Sore itu, langit kota memantulkan warna abu yang berat — seperti menahan cahaya, seperti menunda senja. Udara lembab bergantung rendah di antara pepohonan basah. Jalanan tampak mengilap, menyimpan pantulan lampu mobil yang baru dinyalakan. Angin membawa aroma tanah, campuran antara debu dan hujan yang belum sepenuhnya berhenti.
Nara tiba di rumah menjelang pukul lima. Mobilnya berhenti di garasi, suara mesin padam perlahan, berganti keheningan yang menggantung. Ia duduk sejenak di balik kemudi sebelum turun — mengatur napas, seolah butuh waktu untuk kembali dari dunia luar ke ruang yang disebut rumah.
Begitu membuka pintu, hawa lembab langsung menyambutnya. Bau kayu basah dari taman depan menyusup ke ruang tamu, bercampur dengan aroma lilin wangi yang sudah lama padam. Ruangan itu tenang, nyaris steril. Semua benda di dalamnya tampak terlalu rapi — sofa tersusun simetris, bantal tanpa kerut, majalah tertata sejajar di meja kaca. Semuanya seolah berbicara halus tentang keteraturan… tapi juga tentang kesepian yang disiplin.
Nara meletakkan tas di sofa, melepaskan jaketnya pelan. Ia berdiri di tengah ruangan tanpa bergerak selama beberapa detik, hanya menatap sekeliling — seperti menatap hidupnya sendiri dari luar kaca. Ada kekosongan lembut yang mengisi udara. Itu bukan kesedihan yang besar, melainkan hening yang terlalu lama.
Damar belum pulang.
Ia tahu bahkan sebelum melihat catatan kecil yang tergeletak di bawah vas bunga di meja makan.
Tulisan itu pendek dan rapi, seperti kebiasaan Damar yang tidak pernah berubah.
'Shooting di Bandung. Pulang Sabtu malam. Jangan lupa makan, ya.'
Tulisan itu lurus, tegas, tanpa hiasan. Dulu, catatan seperti itu membuat Nara tersenyum — tanda kecil bahwa seseorang memikirkannya di tengah kesibukan. Kini, tulisan yang sama hanya membuat ruang makan terasa lebih sunyi. Ia menyentuh kertas itu dengan ujung jarinya, merasakan dinginnya permukaan meja di bawahnya. Lalu, tanpa sadar, ia melipat kertas itu perlahan. Mungkin agar tak terlalu kelihatan. Mungkin karena ingin menyembunyikan jarak yang terasa dari setiap huruf di sana.
Ia berjalan menuju dapur, menyalakan ketel air. Bunyi pelan air mendidih mulai terdengar, ritmis dan menenangkan. Uap mulai menari dari ceratnya, naik perlahan ke udara, menempel di kaca dapur yang dingin. Bagi Nara, suara itu seperti penanda kecil bahwa rumah ini masih hidup — bahwa waktu masih bergerak meski penghuninya sering absen.
Ia menyiapkan teh melati. Wangi bunga kering itu selalu mengingatkannya pada masa kecil di rumah ibunya: sore-sore hujan, kain basah dijemur di dalam rumah, dan suara radio tua yang memutar lagu lawas. Kini, teh itu hanya menemaninya duduk di meja makan, sendirian. Uap mengepul pelan, seperti napas yang keluar dari d**a orang yang lelah bicara.
Pikirannya pun kembali ke kafe pagi tadi.
Tatapan Bima. Cara pria itu memegang sendok, menatapnya dari seberang meja, dan tertawa kecil — tawa yang dulu sering ia dengar di sela hari-hari muda mereka. Dan kalimat itu. Kalimat sederhana, tapi terlalu jujur untuk diabaikan.
Ia tidak ingin menyebut perasaan itu rindu. Tapi seperti udara yang tak bisa dilihat, kehadirannya tak bisa diabaikan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergerak — kecil, samar, tapi nyata.
Suara getar telepon memecah keheningan. Ia meraihnya di atas meja. Sebuah pesan dari Sinta, rekan kerjanya.
[Besok rapat jam 9, jangan lupa bawa draft konsep ruang terbuka.]
Nara membalas singkat.
[Siap.]
Ia hampir meletakkan ponsel itu kembali, sampai notifikasi baru muncul. Nama yang tertera membuat napasnya tertahan.
Bima.
[Hujannya udah reda, tapi kayaknya langit masih belum selesai nangis.]
Sebuah kalimat ringan. Nyaris konyol. Tapi justru karena itu terasa akrab, seperti seseorang dari masa lalu tiba-tiba mengetuk jendela hatinya dengan lembut. Nara menatap layar itu lama, mencoba menimbang kata-kata yang bahkan tak punya makna besar. Tapi ada sesuatu di d**a yang menghangat — dan di saat yang sama, menyesak.
Ia mengetik perlahan, mencoba menahan getar di jari-jarinya.
“Mungkin langit cuma butuh waktu buat lega.”
Tak lama kemudian, balasan datang.
“Kayak kita semua, ya?”
Nara menatap pesan itu lama. Kalimat yang pendek, tapi terasa seperti pisau yang ditutupi senyum.
Ia tidak membalas. Bukan karena tidak tahu harus menjawab apa, tapi karena tahu terlalu banyak kata justru bisa membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup.
Ia menaruh ponsel di meja, lalu memejamkan mata. Di dalam hening itu, pikirannya menelusuri hal-hal yang seharian ia coba hindari.
Apakah pertemuan tadi hanya kebetulan? Atau semacam ujian kecil dari semesta untuk melihat seberapa kuat mereka menjaga jarak? Apakah dua orang yang dulu pernah begitu saling mengenal bisa tetap murni, setelah waktu dan kehidupan membentuk mereka jadi orang yang berbeda?
Suara hujan kembali terdengar dari luar. Tidak deras, hanya sisa. Bunyi tetes air menimpa dedaunan — ritmis, seperti detak jam yang melambat. Nara berjalan ke balkon, membuka pintu kaca. Angin dingin menyambutnya. Ia menatap langit yang buram, langit yang seolah kehilangan arah. Di sana-sini, lampu kota mulai menyala, menembus kabut tipis yang menutup sore.
Dalam pantulan kaca pintu, ia melihat wajahnya sendiri. Ada sesuatu yang berubah di sana — bukan karena usia, tapi karena matanya menyimpan kelelahan yang tak bisa dijelaskan. Kelelahan dari hal-hal yang tak pernah benar-benar salah, tapi juga tak lagi benar.
Pikirannya berbelok pada Damar. Suaminya yang kini entah di kota mana, di antara cahaya lampu hotel dan suara hujan lain. Ia mengingat bagaimana dulu Damar tersenyum saat memotret — matanya selalu penuh gairah setiap kali bicara tentang cahaya, waktu, dan bentuk.
Ada masa di mana setiap kalimat dari Damar adalah alasan untuk jatuh cinta lagi. Terlebih tentang cara menangkap keindahan yang sederhana, tentang filosofi di balik warna. Tapi waktu, seperti biasa, mengubah segalanya dengan diam.
Sekarang, mereka jarang bicara. Kadang sehari hanya dua puluh kalimat. Semua disusun seperti catatan harian yang praktis. Sudah makan? Ada meeting? Jangan lupa kunci pintu.
Kata-kata yang fungsional, tanpa ruang untuk emosi.
Nara menatap ke arah foto di dinding — potret mereka berdua di pantai Uluwatu, diambil tiga tahun lalu. Matahari sore waktu itu membentuk cahaya oranye di belakang mereka. Damar memeluk bahunya, dan Nara tersenyum lebar. Di foto itu, dunia terasa sederhana. Sekarang, senyum itu terasa jauh, seperti milik orang lain.
Ia tahu Damar bukan pria yang buruk. Ia hanya pria yang tersesat di antara ambisi dan keheningan — seperti fotografer yang terlalu sibuk mengejar cahaya hingga lupa arah pulang. Dan Nara pun bukan istri yang sempurna. Ia terlalu pandai menyesuaikan diri, terlalu sering menahan kata-kata agar tak menimbulkan gelombang. Sampai suatu hari ia sadar, diam juga bisa menjadi jurang.
Ponselnya bergetar lagi. Panggilan video masuk. Nama yang muncul membuatnya menarik napas panjang. Damar.
Ia menjawab cepat, menata nada suaranya agar terdengar ringan. Layar ponsel memantulkan wajah pria itu — sedikit buram karena sinyal, tapi cukup untuk memperlihatkan garis kelelahan di bawah matanya.
“Lagi apa?” suara Damar datar, tapi lembut.
“Baru sampai rumah. Kamu gimana?”
“Capek, tapi lancar. Bandung hujan dari tadi.”
“Di sini juga,” katanya sambil tersenyum kecil.
Cahaya dari lampu hotel di belakang Damar memantul di layar, membuat wajahnya tampak jauh, seperti gambar dari dunia lain.
“Kamu kelihatan capek,” kata Damar.
“Cuma kurang tidur.”
“Jangan kerja terus, Dinar. Aku serius.”
“Hmm.”
“Beneran, aku nggak mau kamu sakit.”
Nada suaranya lembut, tapi di baliknya ada jarak. Mata Damar tak lagi menatap seperti dulu — sekarang lebih sering memandang ke arah lain, seperti seseorang yang sudah terbiasa berbicara sambil memikirkan hal lain.
Nara ingin berkata bahwa yang membuatnya lelah bukan pekerjaan, tapi jarak. Bahwa setiap kali ia duduk di ruang makan sendirian, ada bagian dirinya yang perlahan pudar. Tapi kata-kata itu berhenti di tenggorokan. Ia takut jika diucapkan, semuanya akan benar-benar runtuh.
Mereka berbincang sebentar — tentang pekerjaan, tentang kucing tetangga yang sering masuk halaman, tentang rencana liburan yang sudah tiga kali ditunda. Percakapan ringan yang seolah menjaga keseimbangan rumah tangga mereka: cukup hangat untuk tampak baik-baik saja, cukup kosong agar tak menyakitkan.
Lalu, seperti biasa, panggilan itu berakhir dengan cepat. Wajah Damar menghilang, digantikan bayangan dirinya sendiri di layar hitam.
Nara menatap ponsel itu lama sebelum menaruhnya di meja. Ia menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan. Dalam ruang yang sepi itu, ia bisa mendengar napasnya sendiri, cepat dan tak teratur. Ujung jarinya terasa dingin. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya — bukan karena cemas, tapi karena perasaan yang tak punya nama kini semakin nyata.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa takut. Bukan takut kehilangan seseorang, tapi takut kehilangan arah di dalam dirinya sendiri.
Di luar, hujan kembali turun — lembut, hampir seperti bisikan. Dan Nara tahu, malam itu ia tidak hanya mendengar suara hujan. Ia mendengar gema dari sesuatu yang telah lama tertidur di dalam dirinya… kini mulai bangun pelan-pelan.