Hujan Sejuk

1403 Kata
Hujan di luar jendela berubah menjadi tirai tipis, hampir tak terdengar, seperti desah napas yang menua. Butirannya meluncur perlahan di kaca, membentuk garis-garis bening yang seakan menghapus warna-warna kota di belakangnya. Lampu-lampu jalan memantul dalam pantulan basah trotoar, membuat langit tampak berpendar kelabu. Di dalam kafe itu, aroma kopi bercampur kayu manis memenuhi udara — samar, tapi menenangkan. Jam di dinding berdetak pelan, tak terburu-buru, seolah waktu di sana punya ritme sendiri. Nara menyandarkan punggungnya ke kursi, mengembuskan napas panjang yang bahkan ia tak sadar sudah tertahan sejak tadi. Ada ketegangan yang menempel di bahunya, seperti beban yang menolak reda. Ia baru sadar tubuhnya tegang sejak Bima duduk di hadapannya — seolah percakapan yang sederhana pun bisa berubah menjadi medan sunyi yang tak pasti. Bima, dengan kemeja biru lembut yang lengan panjangnya digulung separuh, tampak tenang. Ia memainkan sendok kecil di atas piring kosong, membiarkannya berputar, berhenti, lalu berputar lagi. Gerakannya ringan, tapi mata Nara menangkap sesuatu yang lain di balik gestur itu: semacam lelah yang diam-diam, kelelahan yang tidak datang dari kerja, tapi dari hidup yang terlalu lama dijalani tanpa jeda. “Kamu masih kerja di agensi itu?” tanya Nara akhirnya, setelah diam terlalu lama. “Sudah pindah,” jawab Bima tanpa banyak jeda. “Dua bulan lalu. Sekarang di kantor komunikasi pemerintah. Kurang menantang, tapi… ya, hidup keluarga butuh kestabilan.” Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu yang terselip di antara katanya — sisa keyakinan yang patah, seperti ranting yang dulu kuat tapi kini mulai retak di dalam diam. “Laras setuju?” tanya Nara hati-hati. “Dia yang nyuruh,” jawab Bima. “Katanya aku terlalu sering pulang malam, terlalu banyak proyek yang bikin aku lupa waktu.” “Dia benar.” “Setidaknya kamu bisa bantu ngerawat Baby kalian bukan,” tambah Nara. Bima mendongak sedikit, menatapnya dengan raut terkejut — bukan marah, tapi heran akan kepastian nada suara Nara. “Kamu berpihak ke dia?” “Ei. Kamu kira aku ini apa? Aku berpihak pada perempuan mana pun yang takut kehilangan.” Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa penyaring, tanpa pertimbangan. Ia mendengar dirinya sendiri mengatakannya dan hampir menyesal, tapi sudah terlambat. Bima diam. Hanya uap kopi yang tinggal setengah menyeruak di antara mereka, mengambang sebentar, lalu hilang — seperti sesuatu yang ingin hidup lebih lama, tapi tak diberi kesempatan. Nara menyesap sisa minumannya. Kopi itu sudah dingin, rasanya pahit dengan getir yang melekat di lidah. Ia menatap permukaannya, seolah bisa membaca nasib di sana. Ada bagian dalam dirinya yang ingin berbicara lebih banyak — ingin menanyakan apakah Laras bahagia, apakah Bima masih menulis puisi, apakah hidupnya masih menyimpan nyala yang dulu pernah ia lihat. Tapi semua pertanyaan itu terasa berbahaya. Seolah setiap kata yang keluar bisa menyingkap sesuatu yang seharusnya tetap tertutup rapat, terkubur di antara masa lalu dan penyesalan. Di luar jendela, seorang anak kecil berlari-lari di bawah hujan dengan payung kuning cerah. Gerakannya ringan, liar, tanpa takut. Nara memperhatikannya lama, sampai Bima ikut menoleh. “Kamu pengin punya anak?” tanya Bima tiba-tiba. Pertanyaan sederhana itu memukul lebih keras dari yang seharusnya. Nara menelan ludah perlahan, menatap sendok di tangannya. “Aku dan Damar belum sempat mikirin itu. Katanya, nunggu waktunya pas.” “Sudah berapa tahun kalian nikah?” “Lima.” Bima mengangguk, matanya menatap jauh, seolah sedang menghitung sesuatu di kepalanya. “Cepat juga waktu, ya.” Waktu. Satu kata yang terdengar ringan, tapi bagi Nara, rasanya seperti beban. Lima tahun itu terasa panjang, seperti berjalan di dalam kabut yang tak pernah menyingkap. Ia mencintai Damar, tentu saja. Tapi cinta itu kini seperti rumah yang rapi namun dingin; ia tahu setiap ruangnya, tapi jarang merasa ingin duduk lama di dalamnya. Hubungan mereka lebih banyak diisi oleh kesepakatan daripada percakapan. Tak banyak tawa, tapi juga tak ada pertengkaran. Hening yang terlalu lama bisa terdengar seperti perdamaian, padahal hanya jarak yang disamarkan sopan santun. “Aku sering mikir,” suara Bima memecah lamunannya, “persahabatan itu kayak garis. Kadang sejajar, kadang berpotongan. Tapi kalau berpotongan terlalu lama, salah satunya pasti berubah arah.” Nara menoleh perlahan. “Maksudmu?” “Entah. Mungkin kita dulu berpotongan terlalu lama.” Nara ingin tertawa, tapi tenggorokannya kaku. Ia tahu persis apa maksudnya. Mereka dulu tak sekadar teman. Tak pernah ada pengakuan, tapi ada sesuatu yang tumbuh diam-diam di sela percakapan, di antara buku, hujan, dan malam-malam tugas kuliah yang panjang. Persahabatan mereka adalah keseimbangan — dua kutub yang saling menahan satu sama lain agar tidak jatuh. Nara yang tenang dan tertata, Bima yang spontan dan hangat. Dunia dulu terasa lebih sederhana. Ia masih ingat caranya tertawa sampai air mata keluar hanya karena candaan sepele Bima. Ia juga ingat bagaimana mereka duduk di tangga kampus menatap langit jingga, bicara tentang masa depan yang masih samar tapi indah. Kini, Bima bukan lagi pria di masa itu. Ia suami seseorang, seorang ayah lagi, dan hidupnya bukan milik dirinya sendiri. Tapi anehnya, meski jarak itu seharusnya cukup menjaga mereka aman, ada sesuatu yang hangat merayap kembali — sesuatu yang mestinya diredam, bukan dipelihara. “Kalau aku bilang aku kangen, kamu bakal marah nggak?” suara Bima pelan, seolah kalimat itu sendiri sedang menahan napas. Nara mendongak, menatap matanya. Di sana, dalam pantulan pupil Bima, ia melihat dirinya sendiri — ragu, takut, tapi juga rindu yang tak tahu harus ke mana pulang. “Enggak,” jawabnya akhirnya. “Kangen itu bukan dosa, kan?” “Kadang bisa jadi dosa, kalau nggak tahu tempatnya.” Kata itu menggantung di udara. Tak ada yang menanggapinya. Hujan di luar kembali deras, menimpa atap kafe dengan ritme yang ritmis, seperti napas yang tertahan terlalu lama. Aroma tanah basah menyelinap dari pintu yang terbuka sedikit. Dunia di luar bergerak, tapi di meja kecil itu, waktu berhenti. Lagi. Bima menegakkan tubuh, berusaha memecah diam yang terlalu berat. Ia tertawa kecil, lembut, nyaris seperti gumaman. “Kamu masih suka overthinking kayak dulu, ya?” “Bukan overthinking, reflektif,” sahut Nara, tersenyum tipis. “Nama yang lebih cantik untuk hal yang sama.” Senyum mereka sama-sama hambar, tapi cukup untuk menutupi getaran yang mulai tumbuh di d**a masing-masing. Percakapan bergulir kembali ke hal-hal ringan — pekerjaan, cuaca, berita lucu — tapi di bawah lapisan kata-kata itu, ada sesuatu yang bergerak pelan, tak bersuara, tapi terasa. Nara tahu, jika ia tinggal lebih lama, ia akan tenggelam. Tenggelam dalam keheningan yang justru memanggil, dalam tatapan yang seolah menanyakan hal-hal yang tak boleh dijawab. Ia menatap jam tangannya, bukan karena benar-benar perlu tahu waktu, tapi karena butuh alasan untuk pergi. “Aku harus ke kantor,” katanya. “Udah jam segini, ya?” Bima ikut melirik arlojinya, sedikit tersentak. “Aku antar, sekalian lewat.” “Enggak usah, aku bisa sendiri.” “Serius?” “Iya. Lagipula, hujan udah mulai reda.” Ia berbohong sedikit. Hujan belum reda, hanya melemah. Tapi lebih mudah menyalahkan cuaca daripada mengakui bahwa jarak itu perlu. Bima menatapnya lama, seperti ingin memastikan sesuatu, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah.” Mereka berdiri hampir bersamaan. Kursi bergeser pelan di lantai kayu, menimbulkan bunyi yang serak, seperti helaan perpisahan. Bima sempat mengulurkan tangannya ke dompet, tapi Nara sudah lebih dulu menyentuh lengan bajunya. “Biar aku aja,” katanya. “Masih kayak dulu. Selalu mau bayarin.” “Kamu yang dulu selalu ngelupain dompet.” Mereka tertawa kecil. Tawa yang singkat, tapi mengandung kenangan yang terlalu banyak untuk diuraikan. Di baliknya, ada sesuatu yang menggigit hati — nostalgia yang tak bisa dibuang tapi juga tak bisa dimiliki kembali. Begitu keluar dari kafe, udara lembab menyapa kulit mereka. Jalanan masih basah, memantulkan cahaya lampu seperti serpihan kaca. Nara membuka payung hitamnya, payung yang sama ia bawa setiap musim hujan tiba. Bima berdiri di bawah atap, tangannya di saku, menatap punggungnya. Ada sesuatu di wajahnya — mungkin penyesalan, mungkin ketulusan, mungkin sekadar keinginan sederhana untuk bisa memutar waktu barang sebentar. “Nara,” panggilnya. Nara menoleh, separuh tubuhnya sudah di bawah payung. “Hati-hati,” katanya singkat. Nara tersenyum. Senyum yang kecil, tapi cukup untuk membuat waktu berhenti sesaat. Lalu ia melangkah pergi — langkahnya pelan tapi pasti, menyusuri trotoar yang licin. Setiap percikan air yang menyentuh kakinya terdengar seperti gema masa lalu yang enggan diam. Di belakangnya, suara Bima masih menggantung, samar, seolah diucapkan ulang oleh angin yang menyusul pelan. Dan di antara suara hujan, langkah, dan ingatan yang menua, ada satu hal yang Nara tahu pasti — bahwa beberapa perasaan memang ditakdirkan tidak punya tempat untuk pulang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN