaknya rajin kok malah dimarahi," cerocos Ara, keluarlah sifat kekanak-kanakan yang dulu sering ada. "Papa tidak memarahi kamu Ara." Ara mengerucutkan bibirnya sembari menutup buku-buku di depannya. Kemudian ia berdiri dari duduknya lalu berjalan mendekati jendela dekat pintu tempat kosnya. Dari sini ia bisa melihat indahnya langit malam. "Terus itu tadi apa, Pa?" "Papa mengalah, Sayang. Tolong maafkan Papa." Andrean tidak mau berdebat banyak dengan putrinya meski ia tahu putrinya itu hanya sekedar iseng padanya. "Baiklah, asal Papa membelikan Ara satu boneka lagi!" "Boneka kamu sudah banyak, Sayang." "Oke, Papa tid--" "Akan Papa belikan. Besok akan datang, Nak," pasrah Andrean pada akhirnya. "Nah, begitu dong, Pa." Hidup jauh dari keluarga memang selalu menghadirkan kerinduan. Rindu itu setiap kali hadir saat dirinya berbincang bersama kedua orang tuanya. Yah, inilah pilihannya. Berada di sini untuk menjauh dari semuanya adalah keinginannya. Harusnya ia tidak menyesali itu bukan? Ia hanya perlu menunjukkan bahwa ia bisa. Lagipula, ini sudah setengah jalan. Sayang apabila ingin menyerah begitu saja. "Nak, kita rindu kamu. Kapan kamu pulang? Jika kamu tidak bisa, Mama dan Papa akan ke sana." "Tidak usah, Pa. Ara akan marah kalau kalian datang. Ara pasti akan pulang kok." Senyum sendu terukir di wajahnya begitu mendengar sang Papa berkata demikian. Dan ia tidak bermaksud melarang kedua orang tuanya datang. Ia ingin dirinya saja yang pulang. Senyaman apapun di sini, tempat ternyaman untuk pulang adalah rumah sendiri. "Kapan, Nak? besok kamu bisa pulang?" Ara melirik kalender yang terpajang di samping meja belajarnya. "Akan Ara usahakan, Pa. Kenapa harus besok, mendadak sekali?" "Kamu harus pulang, Nak. Kalau kamu tidak pulang, kita takut kamu marah pada kita." "Ara marah kenapa?" tanya Ara, ia heran sendiri atas perkataan Papanya itu. Ia tanya apa malah dijawab apa. "Kamu benar-benar tidak membaca chat Mama kamu, Sayang." Terdengar decakan Andrean dari seberang telepon. "Kamu pasti akan terkejut saat mengetahuinya, Ara." "Memang apa, Pa? katakan yang jelas. Ara terlalu malas mengecek chat dari Mama." "Ara, Mama dengar, Sayang! awas kamu ya!" Tawa kemudian meluncur dari mulut Ara, ia suka sekali menggoda Mamanya. "Jangan Marah, Ma. Nanti Mama cepat tua. Ingat keriput Mama sudah banyak. Jangan ditambah lagi, nanti Papa bisa ke lain hati." "Ara, jangan bicara seperti itu." Papanya terlihat tidak terima. "Jangan dengarkan Ara, Sayang. Di mataku kamu cantik kok." Ara memutar sepasang bola matanya begitu mendengar rayuan Papanya. Yah, merusuh lagi sepertinya ide bagus. "Itu benar, Ma. Sekarang banyak daun muda yang cantik-cantik. Banyak yang sudah pintar perawatan dari muda, Ma. Mama harus jaga Papa dua puluh empat jam. Apalagi di kantor Papa, Ma. Coba Mama cek, di sana pasti banyak yang cantik-cantik. Meski Papa sudah tua, tetap saja akan ada yang mau. Ara yakin Mama tahu itu." Ara sebisa mungkin menahan tawanya ketika ia mendengar sang Papa memanggil-manggil Mamanya. Jika bisa ia tebak, Mamanya tengah pergi meninggalkan Papanya, merajuk pasti. "Sayang, Mama kamu marah. Gara-gara kamu ini." "Maaf, Papa. Ara cuma bercanda." Bagian bercandanya, Ara mengikuti yang saat ini menjadi tren. Banyak teman-temannya yang menggunakannya. Ia jadi ikutan deh. "Kamu ini. Ya, sudah. Papa mau katakan yang akan Papa katakan tadi. Papa harap kamu bisa pulang." "Katakan saja, Pa." "Janji jangan marah. Ini kesalahan kamu sendiri karena tidak baca chat dari Mama dan kami sengaja tidak mau menghubungi kamu karena larangan kamu. Hari ini Papa nekat, karena keinginan Mama kamu." "Iya, Ara janji, Pa. Katakan saja, Ara tidak marah." Andai bukan masalah besar, ia tidak akan marah kok. Ia memaklumi kedua orang tuanya rindu. Dan apa yang akan Papanya sampaikan sepertinya penting juga. Jadi, tidak ada masalah, diganggu sebentar. Tidak ada masalah, ia pikir memang begitu. Tapi nyatanya, sesuatu yang Papanya sampaikan datang bagai mimpi buruk baginya. Sesuatu yang tidak ia duga dan ia pikirkan sebelumnya, datang tanpa bisa ia cegah. "Sabtu besok, Paman Andrew mau menikah Ara. Hari Minggunya akan mengadakan pesta kecil-kecilan, Papa harap kamu bisa datang." Rasanya, jantung Ara seketika itu berhenti berdetak. Ia pun sampai tak sadar berjalan mundur seraya menggenggam erat ponselnya. "Sudah dulu ya, Sayang. Kalau kamu bisa kabari Papa. Papa mau mencari Mama kamu dulu. Sampai jumpa, Nak." Sambungan telepon terputus. Ara dengan tatapan kosong, menjatuhkan ponselnya. Untung saja, ia sudah terduduk di atas kasur sehingga ponselnya tidak langsung menghantam lantai. Sepasang mata bulat Ara berkaca dan sesuatu yang keluar selanjutnya, terdengar menyayat hati, "d-dia akan menikah."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Hasrat Istri simpanan

read
8.0K
bc

BELENGGU

read
64.7K
bc

Revenge

read
16.5K
bc

After That Night

read
8.6K
bc

The CEO's Little Wife

read
628.2K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
54.2K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook