Pagi berikutnya, langit tampak bersih — seolah hujan semalam berhasil menyapu semua sisa perasaan yang menggantung. Tapi Nara tahu, tidak semua yang larut bersama hujan benar-benar hilang. Ada hal-hal yang tetap tinggal, diam-diam menempel di dasar hati, seperti sedimen yang menunggu waktu untuk mengeruh kembali.
Ia berangkat lebih awal. Jalanan menuju kantor masih setengah sepi, lampu lalu lintas berpendar lembut di aspal basah. Di radio mobil, suara penyiar berbicara tentang cuaca dan kemungkinan hujan sore nanti. Nara menatap bayangannya di kaca, wajah yang terasa asing belakangan ini. Ada senyum kecil di bibirnya, tapi bukan karena bahagia — lebih seperti usaha untuk menenangkan sesuatu di dalam diri.
Kantor arsitektur tempatnya bekerja berada di gedung lama di kawasan Menteng. Dindingnya tinggi, penuh lukisan konsep ruang dan sketsa hitam putih. Aroma kopi dan tinta spidol memenuhi udara. Nara menyukai tempat ini, bukan hanya karena pekerjaannya, tapi karena ruang ini selalu memberinya alasan untuk fokus, untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal di luar rancang bangun dan garis-garis tegas.
Sinta, rekan kerjanya, sudah datang lebih dulu.
“Pagi, Nar!” seru Sinta sambil mengangkat gelas kopi dari balik layar komputer. “Kamu kelihatan beda, deh.”
“Beda gimana?” Nara tersenyum, menaruh tas di kursi.
“Entahlah… kayak lebih tenang tapi nggak tenang. Gimana ya jelasinnya?”
Nara tertawa kecil. “Mungkin cuma kurang tidur.”
“Kalau aku sih mikirnya kamu lagi jatuh cinta lagi.”
Ucapan itu membuat Nara terdiam sejenak — tidak karena tersinggung, tapi karena hatinya tiba-tiba berdetak sedikit lebih cepat. Ia menatap layar komputernya, mencoba menyembunyikan kilasan wajah Bima yang tiba-tiba muncul di pikirannya.
Sinta tertawa. “Eh, bercanda, Nar! Aku cuma iseng.”
Nara mengangguk, pura-pura tersenyum. “Iya, aku tahu.”
Namun sepanjang rapat pagi itu, pikirannya tidak sepenuhnya di ruangan itu. Di antara lembar-lembar konsep taman kota dan diskusi tentang pencahayaan alami, ada bagian kecil dari dirinya yang terus kembali ke kafe semalam — pada tatapan, pada kata-kata sederhana yang seolah memiliki makna lebih dari yang seharusnya.
Rapat selesai menjelang siang. Beberapa rekan kerja keluar untuk makan siang bersama, tapi Nara memilih tetap di kantor. Ia berjalan ke balkon belakang yang jarang dipakai orang. Dari sana, terlihat atap-atap rumah tua dan pepohonan yang baru saja basah oleh hujan kemarin.
Angin lembut berhembus, membawa aroma tanah dan sedikit getir daun.
Ia menatap ke arah langit yang biru samar, lalu mengeluarkan ponselnya.
Tanpa rencana, jarinya mengetik pesan.
“Tadi pagi langitnya bersih, tapi rasanya masih berat.”
Ia menatap layar itu lama. Sebelum sempat menekan tombol kirim, pesan balasan masuk.
“Aku juga ngerasain hal yang sama.”
Nama pengirimnya, Bima.
Nara menatap tulisan itu, merasakan sesuatu mengalir pelan di dadanya — hangat dan asing.
Ia belum sempat membalas, tapi Bima sudah mengirimkan pesan kedua.
“Nar, kamu lagi di mana?”
“Kantor.”
“Boleh aku ajak makan siang? Cuma sebentar.”
Ia menatap pesan itu. Ada bagian dari dirinya yang ingin menolak, menulis “Maaf, aku sibuk,” seperti seharusnya. Tapi ada juga bagian lain yang diam-diam ingin melihatnya lagi, hanya untuk memastikan perasaan aneh itu tidak nyata.
“Baik. Dekat kantor aja, ya.”
Balasan itu terkirim begitu saja, tanpa proses berpikir panjang. Nara menatap layar kosong setelahnya, merasakan detak jantungnya memukul lebih keras dari biasanya.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka bertemu di sebuah warung makan sederhana di seberang gedung. Tempat itu tidak besar, bahkan cenderung sempit, dengan cat dinding yang mulai memudar dan kipas angin tua yang berputar pelan di langit-langit. Meja-meja kayu tersusun rapi, menebarkan aroma minyak panas dan kuah sup yang menggugah selera. Tidak ada rencana untuk berada di sana. Tidak ada janji, tidak ada tujuan tersembunyi. Hanya dua orang yang kebetulan—atau mungkin tidak terlalu kebetulan—punya waktu luang di jam makan siang.
Bima membuka menu yang sudah agak lecek, kemudian menatap Nara. Senyumnya muncul begitu mudah, seperti kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar hilang. “Masih sama kayak dulu,” katanya sambil tersenyum, menatap menu di tangannya. “Kamu tetap milih tempat makan yang adem dan tenang.”
“Dan kamu tetap nggak bisa diam,” jawab Nara pelan, mencoba terdengar santai, walau hatinya sebenarnya berdebar tanpa alasan yang jelas.
Bima tertawa. Tawa itu ringan namun dalam, dan anehnya, suara itu—suara yang sudah lama ia lupakan dan dulu terlalu sering ia dengar—tiba-tiba membuat udara di warung itu terasa berbeda. Seakan langit-langit yang rendah itu terangkat sedikit, memberi mereka ruang bernapas lebih lega.
Mereka mulai berbicara, awalnya tentang makanan yang ingin mereka pesan, lalu merambat ke hal-hal ringan seperti pekerjaan, rutinitas, keluarga, dan hal-hal kecil yang dulu selalu menjadi bagian dari obrolan mereka saat kuliah. Dari caranya bicara, Nara tahu bahwa lima tahun berlalu tidak mengubah cara Bima memandang dunia—optimis, spontan, kadang terlalu jujur, tapi selalu hangat.
Yang mengejutkannya adalah dirinya sendiri. Ia terkejut menyadari betapa mudahnya percakapan itu mengalir, seolah waktu lima tahun yang memisahkan mereka tidak pernah ada. Tidak seperti orang yang menjembatani masa lalu dan masa kini, melainkan seperti dua titik yang tidak pernah benar-benar terpisahkan.
Namun di sela tawa dan percakapan ringan itu, ada jeda-jeda sunyi yang menggantung. Jeda yang bukan canggung, bukan pula menakutkan. Itu seperti jeda antara dua helaan napas: tidak berbahaya, tapi cukup untuk membuat hati bergeser sedikit.
Bima menatapnya lama, tatapan yang tidak membuatnya gelisah, tapi justru membuat jantungnya berdetak dengan ritme yang pelan-pelan berubah. Ada sesuatu di mata itu—bukan cinta yang sama seperti dulu, bukan kerinduan yang meledak, tapi semacam ingatan yang hangat, yang disembunyikan rapi namun tidak benar-benar padam.
“Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi. Dunia kecil, ya,” katanya pelan.
Nara tersenyum, tetapi suaranya terdengar rendah, nyaris seperti bisikan ketika ia menjawab, “Atau mungkin dunia memang tahu kapan waktunya mempertemukan orang lagi.”
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya, tanpa pikir panjang. Dan begitu terdengar di udara, Nara merasakan sedikit penyesalan—bukan karena kata-katanya salah, tetapi karena ia tidak berniat terlihat sejujur itu. Namun Bima hanya menatapnya, tanpa komentar, seolah ia memahami lebih banyak dari yang diucapkan. Seolah ia tidak butuh penjelasan lain.
Mereka melanjutkan makan dengan ritme yang lebih hening, tapi bukan hening yang kaku. Lebih seperti hening yang diisi makna yang tak ingin diakui oleh siapa pun. Ada beberapa saat ketika sendok mereka saling beradu tanpa sengaja, dan keduanya tertawa kecil. Tawa pendek yang lebih mirip pelarian, tapi cukup untuk menghangatkan ruang kecil di antara mereka.
Ketika mereka berpisah setelah makan, Nara berjalan kembali ke kantor dengan langkah yang terasa ringan, meski d**a terasa berat. Rasanya seperti ia membawa sesuatu yang bukan miliknya, atau sesuatu yang sudah lama dikubur tapi kini muncul lagi tanpa permisi. Ada sesuatu di dalam dirinya yang berubah arah — belum jelas menuju ke mana, tapi ia tahu perubahan itu sedang terjadi. Perubahan yang kecil, hampir tidak terlihat, tapi cukup untuk membuatnya memperhatikan langkahnya sendiri.
Sesampainya di lantai kantor, ruangan sudah mulai dipenuhi suara keyboard, telepon berdering, dan tumpukan pekerjaan yang menanti. Sinta, yang duduk di meja seberang, melirik begitu Nara duduk.
“Kamu makan di mana?” tanya Sinta sambil menyeruput kopi.
“Seberang. Sama teman.”
“Teman? Siapa temanmu?”
“Bima.”
Sinta menaikkan alisnya, ekspresinya berubah menjadi perpaduan antara terkejut dan penasaran. “Bima? Yang dulu satu tim desain itu?”
Nara mengangguk pelan, mencoba tidak terlalu memikirkan ekspresi rekannya, tapi tatapan Sinta terlalu mudah dibaca. Ada semacam tebakan yang melintas di wajah itu, namun Sinta cukup bijak untuk tidak mengatakan apa pun.
“Wah, dunia memang sempit,” gumam Sinta sambil kembali ke layarnya.
“Ya,” jawab Nara pendek, menyalakan komputer. Namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa dunia yang sempit bukanlah masalah. Dunia memang bisa mempertemukan manusia di persimpangan paling tak terduga. Yang jauh lebih berbahaya adalah hati yang tiba-tiba membuka pintu yang seharusnya sudah terkunci rapat.
Waktu bekerja terasa berjalan lambat hari itu. Setiap email yang ia kirim, setiap garis desain yang ia revisi, terasa seperti dilakukan sambil menahan sesuatu di dadanya. Sesuatu yang belum ingin ia akui keberadaannya. Sesuatu yang membuatnya berkali-kali menarik napas tanpa alasan.
Hari itu berakhir dengan langit yang kembali menggelap. Awan tebal menggulung pelan, menutup cahaya sore yang seharusnya indah. Hujan turun saat ia menutup komputer dan bersiap pulang. Gerimis pertama jatuh seperti desah lembut, lalu berubah menjadi curahan yang lebih deras ketika ia melangkah keluar gedung.
Dalam gerimis itu, ia berjalan menuju mobil sambil menatap layar ponsel: satu pesan dari Damar, dan satu pesan dari Bima. Keduanya muncul hampir bersamaan, seperti dua garis kehidupan yang tiba-tiba ditarik ke arahnya.
Ia menatap keduanya bergantian.
Tidak membalas yang mana pun.
Hanya berdiri di sana, di tengah hujan lembut, dengan perasaan yang mulai tidak ia kenali.
Lalu ia menyalakan mesin mobil, menyandarkan tubuhnya sejenak, dan menatap hujan di kaca depan. Setiap tetes yang jatuh menciptakan pola samar yang pecah lalu hilang begitu saja. Dalam pola itu, ia merasakan sesuatu bergerak pelan dalam hidupnya, sesuatu yang selama ini ia tahan, tapi kini mulai keluar.
Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa dalam diam, hidupnya mulai berubah arah — bukan dengan ledakan besar, atau keputusan dramatis, tapi dengan percikan kecil yang hampir tak terdengar.
Dan kadang, justru percikan itu yang paling sulit dipadamkan.