Awal Dengan Cerita
Pagi di kota itu selalu datang dengan aroma kopi dan debu. Udara masih menggantungkan sisa embun di antara suara kendaraan yang mulai bangun dari tidur panjangnya. Nara duduk di sudut kafe kecil di Jalan Soedirman, tempat yang dulu sering ia datangi bersama teman-teman semasa kuliah. Meja kayu itu masih sama—sedikit goyah, dengan bekas coretan tinta di permukaannya, seperti jejak waktu yang enggan dihapus. Hanya satu hal yang berbeda yaitu ia datang sendirian.
Barista mengenalnya cukup baik untuk tidak menanyakan pesanan. Cappuccino panas, sedikit kayu manis. Nara tersenyum samar, mengucap terima kasih pelan. Uap hangat dari cangkir itu naik perlahan, membentuk bayangan tipis di depan wajahnya. Ia memandangi jendela besar di hadapannya, tempat bayangan lalu lintas menari dalam pantulan kaca. Kadang, saat menatap bayangan orang-orang di luar, ia merasa sedang menatap dirinya sendiri: tergesa, tapi tak tahu harus ke mana.
Lonceng pintu berdenting pelan. Seseorang masuk, membawa sedikit hembusan udara pagi yang dingin. Bima. Langkahnya santai, tapi matanya langsung mencari ke arah meja di pojok. Saat pandangan mereka bertemu, waktu seolah mengendur. Semua suara di kafe itu tiba-tiba menjauh—tinggal detak jantung dan aroma kayu manis yang samar-samar melayang di udara.
Nara tersenyum. Bukan senyum lebar, hanya sekilas—tapi cukup untuk membuatnya merasa hangat.
“Masih di tempat yang sama,” kata Bima, sambil menarik kursi di depannya. “Beberapa hal nggak perlu diubah,” jawab Nara pelan.
Ia menatap wajah sahabatnya itu. Ada sedikit keriput di sekitar mata Bima, garis lembut yang baru muncul beberapa tahun terakhir. Ia terlihat lebih matang, tapi juga lebih lelah, seperti seseorang yang sudah lama menahan beban yang tak ingin diceritakan. Cahaya dari jendela jatuh di wajahnya, memantulkan kilau halus di rambut yang sedikit beruban di sisi kanan.
Mereka sudah hampir enam tahun tidak rutin bertemu. Persahabatan yang dulu seperti napas sehari-hari kini berubah menjadi percakapan sesekali lewat pesan singkat, kadang hilang berbulan-bulan tanpa kabar. Tapi di antara mereka, tak pernah ada canggung yang benar-benar tumbuh. Ada sesuatu yang tetap — keheningan yang akrab, rasa saling tahu yang tak membutuhkan penjelasan.
Bima memesan kopi hitam dan roti panggang madu. Nara tahu, menu itu tidak pernah berubah sejak mereka pertama kali datang ke kafe ini saat usia mereka masih awal dua puluhan, masih yakin dunia bisa ditaklukkan dengan keberanian dan sedikit keberuntungan. Dulu, mereka sering duduk sampai sore, membahas hal-hal kecil selayaknya mimpi, cinta, rencana masa depan yang mereka anggap pasti. Kini, semua itu tinggal kenangan yang muncul di antara serpih aroma kopi.
“Laras titip salam,” kata Bima setelah meneguk kopi pertamanya. “Ah, iya. Kirim salam balik, ya.”
Nara mencoba terdengar ringan, tapi ada sedikit getar halus dalam suaranya. Ia masih ingat betul wajah Laras—perempuan lembut yang dulu menatap Bima dengan pandangan seperti mata air tenang, jernih, penuh cinta. Mereka tampak seperti pasangan yang rukun. Tapi hidup jarang menepati janji romantisnya sendiri.
“Damar masih sibuk, ya?” tanya Bima.
“Seperti biasa.”
Jawaban Nara singkat, tapi pandangannya tak lepas dari uap kopi yang menipis di permukaan cangkir. Ia tak ingin membahasnya, tapi justru pertanyaan sederhana itu membuka ruang kosong yang selama ini ia tutupi. Damar akhir-akhir ini lebih sering pergi — dengan alasan pekerjaan, proyek luar kota, rapat yang tidak berkesudahan. Rumah mereka terasa seperti tempat persinggahan, bukan tempat untuk ditinggali.
Bima menatapnya sejenak. Ada keinginan di matanya untuk bertanya lebih jauh, tapi juga rasa takut untuk melanggar batas.
“Aku lihat postingan pameranmu kemarin. Proyek baru?”
“Hmm. Proyek kantor, tapi konsepnya aku yang buat. Pameran desain ruang publik. Capek, tapi menyenangkan.”
“Dari dulu kamu kayak gitu, Nar. Selalu kelihatan kuat, tapi matamu nyimpen sesuatu.”
Nara tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar seperti desah napas yang nyaris patah. Ia meneguk kopinya, berusaha menyembunyikan sesuatu yang tak perlu diucapkan. Kadang, keheningan di antara mereka terasa lebih jujur daripada kata-kata. Ia menunduk, memandangi permukaan kopi yang mulai mendingin. Di pantulannya, wajahnya tampak asing—seperti seseorang yang berusaha mengingat siapa dirinya sebelum semua ini.
Di luar, hujan mulai turun pelan. Butiran air menetes dari talang, membuat suara ritmis yang menenangkan. Jalanan mulai berkabut, dan lampu kendaraan tampak seperti garis-garis oranye yang memudar di balik tirai hujan.
Bima menatap keluar jendela, lalu berkata, “Lucu ya, kita dulu sering mikir umur tiga puluhan itu usia yang tenang. Ternyata malah masa paling bingung.”
“Ya, mungkin karena dulu kita terlalu yakin bisa mengendalikan hidup.”
“Dan sekarang?”
“Sekarang kita cuma belajar menerima kalau hidup yang mengendalikan kita.”
Bima mengangguk pelan. Uap kopi di antara mereka mengaburkan pandangan, seolah dunia di luar tidak penting lagi. Kafe itu jadi seperti ruang kecil yang terpisah dari waktu, tempat dua jiwa yang dulu pernah begitu dekat kini saling menatap dengan rasa yang tak sepenuhnya bisa dinamai.
Nara menatap tangan Bima yang menggenggam cangkir dengan tenang. Dulu, tangan itu sering membantu membawakan map tugasnya, memegang payung saat mereka berjalan di bawah hujan, atau sekadar menepuk bahunya ketika ia gugup menjelang presentasi.
Ia pernah berpikir bahwa rasa aman seperti itu hanya muncul sekali dalam hidup seseorang. Tapi dulu, rasa itu tidak pernah berbahaya. Sekarang, entah mengapa, terasa sedikit menakutkan.
“Aku kangen masa-masa kita dulu,” kata Bima tiba-tiba.
Nara menatapnya. Suara itu keluar begitu pelan, seolah takut mengguncang keseimbangan halus di antara mereka.
“Kamu kangen siapa, Bim? Masanya, atau orang-orangnya?” Bima tersenyum samar. “Mungkin dua-duanya.”
Keheningan menggantung di udara. Di luar, langit makin kelabu. Di dalam kafe, waktu seperti berhenti berjalan, dan hanya suara detak jam dinding yang terdengar — lambat, nyaris menakutkan.
Nara menghela napas perlahan. Hujan di luar semakin deras, membuat kaca jendela bergetar lembut setiap kali angin lewat. Dalam pantulan kaca itu, ia melihat dua bayangan, dirinya dan Bima, duduk berhadapan, terikat oleh masa lalu yang tak benar-benar selesai.
Bima menatap Nara lama sekali, seperti mencoba membaca kalimat yang tak pernah sempat ditulis. Ada banyak hal yang ingin diucapkannya — permintaan maaf, rasa rindu, mungkin juga keinginan untuk kembali pada sesuatu yang dulu terasa sederhana. Tapi semua itu tertahan di kerongkongan, berubah menjadi senyum yang tidak selesai.
Nara mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata Bima. Ada cahaya lembut di sana, semacam pengakuan yang tak butuh kata. Mereka berdua tahu, ada hal-hal yang seharusnya dibiarkan tetap menjadi kenangan.
Hujan berhenti sama tiba-tibanya seperti ia datang. Cahaya matahari sore menembus awan, membiaskan pelangi samar di balik gedung tinggi. Bima menatap ke arah luar, lalu berkata lirih, “kadang aku pikir, kita cuma dua orang yang lupa berhenti pada waktunya.”
Nara tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. Ada rasa getir yang indah dalam kalimat itu — semacam kebenaran yang tak bisa disangkal, meski mereka berusaha keras untuk tetap sopan di permukaan.
Saat mereka berdiri untuk pergi, lonceng di pintu berdenting lagi. Udara sore masuk membawa aroma tanah basah, menenangkan tapi juga menyesakkan.
Bima lebih dulu melangkah keluar. Nara menyusul, menatap punggungnya yang menjauh di bawah langit mendung yang belum sepenuhnya reda. Ia tahu, langkah itu bukan sekadar jarak fisik — itu jarak waktu, jarak keputusan, jarak perasaan yang sudah tidak mungkin ditarik kembali.
Dan di antara semua yang tak terucap, hanya satu hal yang tetap melekat di d**a adalah rasa yang tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya perlu belajar berdiam dalam hening.