Setelah mendapatkan alamat pria yang diteleponnya tadi, Ara kini berdiri di depan rumah pria itu. Penampilannya cukup mencolok sehingga mengundang banyak mata tetangga untuk melihat kedatangan wanita itu.
"Dilihat dari penampilannya, sepertinya dia rentenir," bisik seseorang pada yang lainnya. Ada yang percaya ada juga yang tidak percaya.
"Rama, tidak mungkin memiliki hutang. Dia termasuk pria yang pekerja keras, merupakan idamanku juga," kata wanita muda yang berbaju hitam yang berdiri di depan pintunya. Dia merupakan tetangga Rama yang cukup dekat. Namanya Dini. Rumah kontrakannya berhadapan dengan rumah kontrakan Rama. Dini sebenarnya sudah lama menaruh hati pada pria itu, hanya saja dia tidak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya.
Ara mengabaikan oran-orang yang membicarakannya. Dia tidak memiliki urusan dengan mereka jadi, dia tidak perlu memperkenalkan dirinya atau menyangkal kalau dia bukan rentenir. Yang benar saja, harusnya mereka menebak dia adalah seorang model.
Ara mengetuk pintu rumah Rama dua kali. Mengetuk lagi ketika tidak ada jawaban. Ara bukanlah orang sabar, ketika dia tidak mendapat jawaban dari dalam rumah, dia kembali mengetuk namun kali ini dengan menggunakan kakinya. Tangannya mengetik nomor pria lalu menghubunginya.
"Mbak, Mas Rama sudah berangkat kerja tiga puluh menit yang lalu," kata Dini. Ara melihat wanita itu.
"Terima kasih." Ara lalu pergi meninggalkan rumah Rama, dia akan datang lagi sore nanti. Pria itu satu-satunya harapannya untuk membantunya dallam masalah ini. Ara sangat yakin kalau Rama akan mau membantunya. Apalagi saat di lihat dari tempat tinggal pria itu. Jika Ara menawarkan rumah yang besar, mustahil pria itu menolak.
"Halo, Sayang," ucap Ara menerima telepon dari kekasihnya. Senyum di wajahnya langsung terbit saat melihat nama id Dirga di layar ponselnya tadi.
"Bisa tolong transfer aku, Yang. Aku lagi butuh uang sepuluh juta, nanti aku ganti setelah bayaran ku turun," kata pria itu terdengar buru-buru. Ara mengerutkan keningnya mendengar permintaan sang kekasih.
"Aku baru transfer kamu tiga hari yang lalu dengan jumlah yang sama, loh, Yang." Ara tidak tahu uang itu untuk apa, tapi Dirga sudah terlalu sering meminta seperti ini. Meskipun pada akhirnya Dirga mengembalikannya. Bukan dengan uang, sih. Dirga lebih ke memberinya barang seperti, tas atau perhiasan.
"Toh, nanti juga aku kembalikan, kan? Ayolah, Yang. Aku benar-benar butuh. Ini juga untuk masa depan kita." Ara menghela napasnya pelan.
"Iya udah. Nanti aku transfer."
"Jangan nanti, sekarang aja. Aku butuhnya sekarang," desak Dirga.
"Iya," jawab Ara lalu mematikan teleponnya. Dia membuka aplikasi mobile banking di ponselnya lalu mengirimkan uang yang di minta Dirga. Tidak lama setelah Ara mengirimkan uang itu, dia mendapat pesan dari Dirga
Terima kasih, Sayang
Aku mencintai mu
Ara tersenyum membaca pesan Dirga, kekesalannya menguap seketika. Dia m
***
Sudah jam enam sore, seharusnya Rama sudah berada di rumahnya. Dan sekarang Ara kembali ke depan rumah kecil pria itu.
"Ada yang bisa saya bantu?" Ara baru saja mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu ketika pintu itu terbuka dari dalam ddan muncul seorang pria yang cukup tampan, menurut Ara.
"Berapa usiamu?" tanya Ara mengindahkan pertanyaan Rama.
"Dua puluh tiga," jawab Rama santai. Dia belum mempersilahkan wanita itu masuk ke dalam rumahnya. Dini tadi memberi tahu kalau wanita itu sudah menunggunya sejak pagi. Rama tidak pernah mengenal wanita di hadapannya itu. Dilihat dari penampilannya, sepertinya dia bukan orang biasa.
"Lebih muda tiga tahun, tapi itu bukan masalah," gumam wanita itu pelan.
"Boleh aku masuk?" tanyannya lagi.
"Katakan dulu tujuan mu. Saya tidak menerima tamu sembarangan," kata Rama seraya menjulurkan kakinya menghalangi jalan Ara yang hendak masuk melewati dirinya.
Ara melipat tangannya di atas perut. "Aku datang untuk meminta pertanggung jawaban kamu," kata Ara angkuh. Rama mengangkat alisnya, ingatannya terlempar pada saat dia baru pulang kerja kemarin. Pada wanita yang meneleponnya dan meminta tanggung jawabnya.
"Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Rama seraya merogoh saku celananya bahannya untuk mengambil dompet. Dia belum berganti pakaian sejak pulang dari kantor tadi.
"Uang? Aku tidak butuh uang. Satu hal yang harus kamu tahu, aku tidak pernah mengejar uang, uang yang mengejarku," ucap Ara sombong. Rama tidak suka dengan cara bicara wanita itu, terslihat begitu angkuh dan sombong. Seakan dunia hanya berputar di bawah kakinya.
Rama memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku celananya. "Kalau begitu kamu boleh pergi! Masih banyak hal yang ingin saya lalukan sebelum beristirahat," usir Rama.
"Kita belum selesai bicara." Ara dengan langkah gesit masuk ke dalam rumah kecil Rama. Dalam rumah rama cukup rapi, semua barang tersusun rapi pada tempatnya. Ara cukup terpana dengan kebersihan rumah pria itu.
"Aku ingin kamu bertanggung jawab dengan perkataan kamu di telepon beberapa waktu lalu. Kamu harus menikah denganku," kata Ara yang membuat tawa dari bibir Rama menggema.
"Maaf, saya tidak bisa melakukannya," tolak Rama setelah tawanya reda.
"Kamu tidak punya pilihan menolak. Satu-satunya yang bisa kamu lakukan hanyalah menerimanya." Ara masih punya banya cara jika laki-laki itu menolak. Dia tidak akan berhenti sebelum Rama bersedia menikah dengannya. Hanya enam bulan, dia hanya butuh Rama selama itu. Setelah itu Rama akan bebas dari pernikahan ditambah lagi Rama akan mendapatkan banyak keuntungan darinya.
"Kalau saya menolak?" Rama bertanya menantang.
"Aku akan menuntut kamu dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan!" Rama tertawa geli.
"Oh, iya? Kalau begitu saya juga bisa menuntut kamu dengan pasal yang sama."
"Bagaimana kalau aku menawarkan uang. Berapapun yang kamu mau akan aku berikan."
"Ti-dak." Rama langsung menolak tanpa berpikir. Sejak dulu dia tidak berniat menikah di usia muda, apapun alasannya dan sebanyak apapun keuntungannya. Menurut Rama kesiapan mental itu sangat penting. Terlebih dia memiliki prinsip 'menikah sekali seumur hidup', jadi memang harus dipikirkan secara matang.
"Kamu pasti berubah pikiran," kata Ara tenang.
"Oh, iya kenapa kamu begitu yakin?"
"Karena aku Ara. Mutiara Sanggi Wijaya tidak pernah menerima penolakan. Aku selalu mendapatkan apapun yang aku mau, termasuk menikah dengan kamu." Ara lalu berdiri, dia akan datang lagi besok untuk meyakinkan Rama. Dia juga akan datang dengan membawa kontrak pernikahan mereka, dia sangat yakin Rama tidak akan menolak ketika melihat betapa banyak keuntungan yang dia terima.
Saat akan mencapai pintu, Ara menghentikan langkahnya lalu berbalik. "Rama Adipurna, persiapkan dirimu untuk menjadi suamiku kelak," katanya lalu pergi meninggalkan rumah kecil Rama.
Rama berdiri dengan menatap lurua ke pintu, di mana wanita itu menghilang. Rama menggelengkan kepalanya melihat keyakinan wanita itu. "Cukup menarik," ucapnya pelan.
Bersambung...